Vol. 44 No. 3, Desember 2022

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika

E-ISSN 2579-9487

P-ISSN 0215-899X


Aplikasi Konsep Plea Bargaining: Perspektif Perkara Narkotika

Ni Putu Tya Suindrayani1

1Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 30 Oktober 2022

Diterima : 8 Desember 2022

Terbit : 30 Desember 2022

Keywords :

Plea Bargaining, Case

Settlement, Narcotics.


Kata kunci:

Plea Bargaining, Penyelesaian

Perkara, Narkotika

Corresponding Author:

Ni Putu Tya Suindrayani, E-mail:

[email protected] .ac.id

DOI :

10.24843/KP.2022.v44.i03.p.04


Abstract

The purpose of this study is to examine the discourse on the concept of plea bargaining and its consequences in the perspective of resolving narcotics criminal cases. The research method used is doctrinal legal research that is descriptive and explanative, using a statutory, conceptual, and comparative approach. The result of the study leads to a comparison of the plea bargaining discourse in the State Criminal Procedure Code of Georgia, India and China, the discourse in the Indonesian RKUHAP, and its consequences as an alternative process in the settlement of narcotics cases. The conclusion of this study is that Indonesia needs to consider the legal system components as "safeguards" to support the application of plea bargaining and its consequences as an alternative to the narcotics case settlement process focusing on effectiveness, efficiency, reducing the caseload and tackling illicit narcotics trafficking in prisons.

Abstrak

Tujuan penelitian ilmiah ini ialah untuk mengkaji diskursus konsep plea bargaining dan konsekuensinya dalam perspektif penyelesaian perkara narkotika. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum doktrinal yang bersifat deskriptif dan eksplanatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan perbandingan. Hasil penelitian mengarah pada perbandingan diskursus plea bargaining dalam KUHAP Negara Georgia, India dan China, diskursus dalam RKUHAP Indonesia, serta konsekuensinya sebagai proses alternatif dalam penyelesaian perkara narkotika. Kesimpulan penelitian ini bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan komponen sistem hukum sebagai “safeguards” untuk menunjang penerapan plea bargaining dan konsekuensinya sebagai alternatif proses penyelesaian perkara narkotika berfokus pada efektifitas, efisiensi, pengurangan beban perkara dan menanggulangi peredaran gelap narkotika di dalam LAPAS.

  • 1.    Pendahuluan

Konsep plea bargaining dikenal sebagai dari salah satu konsep yang berkembang dalam proses penyelesaian perkara pidana. Black’s Law Dictionary menjabarkan bahwa plea bargaining merupakan tawar-menawar pengakuan bersalah terdakwa, sehingga penuntut umum akan menuntut dengan hukuman ringan dari tindak pidana lainnya.1 Kemunculan konsep plea bargaining berkembang dari penyelesaian perkara pidana dalam sistem hukum anglo-saxon atau common law system. Amerika Serikat sebagai salah satu negara anglo-saxon, sejak lama telah menerapkan konsep plea bargaining sebagai salah satu pilihan solusi yang digunakan dalam penyelesaian perkara pidana.

Konsep a quo menjadi pilihan penyelesaian perkara yang mendominasi dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat,2 dengan capaian penerapan hampir 98% di negara federal dan 94% di negara bagian.3 Fokus dari konsep plea bargaining di Amerika Serikat, merujuk pada negosiasi tawar-menawar antara terdakwa dan penuntut umum, berkaitan dengan adanya pengakuan bersalah dan tidak menentang tuduhan penuntut umum.4 Pengaturan dan implementasi plea bargaining di Amerika Serikat diatur dalam The Federal of Criminal Procedure,5 atau Undang-Undang Hukum Acara Pidana Amerika Serikat (selanjutnya disebut KUHAP AS). Pada sistem peradilan pidana Amerika Serikat, konsep a quo dimuat secara eksplisit pada tahap arraignment dan preliminary hearing.6 Setelah tahapan plea bargaining dilalui, peradilan pidana dilanjutkan dengan proses penjatuhan hukuman atau vonis oleh hakim tunggal tanpa melalui proses peradilan juri.7 Konsekuensi dari hal tersebut memperlihatkan bahwa tahapan plea bargaining memberikan peluang proses alternatif alur persidangan pidana yang lebih singkat.

Konsep plea bargaining kemudian mulai berkembang di negara-negara dengan berbagai sistem hukum, termasuk negara dengan civil law system. Fenomena tersebut kemudian dipahami sebagai “a global process of administratization of criminal convictions”.8 Ulasan terkait implementasi plea bargaining pada negara civil law system, Penulis merujuk artikel milik Wahyu Nandang Heawan dan Natalia Sitohang dengan judul “Adoption of the Plea

Bargaining Concept to Improve Judicial Efficiency during the Covid-19 Outbreak”.9 Wahyu dan Natalia menguraikan bahwa penerapan plea bargaining di Perancis dan Italia, tidak selalu sama sebagaimana penerapannya di Amerika Serikat. Implementasi plea bargaining di kedua negara civil law tersebut masih mengalami dinamika pro-kontra, sebab menimbulkan kekhawatiran bahwa plea bargaining akan digunakan untuk menghindari hukuman yang lebih berat.10 Kekhawatiran lainnya berkaitan terkait adanya kekuatan yang lebih dari penuntut umum, untuk memberikan dorongan atas pengakuan bersalah hanya untuk menghindari risiko penjatuhan hukuman yang lebih besar di Pengadilan, bahkan kepada mereka yang tidak benar-benar pantas mendapatkan hukuman tersebut.11 Walaupun demikian, mereka memandang dan menyimpulkan bahwa adanya konsep a quo dapat menjadi solusi efektif dan efisien dalam penumpukan perkara di Pengadilan, terutama di tengah kondisi pandemi Covid-19.12

Hal serupa dimuat dalam artikel berjudul “Plea Bargaining as a Solution for Criminal Case Backlog in Indonesia” oleh Lukman Hakim dan Sonny Zulhuda. Bahwa dalam artikel a quo, penerapan sistem dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (selanjutnya disebut KUHAP Indonesia) saat ini menjadi pemicu timbulnya backlog perkara pidana,13 sehingga penyelesaian perkara pidana di Indonesia tidak maksimal menerapkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.14 Implementasi konsep plea bargaining di berbagai negara dipandang berhasil mengatasi dan menekan backlog perkara pidana, sehingga Lukman dan Sonny memandang bahwa “jalur khusus” dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut RKUHAP) dinilai cukup sesuai untuk menjadi solusi dari kondisi backlog di Indonesia.15 Kedua artikel tersebut memberikan pandangan terkait kelebihan dan dampak dari plea bargaining dengan berfokus pada percepatan sistem peradilan pidana, namun belum secara spesifik mengulasnya terhadap suatu perkara pidana tertentu. Atas hal tersebut Penulis merasa penting untuk menelaah konsep a quo dalam perspektif penyelesaian suatu tindak pidana. Dalam penelitian ini, Penulis secara mengkhusus mengkajinya dalam perspektif perkara narkotika.

Dalam RKUHAP sebagai ius constituendum, telah dirancang terkait pengaturan tentang “jalur khusus”.16 Hal tersebut dipandang sebagai peluang dan kemungkinan untuk menerapkan konsep plea bargaining di Indonesia.17 Penulis memandang bahwa pengaturan tentang “jalur khusus” tersebut, tidak dapat dikatakan sebagai bentuk ius constituendum dari pengaturan dan penerapan konsep plea bargaining di Indonesia. Karena kedua konsep tersebut, memuat ide atau gagasan dasar yang berbeda.

Khususnya berkaitan dengan ide dasar yang berhubungan terkait proses negosiasi atau tawar-menawar. Jalur khusus dalam RKUHAP hanya mengarah pada tercapainya pengakuan bersalah terdakwa, tanpa memperhatikan bargain atau penawaran yang menjadi pokok ide dari plea bargaining.

Konsep plea bargaining berhubungan erat dengan percepatan dan efesiensi penyelesaian perkara pidana, hal tersebut kemudian menjadi harapan untuk isu penumpukan perkara di Lembaga Peradilan Indonesia. Keunggulan tersebut tidak dapat serta-merta menjadi dasar untuk langsung mengadopsi konsep a quo, sebab penempatan plea bargaining masih menjadi problematika oleh aparatur penegak hukum. Khususnya oleh Lembaga Kejaksaan dalam hal posisi atau letak penerapannya dan terhadap tindak pidana mana saja konsep a quo dapat diterapkan. Persoalan terkait jenis tindak pidana yang dapat menerapkan konsep plea bargaining, Penulis tertarik untuk menelaahnya pada penyelesaian tindak pidana narkotika di Indonesia. Penyelesaian perkara tindak pidana narkotika menjadi menarik untuk ditelaah sebab, penyumbang terbesar narapidana atas presentase overkapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disebut LAPAS) berasal dari tindak pidana narkotika.18 Data Ditjen PAS pada Juli 2022 menunjukan bahwa kapasitas LAPAS dapat menampung 132.107 penghuni, sedangkan total penghuni LAPAS adalah 271.512 dengan penghuni narapidana narkotika sejumlah 139.461 penghuni.19 Hal tersebut memperlihatkan bahwa beban penyelesaian perkara narkotika menjadi “makanan sehari-hari” yang dihadapi oleh aparat penegak hukum Indonesia.20 Tindak pidana narkotika bukan merupakan suatu tindak pidana yang baru, namun hingga saat ini kejahatan a quo tetap menjadi persoalan yang sulit dihentikan.

Penyelesaian perkara pidana narkotika menjadi persoalan yang harus diutamakan dalam proses peradilan pidana Indonesia, namun dengan sistem saat ini hasil daripada proses penyelesaian perkara narkotika a quo mengarah pada hasil yang tidak efektif dan efisien. Masih marak terjadinya kejahatan narkotika bahkan ketika telah menjadi seorang narapidana tidak menghentikan perdagangan dan peredaran gelap narkotika.21 Hal tersebut menjadi salah satu bentuk kegagalan dari proses penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan pidana pada tindak pidana narkotika di Indonesia. Oleh karenanya, fokus isu atau rumusan masalah dalam penelitian ini merujuk pada bagaimana diskursus dan konsekuensi konsep plea bargaining sebagai alternatif proses penyelesaian perkara pidana dalam perspektif perkara narkotika di Indonesia?.

Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji konsep plea bargaining dan konsekuensinya dalam perspektif penyelesaian perkara narkotika. Lebih spesifik ialah mengkritisi rasisonalitas pengaturan dan implementasi konsep plea bargaining di beberapa negara. Menelaah sejauh mana diskursus konsep a quo dapat menjadi alternatif penyelesaian perkara pada hukum acara pidana dalam sistem peradilan pidana Indonesia, serta mengkaji konsekuensi konsep a quo sebagai proses alternatif

penyelesaian perkara pada tindak pidana narkotika. Atas diperolehnya pemahaman yang komprehensif terhadap konsep a quo penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan perspektif dalam perumusan RKUHAP, sehingga ius constituendum Indonesia dapat lebih memaksimalkan baik dalam hal formulasi, aplikasi dan eksekusinya, bila memang konsep plea bargaining akan diadopsi dan diterapkan sebagai bagian dalam proses sistem peradilan pidana Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum doktrinal22 yang bersifat deskriptif dan eksplanatif, dengan menggunakan data sekunder yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier.23 Penelitian merujuk pada penggunaan teknik studi kepustakaan dengan menggunakan sarana berupa bahan-bahan hukum tertulis. Penulis memilih menggunakan teknik penelitian tersebut, sebab Penulis berfokus untuk menelaah dan mengkaji tentang ide dan konsep dasar dari plea bargaining. Bahan hukum yang digunakan terdiri atas peraturan perundang-undangan berupa peraturan perundang-undangan nasional, regional dan internasional, serta pembedahan terhadap buku dan artikel ilmiah yang relevan terhadap permasalahan a quo.

Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan peraturan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan konseptual (the conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).24 Pendekatan peraturan perundang-undangan akan membantu berkaitan dengan formulasi atas konsep plea bargaining, baik dalam hukum nasional maupun hukum negara lain. Pendekatan konseptual dipilih guna membantu dan mengembangkan argumentasi dalam menjawab rumusan masalah yang berfokus pada penelaahan paradigma dan doktrin dari ide, konsep, asas dan sistem hukum yang relevan. Kemudian penggunaan pendekatan perbandingan digunakan untuk memahami dan mengkaji lebih lanjut terhadap konsep a quo. Konsep plea bargaining muncul dan berkembang di sistem hukum yang berbeda dari Indonesia, sehingga sangat diperlukan pendekatan perbandingan untuk mengupas antara kedua sistem hukum yang berbeda tersebut.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Diskursus Plea Bargaining sebagai Proses Alternatif Penyelesaian Perkara dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

      • 3.1.1    Diskursus Plea Bargaining dalam KUHAP Beberapa Negara

Fenomena perkembangan konsep plea bargaining pada sistem hukum yang berbeda dari sistem hukum asalnya menjadi suatu hal penting untuk diulas, khususnya terkait diskursus pengaturan plea bargaining pada beberapa negara dengan sistem hukum yang berbeda dari Amerika Serikat. Negara tersebut diantaranya Georgia, India, dan China. Hal mendasar yang menarik perhatian Penulis untuk menelaah konsep plea bargaining di negara a quo, ialah berkaitan dengan pengaturan dan konsekuensi dari konsep plea bargaining. Bahwa pada negara-negara tersebut, pengaturan dan konsekuensi konsep a

quo hampir serupa atau mendekati sebagaimana pengaturan dan konsekuensi di negara common law system khususnya Amerika Serikat. Berikut kajian penelaahan terhadap pengaturan dan konsekuensi plea bargaining pada negara-negara a quo:

  • a)    Georgia.

Negara Georgia mengatur plea bargaining hampir sangat lengkap dan termuat secara eksplisit dalam Criminal Procedure Code of Georgia (selanjutnya disebut KUHAP Georgia). Khususnya pada Section V tentang Initiating Criminal Prosecution, Selecting Measures of Restraint, Plea Bargaining, pada Chapter XXI-Plea Bargaining, Article 209 sampai Article 218.25 Selain pada article a quo, plea bargaining juga tersebar dan termuat dalam beberapa article lainnya dalam KUHAP Georgia. KUHAP Georgia mengatur bahwa plea bargaining dilakukan dengan adanya kesepakatan tawar-menawar, pengakuan bersalah terdakwa dengan adanya timbal balik berupa pengurangan tuntutan sebagian hukuman.26 Terdakwa juga ditawarkan untuk menyetujui dalam hal bekerjasama dan/atau melakukan penggantian kerugian.27 Kesepakatan tersebut harus dibuat secara tertulis serta suka rela, tanpa penyiksaan atau paksaan dari penuntut umum terhadap terdakwa bersama penasihat hukumnya.28 Tahapan plea bargaining di Negara Georgia dapat dipandang sebagai bagian alternatif dalam tahapan preliminary hearing, sebagaimana dimuat dalam angka 2 article 219 KUHAP Georgia. Hal tersebut terlihat bahwa dalam sidang pendahuluan, Hakim akan menanyakan kepada terdakwa terkait pengakuan bersalah dan kemungkinan para pihak yang berperkara untuk memilih jalur plea bargaining.

Kesepakatan hasil plea bargaining yang telah dibuat oleh penuntut umum dan terdakwa, kemudian diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan persetujuan. Namun Pengadilan tidak memiliki kewajiban secara penuh untuk menyetujui kesepakatan plea bargaining yang diajukan.29 KUHAP Georgia juga memuat sejumlah komponen sebagai bahan pertimbangan bagi Pengadilan untuk menyetujui kesepakatan plea bargaining yang diajukan, sehingga dapat diterapkan dalam proses penyelesaian perkara pidana yang bersangkutan.30 Jika Pengadilan menyetujui kesepakatan plea bargaining a quo, maka tahapan persidangan akan dilanjutkan pada tahap putusan tanpa melalui tahap pemeriksaan alat bukti. Hal tersebut menunjukan adanya konsekuensi prosedural dari penerapan plea bargaining dalam hukum acara pidana negara Georgia, yang mengarah pada penyingkatan tahapan peradilan pidana.

KUHAP Georgia tidak menyebutkan secara khusus terhadap bentuk dan jenis tindak pidana yang dapat menerapkan konsep plea bargaining. Atas hal tersebut, terlihat bahwa konsep plea bargaining di Negara Georgia dapat diterapkan terhadap segala bentuk dan jenis tindak pidana, dengan pembatasan pelaksanaan plea bargaining berada pada tahapan pengajuan persetujuan hasil plea bargaining ke Pengadilan. Pengadilan tidak terlibat langsung atau bersifat pasif dalam negosiasi plea bargaining, namun Pengadilan dapat untuk tidak menyetujui pengajuan hasil plea bargaining tersebut. Konsekuensinya terhadap kasus a quo tidak dapat menerapkan plea bargaining, sehingga proses peradilan

pidana tetap melalui proses pemeriksaan alat bukti, sebagaimana proses peradilan pidana pada umumnya.

  • b)    India.

Negara India sebagai salah satu negara di Asia, tidak terlepas dari persoalan tunggakan perkara pidana yang memakan waktu dan biaya mahal.31 Atas pertimbangan terkait adanya beban perkara pidana di Lembaga Kehakiman India, sistem peradilan pidana India kemudian berkembang dengan mengatur konsep plea bargaining dalam The Code of Criminal Procedure (selanjutnya disebut KUHAP India).32 Plea bargaining secara eksplisit dimuat dalam KUHAP India pada Chapter XXIA, hasil amandemen yang berlaku sejak tahun 2006 dengan diatur dalam 12 Pasal yaitu Pasal 265A sampai 265L.33

Secara yuridis, pengaturan plea bargaining dalam KUHAP India termasuk dalam bagian summary trials. Plea bargaining diatur dengan cukup kongkrit, khususnya berkaitan dengan adanya pembatasan keberlakuan dari plea bargaining. Adapun pembatasan a quo mengarah kepada pembatasan jenis tindak pidana dan berkaitan dengan ancaman sanksi pidananya.34 Berkaitan dengan pembatasan jenis tindak pidana, bahwa pengajuan plea bargaining dikecualikan terhadap jenis tindak pidana yang mempengaruhi sosial-ekonomi negara India, tindak pidana yang dilakukan terhadap perempuan, dan tindak pidana yang dilakukan terhadap anak-anak dengan umur dibawah 14 tahun.35 Pembatasan pada ancaman sanksi pidananya berupa sanksi hukuman mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara diatas 7 tahun, serta dikecualikan terhadap terdakwa yang merupakan recidive.36 Hal tersebut memperlihatkan bahwa pengaturan atas lingkup keberlakuan dari plea bargaining dalam KUHAP India dimuat dengan cukup ketat.

KUHAP India juga mengatur terkait hal-hal yang perlu dimuat dalam kesepakatan plea bargaining, yang akan diajukan permohonan ke Pengadilan.37 Hal-hal dimuat tersebut berupa uraian singkat terkait perkara dan tindak pidananya, pernyataan dari terdakwa yang telah disumpah dengan menyatakan pengakuan bersalah, terdakwa memahami sifat dan tingkat hukuman bagi dirinya, serta terdakwa bukan seorang recidive.38 Atas pengajuan permohonan a quo, KUHAP India juga memuat bahwa Pengadilan harus memeriksa terdakwa tanpa menghadiri pihak lain atas perkara tersebut. Pemeriksaan a quo dilakukan untuk memberikan keyakinan bagi Lembaga Pengadilan khususnya bagi Hakim, berkaitan dengan sifat sukarela atas pengakuan bersalah terdakwa dalam permohonan plea bargaining.39

Pengaturan plea bargaining dalam KUHAP India mengedepankan adanya kondisi saling memuaskan antara semua pihak, dalam penyelesaian perkara pidana yang memilih alternatif penyelesaian melalui plea bargaining.40 Kondisi saling memuaskan tersebut dapat berupa pemberian kompensasi dan biaya lain dari terdakwa kepada korban tindak pidana.41 Atas hal kondisi a quo, selain fokus terhadap negosiasi pengakuan bersalah terdakwa dengan penuntut umum, konsekuensi atas pengaturan plea bargaining dalam KUHAP India memuat modifikasi yang berorientasi kepada pemenuhan kepentingan korban.

  • c)    China.

Pengaturan dan penerapan plea bargaining di China dimuat sejak tahun 2018, dalam The Criminal Procedure Law of China (selanjutnya disebut KUHAP China).42 Konsep plea bargaining dalam KUHAP China dapat dikatakan diatur secara implisit, dengan mengedepankan pengakuan bersalah secara sukarela (pleads guilty voluntarily) dari tersangka/terdakwa. KUHAP China tidak secara khusus mengatur plea bargaining dalam Part ataupun Chapter tersendiri, namun tersebar dalam beberapa article yaitu article 15, article 172, article 173, article 174, article 176, article 190, article 201, article 214 dan article 222.43 Adapun hal-hal yang dimuat terkait pengaturan konsep plea bargaining dalam KUHAP China ialah sebagai berikut:44

  • a)    Article 15 : bahwa terhadap tersangka atau terdakwa yang secara sukarela mengaku bersalah atas tindak pidana yang didakwakan dan bersedia menerima pidana a quo, dapat diberikan pidana yang ringan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • b)    Article 172: dalam hal adanya pengakuan bersalah tersangka dan memenuhi persyaratan untuk melakukan prosedur yang dipercepat, maka Kejaksaan dalam waktu 10 hari harus memutuskan tindak pidana dan ancaman pidana terhadap kasus tersebut, dan periode waktu tersebut dapat diperpanjang hingga 15 hari.

  • c)    Article 173: dalam hal tersangka mengaku bersalah dan menerima tuduhan, Kejaksaan telah memiliki fakta dan bukti yang cukup dan kongkrit, sehingga berwenang untuk memberikan informasi terkait hak litigasi dan ketentuan aturan tentang pengakuan bersalah tersebut, serta mendengarkan pendapat dari tersangka/terdakwa bersama dengan kuasa hukumnya. Kejaksaan juga mencatat berkaitan dengan fakta atas tindak pidana yang didakwakan serta aturan hukumnya, rekomendasi terkait hukuman yang diringankan atau dikurangi ataupun pembebasan dari hukuman, serta prosedur yang berlaku untuk pengadilan setelah pengakuan bersalah dan penerimaan hukuman.

  • d)    Article 174: berkaitan dengan keperluan untuk menandatangani berkas atas pengakuan bersalah dan penerimaan hukuman di hadapan pengacara.

  • e)    Article 176 : berkaitan dengan tugas dan kewenangan penuntut umum untuk membuat rekomendari hukuman baik berupa hukuman pokok, tambahan, atau

keberlakuan masa percobaan. Sehingga proses perkara dapat dilanjutkan ke Pengadilan.

  • f)    Article 190 : berkaitan dengan tugas dan kewenangan hakim ketua dalam sidang pengadilan untuk memberi tahu terdakwa tentang hak litigasi, ketentuan hukum atas pengkuan bersalah dan penerimaan hukuman, serta harus meninjau point kesukarelaan, keaslian dan legitimasi dari terdakwa atas isi pengakuan bersalah dan penerimaan hukumannya.

  • g)    Article 201 : pada tahapan penjatuhan putusan berkaitan dengan adanya pengakuan bersalah, Pengadilan (hakim) umumnya memutus dan memeriksa tindak pidana yang didakwakan dan rekomendasi hukuman yang diajukan oleh kejaksaan sesuai dengan aturan hukumnya.

Berdasarkan pasal-pasal diatas, terlihat bahwa pengaturan konsep plea bargaining dalam KUHAP China merujuk pada tindakan atau alur prosedural yang harus dilakukan oleh terdakwa dan pengacaranya, penuntut umum dan hakim, ketika tersangka/terdakwa memberikan pengakuan bersalah dan menerima hukumannya. Sebagaimana pengaturannya, peran kejaksaan/penuntut umum sangat besar dalam mengimplementasikan plea bargaining di China.

Konsekuensi atau dampak dari penerapan plea bargaining dari KUHAP China dapat terlihat pada article 21445 dan article 222.46 Kedua article tersebut memuat dalam hal adanya pengakuan bersalah dan penerimaan hukuman oleh tersangka/terdakwa, maka prosedur persidangan dapat melalui prosedur persidangan ringkas/singkat dan prosedur persidangan yang dipercepat. Pengaturan yang bersifat prosedural dalam KUHAP China dengan memberikan kewenangan yang sangat luas terhadap penuntut umum/Kejaksaan,47 mengakibatkan pembatasan penerapan dari konsep plea bargaining tidak merujuk pada jenis tindak pidana dan ancaman sanksi pidananya. Kesempatan atau peluang untuk melakukan dan menawarkan pengakuan bersalah tersangka/terdakwa, penuntut umum/Kejaksaan harus memastikan telah memiliki fakta yang jelas dan bukti tindak pidana yang cukup, serta kongkrit dalam suatu perkara pidana.48

Konsep plea bargaining yang telah dimuat dalam KUHAP ketiga negara tersebut, terlihat sebagai bagian dari proses untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Adanya suatu proses a quo menjadi wujud atas ciri-ciri dari suatu sistem, sebagaimana yang

dikemukakan Lawrence M. Friedman tentang ciri-ciri sistem hukum.49 Sistem hukum memuat komponen berupa legal substance, legal structure dan legal culture.50 Atas hal tersebut, dengan memasukan dan mengatur plea bargaining dalam KUHAP, ketiga negara a quo telah memberikan jaminan secara kongkrit terkait komponen substansi hukum dari konsep plea bargaining. Tanpa ada pengaturan substansi tentang plea bargaining dalam KUHAP, ketiga negara tersebut tidak memiliki dasar atau landasan utama yang kuat untuk menerapkan plea bargaining, sebab awalnya konsep a quo tidak dikenal dan tidak diatur dalam sistem peradilan pidana negara-negara tersebut.

Komponen sistem hukum selanjutnya ialah legal structure atau struktur hukum, yang mengarah pada elemen institusi atau lembaga penegak hukum.51 Atas uraian perbandingan KUHAP negara-negara yang memuat plea bargaining, terlihat bahwa institusi yang terlibat dalam alur plea bargaining ialah Kejaksaan/Penuntut Umum, Pengadilan/Hakim, dan Pembela/Penasihat Hukum. Tugas dan kewenangan dari institusi penegak hukum tersebut memiliki bagian masing-masing, namun sebagian besar mengarah pada pemberian tugas dan kewenangan yang cukup luas bagi Kejaksaan/Penuntut Umum. Hal tersebut menjadi salah satu isu yang diperdebatkan, karena ditakutkan akan memicu peluang suap-menyuap dalam penerapan konsep plea bargaining.52 Kekhawatiran tersebut perlu dipertimbangkan dan dikaji lebih lanjut, sehingga mengarah pada keperluan untuk mengatur dan menjamin alur dan bentuk pengawasan terhadap institusi-institusi yang terlibat dalam proses plea bargaining.53

Budaya hukum atau legal culture sebagai komponen sistem hukum yang terakhir, merujuk pada berjalan dan bekerjanya hukum secara nyata dengan mengarah pada perilaku dan tindakan dari subjek-subjek yang terlibat dalam sistem hukum.54 Berkaitan dengan konsep plea bargaining, budaya hukum mengarah pada pola perilaku dan tindakan dari institusi penegak hukum, hingga pada budaya hukum individu yang secara langsung terlibat dalam proses plea bargaining. Khususnya, pola perilaku penuntut umum, hakim dan penasihat hukum terdakwa perkara pidana a quo. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan pemahaman intelektual tentang plea bargaining, antara aparatur penegak hukum dengan terdakwa dan korban/masyarakat. Menelaah dari pengaturan plea bargaining dalam KUHAP tiga negara tersebut, perilaku dan tindakan dari aparatur penegak hukum yang terlibat langsung dalam proses plea bargaining, diarahkan pada pola yang menempatkan terdakwa sebagai subjek dalam proses peradilan pidana (aquisatoir). Atas uraian tersebut, berikut table perbandingan diskursus konsep plea bargaining pada negara a quo:

Negara

Georgia

India

China

Pengaturan

Diatur secara eksplisit dalam KUHAP Georgia,

Diatur secara eksplisit dalam KUHAP India pada Chapter XXIA,

Diatur secara implisit dalam KUHAP China. Tersebar dalam

49 Friedman, L. M. (1975). The Legal System A Social Science Perspective. New York: Russel Sage Foundation, p. 15-17.

50 Ibid.

51 Ibid.

52 Wu, C. loc.cit.

53 Ichsan Zikry, Peluang Penerapan Prinsip-Prinsip Plea Bargain dalam Rancangan KUHAP, disampaikan dalam Webinar ICJR-STH Indonesia Jentera. 20 Desember 2021.

54 Friedman, L.M. loc.cit.

section V tentang  hasil    amandemen beberapa      pasal.

Initiating Criminal  yang berlaku sejak  Seperti dalam article

Prosecution,           tahun           2006.  15, article 172, article

Selecting Measures  Khususnya dalam 12  173, article 174, article

of Restraint, Plea  Pasal yaitu Pasal 265A  176, article 190, article

Bargaining, pada sampai 265L           201, article 214 dan

Chapter XXI-Plea                            article 222.

Bargaining, Article

209 sampai Article

218

Hal yang diatur

  • a)    Alur prosedural a) Alur prosedural a) Alur prosedural penerapan plea penerapan    plea    penerapan    plea

bargaining.           bargaining.               bargaining.

  • b)    Komponen atau b) Pembatasan        b) Bentuk

bahan             keberlakuan plea    kewenangan jaksa

pertimbangan      bargaining,            dan hakim dalam

bagi     hakim terhadap     jenis    menerapkan plea

untuk             tindak pidana dan    bargaining.

pemberian         ancaman sanksi.

persetujuan      c) Hal yang dimuat

pelaksanaan       dalam kesepakatan

plea bargaining.      plea bargaining.

Konsekuensi/

Dampak Implementasi

Konsekuensi atas Mengedepankan      Berdampak    pada

penerapan    plea kondisi        saling prosedur persidangan

bargaining dalam memuaskan antara yaitu        melalui

KUHAP Georgia semua pihak terhadap prosedur persidangan mengarah pada penyelesaian kasus ringkas/singkat dan konsekuensi        pidana,     sehingga prosedur persidangan

prosedural berupa adanya dampak pada yang dipercepat. penyingkatan      pemenuhan

proses peradilan kepentingan korban.

pidana.

  • 3.1.2    Diskursus Plea Bargaining dalam RKUHAP sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Konsep plea bargaining yang berkembang memiliki gagasan utama tentang negosiasi atau tawar-menawar terkait pengakuan bersalah terdakwa dengan adanya pemberian pengurangan atau keringanan tuntutan hukuman dari penuntut umum.55 Sebagaimana pada sub-bab sebelumnya, keberadaan plea bargaining pada KUHAP suatu negara mengarah pada adanya penyingkatan proses peradilan pidana untuk mewujudkan efisiensi proses peradilan, walaupun terdapat sejumlah hal yang diatur secara berbeda pada tiap negara.

Hal tersebut juga didasarkan atas tipe-tipe dari plea bargaining, yang terdiri atas tiga tipe,

yaitu: charge bargaining, sentence bargaining, dan fact bargaining.56 Tipe pertama, charge bargaining adalah bentuk negosiasi terhadap tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa saat persidangan.57 Tipe kedua, sentence bargaining berupa negosiasi bahwa terdakwa melakukan pengakuan bersalah (guilty plea) dengan adanya timbal balik keringanan atas hukuman baginya.58 Tipe terakhir, fact bargaining ialah penawaran penuntut umum untuk tidak mengungkapkan fakta tertentu saat persidangan yang dapat mengancam adanya peningkatan hukuman bagi terdakwa.59 Negosiasi dalam plea bargaining memuat tiga point utama yang terdiri atas jumlah dakwaan bagi terdakwa (horizontal plea bargaining), tingkat serius dari tindak pidana yang dilakukan (vertical plea bargaining), dan berkaitan dengan berat ringannya ancaman sanksi pidana yang didakwakan (a sentence bargain).60

Efisiensi peradilan pidana dan beban penumpukan perkara menjadi urgensi utama sebagai landasan kepentingan untuk menerapkan konsep plea bargaining dalam hukum pidana nasional. Sehubungan dengan sistem hukum Indonesia yang dikenal menganut civil law system, melakukan adopsi hingga transplantasi hukum perlu dilakukan kajian mendalam khususnya terhadap komponen dalam sistem hukum Indonesia. Pemikiran tentang pengakuan bersalah dalam RKUHAP menjadi salah satu komponen sistem hukum nasional yang perlu dikaji secara mendalam, sebab pengakuan bersalah melalui jalur khusus digagaskan sebagai hasil adopsi dari konsep plea bargaining.61 Gagasan pokok pengakuan bersalah melalui jalur khusus dalam RKUHAP sejatinya lebih merujuk pada ide “plea without bargains”.62 Klausul yang dimuat terkait pengakuan bersalah melalui jalur khusus dalam Pasal 20463 RKUHAP, mengejar atau hanya berfokus pada “pengakuan bersalah” dari terdakwa. Pengakuan tersebut dilakukan di waktu yang sama dalam sidang pembacaan dakwaaan oleh Penuntut Umum dan

dituangkan dalam berita acara, sehingga tidak terdapat peluang untuk melakukan negosiasi. Atas hal tersebut, jalur khusus dalam RKUHAP tidak dapat dipandang sebagai implementasi dari konsep plea bargaining, walaupun mengarah pada tujuan yang serupa yaitu untuk efisiensi proses peradilan pidana.64

Pengaturan jalur khusus dalam RKUHAP menampilkan kelemahan yang merujuk pada tidak dimuat dan diaturnya suatu prosedur acara pemeriksaan tersendiri terhadap jalur khusus a quo.65 Pasal 204 hanya memuat bahwa Penuntut Umum dapat melimpahkan perkara ke acara pemeriksaan singkat, sedangkan acara pemeriksaan singkat dilaksanakan terhadap perkara pidana yang pembuktian dan penerapan hukumnya mudah serta sederhana.66 Persoalan selanjutnya akan mengarah pada jenis dan bentuk tindak pidana yang dapat dilaksanakan dengan acara pemeriksaan singkat, sebab jenis dan bentuk tindak pidana akan diikuti dengan ancaman sanksi pidananya. Atas hal tersebut, Penuntut Umum juga kembali dibebankan terkait kekuatan pembuktian terhadap terdakwa, sehingga dapat menerapkan hukum secara mudah dan sederhana.

Kelemahan lainnya mengarah pada tidak ada pengaturan terkait standar atau parameter bagi Hakim dalam menilai sifat sukarela pengakuan bersalah dari terdakwa. Hal tersebut merujuk pada tidak ada jaminan dan dasar yang jelas, bila terdapat penolakan atas pengakuan bersalah terdakwa akibat dari keragu-raguan Hakim. Kedua hal tersebut menunjukan bahwa perlu untuk mempertimbangkan komponen pendukung yang diperlukan oleh aparat penegak hukum, ketika konsep plea bargaining ingin diadopsi. Point penting lainnya ialah untuk menelaah budaya hukum Indonesia yang tidak tahu dan tidak mengenal tentang konsep a quo. Bila plea bargaining dimuat sebagai bagian dari proses atau prosedur alternatif dalam penyelesaian perkara pidana, maka menjadi “pekerjaan rumah” untuk memperkenalkan konsep a quo pada elemen-elemen sistem hukum, khususnya penegak hukum dan masyarakat umum.

Kondisi a quo tentu tidak dapat dikesampingkan, sebab akan berimplikasi pada tidak tercapainya efisiensi peradilan pidana yang dicita-citakan. Oleh karenanya keinginan untuk mengadopsi atau mentransplantasi plea bargaining sebagai bagian penyelesaian perkara pidana tidak hanya sekedar dimuat dalam hukum positif, khususnya dalam KUHAP. Negara sebagai legislator perlu mempertimbangkan komponen sistem hukum lainnya, seperti aparatur penegak hukum hingga pada budaya hukum masyarakat sebagai bagian dari “safeguards” dari komponen pendukung dalam penerapan plea bargaining dikemudian hari.

  • 3.2    Konsekuensi Plea Bargaining Sebagai Proses Alternatif Penyelesaian Perkara Pada Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

    • 3.2.1    Dinamika Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

Dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana melalui sistem peradilan pidana, perlu untuk mewujudkan tujuan hukum acara pidana diantaranya:67

  • a.    Mencari dan menemukan kebenaran materiil atau yang hakiki dan lengkap dari suatu perkara pidana, melalui penerapan hukum acara pidana secara tepat dan jujur.

  • b.    Menentukan subjek hukum berdasarkan alat bukti yang sah, hingga dapat didakwa melakukan suatu tindak pidana.

  • c.    Menggariskan suatu pemeriksaan dan putusan pengadilan, agar dapat ditentukan apakah suatu tindak pidana telah terbukti dilakukan oleh orang yang didakwa tersebut.

Hal tersebut juga menjadi capaian tujuan dalam penyelesaian perkara tindak pidana narkotika. Tindak pidana narkotika menjadi penyumbang narapidana terbanyak pada kondisi overkapasitas LAPAS di Indonesia, yaitu sejumlah 139.461 narapidana. Tindak pidana narkotika merupakan salah satu kejahatan dengan katagori extraordinary crime, sehingga penyelesaian perkaranya menjadi prioritas untuk segera diselesaikan. Karakter atau ciri dasar dalam penyelesaian perkara narkotika ialah keterlibatan berbagai instansi penegakan hukum seperti Badan Narkotika Nasional (selanjutnya disebut BNN), Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Peradilan, LAPAS, dan instansi yang diberikan kewenangan untuk melakukan rehabilitasi lainnya. Keterlibatan berbagai instansi tersebut nyatanya tidak memberikan dampak yang signifikan dalam pemberantasan perkara narkotika. Ciri lainnya ialah berupa modus-modus atau strata pelaku atau terdakwa dalam peran-perannya sebagai pecandu, penyalah guna, pengedar hingga bandar narkotika.68

Atas hal tersebut, memperlihatkan bahwa penyelesaian perkara narkotika di Indonesia belum mencapai tujuan dari hukum acara pidana, khususnya untuk mewujudkan peradilan yang efektif dan efisien. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk dapat mengendalikan dan mewujudkan efektifitas serta efisiensi dalam proses penyelesaian perkara pidana narkotika. Upaya tersebut merujuk pada kebijakan pengaturan whistleblower, justice collaborator hingga pada melakukan reformasi hukum acara pidana melalui RKUHAP. Upaya-upaya tersebut nyatanya tidak memberikan dampak yang cukup baik terhadap peredaran dan penyalahgunaan narkotika, sebab ketika narapidana telah di LAPAS kejahatan narkotika masih marak terjadi.69 Hal tersebut menunjukan bahwa hasil dari proses sistem peradilan pidana terkait kejahatan narkotika tidak memberikan solusi, dan menjadi alur penyelesaian masalah yang sejatinya tidak menyelesaikan masalah atas kejahatan narkotika.

Kejahatan narkotika selain bagian ekstraordinary crime, juga merupakan tindak pidana diluar KUHP yang memiliki karakter dan kekhususan tertentu. Akibatnya, terdapat beberapa tambahan tujuan yang harus dicapai dalam proses penyelesaian perkara narkotika, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988. Adapun tambahan tujuan a quo diantaranya sebagai berikut:70

  • a)    Mewujudkan ketahanan nasional dengan mencegah, memberantas dan menanggulangi penyalahgunaan, serta peredaran gelap narkotika di lingkungan masyarakat.

  • b)    Memberantas sindikat jaringan hingga organisasi yang menjadi pelopor dari peredaran gelap narkotika secara nasional maupun internasional.

  • c)    Mengupayakan rehabilitasi medis dan sosial untuk kepentingan pengembalian kesehatan mental serta fisik terhadap pecandu dan penyalahguna narkotika.

  • 3.2.2    Konsekuensi Plea Bargaining sebagai Proses Alternatif Penyelesaian Perkara pada Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

Tujuan penyelesaian perkara pidana dapat dicapai melalui proses peradilan pidana, begitu pula terhadap penyelesaian perkara tindak pidana narkotika di Indonesia. Atas hal tersebut, menelaah hasil dari proses penyelesaian perkara narkotika saat ini, terlihat bahwa terdapat kekurangan dari sistem penyelesaian perkara pidana untuk mewujudkan tujuan a quo. Kondisi tersebut mendorong untuk melakukan reformasi peradilan pidana nasional, salah satunya dengan menghimpun konsep plea bargaining sebagai proses alternatif penyelesaian perkara pidana.

Pengadopsian suatu konsep baru tentu memberikan konsekuensi atau dampak terhadap berjalannya proses dalam suatu sistem. Adapun konsekuensi atau dampak dari konsep plea bargaining diantaranya memuat dampak positif dan negatif.71 Dampak positifnya mengarah pada peluang untuk menerapkan proses penyelesaian perkara pidana yang efektif dan efisien, mengurangi beban perkara yang dipikul aparat penegak hukum dan menekan jumlah penumpukan perkara pidana.72 Sedangkan dampak negatifnya mengarah pada adanya sejumlah hak terdakwa yang dilepaskan akibat pengakuan bersalah salah satunya terkait upaya hukum,73 dan bila tidak diatur serta dikontrol dengan baik plea bargaining dapat menjadi modus atau ladang baru untuk tindakan korupsi.

Atas konsekuensi tersebut, terdapat sejumlah kepentingan dan alasan yang melandasi pengadopsian konsep a quo, khususnya terkait dalam penyelesaian perkara narkotika. Alasan tersebut diantaranya alasan filosofis, yuridis, sosiologis, dan politik hukum.74 Pertama, alasan filosofis dengan merujuk pada nilai kemanfaatan dan kepastian hukum, sebab dengan adanya penyingkatan proses peradilan pidana akibat penerapan plea bargaining, terdakwa narkotika dapat segera memperoleh kepastian hukum terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan kepadanya. Nilai kemanfaatan akan diwujudkan melalui negosiasi pengakuan bersalah yang diikuti keringanan tuntutan ancaman pidana. Hal tersebut akan memberikan kemanfaatan bagi penuntut umum memperoleh kemudahan dalam melakukan tugasnya, sedangkan bagi terdakwa narkotika, khususnya pecandu dan penyalahguna dapat menegosiasikan agar tuntutan ancaman pidana terhadap dirinya merujuk pada pidana rehabilitasi medis dan sosial.

Kedua, alasan yuridis merujuk pada Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,75 untuk mengimplementasikan proses peradilan pidana yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Hal tersebut sejalan dengan ide pokok dari plea bargaining, khususnya terhadap proses penyelesaian perkara narkotika yang memang seharusnya menjadi prioritas untuk segera diselesaikan. Ketiga, alasan sosiologis menjadi alasan sangat penting dalam pengadopsian dan implementasi plea bargaining. Usaha dan upaya yang dilakukan pemerintah nyatanya

tidak dapat menanggulangi persoalan terkait lamanya waktu proses penyelesaian perkara pidana, adanya biaya tinggi serta penumpukan perkara pidana.76 Hal sosiologis lainnya merujuk pada efektifitas dalam penanggulangan kejahatan narkotika, sebab terlihat bahwa hasil atas implementasi sistem penyelesaian perkara saat ini malah menimbulkan peredaran dan perdagangan gelap narkotika di dalam LAPAS. Akibatnya, hal tersebut mengarah pada peningkatan beban perkara yang ditanggung aparatur penegak hukum semakin besar.

Keempat, alasan politik hukum merujuk pada semangat untuk melakukan reformasi hukum. Reformasi hukum mengarah pada membangun dan membentuk hukum dengan bertumpu pada kepentingan memperbaiki sistem hukum, khususnya sistem peradilan pidana sebagai proses penyelesaian perkara pidana. Dalam alasan ini juga mengharapkan adanya hasil dari proses penyelesaian perkara narkotika dapat mengarah pada kemanfaatan rehabilitas medis dan sosial. Hal tersebut dapat berimplikasi pada pengurangan overkapasitas LAPAS dan meminimalisir terjadinya peredaran gelap narkotika di dalam LAPAS.

  • 4.    Kesimpulan

Adapun kesimpulan atas hasil penelitian ini diantaranya: Pertama, bahwa diskursus konsep plea bargaining sebagai proses alternatif penyelesaian perkara dalam hukum acara pidana Indonesia saat ini masih dalam wujud ius constituendum yaitu dalam RKUHAP. Wujud dalam RKUHAP tersebut dikenal sebagai pengakuan bersalah melalui jalur khusus, namun nyatanya jalur khusus a quo lebih mengarah pada gagasan “plea without bargain”. Selain hal tersebut pengadopsian plea bargaining perlu mempertimbangkan komponen dan sub-sistem dari sistem hukum Indonesia sebagai “safeguards” untuk menunjang penerapan dan implementasi dari plea bargaining di masa mendatang. Kedua, bahwa konsekuensi konsep plea bargaining sebagai alternatif proses dalam penyelesaian perkara pada tindak pidana narkotika di Indonesia mengarah pada sejumlah kepentingan dan alasan filosofis, yuridis, sosilogis dan politik hukum. Adapun fokus utamanya ialah untuk efektifitas dan efisiensi proses peradilan, pengurangan beban perkara aparat penegak hukum, dan menekan hingga menanggulangi perdagangan dan peredaran gelap narkotika di dalam LAPAS.

  • 5.    Ucapan Terima Kasih (Acknowledgments)

Terima kasih sebesar-besarnya Penulis ucapkan kepada Unit Riset dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang telah mendanai penelitian ini, dalam program Hibah Penelitian Mahasiswa Tahun 2022. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangsih pemikiran dalam perkembangan keilmuan hukum, khususnya hukum pidana dalam reformasi peradilan pidana.

Daftar Pustaka

Buku

Friedman, L. M. (1975). The Legal System A Social Science Perspective. New York: Russel Sage Foundation.

Hiariej, E. O. S. (2017). Hukum Acara Pidana. Tanggerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka.

Irianto, S. & Shidarta. (2009). Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Marzuki, P. M. (2016). Penelitian Hukum, cet III. Jakarta: Prenadamedia Group.

Supratman & Dillah, P. (2015). Metode Penelitian Hukum, cet III. Jakarta: Alfabeta.

Tenriawaru, et al. (2022). Perbandingan Penerapan Sistem Hukum Progresif (Plea Bargain VS Restorative Justice. Indramayu: Penerbit Adab.

Jurnal

Dervan, L. E. (2019). Bagained Justice: The History and Psychology of Plea Bargaining and the Trial Penalty. Federal Sentencing Reporter,31(4-5), 239-247. DOI: https://doi.org/10.1525/fsr.2019.31.4-5.239

Dogra, R., & Gupta, A. (2022). Plea Bargaining Mechanism in India: A Study in Comparative and Analytucal Context. International Journal of Legal Research and Studies,7(2), 1-8.

Hakim, L., & Zulhuda, S. (2020). Plea Bargaining as a Solution for Criminal Case Backlog in Indonesia. International Journal of Psychosocial Rehabilitation,24(5), 281-291. DOI: 10.37200/IJPR/V24I5/PR201692

Heawan, W. N., & Sitohong, N. (2021). Adoption of the Plea Bargaining Concept to Improve Judicial Efficiency during the Covid-19 Outbreak”, Law Research Review Quarterly,7(2), 135-152. DOI: https://doi.org/10.15294/lrrq.v7i2.46174

Horakul, P., (2018). A Comparative Study of Plea Bargaining with Special Reference to Human Rights in India and Thailand. Disertation, Department of Law, Dr. Babasaheb Ambedkar Marathwada University. DOI: http://hdl.handle.net/10603/244987

Kurniawan, K. D., et al, (2020). Pemberlakukan Plea Bergaining System Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Untuk Tujuan Menyelesaikan Konflik. Jurnal Jurisprudence,10(2), 183-199. DOI: 10.23917/jurisprudence.v10i2.12949

Langer, M. (2019). Plea Bargaining, Trial-Avoiding Conviction Mechanisms and the Global Administratization of Criminal Convictions. Annu. Rev. Criminol, 1-66. DOI: 10.1146/annurev-criminol-032317-092255

Maulana, A. (2015). Konsep Pengakuan Bersalah Terdakwa Pada “Jalur Khusus Menurut RUU KUHAP dan Perbandingannya dengan Praktek Plea Bargaining di Beberapa Negara. Jurnal Cita Hukum,2(1), 39-66. DOI: 10.15408/jch.v2i1.1840

Ruchoyah. (2020). Urgensi Plea Bargaining System dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Studi Perbandingan Plea Bargaining System di Amerika Serikat. Jurnal Hukum IUS QUIA   IUSTUM,27(2),   388-409.   DOI:

10.20885/iustum.vol27.iss2.art9

Schneider, A. K., & Alkon, C. (2019). Bargaining in the Dark: The Need for Transparency and Data in Plea Bargaining. New Criminal Law Review,22(4), 434-493. DOI: https://doi.org/10.1525/nclr.2019.22.4.434

Shi, J. (2021). Reconsideration of the Role of Prosecutors in the Chinese Plea Bargaining Sytem: A Comparative Perspective. Chinese Studies,10,  88-99. DOI:

https://doi.org/10.4236/chnstd.2021.102007

Singh, P. K. (2021). Plea Bargaining and Criminal Justice in India. Athens Journal of Law,7(1), 33-52. DOI: https://doi.org/10.30958/ajl.7-1-2

Wardana, R. (2021). The Plea Bargaining System as a Criminalization Model unter The Law Number 19 Year of 2016 on Electronic Information and Transaction Act and The Dignified Justice. Global Legal Review,1(2),   157-177. DOI:

https://doi.org/10.19166/glr.v1i2.4098.

Wu, C. (2022). The Leading Role of the Procurator in China’s Plea Bargaining Process. Asian Journal of Social Science     Studies,7(4),     70-73.     DOI:

https://doi.org/10.20849/ajsss.v7i4.1093

Online/World Wide Web:

CR-28. Hukumonline. (2021). Melihat Perbedaan Plea Bargain dan Restorative Justive dalam                Praktik.                Retrieved                from

https://www.hukumonline.com/berita/a/melihat-perbedaan-plea-bargain-dan-restorative-justice-dalam-praktik-lt61c53fa88848c, diakses 26 Juni 2022.

Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas, Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, disampaikan dalam Opening Ceremony of Indonesia-Netherlands Legal Update (INLU 2022), 19 September 2022.

KOMPAS.com. (2022). 70 Persen Napi di Banten Kasus Narkoba, Rentan Peredaran Narkotika           di           Lapas.           Retrieved           from

https://regional.kompas.com/read/2022/08/03/193528678/70-persen-napi-di-banten-kasus-narkoba-rentan-peredaran-narkotika-di-lapas?page=all , diakses 10 September 2022.

BNN Provinsi Kepulauan Riau. Permasalahan Peredaran Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan. Retrieved from   https://kepri.bnn.go.id/permasalahan-

peredaran-narkoba-lembaga-pemasyarakatan/ , diakses 10 September 2022.

Zikry, Ichsan, Peluang Penerapan Prinsip-Prinsip Plea Bargain dalam Rancangan KUHAP, disampaikan dalam Webinar ICJR-STH Indonesia Jentera. 20 Desember 2021.

Peraturan Perundang-Undangan

Law of Georgia-Criminal Procedure Code of Georgia.

Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

The Code of Criminal Procedure of India.

The Criminal Procedure Law of China.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988.

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 44, No. 3 Desember 2022, h. 300-318