Tanggungjawab Atas Beban Risiko Pemilik Kapal Yang Karam Karena Kecelakaan Dalam Pelayaran di Laut Indonesia
on

Vol. 45 No. 1, April 2023
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika
E-ISSN 2579-9487 P ISSN 0215-899X
Tanggungjawab Atas Beban Risiko Pemilik Kapal Yang Karam Karena Kecelakaan Dalam Pelayaran di Laut Indonesia
Hendra Yulis Priyanto,1 Achmad Hasan Basri,2 Muchamad Huzaeni,3
-
1 Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas IV Probolinggo, E-mail: hendrayulis_priyanto@yahoo.co.id
-
2 Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, E-mail: tiro.hasan13@gmail.com
-
3 Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas IV Probolinggo, E-mail: ye3bye@yahoo.co.id
Info Artikel
Masuk : 29 Juni 2022
Diterima : 7 April 2023
Terbit : 30 April 2023
Keywords :
Sea freight agreement, risk burden, shipwreck, responsibility.
Kata kunci:
Perjanjian angkutan laut, beban risiko, karam, tanggungjawab.
Corresponding Author:
Hendra Yulis Priyanto, E-mail: hendrayulis_priyanto@yahoo.co.id
DOI :
10.24843/KP.2023.v45.i01.p03
Abstract
kesepakatan. Kedua bersifat umum merupakan sandaran hukum yang berlaku dan bermanfaat bagi semua komponen yang terkait pada penyelenggaraan angkutan laut akan terikat berdasarkan hukum yang menyangkut kepentingan umum. Pembagian beban risiko dapat dilakukan melalui risk retention, risk sharing dan risk transfer. Bagi pemilik kapal yang tidak mengalihkan tanggung jawabnya atas penyingkiran badan kapal yang karam akibat kecelakaan dalam pelayaran di laut Indonesia dapat dimintai pertanggung jawaban secara mutlak akibat melanggar hukum berdasarkan beban risiko yang ditanggung sendiri (risk retention).
Laut Indonesia yang 2,5 kali lebih besar dari luas daratan negara ini mempunyai kemungkinan yang cukup besar dari segi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang bisa digunakan guna mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, regional, dan nasional.1 Berbagai pulau, mulai dari Sabang hingga Merauke, berjejer dengan keunikan dan ciri khasnya masing-masing. Setiap pulau tidak dapat diakses melalui darat atau udara dalam kondisi seperti ini, sehingga transportasi laut menjadi satu-satunya pilihan untuk menuju pulau tersebut.2 Terdapat beberapa pulau yang belum pernah mempunyai angkutan udara, sehingga alat angkutan laut sangat besar, dan permintaan akan transportasi laut dengan kapal masih cukup tinggi. Karena jumlah pengguna kapal yang sangat banyak, maka resiko terjadinya kecelakaan akan semakin tinggi.
Dalam hal transportasi laut, pengangkut atau pemilik kapal menghadapi dua jenis risiko: risiko sebagai kapal dan risiko sebagai moda transportasi sebagai pengangkut. Kejadian kapal karam merupakan peristiwa mengerikan yang sering terjadi di dunia bahari. Jumlah bangkai kapal di laut Indonesia sulit diperkirakan karena jumlahnya yang sangat banyak.3 Tragedi yang menyakitkan ini tidak berakhir dengan kesedihan, ada kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh orang yang dinilai bertanggung jawab penuh atas terjadinya peristiwa tersebut. Keadaan di sekitar insiden mengkategorikan tingkat tanggung jawab yang mesti dipenuhi oleh pihak yang berbuat.
Bangkai kapal sangat berpengaruh terhadap lingkungan atau yang lebih penting lagi terhadap keamanan dan keselamatan alur pelayaran. Pengesahan Konvensi Internasional Nairobi tentang Penghapusan Bangkai Kapal yang akan memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan kewajiban serta kompensasi untuk pemindahan lambung kapal yang karam.
Terbukti bahwa aspek laut yang bersih merupakan diantara unsur yang menentukan keselamatan dan keamanan berlayar. Pemerintah bertugas untuk memastikan bahwa kapal-kapal yang melintas di laut Indonesia memiliki lintas yang aman dan terjamin. Kesalahan manusia, baik di darat maupun saat berlayar, serta perusahaan atau pemilik kapal, seringkali menjadi penyebab berbagai kecelakaan pelayaran yang mengangkut orang atau barang, menurut catatan penulis. Banyak kapal yang mengangkut orang dan barang memiliki desain yang tidak mempertimbangkan keselamatan penumpang.4 Beberapa kapal karam terjadi akibat bertabrakan dengan badan kapal yang belum diangkat dari alur pelayaran, contoh KM Kumala Endah pada Maret 2015 yang karam di Belawan, Sumatera Utara, HK. 210/02/I/MP.16, putusan Mahkamah Pelayaran.
Diketahui paling tidak ada tiga golongan dalam suatu hubungan kerja di bidang perhubungan laut, yaitu pemilik kapal, awak kapal (nahkoda dan awak kapal), pihak yang bertindak sebagai pengguna jasa angkutan kapal di laut, dan pihak penanggung atau asuransi. diwajibkan oleh Pemerintah kepada pemilik kapal untuk mengasuransikan kapalnya untuk menanggung segala resiko yang mungkin terjadi pada kapal selama berlayar, termasuk jika kapal tenggelam dan perlu dikeluarkan dari rangka kapal. Untuk mencapai tujuan perjalanan, setiap subjek hukum yang terlibat dalam pelayaran harus bekerja sama secara efektif. Suatu perjanjian yang diberikan mengikat ketiga pihak yang bersangkutan secara umum, tentunya hal ini dilakukan agar masing-masing pihak dapat bekerja secara mandiri dan sesuai dengan ketentuan perijinan atau kesepakatan. Sehingga jika terjadi masalah pengiriman karena human error, maka akan spontan diketahui serta diprediksi, guna mencegah masalah yang lebih besar.
Tersirat dalam pasal 203 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 terkait aspek pelayaran, yang disingkat dengan UU Pelayaran, mengatur bahwa “Pemilik kapal mesti membuang rangka dan/atau muatan kapal yang mengganggu keselamatan dan keamanan kapal mengirimkan." Pemilik kapal wajib mengasuransikan kapalnya minimal 180 (seratus delapan puluh) hari setelah kapal ditenggelamkan guna menjamin terpenuhinya kewajiban sesuai pasal 203 ayat (5) UU Pelayaran.
Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disebut (OJK) merekomendasikan produk asuransi pembongkaran lambung kapal yang ditangani dalam bentuk konsorsium agar memudahkan pemilik kapal untuk mengikuti aturan tersebut diatas. Perkumpulan tersebut terdiri dari banyak korporasi asuransi nasional yang menjanjikan kepastian kepada pemilik kapal atas kewajibannya jika kapal karam.5 Hal tersebut merupakan sebuah alternatif solusi terhadap potensi yang mungkin akan terjadi kepada kapal.
Meskipun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 terkait aspek asuransi disingkat (UU Perasuransian) tidak menentukan produk asuransi yang dijalankan dengan cara perkumpulan, akan tetapi pasal 18 UU Perasuransian bisa menjadi landasan bagi korporasi asuransi untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain guna memperluas bisnis mereka atau guna menjalankan beberapa fungsi dalam operasi bisnis mereka.
Menjadi ukuran yang menarik untuk manajemen pembagian risiko atas tragedi kapal karam jika dikaitkan dengan konsep pembagian risiko diantara para pihak. Atas dasar tersebut antara pengangkut dan pengirim diharapkan tercapai timbal balik, dimana kepentingan pengirim dan pengangkut masing-masing terlindungi dengan tanggung jawab yang terpenuhi. Sehingga kerangka kapal dapat dibongkar dengan tetap memperhatikan keadilan pemilik kapal dan para pihak dalam pengangkutan.
Kesesuaian kehendak yang berkaitan dengan timbulnya sebuah janji (pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata) adalah prinsip konsensualisme. Makna yang paling signifikan dari prinsip konsensualisme adalah cukup diperolehnya kesepakatan terkait pangkal persetujuan untuk membentuk sebuah janji, dan kesepakatan itu timbul pada saat tercapainya mufakat. Perjanjian yang dihasilkan dari diskusi dan pemahaman antara para pihak dengan mempertimbangkan kepentingan mereka yang berbeda.6 Idealnya suatu perjanjian harus dilaksanakan (prestasi) antar pihak sesuai yang diperjanjikan dalam prinsip kekuatan mengikat yang menganggap klausula janji ialah Undang-Undang terhadap para penyusunnya.7
Penelitian terdahulu yang ditulis oleh Muhammad Hatta dkk, pada jurnal Bhirawa Law Journal, tahun 2021, Vol. 2 Issue 1., dengan judul “Prinsip Tanggungjawab Pengangkut Pada Pengangkutan Laut di Indonesia”. Penulis tersebut memfokuskan terhadap tahapan proses penyelenggaraan angkutan produk melalui laut serta bentuk tanggungjawab pengangkut.8
Berikutnya jurnal yang ditulis oleh Nurhuda Sulaeman dan Agus Widyantoro pada jurnal Notarie tahun 2018, yang berjudul “Tanggung Jawab Konsorsium Asuransi Penyingkiran Badan Kapal”. Penulis memfokuskan pada karakteristik konsorsium serta wujud tanggungjawab masing-masing korporasi asuransi.9
Oleh karena itu, penulis memfokuskan pada terbentuknya ikatan hukum antara para pihak dalam penyelengaraan pelayaran di laut Indonesia serta bentuk tanggungjawab terhadap beban risiko bagi pemilik kapal atas penyingkirian kapal yang karam diakibatkan oleh kecelakaan dalam pelayaran di laut Indonesia. Oleh sebab belum dibahas oleh penelitian sebelumnya. Penelitian ini bertujuan guna mengkaji dan menganalisis terbentuknya ikatan hukum para pihak dalam penyelengaraan pelayaran di laut Indonesia, serta mengkaji bentuk tanggungjawab atas beban risiko bagi pemilik
kapal terhadap penyingkiran kerangka kapal yang karam akibat kecelakaan dalam pelayaran di laut Indonesia.
-
2. Metode Penelitian
Bentuk penelitian yang dimanfaatkan berupa penelitian hukum normatif yang memanfaatkan pendekatan melalui perundang-undangan dengan langkah menelaah segala aturan yang relevan dengan problem hukum yang sedang dikaji serta pendekatan konsep. Sumber bahan hukum yang dimanfaatkan peneliti ada dua, yaitu sumber bahan hukum primer yang memiliki karakter mengikat seperti KUHD, KUHPerdata, UU Pelayaran dan aturan turunnya yang relevan, sumber bahan sekunder yaitu buku, persepsi ahli, jurnal yang relevan terkait hukum pelayaran. metode penelusuran bahan hukum melalui studi peraturan perundang undangan dan studi kepustaan. Setelah mendapatkan data-data yang dibutuhkan, kemudian bahan tersebut akan ditelaah guna mendapatkan kesimpulan akhir yang merupakan suatu jawaban dari penelitian.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1 Perjanjian Pengangkutan Laut dan Pengaturan yang Terkait dengan Perlindungan Kepentingan Umum
-
Pelayaran merupakan tahapan yang meliputi pengangkutan air, pelabuhan, keselamatan serta keamanan, dan perlindungan wilayah maritim memerlukan peran dari berbagai pihak. Indonesia sebagai negara pantai yang memiliki selat, perairan kepulauan, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) wajib menjamin keamanan pelayaran kapal nasional dan internasional. Kapal-kapal internasional dapat dengan bebas berlayar melalui selat Indonesia dengan prinsip kebebasan navigasi (freedom of navigation), namun tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang melanggar hukum maritim nasional maupun internasional.
Hukum laut meliputi hukum perdata, yang merupakan sistem standar yang mengatur hubungan hukum antara individu diatas kapal, didalam perusahaan, atau badan lain yang tanggung jawabnya yang terikat di laut. Penyelenggaraan pelayaran di Indonesia terkait erat dengan peran dari berbagai pihak diantaranya pemerintah oleh kementerian perhubungan melalui direktorat hubungan laut. Pemilik kapal atau perusahaan kapal. Pengguna jasa angkutan laut baik barang maupun penumpang serta pihak asuransi yang menawarkan jasanya pada bidang pelayaran untuk menangung risiko kapal selama berlayar. Bagi mereka yang terlibat dalam pelayaran tersebut kemudian mempunyai hubungan hukum keperdataan yang diawali oleh terjadinya peristiwa hukum.
Pelayaran diakomodasi oleh negara serta bimbingannya dilaksanakan pemerintah pusat. Pembimbingan tersebut mencakup pengaturan, pengelolaan serta kontrol, UU Pelayaran pasal 5 sebagaimana sudah dirubah pasal 57 angka 1 UU Cipta Kerja. Terkait penjabarannya diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021
Terkait Pengoperasian Cabang Pelayaran (PP 31/2021), pasal 2 ayat (1) sampai dengan (5) dimana menteri yang membidangi urusan pelayaran dalam hal ini kementerian perhubungan melakukan pembinaan pelayaran, pertama pengaturan yang mencakup penentuan kebijakan umum serta teknis, minimal memuat: aturan, ukuran, petunjuk, kriteria, penataan, tahapan, syarat keselamatan, keamanan pelayaran, serta izin berusaha. Kedua pemantauan yang mencakup pemberian petunjuk, tuntunan, penataran, sertifikasi, serta sumbangan teknis di bidang pembangunan dan pelaksanaan. Ketiga kontrol mencakup kegiatan cek supaya selaras dengan ketetapan aturan termasuk melaksanakan penilaian, pemeriksaan, pemantauan, uji petik, serta penegakan hukum.
Salah satu maksud pembinaan pelayaran adalah untuk memudahkan produk dan orang bergerak dengan tertib, aman, lancar melalui jalur perairan dengan ongkos yang sesuai bagi masyarakat umum. Kedudukan pengawas transportasi laut sangat penting dalam sistem penyelenggaraan pelayaran. Syahbandar diamanatkan oleh UU Pelayaran untuk mengawasi keamanan serta keselamatan pelayaran. Kehadiran Syahbandar merupakan wujud keberadaan pemerintah pada penyelenggaraan pelayaran, sehingga selain hubungan hukum privat dan publik itu konkret dalam sistem pengangkutan laut, dan segala kegiatan pelayaran disusun oleh pemerintah, dalam pasal 207-209 UU Pelayaran terkait peran serta kewajiban Syahbandar diantaranya:
-
(1) Melakukan kontrol terhadap: kelaiklautan kapal, keselamatan, keamanan, kelancaran di pelabuhan, ketertiban, alur pelayaran, aktivitas bongkar muat produk berbahaya serta beracun, salvage, penangguhan kapal, pemanduan, isi ulang bahan bakar, disiplin embarkasi serta debarkasi penumpang, pengerukan serta reklamasi, aktivitas pembangunan fasilitas pelabuhan;
-
(2) Melalakukan pertolongan pencarian serta penyelamatan;
-
(3) Mengkomandoi pengendalian pencemaran serta pemadaman kebakaran di pelabuhan; dan
-
(4) Kontrol perealisasian keamanan wilayah maritim.
Syahbandar mempunyai kekuasaan guna melaksanakan aktivitas dan kewajiban yang telah diuraikan di atas diantaranya:
-
(1) Mengkoordinasi semua aktivitas pemerintahan dipelabuhan;
-
(2) Mengecek serta mendepositkan dokumen, serta warta kapal;
-
(3) Mengeluarkan kesepakatan aktivitas kapal di pelabuhan dan pelayaran, inspeksi terhadap kapal;
-
(4) Melaksanakan pengecekan kecelakaan kapal.
Pasca kapal akan berlayar, nakhoda harus mengutarakan pernyataan clearing pada Syahbandar. Selanjutnya, syahbandar mesti menyelidiki terkait kelengkapan dokumen dan memastikan masih berlaku, nakhoda serta personil kapal telah melengkapi dan memenuhi persyaratan ijazah, dan apakah awak kapal mempunyai buku pelaut serta sertifikat. Syahbandar secara langsung terlibat serta mendukung ketertiban pelayaran dalam pengangkutan laut dengan melakukan kegiatan-kegiatan seperti keselamatan kapal dan pengawasan keselamatan berlayar. Oleh karena itu, diharapkan Syahbandar yang akan mengeluarkan surat persetujuan berlayar harus sangat teliti terlebih dahulu menyelesaikan langkah-langkah cara
pengecekan agar kapal layar betul-betul dideklarasikan laik laut sehingga berlayar aman sampai dengan tujuan. Peran pemerintah dalam pengangkutan laut sangat dibutuhkan sebagai sarana untuk mendukung kelancaran dalam pengangkutan laut.
Kita ketahui ada tiga kelompok dalam suatu hubungan kerja dibidang transportasi laut, yaitu korporasi, nakhoda, dan personil kapal. Guna bisa bekerja sama dalam pelayaran bisnis, ketiga pihak biasanya terikat oleh suatu perjanjian serta mesti mempunyai otorisasi khusus. Tentunya hal ini dilakukan agar masing-masing pihak dapat beroperasi secara bertanggung jawab dan merespon sesuai dengan ketentuan lisensi, sehingga jika terjadi masalah dalam pengiriman karena kesalahan manusia, maka akan segera diketahui serta diprediksi, sehingga tidak menimbulkan problem yang lebih komplek. Kecakapan dari seluruh awak kapal dalam perjalanan sangat diperlukan, meskipun kemungkinan kapal karam di tengah laut tetap ada, akibatnya, kontrol yang baik dan ketat dari perusahaan kapal dalam perjalanan diperlukan.
-
(1) Pemilik Kapal
International Safety Management Code (ISM Code), sebagai pedoman umum internasional terkait pengelolaan keselamatan untuk menjalankan sebuah kapal dan pembatasan pencemaran, mengatur tentang pengawasan terhadap korporasi pelayaran terkait kapal yang akan berlayar. Menyadari pentingnya pemahaman manajemen operasi kapal dalam meminimalkan kecelakaan kapal, manusia, produk, serta pencemaran wilayah laut, International Maritime Organization (IMO) menerbitkan ISM Code, dengan persamaan konsep pada konvensi SOLAS. Hakikatnya, ISM Code menentukan pembentukan pengelolaan keselamatan yang sangat baik di perusahaan pelayaran, kapal, serta sumber daya manusia, bagi perusahaan pelayaran, seorang manajer yang dikenal sebagai DPA (Designated Person Ashore/Designated Person on Land) harus dibentuk, manajer tersebut bertanggung jawab dan mengawasi keselamatan perusahaan pelayaran. Manajer yang bertanggung jawab harus akuntabel dan memiliki akses langsung ke pimpinan senior perusahaan Pelayaran itu.
Pemilik kapal atau perusahaan pelayaran sebagai pegangkut dalam penyelenggara transportasi laut, memainkan fungsi penting dalam memastikan kelancaran arus produk dan orang dari satu lokasi ke lokasi lain. Transportasi laut yang memiliki ciri transportasi nasional yang dapat menyentuh seluruh wilayah melalui perairan, harus berevolusi sebagai sarana guna mendukung, memfasilitasi, serta membangkitkan pemulihan nasional dalam rangka meningkatkan kemakmuran rakyat, serta potensi dan perannya sebagai hubungan antar daerah.10 Transportasi laut dapat memperlancar pergerakan komoditas dari daerah produksi ke konsumen. Terlihat dari pertumbuhan jasa transportasi laut di Indonesia saat ini yang mulai
menunjukkan tanda-tanda perbaikan, terlihat dari banyaknya perusahaan industri yang percaya akan penggunaan jasa angkutan laut.11
-
(2) Awak Kapal
Tiap kapal yang berlayar mesti dipersoneli oleh awak kapal, yang didefinisikan oleh UU pelayaran sebagai sekelompok banyak individu tergantung pada ukuran kapal. Personil kapal terdiri dari nahkoda dan anak buah kapal yang dipekerjakan atau disewa oleh pemilik kapal guna melaksanakan tanggung jawab diatas kapal selaras dengan posisi yang ditunjukkan pada buku sertifikat. Nakhoda kapal merupakan salah satu awak kapal dalam jabatan paling tinggi di kapal dan mempunyai peran serta kewajiban sesuai aturan yang berlaku. Guna melaksanakan tugas mereka secara efektif, nakhoda mesti beroperasi dengan kecerdasan, ketekunan, serta kebijaksanaan yang tepat, karena nahkoda bertanggung jawab atas semua yang terjadi diatas kapalnya. Ia mesti mengenal serta memahami segala ciri khas dari setiap unit diatas kapal tersebut, baik yang berhubungan langsung dengan operasi kapal atau hanya berguna untuk pelayaran. Selanjutnya Nakhoda harus mengetahui jumlah sebenarnya penumpang, muatan kapal, dan komoditas lain seperti perlengkapan kapal.
Guna memastikan kemampuan nakhoda berlayar serta keselamatan kapal, keselamatan penumpang, dan pemindahan muatan, nakhoda harus benar-benar mematuhi hukum dan peraturan terkait pelayaran. Nahkoda enggan akan melakukan perjalanan kecuali kapal itu dilengkapi persyaratan memadai serta diberikan anak buah kapal yang cukup untuk persyaratan berlayar. Nahkoda berperan sangat penting untuk kelancaran dan keselamatan kapal, penumpang, barang dan anak buah kapal dalam perjalanan pelayaran.
Anak buah kapal merupakan segala individu yang melakukan pengoperasian di kapal, serta memeliharaan kapal dan muatannya sesuai dengan perintah dari nahkoda sesuai aturan yang berlaku. Banyak perkerjaan atau tugas diatas kapal yang tidak mungkin dikerjakan sendiri oleh nahkoda, sehingga keberadaan anak buah kapal sangat diperlukan guna mendukung aktifitas diatas kapal, sinergitas antara awak kapal nahkoda dengan anak buah kapal menjadi faktor kelancaran dalam pelayaran, anak buah kapal berperan dalam membantu nahkoda dalam pelayaran yang aman, tertib dan selamat selama berlayar.
Ada berbagai pihak yang terlibat dalam pengangkutan komoditas yang diangkut melalui laut, salah satunya yaitu pengguna jasa angkutan laut, baik pengirim barang, penerima barang maupun penumpang. Ada kemungkinan penerima adalah pengirim atau pihak ketiga yang berkepentingan. Orang perseorangan, perusahaan perseroan, persekutuan korporasi, badan hukum atau yang bukan, dan perusahaan pada umumnya merupakan pengguna jasa angkutan laut.
Pengguna jasa angkutan laut berperan dalam memperlancar roda perekonomian, minangkatkan mobilitas barang untuk terciptanya distribusi nasional yang dinamis serta mendorong pertumbuhan wilayah dan kehidupan masyarakat di dearah terpencil. Pengguna jasa dapat berperan sebagai penentu kualitas layanan dalam pengangkutan laut, dengan memberikan kontribusi untuk menentukan standar tentang kenyamanan, kemudahan akses. Pengguna jasa angkutan laut juga berperan dalam perencanaan jaringan trayek tetap dan teratur disusun oleh pemerintah pusat, daerah, kumpulan korporasi dengan melibatkan para pengguna jasa dengan dikoordinasikan oleh menteri, pasal 4 PP 31/2021. Selain itu pengguna jasa angkutan laut juga dapat berperan sebagai informan dalam pelayaran apabila jasa pengangkutan laut yang diterima pengguna jasa dirasa tidak sesuai dengan prosedur sehingga menjadi bahan bagi perusahaan kapal maupun pemerintah untuk melakukan evaluasi dan perbaikan.
Pasal 274 UU Pelayaran memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengoptimalkan operasional pelayaran, masyarakat harus mempunyai kesempatan yang setara guna berpartisipasi dalam kegiatan pelayaran seluas-luasnya, diantaranya:
-
(1) Meninjau serta memelihara kelancaran dalam kegiatan pelayaran;
-
(2) Memberikan usulan pada pemerintah sebagai pelengkap peraturan, rujukan, dan ukuran teknis dibidang pelayaran;
-
(3) Memberikan usulan pada pemerintah, daerah dalam rangka pembimbngan, piñata usahaan, serta kontrol pelayaran;
-
(4) Memberikan pandangan serta gagasan kepada pejabat yang membidangi kegiatan yang menyelenggarakan aktivitas pelayaran yang menimbulkan dampak lingkungan penting; dan/atau
-
(5) Mengajukan gugatan class action terhadap praktik pengiriman yang mengganggu, merusak, atau membahayakan kepentingan umum.
Karena pentingnya peran berbagai pihak dalam pengangkutan laut sebagai moda angkutan mesti diselenggarakan dengan cara terpadu sebagai angkutan nasional yang terintegrasi serta mampu merealisasikan penyelenggaraan pelayanan angkutan yang seimbang berdasarkan ukuran kebutuhan dan ketersediaan keamanan, aksesibilitas tinggi, tertib, lancar, dapat dijangkau, serta minim polusi. Mengingat begitu pentingnya dan vitalnya transportasi laut dalam menentukan hajat hidup orang banyak, maka peran berbagai pihak diatas sangat menentukan kelancaran dan keselamatan pelayaran yang keberadaannya dipimpin oleh negara, dan bimbingannya dilaksanakan oleh pemerintah.
Pihak ialah subyek hukum yang mendukung adanya hak serta kewajiban pada ikatan hukum transportasi.12 Para pihak yang mempunyai ikatan hukum angkutan laut diantaranya:
-
a) Pengangkut atau perusahaan pelayaran yang menyediakan jasa angkutan laut;
-
b) Pengirim barang yaitu pengguna jasa angkutan mulai dari orang perseorangan, perusahaan perseroan, badan hukum atau bukan, dan perusahaan pada umumnya yang merupakan pengguna jasa angkutan laut;
-
c) Penerima barang yang kemungkinan pengirim sendiri atau pihak ketiga yang berkepentingan.
Ketiga pihak ini merupakan syarat yang mesti dipenuhi dalam pengangkutan laut, yang selanjutnya para pihak tersebut mengikatkan diri dalam sebuah janji transprotasi yang memunculkan hak dan kewajiban dalam ikatan hukum keperdataan. Menurut Soeroso ikatan diantara dua atau lebih merupakan ikatan hukum. Hak dan kewajiban masing-masing saling terkait. Hukum sebagai suatu sistem aturan yang mengatur interaksi sosial, menyerahkan pada subyek hukum kewenangan guna melakukan atau meminta apa yang dibutuhkan oleh hak tersebut, dan hukum menjamin agar kewenangan, hak dan kewajiban tersebut dilaksanakan. Ikatan hukum mempunyai 3 faktor diantaranya:13
-
a) Terdapatnya tiap orang yang hak atau kewajibannya saling terkait, seperti perjanjian pengangkutan dimana pengangkut wajib mengantarkan barang dan pengirim wajib membayar biaya atau ongkosnya, pengirim berhak sampai pada tujuan yang sudah disepakati dan pengangkut berhak atas ongkos dari pengirim barang;
-
b) Adanya objek yaitu barang dan jasa pengangkutan;
-
c) Adanya ikatan antara pemilik hak dengan pengemban kewajiban yang bersangkutan.
Subekti memberikan pandangannya janji pengangkutan sebagai suatu persetujuan satu pihak guna dengan aman mengangkut produk dari lokasi ke tujuan tertentu, dan pihak lain menyetujui guna memberikan biayanya.14 Pada prinsipnya janji pengangkutan bersifat timbal balik, artinya pengirim dan pengangkut berada pada posisi setara serta mempunyai hak dan kewajiban yang setara. Selanjutnya, janji transportasi, menurut H.M.N. Purwosutjipto, merupakan persilangan antara perjanjian pelayanan berkala dan perjanjian penyimpanan dengan aspek pemberian yang terakhir. Perjanjian layanan berkala diperlukan sebab ikatan antara pengangkut dan pengirim tidak berlangsung selamanya, tapi terbatas ketika pengirim harus mengirimkan barang pada interval tertentu.15
Suatu perjanjian diartikan sebagai peristiwa pengikatan satu atau lebih subjek hukum sesuai 1313 KUH Perdata. Menurut Desak P. D. K. dan Putu D. Y. U, dalam
kesepakatan para pihak tidak dapat dikesampingkan.16 Tercapainya kesepakatan antara para pihak diawali oleh promosi dan kerelaan untuk menerima yang akhirnya mengikat kepada para pihak dilaksanakan dengan iktikad baik.17 Beberapa aspek transportasi laut membutuhkan penggunaan transportasi laut, ini menggabungkan berbagai fitur yang relevan menjadi satu kesatuan untuk transportasi laut, elemen-elemen ini meliputi:18
-
a) Pelaku, badan hukum atau orang-orang yang bekerja di industri transportasi;
-
b) Alat yang dimanfaatkan guna menyelenggarakan angkutan, yaitu moda transportasi adalah alat yang didorong secara mekanis yang memenuhi kriteria sesuai peraturan yang berlaku untuk kendaraan bermotor, kapal laut, pesawat, dan derek;
-
c) Produk atau orang yang dibawa adalah komoditas perdagangan yang legal sesuai aturan, termasuk juga seperti binatang;
-
d) Pengangkutan produk atau penumpang dari titik muat ke titik drop off ditempat tujuan yang telah ditentukan adalah suatu tindakan atau perbuatan;
-
e) Fungsi angkutan adalah guna memajukan pemanfaatan dan nilai produk atau penumpang dan tenaga kerja;
-
f) Maksud angkutan adalah untuk tiba di lokasi tertentu dengan cara yang aman dan tepat waktu, dengan semua biaya pengiriman dibayar.
Dalam hal angkutan laut dengan kapal, janji pengangkutan harus diadakan sebelumnya, yang ditunjukkan dengan terdapatnya dokumen barang berupa konosemen, dan korporasi angkutan laut harus menyampaikan produk pasca pengiriman telah tercapai.
Prinsip-prinsip hukum pengangkutan adalah filosofi dasar, dan mereka dibagi menjadi dua kategori:
-
a) Bersifat umum atau terbuka merupakan pondasi aturan transportasi yang berlaku serta bermanfaat untuk seluruh para pihak dan pemangku kepentingan, antara lain:
-
(1) Para pihak yang akan terlibat dalam angkutan;
-
(2) Pihak lain yang memiliki kepentingan dengan angkutan;
-
(3) Pemerintah.
-
b) Bersifat pribadi merupakan dasar aturan untuk pengangkutan yang hanya sah dan bermanfaat bagi pengangkut dan pengirim produk pada angkutan laut.
Hak serta kewajiban yang muncul akibat adanya hubungan hukum dalam pengangkutan laut lahir dari sebuah janji pasal 1313 KUHPerdata. Dalam pasal 466
KUHD Pengangkut merupakan orang yang setuju guna melaksanakan pengangkutan secara keseluruhan atau sebagian melalui laut, baik dengan carteran berdasarkan waktu atau perjalanan, atau dengan janji lain. Oleh karena perjanjian pengangkutan dapat lahir dari perjanjian lain maka para pihak berhak guna menetapkan sendiri isi dari janji tersebut. Janji yang timbul dari kesepakatan mesti memenuhi beberapa syarat sebagaimana pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam perjanjian pengangkutan ini tentu akan mengikat bagi para pihak sebagaimana sebuah perikatan yang timbul berdasarkan janji (Pasal 1233 KUHPerdata) lebih lanjut subekti menyebutkan perikatan adalah janji antara dua orang dimana satu pihak memiliki wewenang guna meminta sesuatu dan pihak lain wajib guna mematuhinya..19 Menurut kesimpulan Muhammad Hatta dkk, janji pengangkutan merupakan sebuah kejadian yang mengikat seseorang guna melakukan pengangkutan melintasi perairan sebab orang lain sudah berjanji, sedangkan orang lain juga sudah setuju guna memberikan sesuatu berupa imbalan (upah).
Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud diatas merupakan hukum timbal balik yang secara umum diatur dalam KUHD BAB VA terkait pengangkutan barang diantaranya:
-
a) Kewajiban dan Hak Pengangkut
-
(1) Kewajiban
-
(a) Mulai saat penerimaan hingga pengiriman, pengangkut mesti melindungi keselamatan produk, 468 ayat (1) KUHD;
-
(b) Pengangkut mesti menanggung kerugian sebab tidak memberikan seluruh atau sebagian produk yang diangkut atau sebab terdapat kerusakan, kecuali pengangkut dapat menunjukkan bahwa kejadian itu diluar kemampuannya, atau sebab kelalaian pengirim, 468 ayat (2) KUHD;
-
(c) Pengangkut berkewajiban menanggung atas perbuatan individu yang dia pekerjakan serta produk yang digunakan dalam pengangkutan, 468 ayat (3) KUHD;
-
(d) Pengangkut mesti memikul beban atas pencurian serta hilangnya produk bernilai lainnya yang mudah rusak apabila sebelumnya atau pada saat menerima barang tersebut, 469 KUHD;
-
(e) Pengangkut berkewajiban menanggung atas kerugian yang ditimbulkan oleh lambatnya pelimpahan produk yang dibawa, dikecualikan jika keterlambatan itu ditimbulkan oleh suatu bencana yang tak terkira yang tidak bisa dicegah, 477 KHUD;
-
(f) Pengangkut berkewajiban berusaha mengirimkan produk ke tempat yang dimaksud dengan tongkang atau cara lain atas ongkosnya, jika kapal tidak tiba dengan waktu yang wajar karena kondisi setempat, 480 ayat (1);
-
(g) Pengangkut wajib membayar biaya pemeriksaan pengadilan yang diajukan oleh pemohon berdasarkan putusan pengadilan, 490 ayat (2) KUHD;
-
(h) Pengangkut mesti menaruh produk pada lokasi yang aman atas tanggungan dari yang memiliki hak, apabila penerima menolak guna menerima produknya, atau bila produk tersebut dilkukan penyitaan (yang produknya bisa dituntut kembali oleh yang berhak), 495 ayat (1) KUHD;
-
(i) Selain itu nahkoda yang merupakan awak kapal untuk mengeporasikan sebuah kapal juga mempunyai kewajiban selama perjalanan, untuk melindungi hak-hak mereka yang berhak atas barang-barang mereka, mengambil tindakan yang diperlukan dan jika perlu bertindak didepan pengadilan, 371 ayat (1) KUHD;
-
(j) Kewajiban pengangkut juga terletak pada tanggung jawabnya yang diatur The Hague Rules 1924 article 1 (2), menyatakan saat produk diangkut hingga saat dikeluarkan. Menurut article 4 Hamburg Rules 1978, kewajiban pengangkut untuk bertanggung jawab dimulai pada saat di pelabuhan pemberangkatan, serta berlanjut hingga produk dibongkar di pelabuhan pembongkaran. Jika terbukti bahwa kejadian itu bukan disebabkan olehnya, pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab. Hal itu sangat digaris bawahi oleh hukum positif Indonesia dan Hamburg Rules of 1978.
-
(2) Hak Pengangkut
-
(a) Pengangkut berhak mensyaratkan ia tidak mesti menanggung kerugian apabila sifat dan harga produk yang sengaja diinformasikan dengan keliru, 470 ayat (3) KUHD;
-
(b) Pengangkut berhak atas penggantian kerugian yang timbul sebagai akibat dari dokumen-dokumen yang disyaratkan guna pengangkutan produk yang tidak diberikan kepadanya pada waktunya, 478 ayat (1) KUHD;
-
(c) Pengangkut berwenang mendapatkan penggantian terhadap apa yang dialaminya sebagai akibat dari menerima pemberitahuan yang salah terkait waktu dan sifat produk, kecuali ia mengetahui atau semestinya mengetahui watak dan sifat-sifatnya, 479 ayat (1) KUHD;
-
(d) Pengangkut berhak untuk membebaskan dirinya dari setiap produk yang membahayakan kargo atau kapal setiap saat, bahkan dengan menghancurkannya tanpa harus menggantinya. Hal ini berlaku untuk komoditas yang dianggap diselundupkan jika pengangkut menerima pemberitahuan yang salah dan tidak lengkap tentang barang tersebut, 479 ayat (2) KUHD;
-
(e) Pengangkut berhak untuk meminta dilakukan inspeksi oleh hakim terkait kondisi sewaktu produk diberikan serta perkiraan kerugian yang ditimbulkannya, 483 ayat (1) KUHD;
-
(f) Sebelum penyerahan barang, pengangkut berhak untuk menuntut jaminan pembayaran yang harus diberikan penerima dalam hal pengangkutan dan sebagai sumbangan kerugian umum, 493 ayat (2) KUHD;
-
(g) Pengangkut juga berhak menagih biaya pengangkutan kepada penerima atau yang berhak untuk itu, jika pengirim atau penerima lalai dalam memenuhi pembayaran angkutan.
-
(3) Kewajiban dan Hak Pengirim
Kewajiban pengirim pada umumnya adalah memberikan data atau dokumen muatan yang lengkap dan benar mengenai produk yang akan diangkut oleh pengangkut serta wajib guna membayar ongkos pengangkutan tersebut. Adapun kewajiban dari pengirim antara lain yaitu:
-
(a) Pengirim wajib membayar ongkos atas produk yang dikirim oleh pengangkut;
-
(b) Pengirim wajib mengganti kerugian apabila sifat dan harga produk diberitahukan dengan sengaja dan keliru, 470 ayat (3) KUHD;
-
(c) Pengirim wajib mengganti kerugian yang muncul sebagai akibat dari dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pengangkutan barang-barang yang tidak diberikan pada waktunya, 478 ayat (1) KUHD;
-
(d) Pengirim wajib membayar ganti kerugian yang dideritan oleh pengangkut yang ditimbulkan dari pemberitahuan yang salah atau tidak benar terkaitm waktu dan sifat produk, kecuali ia mengetahui atau semestinya mengetahui watak dan sifat-sifatnya, 479 ayat (1) KUHD;
-
(e) Pengirim wajib melengkapi barangnya dengan dokumen-dokumen resmi tentang barang yang dikirmnya adalah legal, 479 ayat (2) KUHD serta wajib memberikan bahan-bahan yang disyaratkan untuk pengisian konosemennya;
-
(4) Hak Pengirim
-
(a) Pengirim berhak atas keselamatan barang yang dikirimnya, 468 ayat
-
(1) KUHD;
-
(b) Pengirim berhak menerima ganti kerugian sebab tidak memberikan seluruh atau sebagian produk yang diangkut atau sebab terdapat kerusakan, kecuali pengangkut dapat menunjukkan bahwa kejadian itu diluar kemampuannya, atau sebab kelalaian pengirim, 468 ayat (2) KUHD;
-
(c) Pengirim berhak atas keamanan atas pencurian dan hilangnya produk bernilai lainnya yang mudah rusak apabila sebelumnya atau pada saat menerima barang tersebut, 469 KUHD;
-
(d) Pengirim berhak menerima ganti kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan pelimpahan produk yang dibawa, dikecualikan jika keterlambatan itu ditimbulkan oleh suatu bencana yang tak terkira yang tidak bisa dicegah, 477 KHUD;
-
(e) Pengirim berhak menerima produk di tempat tujuan dengan tongkang atau cara lain atas ongkosnya, jika kapal tidak tiba dengan waktu yang wajar karena kondisi setempat, 480 ayat (1);
-
(f) Pengirim berhak untuk meminta dilakukan inspeksi oleh hakim terkait kondisi sewaktu produk diberikan serta perkiraan kerugian yang ditimbulkannya, 483 ayat (1) KUHD;
-
(g) Pengirim bisa memohon agar pengangkut memberikan konosemen terkait produk yang diterimanya untuk diangkut, 504 ayat (1) KUHD;
-
(h) Pengirim berhak atas barang mereka melalui kuasa dari nahkoda yang melindungi barang barang pengirim selama perjalanan, 371 ayat (1) KUHD.
Sudikno Mertokusumo dengan cermat merangkum tiga prinsip perjanjian sebagai berikut:20
-
a) Konsensualisme diartikan sebagai suatu kesesuaian kehendak yang berkaitan dengan pembentukan sebuah janji (pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata). Prinsip ini menerangkan bahwa setiap orang memiliki kemampuan guna mengungkapkan kehendak. Prinsip ini terkait dengan prinsip keleluasaan bersepakat. Subekti berpendapat bahwa asas konsensualisme memiliki makna yang paling esensial, yaitu untuk mencapai kesepakatan mengenai inti-inti kesepakatan, dan kesepakatan muncul pada saat tercapainya mufakat.21
-
b) Pengertian pacta sunt servanda, yang mengacu pada kewenangan mengikat suatu perjanjian dalam hubungannya dengan akibat-akibatnya;
-
c) Prinsip keleluasaan bersepakat, yang berkaitan dengan subtansi janji;
-
d) Prinsip kekuatan mengikat dapat disimpulkan dari fakta bahwa perjanjian mengandung suatu ikatan. Para pihak akan terikat oleh tradisi dan ketaatan pada apa yang disepakati, serta berbagai faktor lainnya, asalkan diinginkan oleh kapatutan dan ketaatan;
-
e) Prinsip kepastian hukum. Sebagai suatu dokumen hukum, perjanjian mesti berkekuatan hukum, mengikat yaitu sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya;
-
f) Prinsip dapat dipercaya. Setiap janji yang disusun dan disetujui secara sukarela oleh pembuatnya mesti dilakukan dengan niat baik.
Untuk lebih memahami nilai dari asas perjanjian, perhatikan teori Nieuwenhuis, yang menurutnya ada ikatan fungsi antara prinsip hukum perjanjian dengan aturan hukum diantaranya:22
-
a) Bahwa asas hukum berperan dalam terciptanya suatu sistem. Karena prinsip-prinsip itu tidak hanya berdampak legislasi positif, tetapi juga penciptaan sistem dalam mayoritas kasus. Konsep-konsep ini diperlukan agar setiap sistem dapat berfungsi;
-
b) Fakta bahwa prinsip-prinsip hukum ini membentuk sistem "checks and balances". Prinsip-prinsip tersebut saling menguatkan dan begitu seimbang karena mereka menunjuk ke arah yang berbeda. Tinjauan tentang berbagai macam prinsip perjanjian dan fungsinya sangat berguna untuk memeriksa bagaimana model perjanjian diterapkan dalam praktik.
Inti-inti ide yang mendasari dan menginformasikan tiap ketetapan aturan dalam sistem hukum dikenal dengan Prinsip. Akar negara hukum ada dua pertama, supremasi hukum berakar pada realitas masyarakat, dan kedua, cita-cita dipilih sebagai pedoman dengan hidup bersama.23 Dari asas-asas tersebut diatas akan
mengakibatkan tanggung jawab atas beban risiko pemilik kapal yang karam karena kecelakaan dalam pelayaran di laut indonesia seperti ditegaskan pada pasal 468 KUHD, pasal 41 ayat (3) UU Pelayaran, serta PP 20/2010 terkait pengangkutan di Perairan serta perubahannya.
Pengangkut juga dapat mengalihkan semua kewajiban dan tanggung jawabnya kepada pihak ketiga yaitu dengan cara mengasuransikannya, hal ini juga ditentukan pada UU Pelayaran pasal 41 ayat (3) sebagai regulasi untuk kepentingan publik yang akan dijabarkan pada pembahasan berikutnya. Pengangkut juga dapat meminta kepada pihak asuransi janji bagi pihak ketiga derden-beding, dimana dalam janji bagi pihak ketiga itu (pengguna jasa transportasi kapal) pemilik kapal menjanjian hak-hak untuk pihak ketiga. Dalam hubungan hukum ini pemilik kapal dinamakan sebagai stipulator dan pihak asuransi dinamakan sebagai promissor.24 Pasal 1317 KUHPerdata mengatur terkait janji bagi kepentingan pihak ketiga, yang memperbolehkan seseorang untuk membuat janji yang menguntungkan pihak ketiga. Hak pihak ketiga yaitu penerima barang dapat dianggap sebagai suatu beban yang dipikulkan kepada pihak asuransi.
Penjelasan umum UU Pelayaran disebutkan bahwa sehubungan dengan pelaksanaan pemulihan nasional serta mewujudkan adicita nusantara, patut dikembangkan formasi angkutan nasional yang efektif dan efisien yang mampu mendukung serta mendorong pemulihan yang dinamis, mengembangkan mobilitas, menyumbangkan terbentuknya kehidupan nasional yang stabil dan dinamis, pola pemerataan, mendorong pembangunan daerah, dan semakin meningkatkan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara.
Memahami dominannya transportasi laut sebagai salah satu jalur angkutan mesti disusun secara terpadu. Keberadaan pemerintah merupakan wujud kehadiran dalam alur pelayaran, sehingga selain ikatan hukum pribadi, ikatan hukum publik itu riil dalam moda angkutan laut sebagai perlindungan terhadap kepentingan umum yang menjadi salah satu asas untuk mencapai cita hukum. Tujuannya yaitu mengutamakan dan melindungi transportasi di perairan agar dapat dilalui orang dan/atau produk melalui perairan guna memperlancar operasional perekonomian nasional, oleh karena itu segala kegiatan pelayaran diatur oleh pemerintah, sebagaimana dituangkan dalam UU Pelayaran. Tugas serta tanggung jawab semua pihak telah diatur dengan tegas dalam norma tersebut dan segala aturan turunannya tentang pelayaran. Landasan hukum tersebut berguna untuk semua pihak yang terlibat dalam pelayaran.
Seperti pada penjelasan sebelumnya mengenai peran pemerintah yang diberikan amanah oleh UU Pelayaran untuk melakukan pembinaan yang meliputi pengaturan penetapan kebijakan publik serta teknis yang minimal mencakup: dasar, patokan, kriteria, skema, tahapan, syarat keselamatan serta keamanan pelayaran, izin berusaha, kontrol, pemberian petunjuk, penataran, sertifikasi, serta sumbangan teknis di bidang pembangunan agar selaras dengan ketetapan aturan
termasuk melaksanakan inspeksi, pengamatan, dan uji petik, yang terakhir yaitu penegakan hukum, (pasal 2 ayat (1) sampai dengan (5) PP 31/2021), sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Pelayaran pasal 5 sebagaimana sudah dirubah oleh pasal 57 angka 1 UU Cipta Kerja. Pengaturan tentang pelayaran untuk perlindungan kepentingan umum yaitu:
-
a) Keselamatan serta Keamanan Pelayaran diantaranya:
-
(1) Keselamatan serta keamanan transportasi di perairan Pasal 117 UU Pelayaran.
-
(2) Keselamatan dan Keamanan Pelabuhan meliputi pembangunan serta pelaksanaan pelabuhan yang berpedoman pada keselamatan serta keamanan kapal di pelabuhan, bongkar muat produk, serta pengangkutan penumpang naik turun. Pasal 120 UU Pelayaran.
-
(3) Penjagaan wilayah maritime yaitu terealisasinya tahapan pembatasan pencemaran pasal 123 UU Pelayaran.
Kelancaran serta keselamatan kapal menjadi pertimbangan yang sangat esensial, sebagaimana tertuang dalam UU Pelayaran. Nakhoda adalah pemimpin di kapal yang merepresentasikan otoritas penegak hukum serta bertanggung jawab terhadap keselamatan, ketertiban kapal, pengiriman, dan kargo. Seorang nakhoda juga harus menunaikan kualifikasi untuk pelatihan, sekolah, dan dinyatakan sehat selama prosedur.
Nakhoda juga memiliki wewenang untuk melakukan tindakan demi kepentingan terbaik kapal, menentukan tahapan apa saja yang dibutuhkan guna menyelesaikan penyelamatan, seperti mengikuti rute pengalihan yang telah dipilih dan menunaikan kegiatan lain yang diperlukan yang akan dilakukan guna melakukan penyelamatan. Menurut pasal 40 UU Pelayaran, terhadap keselamatan serta keamanan orang dan/atau produk yang dibawa, penanggung jawab adalah perusahaan angkutan air. Pasal 41 UU Pelayaran, pengangkut bertanggung jawab atas kehancuran, kehilangan, dan kerusakan produk selama pemrosesan pengangkutan dan pelayaran yang dikenakan biaya.
Kewajiban tersebut mencakup apa saja mulai dari kematian penumpang hingga kehancuran dan kehilangan barang, serta penundaan dan kerugian pihak ketiga. Jika korporasi bisa menunjukkan bahwa peristiwa yang diuraikan diatas bukanlah tanggung jawabnya, maka perusahaan akan bebas dari tuntutan apapun. Selanjutnya, sesuai dengan standar Undang Undang, korporasi harus mengasuransikan barang dan penumpang yang ditunjuk ke otoritas pihak yang ditunjuk.
Berdasarkan argumentasi diatas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban pengangkut yang dimaksud pasal 41 ayat (1) UU Pelayaran timbul dari pengoperasian kapal, dan oleh karena itu pengangkut juga wajib mengasuransikan. Bilamana pengangkut belum memenuhi ketetapan pasal 41 ayat (3) UU Pelayaran, maka sanksinya diatur dalam pasal 292 UU Pelayaran, sebagaimana telah rubah dengan pasal 57 angka 52 UU Cipta Kerja: “Barangsiapa lalai menanggung tanggung jawab dan merugikan pihak lain, dihukum penjara maksimal 6 bulan serta denda Rp. 100.000.000.” Persyaratan umum lainnya terkait tanggung jawab pengangkut dapat ditemukan pada pasal 468 KUHD yaitu: pengangkut bertanggung jawab
menanggung kerugian sebab tidak menyerahkan sebagian maupun seluruhnya produk yang diangkutnya sebab terdapat kecacatan, kecuali pengangkut dapat menunjukkan bahwa kejadian itu diluar kemampuannya, atau sebab kelalaian pengirim. Selanjutnya, 477 KUHD juga menentukan pengangkut mesti menanggung terhadap kerugian yang disebabkan oleh lambatnya pelimpahan produk yang dibawanya, kecuali keterlambatan itu ditimbulkan oleh suatu bencana yang tak terkira yang tidak bisa dicegah.
Kewajiban pengangkut juga terletak pada tanggung jawabnya yang diatur The Hague Rules 1924 article 1 (2), saat produk dibawa hingga saat dikeluarkan. Menurut article 4 Hamburg Rules 1978, kewajiban pengangkut untuk bertanggung jawab dimulai pada saat di pelabuhan pemberangkatan, serta berlanjut hingga produk dibongkar di pelabuhan pembongkaran. Jika terbukti bahwa kejadian itu bukan disebabkan olehnya, pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab. Hal itu sangat digaris bawahi oleh hukum positif Indonesia dan Hamburg Rules of 1978.
Keberadaan kerangka kapal di perairan Indonesia merupakan ancaman bagi kehidupan manusia, harta benda, dan lingkungan maritim. Akibatnya, semua anggota komunitas laut dapat bersinergi untuk memastikan bahwa kerangka kapal dapat dibongkar dengan cepat dan efektif. Peristiwa terjadinya kecelakaan kapal di laut yang mengakibatkan karamnya kapal dapat mengakibatkan kerugian dan terganggunya lalu lintas di perairan. Pemindahan lambung kapal dalam pasal 203 UU Pelayaran yaitu 180 hari kalender setelah kapal karam, pemilik kapal mesti membuang lambung kapal dan/atau muatannya yang membahayakan alur pelayaran. Kemudian pemilik kapal bertanggung jawab guna menjaminkan kapalnya dengan asuransi penyingkiran lambung kapal. Hal ini diperlukan agar kerangka kapal dapat ditangani dengan segera dan tepat jika terjadi kecelakaan kapal di kemudian hari.
Diantara pihak yang mengangkut produk melalui laut, ada banyak pihak yang terkait serta berperan pada proses tersebut, termasuk pengangkut, pengirim, penerima barang, serta pemerintah sebagai pembina dalam pelayaran. Perlu dicatat bahwa para pihak telah mencapai kesepakatan tentang pengangkutan produk melalui laut, baik kesepatakan yang lahir karena Undang Undang yang mewajibkan maupun kesepakatan yang lahir dari perjanjian. Semua pihak yang terlibat wajib mematuhi segala peraturan terkait dengan pelayaran terutama kewajiban yang terkait dengan perlindungan kepentingan umum.
-
3.2 Tanggung Jawab Beban Risiko Pemilik Kapal Atas Penyingkiran Badan Kapal yang Karam di Laut
Dalam pengangkutan laut terdapat beberapa pihak yang terlibat, baik subjek hukum yang mendukung hak dan kewajiban yang bersifat privat atau keperdataan maupun subjek hukum lain yang mempunyai peran sebagai pembina dalam jasa angkutan laut sebagai pengatur dalam kepentingan hukum yang bersifat publib yaitu pemerintah.
Antara pengangkut, pengirim dan pihak ketiga yang mempunyai kepentingan, mereka terikat dengan hubungan hukum keperdataan tentang pengangkutan laut. Janji pengangkutan pada prinsipnya merupakan ikatan timbal balik dengan kedudukan setara diantara keduanya. Maka dari itu dalam melakukan tugasnya para pihak dihadapkan kepada segala kemungkinan atau ketidakjelasan yang bisa mengakibatkan kerugian atau keuntungan. Ketidakjelasan tersebut diistilahkan sebagai risiko.25 Menurut Herman Darmawi risiko sebagai peluang dari peristiwa yang tidak terduga dengan mengarah pada munculnya kerugian.26 Demikian pula Kasidi berpendapat bahwa risiko merupakan dugaan terjadinya ketidaksesuaian harapan yang bisa mengakibatkan kerugian.27
Kategori risiko dalam pengangkutan laut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
-
a) Risiko murni dan spekulatif
Kondisi dimana satu-satunya hasil potensial adalah kerugian atau tidak ada kerugian. Seperti kematian dini, kecelakaan kerja, biaya pengobatan yang tinggi, dan kerusakan harta yang bernilai akibat kebakaran, luapan air bah, dan longsor. Risiko spekulatif sebagai risiko dengan dua hasil: keuntungan atau kerugian,28 misalnya kegiatan bisnis berupa pembelian modal, tabungan emas, dan fluktuasi suku bunga bank.
-
b) Risiko fundamental serta khusus29
Merupakan risiko yang berdampak pada semua sektor ekonomi atau mayoritas orang serta kelompok dalam kehidupan, seperti inflasi yang tinggi, pengangguran, atau konflik, sebab berdampak pada banyak orang. Bencana alam menimbulkan risiko serius. Pencurian mobil, perampokan, serta kebakaran perumahan adalah contoh risiko khusus yang hanya merugikan individu dan bukan semua kalangan.
-
c) Risiko individu
Mempengaruhi secara langsung kepada individu, seperti kerugian total atau pendapatan yang berkurang, pengeluaran yang berlebihan, dan pembiayaan penipisan modal.
-
d) Risiko harta benda
Pemilik properti menghadapi bahaya kehilangan atau kerusakan pada harta bendanya karena berbagai faktor. Kebakaran, angin puting beliung, dan bencana alam lainnya dapat merusak atau menghancurkan harta pribadi. Kerugian langsung dan kerugian tidak langsung adalah dua bentuk dasar kerugian yang terkait dengan perusakan atau pencurian properti.
-
e) Risiko operasional adalah risiko yang secara umum berasal dari problem dalam korporasi, bisa jadi karena lalainya cara pengawasan internal perusahaan.30 Menurut Djohanputro sebab belum berjalannya suatu proses seperti human error serta sebab eksternal lainnya.31 Human error didefinisikan sebagai kesalahan yang dihasilkan oleh pelaksanaan tugas yang seharusnya tidak dilakukan untuk menyebabkan gangguan, atau kerusakan pada peralatan serta perlengkapan;32
-
f) Risiko pertanggung jawaban33 merupakan jenis kunci lain dari risiko untuk dipertimbangkan. Ketika melaksanakan kegiatan yang menyebabkan cidera tubuh atau kerusakan benda, dapat ditahan menurut hukum dibawah sistem yang sah. Undang-Undang mungkin memaksa untuk membayar sejumlah besar uang kepada seseorang yang telah dirugikan.
Untuk mengendalikan risiko tersebut dibutuhkan metode yang sistematis dalam menghindari atau membatasi kerugian melalui manajemen risiko. Upaya guna memahami, menelaah, dan mengendalikan risiko dalam setiap operasi dengan maksud meningkatkan efektivitas dan efisiensi.34 Sedangkan Ferry N. Indroes pengendalian risiko merupakan strategi untuk menemukan, mengkuantifikasi, menetapkan sikap, solusi, serta memantau dan melaporkan risiko yang terjadi pada tiap kegiatan yang rasional dan sistematis.35 Secara umum manajemen risiko dimanfaatkan guna meramalkan ancaman yang akan dihadapi dengan menggunakan kalkulasi yang tepat dan pemeriksaan yang cermat terhadap berbagai data awal guna menghindari kerugian. Beberapa cara yang diperlukan untuk mengendalikan risiko diantarannya:
-
a) Risk retention merupakan risiko yang ditanggung sendiri;
-
b) Risk sharing adalah berbagi risiko dimana ditetapkan prinsip kerjasama atau proteksi saling bertanggungjawab;
-
c) Risk tranfer yaitu mengalihkan risiko ke pihak lain.
Hakikatnya risiko sebagai suatu keadaan dimana para pihak diharuskan menanggung kerugian sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing.36 Pengangkut memliki berbagai risiko dalam penyelenggaraan jasa angkutan laut
baik risiko murni yang diakbatnya oleh bencana alam, risiko akibat persaingan usaha, risiko operasional dalam pelayaran serta risiko dinamis lainnya seperti faktor financial perusahaan pengangkutan itu sendiri.
Dalam penyelengaraan pelayaran, para pihak dihadapkan oleh berbagai risiko berdasarkan peraturan perundang undangan diantaranya:
-
a) Pemilik Kapal
-
(1) Pasal 321 KUHD, pemilik kapal berisiko terhadap perbuatan oleh pekerja kapal terhadap kerugian pihak ketiga atas perbuatannya;
-
(2) Pasal 468 KUHD, risiko guna menanggung kerugian sebab belum menyerahkan produk baik seluruhnya maupun sebagian atau rusaknya produk;
-
(3) Pasal 469 KUHD, risiko keamanan dari perbuatan pencurian terhadap barang berharga yang diangkutnya;
-
(4) Pasal 477 KUHD, risiko atas kerugian karena keterlambatan penyerahan barang;
-
(5) Pasal 480 KUHD, risiko untuk mengirimkan barang melalui kapal tongkang atau perahu jika kapal tidak dapat bersandar karena kondisi yang tidak memungkinkan;
-
(6) Pasal 38 ayat (1) terkait aspek pelayaran dalam UU Pelayaran, korporasi transportasi mempunyai risiko terhadap barang yang lalai untuk diangkutnya yang telah disepakati dalam perjanjian;
-
(7) Pasal 40 ayat (1), (2), serta pasal 41 ayat (1) dan (3), terkait aspek pelayaran pada UU Pelayaran menyebutkan bahwa korporasi transportasi berisiko terhadap keselamatan dan keamanan yang meliputi musnah, hilang atau rusaknya serta jenis dan jumlah barang yang diangkutnya sesuai dengan dokumen muatan atau perjanjian angkutan yang disepakati. Kemudian perusahaan angkutan berisiko untuk membayarkan asuransi atas kejadian tersebut.
-
(8) Pasal 203 ayat (3) UU Pelayaran, pemilik kapal berisiko guna menyingkirkan lambung kapalnya yang tenggelam, serta mengganti biaya atas penyingkiran kerangka kapal yang dilakukan oleh pemerintah dan kerugian bagi pihak ketiga jika terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh kerangka kapalnya;
-
(9) Pasal 320 dan 321 UU Pelayaran, pemilik kapal berisiko dikenakan sanksi pidana jika tidak melaporkan dan menyingkirkan keberadaan kerangka kapalnya diperairan;
-
(10) Pasal 231 UU Pelayaran, risiko atas pencemaran lingkungan laut yang berasal dari kapal.
-
b) Nakhoda
-
(1) Pasal 342 KUHD, nakhoda mempunyai risiko atas tindakannya sendiri berdasarkan kesengajaan atau kesalahannya kepada orang lain;
-
(2) Pasal 343 KUHD, risiko atas keamanan angkutannya selama berlayar yang tidak memenuhi persyaratan pelayaran;
-
(3) Pasal 371 ayat (1) KUHD, risiko atas kepentingan mereka yang berhak atas muatan selama perjalanan;
-
(4) Pasal 137 ayat (4) UU Pelayaran, risiko ketidak sesuaian muatan dengan dokumen muatan;
-
(5) Pasal 230 UU Pelayaran, risiko atas pencemaran yang berasal dari kapal atau kegiatannya.
-
c) Anak Buah Kapal
-
(1) Pasal 128 UU Pelayaran, risiko jika tidak menginformasikan pada petugasinspeksi keselamatan kapal, terkait kondisi kapalnya yang belum menunaikan persyaratan keselamatan kapal;
-
(2) Pasal 227 UU Pelayaran, risiko terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapal.
-
d) Pengirim
-
(1) Risiko atas kebenaran data yang diberikan kepada pengangkut tentang spesifikasi barang;
-
(2) Risiko keterlambatan barang;
-
(3) Risiko rusak atau cacatnya barang yang dikirim;
-
(4) Serta risiko murni seperti bencana alam, perang, dan pandemi.
-
e) Pihak ketiga yang mempunyai kepentingan, diantaranya:
-
(1) Risiko keterlambatan penerimaan produk;
-
(2) Risiko rusak atau cacatnya produk;
-
(3) Risiko hilangnya barang karena pencurian;
-
(4) Serta risiko murni yang terjadi karena benacana alam dan non alam.
Dengan adanya ketidakpastian tersebut yang dapat saja terjadi diantara para pihak, maka perlu untuk menentukan pembagian beban risiko berdasarkan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh UU Pelayaran, KUHD serta peraturan-peraturan lain yang terkait dengan cara pengendalian risiko, risk retention, risk sharing maupun risk transfer.
Pengangkut dapat dibebani dengan risiko yang ditanggung sendiri apabila kewajiban yang harus ditanggungnya telah dinyatakan secara tegas dalam ketentuan Undang-Undang, seperti yang penulis uraikan diatas tentang risiko-risiko pengangkut. Risiko tersebut dapat dihindari oleh pengangkut bilamana terjadi bukan atas kesalahan yang dilakukan oleh pengangkut. Dalam rumusan pasal 41 ayat (2) UU Pelayaran maupun penjelasannya tidak ditemukan secara rinci terkait hal apa saja yang termasuk kesalahan yang bukan disebabkan oleh pengangkut, sehingga membebaskannya dari risiko kehancuran, kehilangan, dan kerusakan barang selama pemerosesan pengangkutan dan pelayaran mulai dari kematian penumpang hingga penundaan dan kerugian pihak ketiga. Penulis dapat simpulkan bahwa yang bukan kesalahan pengangkut meliputi, keadaan kahar (force majeure) jika tidak ditentukan dalam perjanjian pengangkutan, dimana pasal 1245 KUHPerdata yang menentukan penanggungan ongkos kerugian dan bunga bisa dimaafkan jika terjadi suatu kedaan memaksa. Berikutnya adalah karena perbuatan pengirim sendiri, atau perbuatan pihak ketiga yang tidak disebabkan oleh operasional kapal.
Pengirim juga dapat dibebani dengan risiko yang ditanggung sendiri apabila terdapat kesalahan tentang kebenaran data yang diberikan kepada pengangkut tentang spesifikasi barang, hal ini mengakibatkan pengangkut tidak dapat menangung risiko atas kerusakan atau cacatnya barang tersebut. Selain itu jika terjadi peristiwa yang tidak dapat dihindari oleh pengangkut selama pelayaran karena bencana alam atau keadaan lain yang tidak mungkin dilakukan untuk
memenuhi kewajiban pengangkut kepada pengirim seperti perang, sehingga pengangkut harus mengambil keputusan untuk tidak meneruskan pelayarannya atau menepi terlebih dahulu untuk sementara waktu hingga situasi terkendali guna meneruskan perlajanan. Peritiwa bencana alam dan non alam seperti diatas juga menjadi beban risiko penerima yang harus menanggungnya sendiri. Dengan demikian kesalahan yang dilakukan sendiri oleh pengirim dan adanya keadaan yang memaksa (force majeure) pasal 1245 KUHPerdat jika tidak ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan, menjadi beban yang harus dipikul sendiri oleh pengirim dan penerima, secara tidak langsung maka berlaku asas rebus sic stantibus dimana kedaan telah berubah atau tidak sama dengan kedaan ketika awal janji tersebut disusun. Dengan kata lain, bilamana situasinya memang berubah, janji itu menjadi tidak legal lagi.
Tentang risk sharing, diantara para pihak dengan menyimpang dari norma pasal 1245 KUHPerdata yang bersifat melengkapi, para pihak dapat membatasi ruang lingkup risiko akibat keadaan memaksa (overmacht). Karena suatu kejadian yang digolongkan sebagai keadaan memaksa (overmacht) tidak serta merta mengakibatkan berakhirnya perjanjian pengangkutan. Dalam arti perjanjian pengangkutan dapat diubah apabila para pihak telah mencapai kesepakatan mengenai implikasi hukum tambahan dalam hal keadaan memaksa (overmacht). Prinsip risk sharing memang belum dikenal oleh KUHPerdata yang berlaku di Indonesia, akan tetapi bukan juga tidak dapat digunakan dalam perjanjian pengangkutan, hal ini didasarkan kepada pasal 1338 KUHPerdata dimana setiap pihak bisa mengadakan janji dengan siapapun tentang hal apapun sepanjang menunaikan syarat sahnya sebauh janji yang digariskan oleh pasal 1320 KUHPerdata dan dilaksanakan berdasarkan asas consensualisme, pacta sunt servanda, dan asas iktikad baik.
Para pihak juga dapat menggunakan pengendalian risiko dengan cara risk transfer, dimana terhadap semua risiko yang dipikul oleh pengangkut, pengirim dan penerima dapat dialihkan semua kepada pihak ketiga yang lazim disebut dengan pihak asuransi atau penanggung. Pasal 246 KUHD memberikan definisi bahwa pihak asuransi juga dikenal sebagai pertanggungan, adalah kontrak dimana perusahaan asuransi berkomitmen kepada orang yang diasuransikan dengan memberikan kompensasi kepadanya atas kerugian, kerusakan, atau kehilangan yang diproyeksikan yang bisa jadi timbul sebagai akibat dari insiden yang tidak terduga. Dengan cara risk transfer ini pengangkut yang mengikatkan diri dalam perjanjian dengan pihak asuransi juga dapat meminta janji untuk pihak pengirim atau penerima derden-beding, dimana dalam janji untuk pihak pengirim atau penerima ini pengangkut menjanjian hak-hak untuk mereka. Dalam ikatan hukum ini pengangkut dinamakan sebagai stipulator dan pihak asuransi dinamakan sebagai promissor.
Pasal 1317 KUHPerdata mengatur terkait perjanjian guna kepentingan pihak ketiga (pengirim atau penerima barang), yang memperbolehkan seseorang untuk membuat janji yang menguntungkan pihak ketiga tersebut. Hak pengirim atau penerima yaitu dapat dianggap sebagai suatu beban yang dipikulkan kepada pihak asuransi.
-
2) Tanggung Jawab Pemilik Kapal atas Penyingkiran Badan Kapal yang Karam Karena Risiko Pengangkutan Laut
Setiap kegiatan pengangkutan laut tidak terlepas dari berbagai kemungkinan. Kemungkinan tersebut bisa saja menguntungkan atau merugikan, keadaan yang belum pasti merupakan salah satu dari bentuk risiko. Jika risiko itu benar-benar terjadi dan menimbulkan kerugian pada pihak lain, maka mesti ada yang mempertanggung jawabkannya. Ada beberapa risiko yang dihadapi oleh para pihak seperti keselamatan, keamanan, keterlambatan, kerusakan atau bahkan musnahnya suatu barang yang diangkut oleh perusahaan pelayaran. Risiko tersebut dapat saja terjadi apabila terjadi salah satu risiko yang mungkin akan terjadi yaitu karamnya kapal selama perjalanan pelayaran.
Karamnya kapal selama pelayaran tidak saja mengakibatkan hilangnya sebuah barang, akan tetapi seluruh isi muatan yang diangkut oleh kapal juga akan terdampak. Dalam hal ini pemilik kapal merupakan pihak yang dapat dimintai pertanggung jawabannya atas kejadian tersebut. Kesadaran pemilik kapal akan kejadian atau tindakan yang disengaja atau tidak disengaja terhadap risiko kapalnya selama berlayar dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab. Bertindak sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban seorang pemilik kapal juga merupakan bentuk tanggung jawab.
Hans Kelsen berpendapat teori tanggung jawab terbagi pada beberapa bagian diantaranya:37
-
a) Tanggung jawab individu berarti bahwa tiap individu menanggung kesalahannya sendiri;
-
b) Pertanggungjawaban individu atas pelanggaran yang dikerjakan oleh orang lain dikenal sebagai tanggung jawab kolektif;
-
c) Kewajiban sesuai kekeliruan, yang menunjukkan bahwa tiap orang bertanggung jawab atas penyimpangan yang disengaja yang dikerjakan dengan maksud untuk merugikan orang lain;
-
d) Tanggung jawab mutlak, yang menunjukkan bahwa seseorang menanggung beban risiko terhadap penyimpangan yang dikerjakan oleh sebab kecelakaan dan keadaan yang tidak terduga.
Abdulkadir Muhammad menegaskan tanggung jawab dalam tindakan melanggar hukum diantaranya:38
-
a) Untuk bisa dimintai pertanggungjawaban terhadap tindakan melanggar aturan yang dikerjakan dengan sengaja (internal tort responsibility);
-
b) Tanggung jawab terhadap tindakan melanggar aturan yang dikerjakan sebab kecerobohan disandarkan pada konsep culpability yang bertalian dengan campuran moralitas dan hukum;
-
c) Secara mutlak memikul tanggung jawab sebagai akibat yang timbul karena melanggar aturan tanpa mempermasalahkan kekeliruan, berdasarkan perbuatannya, baik sengaja ataupun lalai.
Konsep tanggung jawab hukum yaitu hak dan kewajiban terkait erat. Menurut kepercayaan populer, hak seseorang selalu terkait dengan kewajiban orang lain. Bahwa seseorang secara hukum bertanggung jawab atas kegiatan tertentu. Dalam janji pengangkutan laut ada beberapa hak dan kewajiban diantara pihak yang menyelenggarakannya. Khusus terkait tanggung jawab pemilik kapal diantaranya mengganti kerugian yang ditimbulkan karena kelalaian maupun atas tindakan awak kapal, kecuali bisa menunjukkan bahwa kejadian itu diluar kemampuannya, atau sebab kelalaian pengirim. Hal ini berdasarkan ketentuan KUHD dan UU Pelayaran seperti yang telah diuraikan oleh penulis diatas tentang hak serta kewajiban pada janji angkutan.
Selain tanggung jawab pemilik kapal terhadap beberapa kejadian diatas, terdapat tanggung jawab pemilik kapal guna menyingkirkan badan kapalnya yang karam di perairan. Pertanggung jawaban tersebut diwajibkan oleh UU Pelayaran berdasarkan pasal 203, dimana pemilik kapal harus menyingkirkan badan kapalnya yang karam, serta melaksanakan ganti rugi terhadap pihak ketiga yang diakibatkan oleh tidak disingkirkannya badan kapal tersebut. Oleh karena itu kemudian dalam pasal yang sama 203 pada ayat (5), UU Pelayaran mewajibkan untuk mengasuransikan penyingkiran badan kapal. Selain itu juga terdapat ancaman pidana kepada pemilik kapal yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 203 UU Pelayaran yaitu penjara selama 1 tahun ditambah denda maksimal 10 milliar rupiah, sesuai pasal 57 angka 66 UU Cipta Kerja, atas perubahan pasal 321 UU Pelayaran.
Berdasarkan Konvensi Internasional Nairobi tahun 2007, lambung kapal jika tidak disingkirkan dapat menimbulkan risiko terhadap navigasi komersial atau lingkungan laut.
-
a) Pasal 10 Konvensi Internasional Nairobi
Pertangunggjawaban pemilik terhadap biaya untuk penentuan wilayah, penanda dan penyingkiran badan kapal;
-
b) Pasal 12 Konvensi Internasional Nairobi
Kewajiban mengasuransikan atau memberikan jaminan keuangan atas penyingkiran badan kapal.
Indonesia telah meratifikasi melalui Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2020, pada 20 Juli 2020. Konvensi Internasional Nairobi bertujuan untuk mengembangkan keselamatan maritim, khususnya yang berkaitan dengan kerangka kapal. Mengatasi kemungkinan ancaman yang disebabkan oleh lambung kapal, yang membahayakan keselamatan kapal dan wilayah maritim, serta memberikan kejelasan hukum untuk alokasi kewajiban dan kompensasi untuk pembongkaran lambung kapal. Setelah mengadopsi konvensi tersebut Indonesia akan dapat menerapkan ketentuan konvensi di perairan teritorialnya.
Konvensi ini juga mewajibkan pemilik kapal guna mencari, member tanda, dan menaikkan kerangka kapal yang berbahaya, serta mengharuskan pemilik kapal guna mendapatkan sertifikasi asuransi negara atau jenis jaminan lain guna stabilitas keuangan perusahaan kapal. Selain itu pasal 13 ayat (1) Permenhub Nomor PM. 71 Tahun 2013 terkait Pekerjaan Penyelamatan dan/atau Kegiatan di Dasar Air yang
dirubah melalui Permenhub No. 38 Tahun 2008, ditegaskan kembali bahwa pemilik kapal mesti mengangkut lambung kapal dan/atau muatannya ke tempat lain. Tindakan penyelamatan yang dapat dilakukan oleh pemilik kapal secara jelas diatur dalam Permenhub No. 38 Tahun 2018. Pemilik kapal juga dapat menyewa perusahaan penyelamat guna mengangkat dan memindahkan muatan kapal atau hal lain yang bisa mengancam keselamatan pelayaran.
Letak Indonesia yang strategis, menyebabkan zona perairan ini rawan terhadap kecelakaan pelayaran yang mencemari wilayah laut serta membahayakan pelayaran. Terdapatnya lambung kapal yang karam merupakan tanggung jawab pemilik kapal. Sebagai contoh kecelakaan kapal KM Patar milik PT. Kanaka Line, dan berakhir dengan karamnya kapal di perairan Merauke, Papua pada tahun 2014,39 disusul pada tahun 2020, tenggelam KM. Dharma Rucitra Tiga di pelabuhan Padangbai Karangasem Bali.40
Berkenaan dengan itu, upaya pemindahan lambung kapal yang karam di laut mesti dilaksanakan sesegera mungkin sebab bisa mengakibatkan masalah lebih lanjut yang membahayakan keselamatan dan keamanan laut. Kerangka kapal yang mengalami kecelakaan dan tenggelam merupakan tanggung jawab pemilik kapal baik atas maupun ganti kerugiannya. Untuk itu persyaratan keharusan menjaminkan pemindahan lambung kapal harus dipenuhi oleh pemilik kapal. Tentunya asuransi kapal ini akan melindungi pemilik kapal, terutama jika terjadi tragedi yang menyebabkan kapal karam, dalam hal ini penanggung akan menanggung biaya pemindahan kerangka kapal. Hal ini sesuai dengan UU Pelayaran, Konvensi Internasional Nairobi, Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2020, dan Permenhub No. 38 Tahun 2008.
Berdasarkan teori Hans Kelsen dan Abdulkadir Muhammad, Pemilik kapal bertanggung jawab secara individu kepada pemerintah untuk mengasuransikan penyingkiran kerangka kapalnya, tanggung jawab ini ada karena regulasi pemerintah yang mengharuskan kapal guna mengasuransikan kapalnya atas penyingkiran kerangka kapal yang karam akibat kecelakaan dalam pelayaran di laut Indonesia, termasuk juga tanggung jawab kepada publik atas keselamatan dan keamanan selama berlayar di laut Indonesia, sedangkan tanggung jawab pemilik kapal kepada pihak pengirim merupakan bentuk tanggung jawab secara kolektif jika kesalahan dilakukan oleh nakhoda maupun anak buah kapal yang mengakibatkan barang yang dikirim barang tidak dapat diserahkan semua atau sebagian, atau sebab produk itu rusak, cacat, atau karena kelalaian pengirim (pasal 468 ayat (1) KUHD), sedangkan tanggung jawab pemilik kapal kepada semua pihak jika pemilik kapal tidak menjaminkan kapalnya dengan penyingkiran lambung kapal yang karam karena kecelakaan dalam pelayaran di laut Indonesia merupakan tanggung jawab mutlak sebab melanggar hukum tanpa mempermasalahkan kekeliruan, berdasarkan perbuatannya, baik disengaja ataupun tidak disengaja. Pemilik kapal bertanggung jawab atas pelaksanaan suatu aturan, memulihkan atau
39
40
menanggung kerugian atas kerusakan terhadap yang telah ditimbulkan dan pertanggung jawaban atas hal-hal yang riil atau potensial contoh kerugian, biaya atau beban risiko.
Terbentuknya ikatan hukum dalam penyelenggaraan angkutan melalui laut terdiri dari beberapa pihak. Semua pihak yang terlibat mempunyai peran, hak dan kewajibannya masing-masing. Terdapat dua sifat hubungan hukum dalam pengangkutan laut. Pertama bersifat privat atau perdata merupakan pondasi norma untuk pihak pada janji angkutan, yaitu:
-
a. Para pihak pada perjanjian angkutan;
-
b. Pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dengan angkutan.
Dalam hubungan hukum ini dapat timbul sebab kesepakatan diantara para pihak yang menyusun suatu janji pengangkutan melalui laut.
Kedua bersifat umum atau publik merupakan pondasi norma bagi seluruh komponen
-
a. Pihak dalam angkutan:
-
b. Pihak lain yang mempunyai terkaitan kepentingan dengan angkutan; c. Pemerintah
Semua komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan angkutan laut akan terikat berdasarkan hukum yang menyangkut kepentingan umum.
Pembagian beban risiko dapat dilakukan melalui risk retention yang merupakan pertanggungan risiko sendiri. Risk sharing adalah berbagi risiko dimana ditetapkan prinsip kerjasama atau proteksi saling bertanggungjawab. Risk tranfer yaitu mengalihkan risiko ke pihak lain. Bagi pemilik kapal yang tidak mengalihkan tanggung jawabnya atas penyingkiran badan kapal yang karam akibat kecelakaan dalam pelayaran di laut Indonesia dapat dimintai pertanggung jawaban secara mutlak akibat melanggar hukum berdasarkan beban risiko yang ditanggung sendiri (risk retention).
Daftar Pustaka
Buku
Bramantyo D., (2008). Manajemen Risiko Korporat. Jakarta: Penerbit PPM.
Darmawi H., (2006). Manajemen Risiko. Jakarta: Bumi Aksara.
Fahmi I., (2016). Manajemen Risiko (Teori, Kasus dan Solusi). Bandung: Alfabeta.
Indroes F. N., (2008). Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Kasidi., (2010). Manajemen Risiko. Bogor: Ghalia Indonesia.
Kelsen H., (2006). Teori Hukum Murni terjemahan Raisul Mutaqien. Bandung: Nuansa & Nusa Media.
Muhammad A., (1991). Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Muhammad A., (2010). Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Panggabean H.P., (2012). Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit Perbankan. Bandung: PT. Alumni.
Purba H., (2005). Hukum Pengangkutan Di Laut Prespektif Teori Dan Praktek. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Purwosutjipto H.M.N.., (2003). Pengertian Pokok Hukum Dagang, Buku 3 Hukum
Pengangkutan. Jakarta: Djambatan.
Salim A., (1998). Asuransi dan Manajemen Resiko. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soekardono R.., (1984). Hukum Dagang Indonesia Jilid II. Cetakan 3. Jakarta: Raja wali pres.
Soeroso R., (2011). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti., (1995). Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya.
Subekti., (1991). Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa.
Jurnal
Anantyo S., & Susetyo H., Budiharto., (2012). Pengangkutan Melalui Laut. Jurnal Diponegoro Law Review. 1 (4). p. 1-7. http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr.
Andrizal., & Pasalbessy J. D., Anwar A. (2021). Aspek Interoperabilitas Antara Lantamal IX Dengan Kamla Zona Bahari Timur Dalam Penegakan Hukum Di Laut Maluku Ditinjau Dari Perspektif Harmonisasi Hukum. PAMALI: Pattimura Magister Law Review. 1 (2). p. 121-146. DOI: 10.47268/pamali.v1i2.621.
Basri A. H., & Rumawi., (2021). Perjanjian Jual Beli Dengan Sistem Angsuran dan Eksekusi Jaminan Fidusia setelah putusan Mahkamah Konstitusi. Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum. 9 (10). p. 1830-1839. DOI:
https://doi.org/10.24843/KS.2021.v09.i10.p09.
Hatta M., & Mochtar D. A., Ghufron M. AZ., (2021). Prinsip Tanggung Jawab Pengangkutan Pada Pengangkutan Laut di Indonesia. Bhirawa Law Journal. 2 (1). p. 142-148. DOI: https://doi.org/10.26905/blj.v2i1.5853.
Jabalnur., (2018). Tanggung Jawab Pengangkut dan Pengawas Pelayaran Pada Pelayaran Rakyat. Jurnal Halu Oleo Law Review. 2(2). p. 545-555. DOI:
http://dx.doi.org/10.33561/holrev.v2i2.
Jamil N. K., & Rumawi., (2020). Implikasi Asas Pacta Sunt Servanda Pada Keadaan Memaksa (Force Majeure) dalam Hukum Perjanjian Indonesia. Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum. 8 (7). p. 1044-1054. https://ojs.unud.ac.id/index.php
/kerthasemaya/article/view/59799.
Jamil, N. K., Basri, A. H., & Sutopo, U. (2022). Kepastian Hukum Memorandum Of Understanding (Mou) Pada Kondisi Pandemi Covid-19 Dalam Hukum Perjanjian Indonesia. Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan, 7(02), 189–201.
https://doi.org/https://doi.org/10.24843/AC.2022.v07.i02.p2.
Kasih D. P. D., & Utami P. D. Y., (2021). Standard Contract on Banking Sector: Regulation and Description in Internal Banking Regulations. Jurnal Magister Hukum Udayana. 10 (2). p. 251-264. DOI:10.24843/JMHU.2021.v10.i02.p05.
Khilbran M. & Sakti W. I., (2019). Indentifikasi Faktor Risiko Human Error Dalam Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia di Perusahaan Jasa Kontruksi. Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. 3 (1). p. 45-56. DOI: http://dx.doi.org/10.24912/jmstkik.v3i1.2210.
Sierrad M. Z., 7 Lisdiyono E., (2021). Rekonseptualisasi Perjanjian Jual Beli Putus Terkait Klaim Pengarang Terhadap Pemberlakuan Klausula Non Use. Widya Pranata Hukum: Jurnal Kajian dan Penetilian Hukum 3 (1). p. 38-61. DOI:
https://doi.org/10.37631/widyapranata.v3i1.269.
Sulaeman N. & Widyantoro A., (2018). Tanggung Jawab Konsorsium Asuransi
Penyingkiran Kerangka Kapal. Jurnal Notaire. 1 (2). p. 323-340. DOI:
10.20473/ntr.v1i2.10954.
Utomo H., (2017). Siapa Yang Bertanggung Jawab Menurut Hukum Dalam Kecelakaan Kapal. Jurnal Legislasi Indonesia. 14 (1) p. 57-76.
Tesis
Yusran Y., (2019). Prinsip Pembagian Beban Risiko Overmacht Dalam Kontrak. Universitas Airlangga.
Internet
https://hubla.dephub.go.id/home/post/read/9153/kemenhub-ingatkan-pemilik-kapal-patuhi-aturan-tentang-penyingkiran-kerangka-kapal. (Diakses tanggal 1 maret 2022).
http://dephub.go.id/post/read/kemenhub-wajibkan-pemilik-angkat-kerangka-kapal-yang-tenggelam. (Diakses tanggal 1 maret 2022).
http://Dephub.Go.Id/Post/Read/Kemenhub-Wajibkan-Pemilik-Angkat-Kerangka-Kapal-Yang-Karam (Diakses tanggal 12 Januari 2022).
Soekarto,. Risiko dalam Kehidupan Masyarakat. p. 1.10. http://repository.ut.ac.id /3813/2/ADBI4211-M1.pdf. (Diakses tanggal 21 April 2022).
Peraturan Perundang Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 terkait Pelayaran;
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 terkait Kenavigasian;
Peraturan Presiden Nomor 80 tahun 2020 terkait Pengesahan Nairobi International Convention On The Removal Of Wrecks, 2007;
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 38 Tahun 2018 terkait perubahan kedua atas PM 71 Tahun 2013 terkait Salvage dan/atau Pekerjaan Bawah Air.
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 1 April 2023, h. 35-63
Discussion and feedback