Kelemahan Dalam Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak Era Digital: Perspektif Rational Choice Theory

Nurafni,1 Topo Santoso2

1Fakultas Hukum Universitas Indonesia, E-mail: [email protected]

2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 14 Maret 2022

Diterima : 7 April 2022 Terbit : 27 April 2022

Keywords :

Child Sexual Exploitation, Weaknesses of Prevention, Rational Choice Theory


Kata kunci:

Eksploitasi Seksual Anak, Kelemahan Pencegahan, Rational Choice Theory

Corresponding Author:

Nurafni, E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/KP.2022.v44.i01.p.05


Abstract

Sexual exploitation of children is a very serious problem and is not a problem that has emerged recently. The Indonesian government has long tried to minimize the increase in the types of crimes that attack children's future, such as by issuing several policies. However, day by day this crime takes more and more victims. This is because criminals carry out their actions with a plan and based on their rational choices. Therefore, this research intends to seriously examine the objective conditions of sexual exploitation of children in the digital era and the weaknesses of its prevention from the perspective of rational choice theory. With the aim of finding better ways to prevent child sexual exploitation. This research is a normative legal research that also involves socio-legal research, namely in addition to studying the norms contained in legislation, it also examines other social sciences, in this case criminology obtained from books, interviews, and other scientific works. So that this study uses secondary data consisting of primary, secondary and tertiary legal materials and analyzed qualitatively and presented analytically descriptive. The results of this study obtained a detailed and systematic description of the condition of child sexual exploitation and the weaknesses of its prevention seen from the perspective of rational choice theory in the digital era in Indonesia.

Abstrak

Eksploitasi seksual anak merupakan masalah yang sangat serius dan bukan masalah yang baru muncul akhir-akhir ini. Pemerintah Indonesia telah lama berupaya untuk meminimalisir peningkatan jenis kejahatan yang menyerang masa depan anak seperti dengan mengeluarkan beberapa kebijakan. Akan tetapi, semakin hari kejahatan ini memakan korban semakin banyak. Hal ini dikarenakan pelaku kejahatan melakukan aksinya dengan sebuah perencanaan dan berdasarkan pilihan rasional mereka. Sehingga penelitian ini hendak mengkaji secara serius bagaimana kondisi obyektif eksploitasi seksual anak era digital serta kelemahan pencegahannya dari perspektif rational choice theory. Dengan tujuan untuk mencari cara dalam pencegahan eksploitasi seksual anak lebih baik lagi. Penelitian ini merupakan

penelitian hukum normatif yang melibatkan juga penelitian socio-legal yakni selain mengkaji norma-norma yang berada di dalam perundang-undangan, juga mengkaji ilmu sosial lainnya yang dalam hal ini ilmu kriminologi yang diperoleh dari buku, wawancara, dan karya ilmiah lainnya. Sehingga penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier serta dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif analitis. Hasil dari penelitian ini diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis mengenai kondisi eksploitasi seksual anak dan kelemahan pencegahannya dilihat dari perspektif rational choice theory pada era digital di Indonesia.

  • 1.    Pendahuluan

Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan serta perwujudan dari masalah sosial yang selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks. Sehingga kejahatan dikatakan sebagai “sociopolitical problems”.1 Pencarian akan “faktor penyebab” orang melakukan kejahatan akan sangat membantu dalam menemukan cara yang terbaik untuk “pembinaan” si pelaku. Sehingga, dapat membantu untuk pencegahan kejahatan.2 Semakin kompleksnya kejahatan tersebut membutuhkan komitmen negara beserta alat kelengkapannya dengan didukung oleh masyarakat untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal itu juga terjadi pada kejahatan perdagangan orang.

Pasal 3 huruf a “Protocol to Prevent, Supress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, supplementing to the United Nations Convention Againts Transnational Organized CrimeProtocol” atau biasa dikenal “Palermo Convention” mendefinisikan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebagai “perekrutan, pengiriman ke suatu tempat pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan, penipuan, penganiayaan, penjualan, atau tindak penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi.”

Sedangkan Indonesia mendefinisikan perdagangan orang menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang3 (untuk selanjutnya disebut “UU TPPO”) sebagai “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.” Dari dua definisi perdagangan orang itu dapat diketahui bahwa lingkup perdagangan orang cukup luas tetapi tetap pada satu muara yakni tujuan eksploitasi.

Untuk menjalankan perdagangan orang ini, umumnya pelaku menggunakan berbagai cara atau modus seperti menjanjikan kepada pihak keluarga bahwa korban akan bekerja sebagai asisten rumah tangga, atau dipekerjakan di tempat tertentu. Pada kenyataannya mereka dijual ke tempat pelacuran. Modus lainnya adalah kawin kontrak dengan orang asing namun kemudian diculik dan dijual ke tempat-tempat pelacuran di luar negaranya.4 Oleh karenanya, tidak berlebihan bila kasus tindak pidana perdagangan orang layaknya fenomena gunung es, yakni hanya sebagian kasus yang terselesaikan padahal masih banyak kasus yang belum terungkap yang tentu menjerat korban lebih banyak.

Hadirnya UU TPPO ditujukan dalam rangka upaya pemberantasan kejahatan perdagangan orang dengan cara pencegahan, perlindungan, penindakan dan integrasi masyarakat, dengan harapan masyarakat dapat terlindungi.5 Akan tetapi, adanya undang-undang tersebut tidak menutup akses perdagangan orang. Adapun yang menjadi korban perdagangan orang tidak terbatas pada orang dewasa saja, melainkan anak dapat menjadi korban. Anak-anak perempuan jauh lebih mungkin menjadi korban perdagangan orang dibandingkan dengan laki-laki. Terkhususnya bila perdagangan orang yang merujuk pada perlacuran maupun eksploitasi seksual. Sehingga dapat dikatakan bahwa perdagangan orang merupakan fenomena dari proses feminisasi kemiskinan dan tantangan-tantangan diskriminasi jender, baik di dalam maupun di luar pasar lapangan kerja.6 Diskriminasi jender ini memperparah stigmatisasi masyarakat mengenai perempuan dan anak. Meskipun untuk beberapa kasus anak laki-laki tidak jarang juga menjadi korban dari eksploitasi seksual tujuan komersial.

Kejahatan ekspoitasi seksual komersial anak (ESKA) dikatakan sebagai kejahatan yang mana anak diperlakukan sebagai sebuah komoditas yang dapat diperjualbelikan. ESKA termasuk dalam penindasan atas hak asasi anak yang meliputi praktek-praktek kriminal, di mana perbuatan tersebut merendahkan serta mengancam integritas baik fisik dan psikososial anak.7 Dalam perkembangannya, eksploitasi seksual komersial anak mengalami perubahan istilah dengan menghilangkan frasa “komersial” dalam pengertiannya. Sehingga, saat ini lebih dikenal dengan sebutan Eksploitasi Seksual Anak (untuk selanjutnya disebut ESA).8 Namun demikian, bentuk atau jenis ESA tetap sama meliputi “perdagangan anak untuk tujuan seksual, pelacuran anak, pornografi anak, pariwisata seks anak serta perkawinan anak.”9 Melalui ini, seorang anak tidak saja dijadikan sebagai objek pemuas seksual, melainkan juga dijadikan sebagai objek komersial. Hal mana ini dilakukan untuk memperoleh imbalan maupun keuntungan.

Setidaknya terkuak dua kasus besar ESA yang dilakukan WNA yang menimbulkan banyak anak sebagai korban. Pertama, yang dilakukan oleh RAD, seorang Daftar Pencarian Orang (DPO) dari Biro Penyelidik Federal (FBI) Amerika Serikat. Dalam kasus kredit 722 juta dolar AS, ia berhasil masuk ke Indonesia dan didapati melakukan ESA. Kedua, warga Perancis yang melakukan ESA hingga memakan korban sebanyak 305 anak. Ini diketahui telah dilakukan sejak tahun 2015 dan baru terlacak menggunakan hotel pada 2019 - 2020 di Jakarta.10 Menurut data dari Laporan Tahunan Perdagangan Orang Tahun 2020 dinyatakan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan TPPO.11 Oleh karenanya, ini meyebabkan Indonesia tetap berada di Tingkat 2. 12 Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan, sebab perdagangan anak masuk ke dalam salah satu bentuk ESA.

Kondisi ESA tidak hanya terjadi dan dirasakan Indonesia saja. Menurut Laporan Survei Dunia IV tentang Perempuan dan Pembangunan tahun 1999 menyatakan “banyak negara berkembang di Asia seperti Vietnam, Srilangka, Thailand, dan Filipina mengalami hal yang serupa”. Hal ini terjadi karena ketidakpastian dan ketidakmampuan dalam menghadapi persaingan bebas dari konsep liberalisme ekonomi di era globalisasi.13 Tentu ini memberikan dampak yang cukup kompleks serta pengaruh terhadap cikal bakal perdagangan anak yang dilakukan pada lintas batas negara. Sebab, hal ini membuka peluang akan terjadinya perdagangan anak ke beberapa negara tujuan.

Sehingga dapat dikatakan perdagangan anak termasuk ke dalam jenis perbudakan era modern. Hal ini termasuk ke dalam dampak krisis multidimensional yang dialami Indonesia. Perdagangan anak menunjukkan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa setiap tahun diperkirakan 2 juta manusia telah menjadi korban perdagangan dan ironisnya sebagian besar korban adalah “perempuan dan anak”.14 Pada tahun 2005, “ILO Global Report on Forced Labour” menyatakan “hampir 2,5 juta orang dieksploitasi melalui perdagangan orang dan menjadi budak di seluruh dunia”. Betapa mengejutkannya lebih dari setengahnya berada di wilayah Asia dan Pasifik, dimana 40% nya ialah “anak-anak”.15 Oleh sebab itu, perdagangan anak menjadi perhatian khusus bagi setiap negara dalam meminimalisir ESA.

Fenomena ESA telah hidup dan berkembang dikarenakan suatu sebab kemiskinan struktural, misal karena tidak mampunya keluarga dalam mencukupi kebutuhannya. Di mana terjadinya kenaikan harga bahan pokok yang tidak sesuai dengan pemasukannya. Sehingga memaksa keluarga tersebut mengirim angota keluarganya untuk bekerja. Di lain sisi, hal ini dijadikan sebagai bisnis global yang memberikan

peluang besar untuk menghasilkan keuntungan bagi pelaku. Sampai saat ini belum ditemukan mekanisme yang efektif dalam memberikan pencegahan dan perlindungan bagi anak dari eksploitasi tersebut. Ini semakin memperkuat pernyataan bahwa anak masuk ke dalam kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan.16 Beranjak dari permasalahan tersebut, perlu dikaji lebih jauh untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai kelemahan pencegahan eksploitasi seksual anak era digital di Indonesia.

Adapun berbicara mengenai sebuah penelitian ilmiah tidak terlepas dari persoalan kebaruan (novelty) dari penelitian tersebut. Tema yang diangkat oleh penulis dalam penelitian ini ialah eksploitasi seksual anak yang salah satu bentuknya adalah tindak pidana perdagangan anak. Tentu cukup banyak penelitian dengan tema atau topik serupa, diantaranya:

  • 1.    Jurnal yang berjudul “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang” oleh Nelsa Fadilla dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 2, Juli 2016.

Dalam jurnal ini, penulis menitikberatkan fokus tulisan kepada perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Hal mana penulis jurnal menjabarkan upaya perlindungan melalui berbagai peraturan perundang-undangan serta menjabarkan mengenai modus operandi dari tindak pidana perdagangan orang.

  • 2.    Jurnal yang berjudul “Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia” oleh Marlina dalam Jurnal Mercatoria Volume 8 Nomor 2 Desember 2015.

Dalam jurnal ini, penulis membahas mengenai tindak pidana eksploitasi seksual komersial anak. Penulis jurnal ini kemudian membahas meliputi bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial anak, kondisi eksploitasi seksual komersial anak dan pengaturan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia.

Dari beberapa peelitian yang terdahulu, terdapat kekhususan yang penulis ambil untuk membedakan dari penelitian yang sudah ada. Penulis hendak mengkaji kelemahan yang terdapat dalam upaya pencegahan ESA era digital dengan menggunakan teori kriminologi yakni rational choice theory sebagai pisau analisis. Oleh karenanya, penulis akan membahas beberapa pertanyaan yang terbagi menjadi: Pertama, bagaimana kondisi obyektif eksploitasi seksual anak era digital di Indonesia; Kedua, bagaimana kelemahan pencegahan eksploitasi seksual anak era digital berdasarkan perspektif rational choice theory? Sehingga tujuan dari penelitian ini dapat memberikan gambaran terhadap kondisi obyektif ESA era digital dan upaya yang dapat dilakukan dari kelemahan pencegahan ESA era digital di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Adapun dalam penelitian ini, penulis memakai metode penelitian hukum normatif atau doktrinal di mana hukum dikonsepsikan sebagai norma, kaidah, asas. Selain itu, penelitian ini, tidak berpusat kepada tataran das sein saja melainkan juga kepada das sollen. Tidak lupa, penelitian ini juga melibatkan penggunaan socio-legal, yakni selain mengkaji norma-norma yang berada di dalam perundang-undangan, juga mengkaji asas, prinsip-prinsip, serta ilmu sosial lainnya yang dalam hal ini ilmu kriminologi yang diperoleh dari buku, wawancara, dan karya ilmiah lainnya. Penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan atau menerangkan kaitan antara rational choice theory terhadap perkembangan kejahatan ESA era digital. Penulisan akan disusun dengan berdasar pada data sekunder yang termuat dari bahan primer, sekunder dan tersier. Kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif analitis. Sehingga didapati kelemahan pencegahan ESA era digital dan solusi dalam pencegahan ESA di masa mendatang.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

Istilah ESKA baru muncul pada tahun 1996 yang ditandai dengan digelarnya Kongres I Menentang ESKA di Stockholm, Swedia. Pada Kongres ini mempertemukan berbagai negara termasuk Indonesia untuk membahas kejahatan seksual yang terjadi pada anak. Sehingga negara peserta setuju untuk membuat Nation Action Plan untuk mengoptimalkan perlindungan anak dari kejahatan seksual dengan mengembangkan sebuah Rencana Aksi Nasional (RAN) di negara masing-masing.17 Patut diketahui bahwa telah lama anak dijadikan sebagai obyek kejahatan yang umumnya dilakukan oleh orang dewasa.

Konvensi Hak Anak memberikan definisi anak secara umum sebagai pribadi yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun.18 Di Indonesia sendiri memberikan beberapa pengertian dalam mendefinsikan anak, seperti dalam UU Perkawinan, UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU Perlindungan Anak. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak mendefinisikan anak ialah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”19 Sehingga dalam tulisan ini yang dimaksud dengan anak ialah definisi yang diberikan oleh UU Perlindungan Anak.

Ini dibuktikan dengan penelitian dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada Mei 2002 yang menemukan adanya 179 juta anak di seluruh dunia terpapar pada bentuk-bentuk terburuk dari eksploitasi anak-pekerja, perbudakan, jeratan hutang, prostitusi, pornografi, perdagangan narkoba, konflik militer bersenjata dan kegiatan terlarang lainnya.20 Hal ini menunjukkan meskipun banyak negara telah merdeka secara yuridis, belum menghilangkan adanya penjajahan terhadap kemerdekaan anak-anak. Meski banyak kebijakan pemerintah yang telah dilembagakan untuk meningkatkan status perempuan, tetapi hasilnya belum memberikan dampak yang besar bagi kehidupan perempuan secara umum seperti yang diharapkan. Terlebih

adanya kekhawatiran yang meningkat khususnya mengenai kekerasan seksual terhadap anak yang senyata-nyatanya telah memiliki banyak sekali bentuk di dalamnya.

Beberapa mengatakan bahwa ESA ialah salah satu bentuk lain dari perdagangan manusia. Namun salah satu bentuk ESA di dalamnya adalah perdagangan anak, yang mana hal ini merupakan sebuah pelanggaran berat terhadap hak-hak anak. Seperti dikatakan sebelumnya, pada kejahatan ESA, anak selain diperlakukan sebagai sebuah objek seksual tetapi juga untuk tujuan komersial dengan menggunakan pemaksaan dan kekerasan serta mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.21 The Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention (OJJDP) mendefinisikan “the commercial sexual exploitation of children” (CSEC) sebagai

“crimes of a sexual nature committed against juvenile victims for financial or other economic reasons…These crimes include trafficking for sexual purposes, prostitution, sex tourism, mail-order-bride trade and early marriage, pornography, stripping, and performing in sexual venues such as peep shows or clubs.”22

Dari pengertian ini maka dapat diketahui bahwa ESA meliputi beberapa macam berupa prostitusi, wisata seks, perdagangan seks anak, perkawinan anak, pornografi. Namun antar negara memiliki definisi masing-masing dalam mendefinisikan ESA. Akan tetapi tidak jauh berbeda dengan pengertian yang telah disepakati secara umum.

Menurut “Optional Protocol” yang telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protokol tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak menunjukkan bahwa ESKA terdiri dari tiga kategori. Namun dalam perkembangannya, istilah ESKA mengalami perubahan menjadi ESA (Eksploitasi Seksual Anak/ESA). Hal ini dilakukan karena untuk memangkas hambatan dalam mencegah dan menangani eksploitasi seksual anak. Sebab frasa “komersial” dianggap menghambat pencegahan dan penegakan tindak pidana ini. Karena keuntungan yang didapat tidak hanya sekadar berbentuk “uang” melainkan dapat berupa gratifikasi/hadiah, jasa, jabatan, dan lain sebagainya.23 Sehingga bentuk-bentuk ESA tetap sama seperti pengertian ESKA sebelumnya yakni terdiri dari lima jenis yang diantaranya adalah:

  • a)    Prostitusi atau Pelacuran Anak

Prostitusi anak atau pelacuran anak adalah suatu kondisi di mana anak disediakan sebagai pemuas seksual oleh seseorang yang hendak mengambil keuntungan dari sebuah transaksi komersial tersebut. Anak-anak tersebut dibawah kekuasaan orang dewasa yang melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap mereka yang menjadi korban.24 Anak yang menjadi korban kemudian dilibatkan dalam pelacuran. Dengan dalih anak tersebut diberikan

imbalan dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang diantaranya mencakup makanan, tempat tinggal atau untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi kepentingan korban. Sedangkan orang dewasa/pelaku tersebut merasa memiliki hak untuk melakukan transaksi dan bernegosiasi dengan orang-orang yang membeli seks anak tersebut.

  • b)    Pornografi Anak

Adapun yang dimaksud pornografi anak ialah pertunjukan apapun yang dapat juga dilakukan dengan cara apa saja di mana melibatkan anak dalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh anak untuk tujuan seksual.25 Yang termasuk pornografi anak ialah “foto, pertunjukan visual dan audio dan tulisan dan dapat disebarkan melalui majalah, buku, gambar, film, kaset video, handphone, disket komputer maupun media sosial”, di mana anak menjadi obyeknya.

  • c)    Perdagangan Anak Untuk Tujuan Seksual

Secara umum, tidak ditemukan konsensus internasional mengenai definisi khusus mengenai perdagangan anak untuk tujuan seksual. Namun demikian, usaha untuk memberikan cakupan akan perdagangan anak untuk tujuan seksual terus dilakukan. Sehingga, klasifikasi definisi perdagangan anak untuk tujuan seksual tersebut ialah:

“perdagangan atau trafficking adalah semua perbuatan yang melibatkan perekrutan atau pengiriman orang di dalam maupun ke luar negeri dengan penipuan, kekerasan, atau paksaan, jeratan hutang atau pemalsuan dengan tujuan untuk menempatkan orang tersebut dalam situasi-situasi kekerasan atau eksploitasi seperti pelacuran dengan paksaan, praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penyiksaan atau kekejaman ekstrim, pekerjaan dengan gaji rendah atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang bersifat eksploitatif.”26

Dengan kata lain, perdagangan anak harus meliputi salah satu cara baik berupa penipuan atau kekerasan atau paksaan untuk dikirimkan ke luar negeri maupun dalam negeri untuk tujuan tertentu. Tujuan tertentu tersebut dapat bersifat eksploitasi secara ekonomi maupun seksual. Untuk salah satu jenis ESA ini maka tujuan dari adanya perdagangan anak ialah untuk eksploitasi seksual. Namun demikian, dalam ESA, tujuan eksploitasi tersebut dapat terdiri dari eksploitasi seksual maupun ekonomi yang semata-mata dipergunakan pelaku untuk mendapat keuntungan.

  • d)    Pariwisata Seks Anak

Pariwisata seks anak adalah salah satu jenis ESA yang dilakukan oleh orangorang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, namun di tempat tersebut mereka melakukan hubungan seksual dengan anak-anak.27 Para

wisatawan datang ke tempat-tempat pariwisata bukan saja untuk menyaksikan keindahan alam di tempat tersebut, tetapi juga memiliki kebiasaan membeli seks pada anak kepada penyedia tenaga seks anak-anak dibawah umur.

  • e)    Perkawinan Anak

Pada dasarnya definisi perkawinan anak merupakan perkawinan yang terjadi dan melibatkan anak di bawah 18 tahun. Isu perkawinan anak telah lama terjadi di berbagai daerah baik di Indonesia maupun negara-negara lain. Namun, pengertian ini menjadi berbeda ketika anak dimanfaatkan dan dipergunakan untuk tujuan seksual demi memperoleh barang maupun bayaran dalam bentuk uang atau jasa.28 Sehingga perkawinan anak dapat dianggap sebagai bentuk ESA. Dimasukkannya perkawinan anak ke dalam salah satu jenis ESA dikarenakan anak seringkali dijadikan objek/barang sebagai kegiatan transaksi tukar-menukar untuk memperoleh keuntungan maupun menghapus hutang. Pada keluarga dengan tingkat kemakmuran rendah dan terlilit hutang, tidak jarang hal ini dimanfaatkan pelaku untuk menghasut keluarga agar menukarkan anak mereka sebagai penghapus hutang. Hal ini semata-mata adanya tujuan seksual yang diingini dari anak tersebut.

Dari sini dapat dilihat bahwa ESA merupakan salah satu jenis kejahatan yang amat kompleks. Oleh karenanya, pada sub-bab ini akan dibahas mengenai kelemahan pencegahan ESA era digital dengan dilihat dari perspektif rational choice theory.

  • 3.1    Kondisi Obyektif ESA Pada Era Digital

Era digital yang dalam tulisan ini bukan dimaksudkan ke dalam suatu masa kepemimpinan atau pemerintahan sebuah negara. Era digital yang dimaksud ialah sebuah era di mana penggunaan teknologi dan internet menjadi penunjang kehidupan bermasyarakat. Pada beberapa dekade sebelumnya, istilah ESA tidak begitu sering diperdengarkan. Padahal anak umur 13 tahun telah mengalami penindasan bukan hanya secara fisik saja bahkan secara seksual. Hal ini telah berlangsung lama sejak zaman penjajahan. Pada masa itu anak yang berumur antara 13 – 14 tahun diangkut dengan janji akan disekolahkan ke Jepang dan sekembalinya akan mendapatkan kedudukan yang baik.29 Namun dalam kenyataannya mereka dibawa dan dimasukkan ke dalam kamp-kamp serdadu Jepang. Alasan Jepang memilih para perawan remaja yang belum dewasa dikarenakan tidak adanya perlawanan dari remaja yang tidak berdaya itu.30 Ironisnya, pada pemerintahan fasis-militeris Jepang, banyak anak perempuan yang kemudian hilang dan tidak diketahui keberadaannya setelah dijanjikan Jepang bahwa akan disekolahkan.

Penderitaan yang dialami oleh anak yang didominasi oleh anak perempuan tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah Indonesia merdeka dan memasuki masa Orde Baru, kekuasaan militer menghimpit bangsa Indonesiia. Militer pada masa itu mengondisikan supaya masyarakat seolah-olah berada dalam situasi perang. Oleh karenanya, Pemerintah Orde Baru mendirikan “Kopkamtib” (“Komando Pemulihan

Keamanan dan Ketertiban”) pada 10 Oktober 1965.31 Pembentukan “Kopkamtib” ini kemudian menebar teror dan memobilisasi warga melalui lembaga bentukan negara, serta melakukan upaya-upaya pemberangusan gerakan protes rakyat. Keadaan yang penuh ketidakpastian ini memberikan dampak bagi kehidupan anak. Bahkan anak tidak mendapatkan perhatian yang berujung pada pembiaran dan merendahkan status anak.

Pada masa Orde Baru, tentara sepenuhnya mengontrol negara. Muncul janji untuk kembali pada “negara hukum”, tetapi diwujudkan dengan pergerakan yang memadai untuk memaksa pelaksanaannya. Hal ini memberi dampak selama tiga dekade Orde Baru, yang terjadi hanyalah “penghancuran” negara Indonesia. Bukan hanya kaitannya dengan lembaga administratif dan hukum (seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian), tetapi masuk ke dalam perampasan hak-hak anak. Yang mana hal ini sudah masuk pada kebutuhan dan cita masyarakat.32 Ini memperlihatkan, anak tidak mendapat perhatian yang cukup, karena pemerintahan pada masa itu berfokus pada kekuasaan dan politik semata. Padahal, pada masa itu, anak-anak telah mengalami “trafficking” yang digunakan untuk “tujuan seksual” semata-mata mencari keuntungan.

Sehingga kondisi obyektif ESA dalam beberapa periode yang telah disebutkan di atas menggambarkan secara inplisit bahwa anak telah lama menjadi korban kejahatan seksual. Pada Orde Baru, perhatian terhadap perlindungan anak dari kejahatan seksual sangat minim diberikan oleh Pemerintah. Pemerintah berfokus kepada pembangunan pada bidang-bidang tertentu terkhususnya militer, sehingga hal ini mengeyampingkan perhatian kepada hak asasi anak. Secara tidak sadar, pada Orde Baru telah terjadi praktek perdagangan anak untuk tujuan seksual. Tetapi kejahatan ini tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah yang menimbulkan tidak adanya data pasti akan jumlah anak yang menjadi korban eksploitasi komersiil untuk tujuan seksual.

Lebih lanjut lagi, dampak dari keadaan ini membuktikan sejak 1993-2003 di Indonesia menunjukkan perdagangan manusia dengan modus menjanjikan pekerjaan banyak terjadi dan kesemuanya lebih banyak dialami oleh perempuan dan anak-anak.33 Janji untuk pekerjaan tersebut pada kenyataannya ialah pekerjaan yang menukar seksual dengan uang. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan khususnya anak-anak perempuan sudah lama menjadi korban eksploitasi seksual. Yang dimana tidak ada data yang benar-benar akurat dalam memberikan gambaran korban eksploitasi seksual khususnya yang terjadi pada anak.

Pada umumnya kondisi ESA era digital tidak jauh berbeda dengan beberapa periode sebelumnya. Hanya saja, pada masa ini yakni era digital, penggunaan teknologi dan informasi semakin memperluas jaringan kejahatan ini. Seperti yang kita ketahui, ESA membuat seorang anak tidak hanya dijadikan sebagai obyek seks, akan tetapi juga dijadikan sebagai sebuah komoditas. ESA merupakan penggunaan seorang anak untuk

tujuan-tujuan seksual yang dengan hal itu baik pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang berkaitan mendapatkan keuntungan berupa uang, barang atau jasa dari eksploitasi seksual terhadap anak tersebut.34

Salah satu dampak negatif dari adanya perkembangan zaman yang semakin canggih ini ialah penggunaan teknologi, informasi dan komunikasi yang di mana juga beriringan dengan berkembangnya kejahatan. Pada era digital ini yang semua pekerjaan semakin dipermudah dan dijamu dengan baik oleh adanya teknologi membuat kejahatan juga menikmati perkembangan zaman ini pula. Hal ini dapat dilihat pada kasus ESA era digital terus meningkat secara signifikan. Hal ini dibuktikan dengan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyatakan bahwa “sepanjang tahun 2011 hingga 2016, telah tercatat 1809 kasus eksploitasi seksual anak era digital terjadi di Indonesia”. Bahkan data dari kepolisian juga menunjukkan tren serupa dengan menunjukkan jumlah kasus dari 2016 sampai 2018 memperoleh angka 112735 kasus ESA. Di mana perolehan angka terjadi dengan memanfaatkan media online atau media digital.

Berbicara mengenai kasus ESA era digital, terdapat temuan data dari ECPAT Indonesia yang menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2018, telah tercatat 1685 anak-anak yang telah menjadi korban dari kekerasan dan eksploitasi seksual. Yang di mana sebanyak 77% teridentifikasi anak perempuan dan 23% adalah anak laki-laki.36 Ini menandakan bahwa anak korban ESA tidak sepenuhnya dialami oleh anak-anak peremupan, tetapi anak laki-laki pun turut diincar oleh pelaku. Hal ini menjadi mengkhawatirkan ketika internet digunakan sebagai penunjang kejahatan ini.

Pada tahun 2019, ESA yang menggunakan internet sebagai media masih menjadi tren tertinggi. Berdasarkan data yang dimiliki Mabes Polri, sampai dengan Agustus 2019, terdapat sekitar 236 kasus kejahatan seksual melalui online (internet). Dan dari hasil pemantauan ECPAT Indonesia juga pada kwartal pertama 2019 menemukan bahwa kasus-kasus kejahatan seksual melalui media internet cukup besar angkanya dari 37 kasus yang dtemukan, sekitar 35%nya adalah keajahatan seksual anak melalui internet (meliputi kasus pornografi anak dan kasus “child grooming online”).37 Maraknya kasus-kasus ESA online juga diperparah dengan masih terbatasnya pembahasan mendalam yang mengkaji mengenai keragaman bentuk dari ESA online.

Selain itu, kehadiran Pandemi Covid-19 di tengah peradaban dunia dewasa ini menjadikan lembaran pekerjaan baru bagi Pemerintah dalam menata kembali kehidupan domestik masing-masing negara, tak terkecuali Indonesia. Berbagai rancangan yang telah disusun sebelum adanya Pandemi Covid-19 terpaksa harus mengalami penyesuaian dengan situasi yang ada sekarang. Sehingga Pandemi Covid-19 menuntut kebijaksanaan Pemerintah dalam menyusun kembali berbagai kebijakan baik dalam bidang hukum, ekonomi, sosial dan budaya yang berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia. Di tengah kondisi seperti ini, kasus ESA sampai dengan tahun 2021 tidak juga menunjukkan adanya penurunan angka yang signifikan.

Bahkan pada saat pandemi, hal mana semua gerak aktivitas masyarakat dibatasi38, membuat kejahatan ini tetap eksis. Seakan-akan tidak ada ruang yang dapat membatasi aktivitas pelaku kejahatan dalam merekrut anak menjadi korban ESA.

Tabel 3.1.1

Jumlah Kasus Anak Korban ESA

Data yang disajikan di atas memperlihatkan kenaikan jumlah kasus ESA dari tahun 2016 sampai tahun 2017. Namun, kasus anak yang menjadi korban ESA sepanjang tahun 2017 – 2020 menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2016, kasus anak korban ESA mencapai 69 anak. Sedangkan tahun 2017 naik menjadi 89 anak. Selanjutnya, pada tahun 2018 menunjukkan penurunan menjadi 80 anak, dan terus berlanjut sampai tahun 2019 sebanyak 71 anak. Tahun 2020 terjadi penurunan cukup drastis menjadi 23 anak. Akan tetapi, pada tahun 2021 terjadi lonjakan kenaikan jumlah anak yang sangat timpang dari tahun sebelumnya. Jumlah kasus ESA mencapai angka 127 anak yang menjadi korban ESA. Tentu perubahan angka dari tahun 2020 ke tahun 2021 menimbulkan sebuah pertanyaan besar penyebab kenaikan ini bisa sangat drastis.39 Terlebih lagi, kenaikan jumlah kasus anak korban ESA ini terjadi saat kondisi negara di hampir seluruh dunia masih mengalami pandemi Covid-19.

Pada tahun 2020, ketika pandemi masuk ke Indonesia dan semua negara berjibaku untuk menata kembali segala peraturan demi peraturan demi menurunkan angka kematian covid-19 untuk mempertahankan keberlangsungan negara, ternyata tidak menyurutkan kejahatan ini. Memang dari gambaran diagram tersebut memaparkan tahun 2020 terjadi penurunan jumlah kasus ESA. Akan tetapi, bila ditelusuri lebih mendalam, gambaran diagram tersebut hanya kategori anak korban ESA. Bahkan terungkap oleh KPAI terdapat temuan kasus TPPO dan eksploitasi yang telah mencapai 149 kasus, di mana 28 kasus trafficking, 29 kasus prostitusi anak, 23 kasus ESA, 54 kasus pekerja anak, 11 kasus adposi ilegal serta 4 kasus anak terlibat TPPO40. Tentunya angka ini tidak menjadi angka mutlak, sebagaimana diketahui bahwa kejahatan ESA meliputi banyak modus sehingga inilah yang membuat kejahatan ESA kompleks. Kompleksitas kejahatan ESA akan membuat beberapa kasus terluput dari data kejahatan yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang, yang kemudian ini akan memunculkan fenomena “dark numbers”.

Selain itu, kemakmuran tak juga menurunkan angka melainkan menunjukkan kenaikkan angka kejahatan. Hal ini karena kemakmuran membuat bertambah banyak target menarik yang tersedia bagi para pelaku pelanggaran yang termotivasi. Namun bukan berarti daerah miskin tidak luput dari kejahatan. Felson juga mengatakan “daerah miskin” mungkin juga meningkatkan “godaan” dan menurunkan “kontrol”.41 Orang-orang yang gaya hidup lebih berisiko dengan mengekspos diri mereka ke pelaku pelanggaran akan lebih mungkin untuk mengalami level viktimisasi personal yang lebih besar. Sehingga, di era digital saat ini, tidak menjamin kejahatan

Dari paparan kondisi obyektif yang dialami anak ini dapat kita lihat bahwa masalah eksploitasi seksual anak sudah merupakan masalah umum yang berjalan seiring dengan pembentukan bangsa Indonesia. Hingga saat ini pun praktek trafficking in children masih ada di Indonesia dalam warna yang berbeda yakni berkedok sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak sedikit dari mereka menjadi korban perdagangan anak di luar negeri. Hal ini dapat terjadi dengan adanya pelaku yang sudah belajar berbagai modus dan mereka telah pintar untuk merekayasa keadaan seakan-akan mereka adalah orang yang berhak atas kehidupan anak tersebut

  • 3.2    Kelemahan Pencegahan ESA Era Digital Berdasarkan Perspektif Rational Choice Theory

Teori pilihan rasional hendak mengatakan bahwa para pelaku kejahatan tidak gentayangan mencari kesempatan kejahatan secara acak. Sebaliknya, mereka bertindak dalam perilaku yang berpola yang biasanya pergi ke tempat tertentu tetapi tidak ke tempat lainnya. Artinya, mereka mengembangkan “peta kognitif” lingkungan mereka dan cenderung melakukan kejahatan di tempat-tempat yang dikenal baik oleh mereka.42 Mereka juga menggunakan “template mental” konseptualisasi holistik yang didasarkan pada pengalaman dan rutinitas yang digunakan untuk “mendefinisikan sejak dini karakteristik dari target yang cocok atau tempat yang cocok” dan “untuk

mengidentifikasi mana peluang yang ‘besar’ (untuk berbuat jahat) dan mana kesempatan yang ‘bagus’ atau bagaimana mencari peluang dan kesempatan”.

Hal ini dapat dilihat pada diagram di bawah ini yang hendak menggambarkan bahwa pelaku tidak sembarangan dalam memilih jenis kejahatan yang hendak ia lakukan. Melainkan ia mencari tahu terlebih dahulu besaran keuntungan yang akan ia dapatkan dan kemungkinan kegagalan serta besaran hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia merupakan “human calculator” yang menimbang lebih besar keuntungan daripada hukuman dari serangkain pilihan berdasarkan tingkat rasionalitas mereka. Oleh karenanya, pelaku kejahatan cenderung memilih kejahatan yang dapat menghasilkan lebih banyak keuntungan dengan usaha yang mudah untuk dilakukan.

Diagram 3.2.1

Sebaran Kasus Trafficking Pada Anak

Sumber Data Dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Diagram di atas memperlihatkan bahwa dari banyaknya bentuk trafficking, bentuk eksploitasi seksual paling banyak diminati oleh pelaku. Hal ini terjadi sebab pelaku telah mempertimbangkan untung rugi yang akan ia peroleh dari kejahatan yang ia lakukan.43 Ringkasnya, pelaku pelanggaran berperan aktif dalam menghasilkan kesempatan kriminal. Penentuan ke mana mereka pergi dan bagaimana mereka menginterprestasikan lingkungan sosialnya ketika sampai ke tujuan akan membantu untuk menentukan sasaran mana yang akan mereka temui dan sasaran mana yang mereka anggap menarik dan bisa dijadikan korban.44 Demikian halnya dengan kejahatan ESA ini. Pelaku memilih anak sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan transaksi yang mereka lakukan. Mereka merasakan dan menikmati manfaat yang diperoleh dari kejahatan ESA. Misal yang telah disinggung sebelumnya mengenai kondisi obyektif ESA. Di sana telah memperlihatkan, pelaku pengguna jasa memilih anak untuk memuaskan kebutuhan seksual mereka. Maka pelaku pengguna jasa mencari perantara (mucikari) untuk menghubungkan ia dengan anak tersebut.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, terdapat korelasi antara perdagangan anak dengan ESA, yakni perdagangan anak merupakan bagian dari ESA. Dengan demikian, untuk mereduksi kejahatan ESA, dapat dilakukan dengan memerangi perdagangan anak itu sendiri. Sebagaimana Felson menyatakan bahwa pelaku kejahatan melanggengkan aksi kejahatan mereka karena mereka pada dasarnya mendapatkan keuntungan yang diperoleh dari perbuatan tersebut. Sehingga pilihan rasional mereka untuk melakukan kejahatan ESA yang penulis dapatkan dari berbagai literatur dan hasil wawancara diantaranya:

  • 1.    Kejahatan itu menarik untuk dilakukan.

  • 2.    Menghasilkan keuntungan baik secara finansial (tidak terbatas pada uang melainkan gratifikasi/hadiah, jasa, kedudukan/jabatan) dan seksual.

  • 3.    Terbuka luas kesempatan atau peluang untuk melancarkan aksinya.

  • 4.    Kejahatan ESA “mudah” untuk dilakukan karena melibatkan “anak” yang mudah terpengaruh.

  • 5.    Terbukanya informasi dengan didukung oleh kemajuan teknologi semakin mendukung aktivitas kejahatan ini.

  • 6.    Lemahnya regulasi dalam mengatur aktivitas ESA online menjadikan ladang subur bagi pelaku menjerat anak terlibat ESA

Sejatinya, Indonesia telah memiliki beberapa regulasi terkait ESA. Kelemahan regulasi ESA saat ini yakni yang berkaitan dengan kejahatan ESA yang dilakukan dengan mengandalkan internet atau kecanggihan teknologi. Salah satu bentuk ESA yaitu prostitusi, terkait prostitusi online pengaturan hukum yang ada saat ini menjerat Pekerja Seksual Komersial (PSK) berdasarkan pasal 45 ayat (1) juncto pasal 27 ayat (1) Undang-Undang ITE (“UU No. 11 tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU No. 19 tahun 2016”) pelaku dapat dikenakan pidana penjara paling lama 6 tahun, dan/atau denda paling banyak 1 Miliar Rupiah.

Namun, kelemahan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE memberikan ancaman hanya pada perbuatan yang “mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan”. Adapun informasi elektronik yang melanggar kesusilaan menurut tafsir dari ilmuwan hukum pidana diantaranya adalah berupa “gambar, video, percakapan, animasi, sketsa yang mengandung konten kecabulan, persetubuhan, kekerasan seksual, alat kelamin.” Tidak berhenti pada kegiatan mengakses saja, perbuatan untuk dapat dijerat dengan pasal ini harus juga disebarluaaskan ke publik melalui media elektronik (seperti “email, media sosial, atau layanan pesan singkat”). Bila keadaan dari unsur-unsur ini terpenuhi maka pelaku dapat dijerat dengan pasal ini.

Namun inilah titik kelemahannya, yakni terletak pada “perbuatan yang dilakukan berisi pesan untuk melacurkan dirinya tetapi tidak disebarluaskan ke publik”. Maka berdasarkan pasal ini, perbuatan tersebut “tidak memenuhi unsur” dari Pasal 27 ayat (1) UU-ITE.45 Inilah kelemahan regulasi kita saat ini. Dalam UU ITE belum diatur secara komprehensif mengenai ESA online. Selain itu, tidak dapat dipungkiri, para pelaku ESA kemungkinan besar memiliki jejaring sosial atau grup khusus bagi mereka untuk melakukan distribusi, menyebarkan infromasi, bahkan mengadakan transaksi

anak korban ESA secara tertutup. Pelaku ESA seringkali memaksa anak untuk mengirimkan foto atau video berbau “seksual” dengan tidak mempublikasikannya tetapi menjualnya dan melakukan transaksi “jual-beli” dengan para jejaringnya. Inilah tantangan serius bagi para penegak hukum untuk menjangkau berbagai platform yang memiliki potensi untuk dipergunakan para pelaku ESA melakukan aksi kejahatannya.

Sedangkan untuk para germo, mucikari atau pemilik dan atau pengelola rumah bordir tidak diatur dalam UU ITE. Namun demikian, dapat dikenakan Pasal 296 KUHP, berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah” dan Pasal 506 KUHP “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian, diancam dengan pidanan kurungan paling lama 1 tahun”. Pasal tersebut melarang “segala bentuk dan praktik kegiatan melacurkan orang lain dan mendapatkan keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian.

Kendati demikian, ada beberapa putusan pengadilan yang menunjukkan bahwa tidak hanya mucikari yang pernah dihukum saja. Melainkan seseorang yang kemudian bertindak dengan menyewakan kamarnya untuk kegiatan prostitusi pernah dihukum oleh pengadilan. Meskipun orang tersebut bukan termasuk ke dalam mucikari atau germo. Tetapi mereka juga telah mendapatkan keuntungan atas sebuah perbuatan cabul yang dilakukan oleh prostitusi dengan pelanggan.46 Hal ini tentu dilakukan, sebab orang yang menyewakan kamar tersebut dapat dikatakan turut membantu dilakukannya tindak pidana ESA.

Akan tetapi, kelemahan yang ditemukan selanjutnya adalah secara umum tidak ada pasal yang dapat menjerat pelaku “pembeli” jasa prostitusi anak. Dalam KUHP sendiri tidak mempersoalkan pelanggan yang membeli seks pada sebuah kegiatan prostitusi. Terlebih lagi hal ini berkaitan dengan anak, belum diatur secara terperinci. Ini membuktikan bahwa kelemahan regulasi dapat berpengaruh kepada pencegahan ESA bahkan penegakan hukumnya. KUHP tidak mengatur secara jelas bahwa pembeli seks pada sebuah kegiatan prostitusi sebagai sebuah “delik” atau “perbuatan yang melawan hukum”. Sebagai alternatif bila anak dijadikan objek prostitusi, maka aparat penegak hukum biasanya menggunakan pasal yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak yang dapat menjerat pelaku47.

Kendati demikian, dalam pasal-pasal yang dipakai oleh aparat penegak hukum tidak dapat dikatakan secara eksplisit bahwa telah terdapat unsur “pembeli seks anak”. Sebab kesemuanya itu belum jelas mengatur ketentuan mengenai “pembeli/pengguna” jasa prostitusi anak. Karena antara unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-pasal UU Perlindungan Anak tidak dapat dipersamakan dengan pelaku “pembeli” prostitusi anak. Sebab dalam pelaku “pembeli/pengguna” prostitusi anak

tidak terdapat unsur-unsur “membujuk/melakukan kekerasan/melakukan tipu muslihat” untuk bersetubuh dengan anak. Hal ini dikarenakan, pelaku “pembeli” memperoleh anak untuk memuaskannya dengan adanya keterlibatan pihak ketiga (“mucikari”). Melalui perantara pihak ketiga inilah, pelaku “pembeli/pengguna” tidak begitu saja dapat dijerat. Oleh karenanya, regulasi di Indonesia dapat dikatakan belum komprehensif mengatur ESA.

Kelemahan selanjutnya adalah, bila pembeli seks yakni laki-laki atau perempuan yang telah bersuami/beristeri, maka mereka dapat dikenakan “delik zina”. Sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP dengan ancaman pidana maksimum 9 bulan. Akan tetapi, perlu digaris bawahi delik zina ini masuk ke dalam “delik aduan”. Hal ini menuntut adanya “pengaduan dari pasangan yang sah” yaitu “suami atau isteri pelaku zina.” Sehingga bila tidak terdapat aduan, maka pembeli seks tersebut tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP. Padahal untuk seorang anak membuat pengaduan atas terjadinya ESA dapat dikatakan sulit dilakukan sebab dipengaruhi beberapa faktor. Inilah kelemahan dari sisi regulasi Indonesia terkait ESA. Di mana “pembeli atau pengguna” jasa prostitusi terkhususnya “prostitusi anak” tidak dijerat atau dihukum. Sebab pengaturan yang ada saat ini belum mengakomodasi para pelaku pembeli atau pengguna jasa ESA.

Padahal seperti yang diketahui bahwa pelaku pelanggaran bertindak “rasional” dalam mengambil keputusan. Misalnya, mereka melakukan kejahatan yang memberikan kepuasan atau gratifikasi langsung, yang tidak banyak memerlukan usaha, dan yang lebih kecil risikonya untuk terdeteksi dan ditangkap.48 Maka dengan melihat kelemahan dari regulasi Indonesia saat ini mengenai ESA, sangatlah mengkhawatirkan bila hal ini tidak segera disadari dan diperbaiki. ESA akan selalu menjadi kejahatan yang menarik bagi pelaku untuk menebarkan lebih banyak lagi anak korban ESA. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi dan zaman digital semakin melanggengkan aktivitas kejahatan ini.

Telah lama ditunjukkan bahwa bahkan jika pelaku pelanggaran ingin melakukan kejahatan, mereka tidak dapat melakukannya kecuali “kesempatan” untuk melanggar hukum itu ada. Kesempatan adalah kondisi yang diperlukan agar suatu kejahatan tertentu dapat dilakukan. Kesempatan atau “kemampuan untuk melakukan” tindak kejahatan ini pada gilirannya mengandung tiga elemen. Pertama, harus ada pelaku yang termotivasi. Kedua, harus ada “orang atau objek yang menjadi sasaran atau target yang cocok bagi pelaku pelanggaran”. Ketiga, dalam hal ini “tidak ada penjaga yang mampu mencegah pelanggaran”. Pemilihan kata “penjaga yang mampu” menurut Cohen dan Felson tidak terbatas pada “polisi”, karena penjaga ini mencakup bukan hanya aparat penegak hukum tetapi juga semua cara yang menyebabkan target menjadi terlindungi.49 Seringkali, penjagaan yang dimaksudkan di sini diberikan secara informal oleh anggota keluarga, teman, tetangga, atau anggota masyarakat lainnya.

Meskipun penjagaan ini termasuk ke dalam penjagaan informal, tetapi dari sinilah menjadi faktor penentu anak supaya tidak menjadi terlibat dalam kejahatan jenis ini. Sebab, penjagaan yang dilakukan oleh anggota keluarga, teman, tetangga, atau masyarakat lainnya berada dekat dengan anak. Mereka dapat secara intens di sekitar

anak dan memberikan penjagaan dari kemungkinan pelaku mencari anak. Akan tetapi, tidak jarang juga, keluarga atau orang-orang terdekat mereka yang justru menjerumuskan anak untuk terlibat pada kejahatan ESA ini. Sehingga bagi mereka yang memiliki hubungan langsung dengan anak (baik keluarga, teman atau anggota masyarakat) untuk diberikan pembinaan dan pembekalan bahwa anak bukan merupakan barang atau komoditi yang dapat diperjualbelikan. Serta diberikan pelatihan mengenai perlindungan anak dari kejahatan yang merusak masa depan anak maupun bangsa ini.

Dengan demikian, salah satu cara terbaik untuk mengidentifikasi pelaku perdagangan seks anak adalah dengan mengidentifikasi lingkungan tindakan kriminal. Daerah yang rawan perdagangan seks biasanya adalah daerah yang rawan dari pengamanan ketat. Namun tidak jarang, karena kejahatan ESA ini tidak hanya melibatkan pelaku individu melainkan juga membentuk sebuah organisasi/sindikat. Terkadang sindikat perdagangan orang ini juga melibatkan “orang-orang penting”, sehingga kerahasiaan perusahaan terjaga. Maka, pelaku sering kali disembunyikan seperti korbannya.50 Dalam upaya untuk mengidentifikasi pelaku perdagangan seks anak, seseorang harus mempertimbangkan berbagai aspek dari kegiatan kriminal tersebut. Pelaku yang paling jelas adalah mereka yang terlibat dalam perdagangan seks anak. Tetapi, dalam banyak kasus, ada banyak individu yang terlibat dalam perdagangan seks anak. Selain itu, klien perdagangan seks anak juga harus dianggap sebagai pelaku.

Sehingga menurut Felson, kunci untuk menghentikan tindak kejahatan yaitu mencegah bertemunya ruang dan waktu pelaku pelanggaran dengan target yang kurang terlindungi. Ini merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa karena penyebab dasar dari peristiwa kejahatan yaitu kesempatan, maka cara utama untuk mencegah kejahatan yaitu dengan mereduksi kesempatan kriminal tersebut. Maka pada level yang lebih luas, ini berarti membuat target kurang menarik dan memberi perlindungan yang kuat bagi korban.

Dengan demikian, pencegahan eksploitasi seksual anak era digital menjadi tantangan serius. Sebab era digital bukan hanya berkaitan dengan penggunaan teknologi semata. Melainkan sekarang ini telah masuk dari kehidupan dunia nyata kepada dunia 3D, yang saat ini dikenal dengan metaverse. Metaverse, yang merupakan kombinasi dari awalan "meta", yang artinya “menyiratkan melampaui” dan kata "universe", yang artinya semesta. Kata “metaverse” pertama kali diciptakan dalam sebuah fiksi spekulatif bernama “Snow Crash”, yang ditulis oleh Neal Stephenson pada tahun 1992. Dalam novel ini, Stephenson mendefinisikan metaverse sebagai “lingkungan virtual masif yang paralel dengan dunia fisik, di mana pengguna berinteraksi melalui avatar digital.”51

Sehingga kemunculan pertama ini, metaverse akan digunakan sebagai alam semesta yang dihasilkan oleh komputer. Di mana dalam metavese ini layaknya “lingkungan virtual yang memadukan fisik dan digital, difasilitasi oleh konvergensi antara teknologi Internet dan Web, dan Extended Reality (XR).”52 Meskipun contoh ini adalah hal yang baru dan pertama kali dilakukan, tetapi masa mendatang ada kemungkinan

teknologi akan semakin menunjang hampir setiap lini bidang hukum. Sehingga sangat perlu untuk mengembangkan konsep dari tatanan regulasi yang mengakomodasi baik peraturan dan manajemen teknologi, yang dengan kata lain ini menjadi kompleks karena akan ada persinggungan antara normatif dan non-normatif dimensi dari kedua sistem ini.

Sehingga untuk membuat “tindak kejahatan menjadi sulit” yang bertujuan akan mengurangi kemungkinan terjadinya kejahatan ESA, maka perlu dilakukan beberapa upaya diantaranya:

  • 1.    Perlu dirumuskan pasal yang dapat menjerat pelanggan/pengguna jasa prostitusi anak.

  • 2.    Perlu terobosan dalam upaya mengurangi angka kasus kejahatan ESA berupa memasukkan bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak online, berupa child grooming.53

  • 3.    Memperkuat koordinasi dari Pemerintah Pusat hingga ke pelosok desa dalam mendeteksi dini adanya praktik kejahatan ESA ini agar dapat segera ditangani dan dilakukan upaya pencegahan dini.

  • 4.    Memfasiltasi peningkatan kapasitas APH dalam memahami ESA serta peningkatan penggunaan teknologi dan digital.

  • 5.    Meningkatkan jumlah UPPA di tiap daerah.

Dengan demikian, dengan memanfaatkan ilmu kriminologi serta teknologi yang ada, maka hukum yang ada saat ini perlu dilakukan penelitian dan pembaruan. Para stakeholder perlu untuk memahami bagaimana peluang berbuat jahat dapat ditutup atau setidaknya dibuat menjadi tidak menarik. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah pertama, ada strategi yang dimaksudkan untuk mempersulit usaha untuk melakukan kejahatan. Bila dikaitkan dengan kejahatan ESA, maka hambatan fisik yang dapat dilakukan misalnya seperti memberikan pengamanan ganda pada aktivitas berbasis internet. Misalnya ialah dengan melakukan pemblokiran secara otomatis terhadap situs-situs yang berbau seksual, mengkonfirmasi terlebih dahulu umur pengguna internet, menyediakan fasilitas internet yang aman bagi anak. Kedua, strategi untuk memperbesar risiko melakukan tindak pidana. Dalam hal dunia digital atau internet, adalah dengan alat atau cara untuk memperbesar kemungkinan deteksi, seperti memasang alat pendeteksi seperti software.

Di mana bila muncul potensi perekrutan anak untuk diajak terlibat dalam ESA maka akan terdapat alarm yang berbunyi untuk memberikan sinyal kepada aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi. Ketiga, strategi yang ditujukan untuk mengurangi imbalan dari tindakan kejahatan. Eksploitasi seksual anak dipilih pelaku sebagai kejahatan yang menarik. Sebab tidak hanya memberikan imbalan berupa uang, hadiah atau hal yang berbau materi, melainkan imbalan berupa seksual. Sehingga untuk mengurangi imbalan ini, maka yang harus dijaga adalah anak itu sendiri. Misalnya, membuat pembatasan jam malam bagi anak-anak dibawah umur 18 tahun

untuk keluar rumah melebihi pukul 10 malam. Untuk melakukan penjagaan ini dibutuhkan kemampuan dan kesediaan aparat penegak hukum untuk lebih ekstra lagi memantau anak. Selain itu, memberikan tanggungjawab kepada pelaku ESA untuk memberikan restitusi yang merupakan suatu kewajiban bukan hanya pelengkap/komplementer yang alih-alih dijadikan subsider oleh pelaku tindak pidana.

  • 4. Kesimpulan

Seiring berjalannya waktu dan zaman, eksploitasi seksual anak mengalami perubahan dan peningkatan baik dari segi jumlah korban maupun modus kejahatan. Artinya, berkembangnya zaman tidak menyurutkan aktivitas kejahatan eksploitasi seksual anak. Hal ini terbukti dari kejahatan ESA yang semakin mengepakkan sayapnya dengan meluaskan jejaring sampai melibatkan lintas batas negara. Bahkan peningkatan jumlah anak korban terjadi di tahun 2021, yang mana tahun itu masih berlangsung pandemi Covid-19 yang membatasi gerak masyarakat melalui kebijakan PSBB dan/atau PPKM. Hal ini memperlihatkan eksploitasi seksual anak akan tetap menunjukkan eksistensinya diiringi dengan perkembangan teknologi dan masuk era digital. Sebab pelaku turut memanfaatkan teknologi untuk menghubungi/menjangkau anak korban. Peningkatan jumlah anak korban ESA bukan tanpa sebab. Pelaku ESA pada dasarnya memiliki pilihan rasional dalam memilih kejahatan yang akan mereka lakukan. Berdasarkan pilihan rasional pelaku, fenomena peningkatan ini terjadi karena ESA menarik untuk dilakukan dan memberikan keuntungan berupa materi maupun seksual. Selain itu, kesempatan yang ditawarkan oleh kejahatan ini begitu luas sebab diiringi dengan kelemahan regulasi yang ada. Kelemahan regulasi dengan tidak memasukkannya unsur “membeli” dari pengguna jasa prostitusi anak membuat pelaku melanggengkan perbuatannya. Keterbatasan pengaturan dari bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak online juga menjadi penghambat untuk dilakukannya tindakan pencegahan kejahatan ini.

Ucapan terima Kasih (Acknowledgments)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlah berkontribusi dalam penelitian ini, terkhususnya kepada mentor yakni dosen pembimbing serta kepada instansi-instansi terkait seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Perlindungan Perempuan dan Pemberdayaan Anak (KemenPPPPA), dan End Sexual Exploitation Of Children (ECPAT) Indonesia. Tanpa dukungan, arahan dan pencerahan dari pihak-pihak tersebut penelitian ini tidak akan bermakna.

Daftar Pustaka

Buku

Departemen Kehakiman AS, Kantor Pengembangan, Asisten dan Pelatihan Kerja Sama Luar Negeri (OPDAT) dan Kantor Kejaksaan RI (Pusdiklat). (2008). Perdagangan Manusia dan Undang-Undang Ketenagakerjaan: Strategi Penuntutan yang Efektif.

ECPAT International. (2001). Tanya & Jawab tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak: Sebuah Buku Saku Informasi Oleh ECPAT Internasional (diterjemahkan oleh Ramlan, S.Pd.I). Bangkok: Phayathai Road.

Eddyono, S. W & Singereta, E. (2017). Penanganan Kasus Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di Indonesia. Jakarta: ICJR.

Farhana (2010). Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika.

ICJR. (2017). Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan Tantangannya, Jakarta: ICJR.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2019). Buku Panduan Terminologi Perlindungan Anak Dari Eksploitasi. Jakarta: Kemenpppa.

Lilly, J. R & Cullen, F. T & Ball, R. A. (2015). Criminology Theory: Context and Consequences, (diterjemahkan oleh Tri Wibowo BS), Edisi kelima. Jakarta: Prenadamedia Group.

McCabe, Kimberly A., 2018, “Common Forms: Sex Trafficking”, in Human Trafficking: Interdisciplinary Perspectives, Second Edition, edited by Mark C. Burke, New York: Routledge.

Muladi. (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Pompe, S. (2012). The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, New York: Cornell University Southest Asia Program, diterjemahkan oleh Noor Cholis dalam Buku berjudul Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Jakarta: Lembaga Kajian da Asvokasi untuk Idependensi Peradilan.

Reksodiputro, M. (2020). Sistem Peradilan Pidana. Depok: Rajawali Pers.

Syafaat, R. (2003). Dagang Manusia, cet.1, Jakarta: Lappera Pustaka Utama.

Toer, P. A. (2001). Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Jurnal

Andiani, C.H. (2019). Peran ECPAT Indonesia dalam Menangani Kejahatan Pariwisata Seksual Terhadap Anak di DKI Jakarta, Journal of International Relations. 5 (1). Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi.

Greenbaum, J. (2014). Commercial Sexual Exploitation and Sex Trafficking of Children in the United States. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care.

Hidayati, M.N. (2012) Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial. 1 (3), ISSN : 2356-0185.

Lee, L.H., et.al. (2021). All One Needs to Know about Metaverse: A Complete Survey on Technological Singularity, Virtual Ecosystem, and Research Agenda. Journal of Latex Class Files, 14 (8).

Lehti, Martti, and Aromaa, Kauko. (2006). Trafficking For Sexual Exploitation. Crime And Justice, 34 (1). https://www.jstor.org/stable/10.1086/650306

Makhfudz, M.(2013). Kajian Praktek Perdagangan Orang di Indonesia. ADIL : Jurnal Hukum. 4 (1). DOI: https://doi.org/10.33476/ajl.v4i1.35.

Marlina. (2015). Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Komersial Anak Di Indonesia. Jurnal Mercatoria. 8 (2). DOI: https://doi.org/10.31289/mercatoria.v8i2.649.

Prakoso, A.R & Nurmalinda, P.A. (2018). Kebijakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang, Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, 4 (1), ISSN Online 2614-3569, ISSN Print 2614-3216.

Pramesthi, M. N. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Komersial di Yayasan KAKAK Surakarta. Jurnal Recidivie. 7 (1). ISSN: 2775-2038 (Online).

Putri, A.R.H & Arifin, R. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Indonesia (Legal Protection for Victims of Human Trafficking Crimes in     Indonesia),     Jurnal Res     Judicata,     2     (1). doi:

http://dx.doi.org/10.29406/rj.v2i1.1340.

Sitanggang, Y. H. (2015). Peran End Child Prostitution, Child Phornography, And Trafficking Of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Dalam Mengatasi Masalah Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di Filipina (2009-2013). JOM FISIP, 2 (2). https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/5769/5642.

Snell, C. L. (2003). Commercial Sexual Exploitation of Youth in South Africa, The Journal od Negro Education. Autumn. 72   (4), Stable URL:

https://www.jstor.org/stable/3211201.

Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

________________, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4720.

Sumber Wawancara

Berdasarkan Wawancara Bersama Ciput Eka Purwianti, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Jumat, 11 Februari 2022.

Berdasarkan Wawancara Bersama Rio Hendra Koordinator Bidang Advokasi dan Pelayanan Hukum End Sexual Exploitation Of Children, (ECPAT Indonesia), pada Rabu, 9 Maret 2022.

Sumber Data Dari Komisi Perlindungan Anak Indoneisa (KPAI).

Online/World Wide Web:

Ade Nasihudin Al Ansori, “KPAI: Kasus Eksploitasi Anak Hingga 2021 Belum Menunjukkan                                                 Penurunan”,

<https://www.liputan6.com/health/read/4550619/kpai-kasus-eksploitasi-anak-hingga-2021-belum-menunjukkan-penurunan>, diakses pada Kamis, 03 Februari 2022, pukul 04.30 WIB.

ECPAT Indonesia, Membangun Media Ramah Anak, <https://ecpatindonesia.org/e-learning/membangun-media-ramah-anak/>, diakses pada Kamis, 10 Juni 2021, pukul 08.13 WIB.

Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia. Laporan Tahunan Perdagangan Orang Tahun 2020. <https://id.usembassy.gov/id/our-relationship-id/official-reports-id/laporan-tahunan-perdagangan-orang-2020/>. diakses pada Kamis, 20 Mei 2021, pukul 22.11 WIB.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Eksploitasi Seksual Pada 305 Anak Oleh WNA KPAI Serukan Tim Terpadu Percepatan Perlindungan Korban. <https://www.kpai.go.id/publikasi/eksploitasi-seksual-pada-305-anak-oleh-wna-kpai-serukan-tim-terpadu-percepatan-perlindungan-korban>. diakses pada Kamis, 11 Maret 2020, pukul 23.10 WIB.

Maharani, T. Kaleidoskop 6 Bulan Pandemi Covid-19: Kebijakan Pemerintah Beserta Kritiknya, <https://nasional.kompas.com/read/2020/09/02/07294641/kaleidoskop-6-bulan-pandemi-covid-19-kebijakan-pemerintah-beserta-kritiknya?page=all>, diakses pada Selasa 11 November 2020, Pukul 16.04 WIB.

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 44, No. 01 April 2022, h. 82-104

104