Implementasi Prinsip Caveat Emptor dan Caveat Venditor Dalam Kasus Peredaran Jamu Kuat Mengandung Bahan Kimia Obat

Fransisca Yanita Prawitasari1, Heru Saputra Lumban Gaol2, Veronica Jessica Prawidyasari3

  • 1 Fakultas Hukum Universitas Surabaya, E-mail: [email protected]

  • 2    Fakultas Hukum Universitas Surabaya, E-mail: [email protected]

  • 3    Fakultas Hukum Universitas Surabaya, E-mail: [email protected]

    Info Artikel

    Masuk : 17 Desember 2021

    Diterima : 8 April 2022

    Terbit : 30 April 2022

    Keywords :

    Caveat Emptor, Caveat Venditor, Consumer Protection, Sildenafil

    Citrate, Vitality Herbs


    Kata kunci:

    Caveat Emptor, Caveat Venditor, Perlindungan Konsumen, Sildenafil Sitrat, Jamu Kuat.

    Corresponding Author:

    Fransisca Yanita Prawitasari, E-mail:

    [email protected]


Abstract

DOI :

10.24843/KP.2022.v44.i01.p.07


tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris menentukan bahwa obat tradisional dilarang mengandung BKO. Sildenafil Sitrat juga memerlukan resep dokter karena jenis obat keras yang berbahaya jika dikonsumsi oleh penderita gangguan jantung, stroke, dan penderita tekanan darah dibawah 90/50 mmHg. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui implementasi prinsip kehati-hatian dalam hukum perlindungan konsumen yang disebut caveat emptor dan caveat venditor dalam praktik peredaran jamu tradisonal (Jamu “Gali-Gali”). Dalam menjawab problematika ini, dilakukan penelitian hukum normatif-empiris (terapan) yang menggabungkan antara pendekatan empiris dan normatif. Pada akhirnya, diketahui bahwa kedua prinsip ini harus berjalan seimbang dalam rangka mewujudkan asas keseimbangan dalam hukum perlindungan konsumen dan dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemampuan, serta kemandirian konsumen untuk melindungi diri dari ekses negatif pemakaian produk jamu mengandung BKO.

  • 1.    Pendahuluan

Perkembangan ekonomi menjadi salah satu faktor tumbuhnya persaingan dunia usaha dalam menghasilkan berbagai barang atau jasa (mass consumer consumption) yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat selaku konsumen. Sebagai konsumen aktif pengguna produk barang dan/atau jasa, perilaku konsumen dalam memilih produk yang aman bagi keselamatan, kesehatan, dan keamanan jiwa tentu harus diperhatikan. Namun, praktiknya konsumen tidak sepenuhnya mengetahui bahan pembuatan produk, proses pembuatan produk, serta strategi pasar yang hendak dijalankan oleh pelaku usaha dalam mendistribusikan produk.1 Hal ini menempatkan konsumen pada sisi yang lemah. Terlebih tidak semua pihak memberikan perhatian dan penghargaan yang sama terhadap hak keamanan dan keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.2

Hukum perlindungan konsumen mengenal prinsip caveat emptor dan caveat venditor. Pada awalnya, konsep hukum perlindungan konsumen berorientasi pada konsumen (consumer oriented) dan menempatkan konsumen dalam kedudukan yang lemah. Konsep ini dikenal dengan istilah caveat emptor, yaitu konsumen selaku pembeli harus berhati-hati dalam membeli produk dan/jasa. Dalam perkembangannya, kemunculan ragam barang dan/atau jasa (mass consumer consumption) dalam perdagangan serta maraknya tuntutan terhadap penghormatan akan hak konsumen sebagai dasar hak asasi manusia, mengakibatkan prinsip caveat emptor bergesernya menjadi caveat venditor. Prinsip ini menekankan bahwa produsenlah yang sebenarnya harus cermat dan berhati-hati dalam menghasilkan dan memasarkan barang dan/atau jasa kepada konsumen.3

Secara filosofis bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) jelas menyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen dirasakan perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Upaya ini sebenarnya selaras dengan Pasal 2 UUPK yang mengatur mengenai asas keseimbangan dalam hukum perlindungan konsumen. Asas keseimbang ini sendiri dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintahan. Pengimplementasian asas keseimbangan ini sendiri dituangkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen, serta dalam Pasal 6 dan Pasal 7 yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha dalam hukum perlindungan konsumen.

Pasal 4 UUPK menentukan salah satu hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak lain yang dimiliki konsumen yaitu hak konsumen dalam memilih barang dan/jasa. Hak-hak ini selaras dengan beberapa kewajiban pelaku usaha yang ditentukan dalam Pasal 7 UUPK yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; dan menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan.

Pengimplementasian hak konsumen dalam hal kebebasan memilih barang dapat dilihat salah satu praktiknya dari kebebasan masyarakat dalam mengkonsumsi obat yang tersedia di pasaran. Konsumen memiliki pilihan untuk mengkonsumsi obat medis atau obat tradisional/herbal sesuai kebutuhannya. Keberadaan informasi yang benar dan jelas dalam kemasan obat kemudian menjadi dasar bagi konsumen untuk dapat menentukan pilihannya. Selain itu, segala informasi yang tertera dalam kemasan juga merupakan bentuk jaminan yang diberikan pelaku usaha atas kondisi dan isi produk yang dihasilkan dan diperdagangkan.

Terkait dengan kebutuhan konsumen atas produk obat-obatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan) Pasal 1 angka (9) menjelaskan obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (ga/enik), atau campuran dari bahan tersebut secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Obat tradisional atau sering disebut jamu, dipercaya oleh masyarakat sebagai herbal pengganti obat-obatan yang sifatnya bebas dari bahan kimia. Perbedaannya, jamu memberikan reaksi yang tidak sekuat obat kimia dalam meredakan suatu penyakit atau gejala, serta membutuhkan jangka waktu lebih lama karena sifatnya yang alami.4 Pasal 35 huruf b Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2016 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris menentukan bahwa dalam produksi obat tradisional dilarang mengandung Bahan Kimia Obat (selanjunya disingkat BKO) yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat.

Sayangnya, kebutuhan konsumen terhadap penggunaan obat tradisional/jamu tidak sepenuhnya berjalan sesuai peraturan yang berlaku, baik peraturan yang mengatur hukum perlindungan konsumen juga peraturan mengenai kesehatan. Salah satu kasus dapat dilihat dari penggunaan jamu kuat yang akhirnya merugikan keselamatan jiwa konsumen. Pada tanggal 14 Februari 2020 diberitakan terdapat pasangan laki-laki dan wanita yang tiba-tiba meninggal di dalam kamar hotel yang diketahui dari hasil penyelidikan bahwa pasangan tersebut meninggal akibat serangan jantung setelah mengkonsumsi jamu sebelum melakukan hubungan intim. Hasil autopsi tim Dokter RSUD Margono Soekarjo Purwokerto juga memperkuat fakta bahwa penyebab terjadinya serangan jantung adalah akibat mengkonsumsi jamu kuat tersebut. Diketahui bahwa terdapat BKO yang terkandung dalam jamu kuat tersebut.5

Berdasarkan data BPOM 5 Oktober 2011, beberapa obat kuat tradisional ternyata mengandung BKO jenis sildenafil sitrat, tadalafil atau vardenafil. Bahkan, produk-produk tersebut ada yang tidak terdaftar dan tidak memiliki zin edar.6 Bahkan, berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan di tahun 2019 terdapat sebuah produk obat kuat tradisonal/jamu “Gali-Gali” yang juga dengan mudah bisa didapatkan masyarakat di pertokoan hingga pedagang kaki lima. Jamu ”Gali-Gali” ini juga ternyata mengandung BKO sildenafil sitrat yang tentu dilarang digunakan pada produk yang dilabeli produsen dengan label produk herbal.7

Jika melihat uraian persoalan di atas, keberadaan obat kuat tradisional atau produk jamu kuat mengandung BKO dapat merugikan kosnumen. Hal ini dikarenakan beberapa masyarakat Indonesia sangat familiar mengkonsumsi jamu tradisional khususnya dalam hal ini produk jamu kuat. Konsumen yang mengkonsumsi jamu kuat, bahkan tidak mengetahui fakta dan informasi bahwa terdapat kandungan BKO di dalam produk (jamu) yang dikonsumsi. Dapat dilihat sejak tahun 2011 sampai 2019 produk jamu kuat mengandung BKO sildenafil sitrat terus saja bermunculan. Pemahaman konsumen bahwa jamu kuat yang dikonsumsinya adalah bahan herbal menjadi salah satu alasan hal ini terus terjadi. Konsumen berpikir bahwa bahan herbal tentu tidak berbahaya bagi kesehatan. Dengan demikian, kajian mengenai sikap hati-hati dalam hubungan antra pelaku usaha dan konsumen menjadi penting untuk dikaji dalam hal ini. Tujuan dari tulisan ini pada akhirnya akan menjawab implementasi prinsip caveat emptor dan caveat venditor dalam kasus perdaran jamu kuat mengandung BKO.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian dilakukan menggunakan jenis penelitian hukum normatif-empiris (terapan) yang menggabungkan antara pendekatan empiris dan normatif. Penelitian hukum normatif-empiris membutuhkan data sekunder dan data primer yang pelaksanaanya diwujudkan melalui perbuatan nyata (real action) dan dokumen hukum (legal document). Aturan hukum yang dikaji sebagai bahan hukum primer berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2016 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris. Teknik pengumpulan data sekunder melalui studi pustaka dan telaah dokumen, sedangkan teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap pelaku usaha/penjual jamu kuat “Gali-Gali” dan observasi yang dilakukan di

Laboratorium untuk menguji kandungan BKO Sildenafil Sitrat dalam produk jamu kuat “Gali-Gali”. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Surabaya, dengan melakukan uji sampel di Laboratorium Biochem Technology Surabaya terhadap produk jamu kuat “Gali-Gali” yang diperjual-belikan di pasar.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Prinsip Caveat venditor dan Caveat emptor Dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Pasal 1 angka (1) UUPK menentukan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan hukum kepada konsumen. Tiga unsur utama yang terdapat dalam pasal ini yaitu adanya upaya, kepastian hukum, dan perlindungan hukum bagi konsumen. Menurut S. Sothi Rachagan (1992), Guru Besar Ilmu Hukum Faculty of Law, University of Malaya, berpendapat bahwa terdapat beberapa ruang lingkup dalam ”consumer law” diantaranya adalah: (a) kelembagaan perlindungan konsumen (an agency for consumer protection); (b) praktik-praktik perdagangan tercela (unethical trading practices); (c) kredit (credit); (d) keamanan produk (product safety); (e) pertanggungjawaban produk (product liability); dan (f) mekanisme pemulihan ganti rugi (redress mechanisms).8 Jika merujuk dari pendapat ini, maka jaminan dalam perlindungan konsumen menitikberatkan pada unsur keamanan suatu produk. Kepastian hukum meliputi pertanggungjawaban produk dan pemberian ganti rugi. Sementara, perlindungan hukum meliputi adanya lembagaan perlindungan konsumen serta adanya perlindungan atas praktik-praktik perdagangan tercela (unethical trading practices) bagi konsumen.

Secara umum lahirnya UUPK mengadopsi nilai hak-hak konsumen yang berlaku secara internasional meliputi: hak untuk mendapatkan keamanan hak mendapatkan informasi, hak untuk dapat memilih, hak untuk dapat didengar.9 Pokok ini terus berkembang setiap waktu, hingga saat ini memuat pedoman hak-hak perlindungan terhadap konsumen meliputi:10

  • a)    Access by consumers to essential goods and services;

  • b)    The protection of vulnerable and disadvantaged consumers;

  • c)    The protection of consumers from hazards to their health and safety;

  • d)    The promotion and protection of the economic interests of consumers;

  • e)    Access by consumers to adequate information to enable them to make informed choices according to individual wishes and needs;

  • f)    Consumer education, including education on the environmental, social and economic consequences of consumer choice;

  • g)    Availability of effective consumer dispute resolution and redress;

  • h)    Freedom to form consumer and other relevant groups or organizations and the opportunity of such organizations to present their views in decision-making processes affecting them;

  • i)    The promotion of sustainable consumption patterns;

  • j)    A level of protection for consumers using electronic commerce that is not less than that afforded in other forms of commerce;

  • k)    The protection of consumer privacy and the global free flow of information.

Bersamaan dengan perkembangan perdagangan global, konsep perlindungan hukum bagi konsumen pun terus tumbuh baik nasional maupun internasional. Dikenal dua doktrin atau prinsip dalam praktik hukum perlindungan konsumen yaitu caveat emptor dan caveat venditor. Dua konsep ini erat kaitannya dengan konsentrasi prinsip tanggung jawab dalam hukum perlindungan konsumen, yang bertumpu pada tanggung jawab si konsumen atau pada pelaku usaha.

Doktrin caveat emptor yang disebut juga let the buyer beware dipahami sebagai pemahaman bahwa pembeli harus melindungi dirinya sendiri. Doktrin ini menjadi dasar lahirnya sengketa konsumen yang menitik beratkan pada aspek transaksi konsumen. Makna dari konsep ini membawa konsekuensi bahwa konsumen yang harus memikirkan dan bertanggung jawab atas perlindungan terhadap kepentingannya, dikarenakan kedudukan konsumen sama dengan pelaku usaha. Pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas cacat atau kerugian, sekalipun diketahui kerugian tersebut adalah akibat perbuatan pelaku usaha dan terjadi karena tidak adanya upaya pelaku usaha mencegah terjadinya kerugian tersebut.11

Doktrin caveat emptor berubah menjadi caveat venditor yang dilatarbelakangi perkembangan perdagangan secara global (mass production and mass consumer consumption), minimnya pengetahuan konsumen, serta gerakan konsumen itu sendiri yang menuntut adanya perubahan.12 Caveat venditor atau let seller beaware menegaskan bahwa pelaku usaha dalam hal ini dituntut untuk perlu berhati-hati terlebih dahulu atas produk yang diperdagangkan dan ditawarkan.13 Hal ini juga dimaksudkan sebagai upaya dari pelaku usaha untuk mencegah terjadinya kerugian atas penggunaan produk.

Doktrin caveat venditor ini berangkat dari keyakinan bahwa pelaku usaha adalah pihak yang paling mengetahui informasi secara benar, jelas, dan jujur atas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. Sebab keseluruhan proses produksi ada dialam pengetahuannya. Oleh karena itu, pihak pelaku usaha harus lebih waspada dan berhati-hati dalam memproduksi suatu produk sehingga tidak merugikan kepentingan konsumen, serta mengabaikan kriteria kelayakan yang telah ditetapkan.14 Selanjutnya, doktrin caveat venditor ini diimplementasikan dalam hukum perlindungan konsumen, khususnya di dalam peraturan hukum yang memuat prinsip tanggung jawab atas produk. Pada perkembangannya, UUPK meletakkan prinsip kehati-hatian yang dibebankan pada pelaku usaha atau penjual, maka beban pembuktian adanya unsur kesalahan ada pada pelaku usaha (Pasal 22 dan 28 UUPK). Prinsip ini dikenal sebagai tanggung jawab mutlak (strict liability).

  • 3.2.    Tanggung Jawab Produsen Jamu Tradisional Mengandung BKO Sildenafil Sitrat Pendistribusian produk merupakan bagian kegiatan hukum perlindungan konsumen. Hal ini berangkat pula dari prinsip tanggung jawab hukum yang menjadi hak dan kewajiban bagi para pihak yang ada dalam hubungan tersebut. Prinsip-prinsip umum tanggung jawab hukum dapat dibedakan menjadi: tanggung jawab berdasarkan kesalahan, praduga selalu bertanggung jawab (presumption based on fault), praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability), tanggung jawab mutlak

(strict liability), dan pembatasan tanggung jawab (limitation liability).15 Secara umum prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) berangkat dari asas tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (professional liability), dalam konteks hukum perlindungan konsumen secara umum tanggung jawab mutlak ini digunakan untuk menjerat pelaku usaha yang produk/jasanya merugikan konsumen.16 Hal ini dikarenakan pelaku usaha dianggap lebih mengetahui mengenai keadaan produk yang dibuat dan dipasarkan, serta memahami lingkup jasa yang ditawarkannya.

Terkait produk, tuntutan tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang dipasarkannya pada prakteknya dapat didasarkan pada tiga hal yaitu: melanggar jaminan (breach of warranty), ada unsur kelalaian (negligence), menerapkan aturan tentang tanggung jawab mutlak (strict liability).17 Tuntutan atas dasar tanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berkaitan dengan jaminan dalam konteks barang yang dihasilkan atau dijual oleh produsen/pelaku usaha tidak mengandung cacat produk (constructions defect), cacat design (design defect) dan cacat pelabelan (labeling defect/ instruction defect). Selanjutnya, tuntutan atas dasar unsur kelalaian (negligence) muncul karena produsen lalai memenuhi standar pembuatan produk yang bermutu, baik, dan aman bagi konsumen. Kelalaian dapat dinyatakan terjadi bila produsen yang dituntut gagal membuktikan bahwa dirinya telah berhati-hati dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label atau mendistribusikan suatu barang. Sementara, tuntutan berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict product liability) berangkat dari keadaan bahwa suatu produk yang diproduksi terutama secara masif dan massal menjadikan konsumen ada dalam posisi yang rentan untuk bisa memastikan keadaan produk tersebut baik atau aman untuk dikonsumsi. Sehingga, dalam proses produksi dan pemasaran konsumen lah yang memiliki penetahuan mengenai kelayakan atas kegiatan produksi dan distribusi produk tersebut.

  • 3.2.1    Definisi Jamu Tradisional

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan BPOM Nomor 32 Tahun 2019 Tentang Persyaratan Keamanan & Mutu Obat Tradisional mendefinisikan obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan yang berasal dari bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang digunakan secara turun temurun untuk proses pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Jamu sendiri merupakan obat tradisional yang diproduksi di Indonesia dan digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menjaga kesehatan tubuh. Keputusan BPOM No. HK.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia telah membagi Obat Bahan Alami Indonesia berdasarkan cara pembuatan, jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat menjadi tiga, yaitu:

Tabel 1. Logo & Keterangan Obat Tradisional

Logo

Keterangan

JAMU

Gambar 1. Logo dan Penanda Jamu

Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan pembuktian empiris atau turun temurun. Jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Obathekbaliesstandar

Gambar 2. Logo dan Penanda Obat Herbal Terstandar

Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik pada hewan dan bahan bakunya telah di standarisasi. Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau praklinik, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.

Fitofarmaka

Gambar 3. Logo dan Penanda Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik pada hewan dan uji klinik pada manusia, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan dengan uji klinis, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.

Sumber: farmasi.ugm.ac.id

Sesuai dengan tabel 1 tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jamu termasuk dalam komponen obat tradisional, sehingga “jamu adalah salah satu bentuk dari obat tradisional.”18 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional Pasal 7 Ayat (1) huruf b menyatakan bahwa dalam kandungan obat tradisional, dimana salah satu bentuknya adalah jamu dilarang mengandung BKO yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat. Merujuk ketentuan peraturan tersebut diatas, didalam kandungan obat tradisional tidak diperbolehkan mengandung BKO, sehingga dengan adanya BKO yang dicampur dalam obat tradisional dapat menyebabkan obat tradisional tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat dan harus dilakukan penarikan dari peredaran.19

  • 3.2.2    Definisi dan Pengaturan BKO

BKO merupakan senyawa sintetis atau dapat dikatakan sebagai produk kimiawi yang berasal dari bahan alam yang umumnya digunakan pada pengobatan modern.20 Penggolongan dan keterangan obat dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000 berikut ini:

Tabel 2. Penggolongan & Keterangan Obat

Logo

Keterangan

Gambar 4. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter disebut obat OTC (Over the Counter), terdiri atas obat bebas dan obat bebas terbatas. Obat bebas dapat dijual bebas di warung kelontong, toko obat berizin, supermarket serta apotek. Di Indonesia, obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam.

Gambar 5. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual bebas tanpa resep dokter. Tanda Khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Dulu obat ini disebut daftar W= Waarschuwing (peringatan).

Obat Wajib Apotek merupakan obat keras yang diberikan pada pasien oleh apoteker dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemebriannya. Obat Wajib Apotek dapat diberikan oleh apoteker betujuan untuk membantu masyarakat dalam menjangkau kebutuhan obat atas jenis-jenis penyakit yang banyak dialami masyarakat. Contohnya obat alergi kulit salep (salep hidrokortison), anti alergi sistemik (CTM) serta obat antiinflamasi (asam mefenamat).

Gambar 6. Obat Keras

Obat keras adalah obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 02396/A/SKA/III/1986 penandaan obat keras dengan lingkaran bulat berwarna merah dan garis tepi berwarna hitam serta huruf K yang menyentuh garis tepi. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik seperti penisilin dan tetrasiklin.

Obat Psikotropika dan Narkotika Menurut Pasal 1 angka 1 UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan

20 Mamengko, R.S., op.cit., hlm. 3.


Gambar 7. Logo Obat Narkotika


narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas dan perilaku. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 UU No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000.

Sildenafil Sitrat ini merupakan salah satu dari jenis obat baru yang masih dipasarkan di kalangan masyarakat sebagai suatu produk paten, yaitu berupa viagra dan revatio. BKO jenis Sildenafil Sitrat digunakan sebagai bentuk terapi disfungsi ereksi atau dengan istilah lain anti impotensi golongan inhibitor fosfodiesterase, tidak hanya itu Sildenafil Sitrat digunakan pula dalam Pulmonary Arterial Hypertension (PAH).21 Berdasarkan penggolongan dan keterangan obat (lihat table 2. Penggolongan dan Keterangan Obat) terkait penggolongan obat, Sildenafil Sitrat termasuk pada golongan obat keras, yang mana dalam memperoleh obat tersebut membutuhkan resep dari dokter dan tidak dapat ditebus bebas tanpa disesuaikan dengan takaran komposisi obat yang memang sesuai dengan penggunaan pada masing-masing tubuh pasien.

  • 3.3.    Implementasi Prinsip Caveat venditor dan Caveat emptor Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Atas Peredaran Jamu Kuat yang Mengandung BKO Sildenafil Sitrat.

Jamu termasuk dalam kategori obat tradisional yang pembuktiannya dilakukan melalui sifat empiiris atau penegtahuan secara turun-termurun. Jamu menjadi salah satu pilihan untuk memperkuat sistem imun tubuh seseorang. Oleh karena itu, konsumsi jamu masih sangat populer di daerah pedesaan maupun perkotaan, meski telah tersedia obat-obat yang modern di masyarakat.22 Berdasarkan keterangan komposisi produk yang tertera di kemasan Jamu Kuat “Gali-Gali”, diketahui komposisi kandungan dalam produk yaitu:

  • 1.    Cornus officinalis (asiatic dogwood) fructus (sebesar 20 persen)

“The fruit of Cornus officinalis Sieb. et Zucc. (Corni Fructus) is commonly prescribed in traditional medicine or known as a traditional Chinese herb as a tonic formula as well as a treatment for a wide range of medical conditions.”23

  • 2.    Turnera diffusa (damiana) folium (sebesar 20 persen)

“Turnera diffusa is a natural herbal supplement which is believed to have stimulants, antidepressants, mood improving, libido enhancing, euphoric, and nervous system restorative properties.”24

  • 3.    Ptychopetalum olaccides (Mumulra-Puama) Radix (sebesar 20 persen)

“Muira Puama (genus Ptychopetalum) adalah pohon Brazil kecil yang tumbuh di lembah sungai Amazon dan memiliki sejarah digunakan sebagai obat aphrodisiac. Tumbuhan ini dikenal di beberapa kalangan sebagai viagra dari Amazon.”25

  • 4.    Piper retrofracti (cabe Jawa) Fructus (sebesar 30 persen)

Piper retrofracti merupakan obat tradisional yang berasal dari Indonesia. Buah cabe jawa digunakan sebagai stimulan, karminatif, tonik, dan perawatan ibu melahirkan, mengobati asma, kejang perut, lemah syahwat, penyakit infeksi bakteri, demam, masuk angin, influensa, kolera, obat cacing gelang, tekanan darah rendah, sakit kepala, bronchitis, sesak nafas, dan radang mulut, dan lainnya.26

  • 5.    Bahan-bahan lain (kandungan hingga 100 persen)

Tidak dijelaskan secara jelas pada kemasan terkait kandungan yang termasuk di bahan-bahan lain yang dimaksud oleh produsen.

Gambar 8. Kemasan Jamu Kuat “Gali-Gali”

Sumber: Penelitian Lapangan Tahun 2019

Mengkaji hal ini, sebagaimana yang diketahui dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional menentukan bahwa Jamu tradisional tidak boleh mengandung BKO. Namun, hasil uji laboratorium terhadap produk jamu kuat “Gali-Gali” menunjukan ternyata terdeteksi kandungan Sildenafil Sitrat dalam produk. Berdasarkan wawancara secara daring dengan dr. Tjin Willy tanggal 19 April 2019, diketahui Sildenafil Sitrat merupakan obat kimia yang memang digunakan untuk menangani disfungsi ereksi dan impotensi. Sildenafil Sitrat merupakan golongan obat penghambat fosfodiesterase tipe 5 (PDE5) dan dalam penggunaanya memerlukan dosis yang tepat atau resep dokter. Sildenafil Sitrat

tidak digolongkan sebagai kelompok obat bebas. Sebab, kekeliruan atau ketidaktepatan dalam mengkonsumsi Sildenafil Sitrat dapat menyebabkan efek samping seperti mimisan, nyeri kepala, pusing, insomnia, diare, peningkatan asam lambung, gangguan penglihatan, ruam, alergi dan lainnya. Pada pasien dengan riwayat penyakit jantung, Sildenafil Sitrat beresiko menyebabkan serangan jantung dan reaksi alergi berat terhadap obat ini.

Sildenafil Sitrat merupakan bahan aktif atau golongan obat yang diketahui bermanfaat sebagai terapi gangguan ereksi yang bekerja dengan meningkatkan kadar cyclic guanosine monophosphate (cGMP) secara tidak langsung dengan cara menghambat enzyme phosphodiesterase tipe 5 (PDE 5) karena meningkatnya nitrogen oksida (NO).27 BKO seperti Sildenafil Sitrat menjadi berbahaya apabila digunakan dalam jamu karena merupakan obat keras yang membutuhkan resep dokter dan tidak dapat digunakan oleh penderita gangguan jantung, stroke, dan penderita tekanan darah dibawah 90/50 mmHg.28

Gambar 9. Hasil Uji Laboratorium Biochem

Sumber: Penelitian Lapangan Tahun 2019

Terdapatnya kandungan Sildenafil Sitrat dalam produk jamu kuat “Gali-Gali” menyebabkan munculnya konsep tanggung jawab pelaku usaha atas produk tersebut. Adapun konsep tanggung jawab ini muncul dikarenakan konsep kerugian dikaitkan dengan akibat barang yang cacat dan berbahaya yang dikonsumsi oleh konsumen. Sebagaimana diketahui dalam kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa dalam Pasal 7 huruf d UUPK pelaku usaha berkewajiban menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Selain itu dalam Pasal 8

ayat (1), (2), dan (3) UUPK menentukan pula perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan memperdagangkan barang dan/atau jasa.

Dalam kasus produk jamu kuat “Gali-Gali”, pencantuman label yang tidak sesuai sudah bertentangan norma yang ditentukan pada Pasal 8 ayat (1) huruf a dan d UUPK. Huruf a yaitu tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, yakni tentang standar dan ketentuan terkait jamu tradisional yang tidak boleh mengandung BKO. Selanjutnya, huruf d yaitu tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana yang dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. Terkait hal ini produk jamu kuat “Gali-Gali” dalam kemasan produknya mencantumkan logo penanda jamu (lihat Gambar 1. Logo dan Penanda Jamu) yang berarti seharusnya menunjukan bahwa produk tersebut adalah jamu tradisional yang tidak memerlukan pembuktian ilmiah maupun klinis, serta memiliki kandungan yang bersifat herbal. Sementara, Sildenafil Sitrat diketahui merupakan obat kimia yang bersifat keras sebagaimana yang ditentukan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 02396/A/SKA/III/1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras Terdaftar. Seharusnya logo dalam produk jamu kuat “Gali-Gali” ditandai dengan logo obat keras bukan jamu (lihat Gambar 6. Obat Keras).

Indikasi adanya kecacatan produk juga menjadi dasar untuk pelaku usaha bertanggung jawab dalam kasus ini. Produk dikatakan cacat apabila produk tersebut tidak aman dalam penggunaannya atau tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu. Kategori cacat produk ini juga mempertimbangkan berbagai keadaan, terutama tentang penampilan produk, kegunaan yang seharusnya diharapkan dari suatu produk, dan peredaran produk.29 Pada dasarnya suatu produk dapat dikatakan cacat diklasifikasikan menjadi tiga hal, yaitu:

  • 1.    Cacat Produk (production/manufacturing defect).30

Kecacatan pada produk yang terjadi pada tahap proses produksi produk, sehingga menyebabkan keadaan produk tidak sesuai dengan harapan konsumen atau tidak memenuhi standar yang ditetapkan.

  • 2.    Cacat Desain (design defect).31

Kecacatan pada produk yang terjadi disebabkan oleh desain pada produk (barang), dapat juga meliputi kecacatan pada konstruksi pada produk. Kecenderungan cacat desain tidak selalu dapat dilihat dengan mudah terutama bagi konsumen yang tidak teliti, karena seringkali cacat desain menjadi cacat tersembunyi.

  • 3.    Cacat Peringatan (instruction/warning defect).32

kecacatan pada produk yang terjadi akibat tidak adanya peringatan tertentu atau petunjuk penggunaan yang jelas pada produk. Cacat peringatan juga meliputi pencantuman label, logo, keterangan dan informasi yang tidak benar pada produk.

Terkait produk jamu kuat “Gali-Gali” yang diperdagangkan kepada konsumen jelas telah memenuhi kalsifikasi sebagai cacat produk (product defect). Hal ini dikarenakan

dalam proses pembuatan tidak memenuhi standar-standar keamanan mengenai jamu sebgaimana ditentukan dalam peraturan terkait. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional Pasal 7 Ayat (1) huruf b menyatakan bahwa dalam kandungan obat tradisional (jamu) dilarang mengandung BKO yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat. Kemudian, produk jamu kuat “Gali-Gali” juga termasuk cacat peringatan (instruction/warning defect), karena memberikan keterangan logo jamu yang tidak sesuai dengan kandungan BKO jenis Sildenafil Sitrat yang terdapat dalam produk.

Tentu, atas kecacatan produk ini berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPK pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerugiaan yang diderita oleh konsumen akibat mengkonsumsi barang atau produk yang diperdagangkan tersebut. Bahkan, dalam ayat (2) tanggung jawab pelaku usaha bukan saja meliputi ganti rugi berupa pengembalian uang, penggantian barang yang sejenis atau setara secara nilai, akan tetapi juga meliputi perawatan kesehatan dan santunan apabila kerugian itu sampai mengancam keselamatan jiwa konsumen.

Berkaitan dengan tanggung jawab atas produk yang merugikan konsumen ini, konsep pertanggungjawaban dasarnya mengacu pada dua doktrin atau prinsip. Hukum perlindungan konsumen telah lama mengenal prinsip caveat emptor dan caveat venditor. Kedua prinsip ini terus berkembang setiap waktunya dalam sejarah hukum perlindungan konsumen. Bahkan, kecenderungan hukum perlindungan konsumen saat ini mengedepankan prinsip kehati-hatian yang dibebankan pada pelaku usaha terlebih dahulu, mengingat perkembangan teknologi dan industri dalam pembuatan produk yang sifatnya massal dan pelaku usaha dipandang sebagai pihak yang memiiki posisi lebih kuat dalam hal ini.

Prinsip pertanggung jawaban yang mengacu pada the due care theory (caveat venditor) atau “let seller be aware” merupakan prinsip yang menyatakan dalam memasarkan produk, produsen harus memiliki sikap yang hati-hati.33 Menjadi hal wajar ketika suatu produk yang diproduksi oleh produsen mendatangkan kewajiban pertama kali bagi produsen tersebut untuk berhati-hati dalam proses pengolahannya atau produksinya. Permasalahan yang muncul atas konsep ini adalah unsur pembuktian pada hukum acara perdata di Indonesia. Pasal 1865 KUH Perdata menentukan bahwa barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak, maka diwajibkan membuktikan adanya hak tersebut.34 Ini tentu dapat menimbulkan kesulitan bagi konsumen, karena tidak semua konsumen memiliki kemampuan finansial dalam proses beracara dan pengetahuan memadai untuk dapat mengumpulkan bukti-bukti yang dapat menguatkan gugatannya.

Sekalipun memang perkembangan prinsip perlindungan konsumen saat ini telah bergeser menjadi prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Pertanggungjawaban dalam hal ini difokuskan pada kondisi produk, bukan lagi perilaku pelaku usaha atau produsen. Artinya, unsur kesalahan tidak jadi menjadi hal pertama untuk melihat tanggung jawab pelaku usaha.35 Hadirnya konsep (strict liability) memang tidak secara menyeluruh, tegas, dan jelas dianut dalam UUPK, namun setidaknya diimplementasikan dalam Pasal 22 dan 28 UUPK. Pasal 22 menentukan bahwa beban

pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, namun tidak menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Sementara, Pasal 28 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada atau tidak adanya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Namun, kembali pertanggungjawaban dalam UUPK ini tidak sepenuhnya menganut prinsip tanggung jawab secara mutlak atau bahkan absolut. Pemahaman terhadap Pasal 19 UUPK ini dibatasi dengan rumusan apabila produsen tidak melakukan kesalahan maka konsumen tidak akan mengalami kerugian.36 Terlebih dalam Pasal 27 UUPK ditentukan bahwa pelaku usaha dapat dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen apabila:

  • a.    barang tersebut terbukti tidak seharusnya diedarkan atau dimaksudkan diedarkan; b. cacat timbul di kemudian hari;

  • c.    cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kuualifikasi barang;

  • d.    kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen itu sendiri;

  • e.    lewatnya jangka waktu penuntutan (4 tahun sejak barang dibeli) dan lewatnya jangka waktu garansi barang.

Terkait kasus kerugian yang diderita konsumen akibat mengkonsumsi produk jamu kuat “Gali-Gali” ini, dapat saja pelaku usaha bebas dari tanggung jawabnya dengan dalih barang tersebut terbukti tidak seharusnya diedarkan atau diperdagangkan, ditambah konsumen sendiri yang lalai dalam melindungi dirinya, misalnya lalai dalam membaca petunjuk penggunaan atau peringatan yang tertulis pada kemasan bahwa “penderita penyakit jantung dilarang menggunakan obat ini” (lihat gambar 8. Kemasan Jamu Kuat “Gali-Gali”).

Berkebalikan dengan prinsip caveat venditor, dikenal pula prinsip caveat emptor atau “let the buyer beaware”. Prinsip ini menekankan bahwa pembeli atau konsumen harus berhati-hati sebelum membeli barang dan/atau jasa dan juga berhati-hati dalam mengkonsumsi produk atau menggunakan jasa tersebut. Hal ini juga berangkat dari dalih bahwa konsumen dan pelaku usaha sama-sama pihak yang seimbang dan berkepentingan, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan hukum secara khusus.37 Jika mengacu kepada hubungan perikatan jual beli secara keperdataan, pembeli harus berhati-hati karena keputusannya sendiri untuk mengkonsumsi atau membeli produk yang tidak layak.38 Permasalahan yang timbul dari prinsip ini adalah konsumen dengan segala keterbatasan pengetahuan dan informasi dapat saja mengalami kerugian atas suatu produk dan/atau jasa, apalagi tidak menutup kemungkinan pelaku usaha memang dengan sengaja memproduksi produk yang cacat/rusak dan menutup informasi atas keadaan tersebut. Terkait kasus peredaran produk jamu kuat “Gali-Gali”, jika hukum perlindungan konsumen menggunakan pendekatan prinsip ini, konsekuensinya adalah seluruh kerugian yang diderita oleh konsumen menjadi tanggung jawab konsumen, karena konsumen yang dipandang tidak berhati-hati/lalai dalam mengkonsumsi produk tersebut.

Upaya konsumen untuk berhati-hati dalam mengkonsumsi produk, terkhusus dalam hal ini jamu kuat “Gali-Gali” sebenarnya dapat dilakukan dengan melakukan pengecekan nomor registrasi atas produk. Pengecekan nomor registrasi produk ini

dapat dilakukan di situs resmi BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). BPOM sendiri merupakan suatu lembaga yang memiliki fungsi pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan yang beredar di masyarakat. Dalam prosedur yang diterapkan oleh BPOM pengawasan tersebut meliputi: pengawasan produksi dan distribusi; pemeriksaan sampling; pengawasan iklan; public warning.39

Sebagai suatu lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang strategis dalam upaya perlindungan konsumen di bidang produk obat dan makanan, data pengecekan registrasi produk ini dapat diandalkan oleh konsumen untuk memastikan suatu produk tersebut aman untuk dikonsumsi dan tidak berbahaya bagi kesehatan konsumen berdasarkan nomor registrasi produk. Apabila produk yang dimaksudkan teregistrasi, dalam laman tersebut akan ditampilkan nomor registrasi produk, beserta keterangan produk dan pendaftar. Upaya BPOM dalam memberikan layanan informasi mengenai obat dan makanan melalui website mengenai izin edar, produk illegal, dan kegiatan lain sputar penyuluhan dan edukasi konsumen adalah salah satu bentuk pengawasan BPOM dalam hal public warning.40 Dalam hal ini, diketahui ternyata Jamu Kuat “Gali-Gali” tidak teregistrasi di BPOM.

Gambar 10. Pengecekan Nomor Registrasi Jamu Kuat “Gali-Gali”

Sumber: cekbpom.po.go.id

Konsep kehati-hatian yang bertumpu pada konsumen seperti ini sebenarnya adalah cita-cita ideal dari hukum perlindungan konsumen, yang tertuang dalam asas dan tujuan hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Perlindungan konsumen hendak menciptakan asas keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen (Pasal 2 UUPK) dan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemampuan, serta kemandirian konsumen untuk melindungi diri terutama dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa (Pasal 3 huruf a UUPK). Namun, pengimplementasian hal ini tidak semudah sebagaimana yang diharapkan bahkan dituangkan dalam hukum positif. Mengingat asas keseimbangan dalam UUPK hanya dapat menjadi relevan melibatkan kerjasama pelaku usaha dan konsumen. Ini selaras sebagaimana yang dimaksudkan dalam bagian penjelasan Pasal 2 UUPK yaitu asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, bahkan pemerintah dalam arti materil maupun spiritual. Oleh karena itu, dalam kasus perdagangan dan peredaran

produk jamu kuat yang mengandung BKO Sildenafil Sitrat (dalam hal ini Jamu Kuat Gali-Gali), implementasi prinsip maupun doktrin yang seharusnya digunakan bukan lagi hanya caveat emptor atau caveat venditor saja. Kedua belah pihak baik konsumen dan pelaku usaha harus berhati-hati dalam hal ini. Jika diamati dalam UUPK, konsep keberimbangan kedua belah pihak ini sebenarnya sudah dituangkan dalam Pasal 4, 5, 6 dan 7, yaitu mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Secara khusus, kesadaran konsumen untuk membaca informasi dan mengikuti petunjuk pemakaian barang dan/atau jasa serta itikad baik konsumen dalam melakukan transaksi pembelian barang yang diatur dalam Pasal 5 mengenai kewajiban konsumen, adalah cerminan dari asas keseimbangan itu sendiri. Tentu hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 7 UUPK yang mengatur pula kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa tersebut.

Adapun alasan pelaksanaan kehati-hatian yang seharusnya menjadi tanggung jawab kedua belah pihak (pelaku usaha dan konsumen) mengingat pula keadaan-keadaan atau faktor-faktor yang muncul di masyarakat terkait praktik hukum perlindungan konsumen. Seringkali kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen terjadi disebabkan oleh faktor-faktor:41

  • 1.    Kesengajaan dari produsen atau pelaku usaha untuk mengedarkan barang yang cacat dan berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba.

  • 2.    Kesadaran masyarakat sebagai konsumen dan pelaku usaha sendiri masih relatif rendah, terutama konsumen dan produsen lapisan bawah dan di daerah pedesaan. Banyak konsumen yang abai membaca informasi apalgi mencari informasi. Lalu, tidak jarang juga beberapa pelaku usaha kecil juga tidak menyadari bahaya dari produk yang mereka peradgangkan. Dalam wawancara kepada pedagang kaki lima yang menjual Jamu Kuat “Gali-Gali”, pedagang tersebut tidak mengetahui bahwa Sildenafil Sitrat adalah BKO yang memerlukan resep dari dokter. Oleh karena itu, perlu upaya penyuluhan untuk mengatasi persoalan ini oleh instansi terkait.

  • 3.    Rendahnya kinerja pejabat pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan produsen. Hal ini terbukti banyak produk jamu kuat yang mengandung BKO yang masih beredar bebas dan diperdagangkan secara bebas, padahal hal ini menjadi fungsi pengawasan dari BPOM. Memang tidak menutup kemungkian, luasnya pasar dan wilayah di Indonesia menjadikan peran BPOM atau lembaga negara menjadi terbatas, karena sumber daya manusia yang terbatas pula.

Mengetahui faktor-faktor permasalahan tersebut, maka dalam menghentikan praktik peredaran jamu kuat yang mengandung BKO tidak dapat hanya menunjuk pelaksanaan sikap hati-hati hanya pada satu subyek hukum semata (apakah itu konsumen atau pelaku usaha saja). Hal ini dikarenakan, pelaksanaan kewajiban dari salah satu pihak jika tidak dibarengi pelaksanaan dari pihak yang lain akan menjadi tidak efektif dan sia-sia. Berangkat dari kesadaran yang dimulai dari diri masing-masing, maka dapat meminimalisir ekses negatif tersebut. Konsumen yang berhati-hati pada akhirnya akan terhindar dari produk yang merugikan keamanan dan kesehatan dirinya, sekalipun produk tersebut diperdagangkan secara bebas. Hal ini dikarenakan konsumen secara aktif mencari informasi atau membaca informasi terkait produk. Sementara, pelaku usaha yang berhati-hati akan menjaga kepercayaan konsumennya atas kualitas produk

yang diperdaganggkanya. Bahkan, secara tidak langsung pelaku usaha yang berhati-hati dalam memproduksi barang atau produk akan terhindar dari tanggung jawab gugatan ganti rugi ataupun tuntutan pidana atas penggunaan produk yang merugikan konsumen.

  • 4.    Kesimpulan

Keberadaan doktrin atau prinsip caveat emptor dan caveat venditor harus dijalankan secara bersama-sama, khsusunya berkaitan dengan kasus peredaran produk jamu kuat “Gali-Gali” yang mengandung Sildenafil Sitrat. Dalam praktiknya keberadaan produk jamu kuat “Gali-Gali” yang mengandung Sildenafil Sitrat tentu merugikan konsumen dan mengancam keselamatan serta kesehatan konsumen. Produk jamu kuat “Gali-Gali” telah melanggar ketentuan yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 02396/A/SKA/III/1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras Terdaftar. Pada kemasan produk jamu kuat “Gali-Gali” tertera logo penanda jamu, yang seharusnya mencantumkan logo obat keras. Apabila dalam implementasinya kasus seperti ini hanya terus menuntut kehati-hatian pelaku usaha semata, tanpa diimbangi kehati-hatian pula oleh konsumen, maka praktik seperti ini akan terus terjadi. Pada akhirnya, pelaku usaha harus berhati-hati dalam memproduksi dan memperdagangkan jamu yang memang memiliki kandungan herbal. Konsumen pun juga harus berhati-hati dan lebih kritis dalam memastikan nomor registrasi produk di BPOM, serta membaca secara seksama kandungan dan peringatan yang tertera dalam produk Jamu.

Ucapan terima Kasih (Acknowledgments)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini yaitu Laboratorium Biochem Technology Surabaya sebagai laboratorium tempat pengujian sample produk, dr. Tjin Willy sebagai narasumber, dan pihak pedagang atau penjual produk jamu kuat yang telah bersedia membantu dalam menyempurnakan substansi dan pokok penelitian ini. Selanjutnya, penulis berterima kasih kepada reviewer yang berkontribusi dalam memberikan masukan dan saran bagi penulis.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Gautama, S. (2006). Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Sutedi, A. (2008). Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia.

United Nations Conference on Trade and Development. (2016). United Nations Guideline for Consumer Protection. New York & Geneva: United Nation

Zulham. (2013). Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Jurnal

Batas, C. (2014). Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Barang Cacat Dan Berbahaya. Lex Et       Societatis,       2(8),       88-97.       DOI:

https://doi.org/10.35796/les.v2i8.6188.

Elfahmi, Herman. J.W., dan Oliver. K. (2014). Jamu: Indonesian Traditional Herbal Medicine Towards Rational Phytopharmacological Use. Journal of Herbal Medicine, 4, 51-73. https://doi.org/10.1016/j.hermed.2014.01.002.

Evizal, R, dkk. (2012). Peranan Pohon Pelindung Dalam Menentukan Produktivitas Kopi. Jurnal Agrotropika, 17 (1), 19-23.

Grady, N. (2020). Tanggung Gugat Pelaku Usaha Otomotif Atas Kerugian Konsumen Akibat Cacat Desain.       Jurist-Diction,       3(2),       559-585.

DOI: http://dx.doi.org/10.20473/jd.v3i2.18205

Lee, N.H., dkk. (2011). Hepatoprotective and Antioxidative Activities of Cornus Officinalis Against Acetaminophen - Induced Hepatotoxicity in Mice. Hindawi Publishing Corporation Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 12, 18. doi:10.1155/2012/804924.

Lumolos, H.D. (2018). Upaya Hukum Konsumen Kepada Pelaku Usaha Akibat Barang Yang Digunakan Dalam Keadaan Rusak Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lex Privatum, 6(8), 57-67. ISSN: 2337-4942.

Mamengko, R.S. (2016). Product Liability dan Profesional Liability di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum UNSRAT, 3(9), 1-10. ISSN 2338-0063.

Nurbaiti, S. (2013). Aspek Yuridis Mengenai Product Liability Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Perbandingan Indonesia-Turki). Jurnal Hukum Prioris, 3(2), 70-94. ISSN: 2548-6128.

Sofie, Y. (2015). Jaminan Atas Produk Halal Dari Sudut Pandang Hukum Perlindungan Konsumen. Journal of Islamic Law Studies, Sharia Journal, 1(1), 28-69.

Sudewi, N.K.A.P.A., I Nyoman, P.B., dan Ni, M.P.U. (2020). Perlindungan Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Terhadap Peredaran Produk Jamu yang Mengandung Bahan Kimia Obat Berbahaya. Jurnal Analogi Hukum, 2(2), 246251, DOI: https://doi.org/10.22225/ah.2.2.2020.246-251.

Sumiati, T., Bina .L., dan Nurtiyah. (2012). Analisis Sildenafil Sitrat Dalam Jamu Kuat di Kecamatan Bogor Barat dan Tanah Sareal dengan Menggunakan Kromatografi Cair Spektrometri Massa. Jurnal Farmamedika (Pharmamedica Journal), 2(2), 77-87. DOI: https://doi.org/10.47219/ath.v2i2.

Triadisti, N. & Heldawati. (2018). Analisa Kualitatif Sildenafil Sitrat Pada Beberapa Produk Jamu Sehat Pria Dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis Di Wilayah Banjarmasin. Journal of Current Pharmaceutical Sciences, 1(2), 42-47. ISSN 2598-2095.

Waris, R., ABD. Kadie, & Chairil, A. (2013). Identifikasi dan Penetapan Kadar Sildenafil Sitrat pada Jamu Kuat Lelaki yang Beredar di Kota Makassar. Jurnal As-Syifaa. 5(1), 95-102. ISSN: 2085-4714.

Yuanitasari, D. (2017). Re-evaluasi Penerapan Doktrin Caveat venditor Dalam Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen. Arena Hukum, 10(3), 425-440. DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2017.01003.5.

Online/World Wide Web:

ADH. (2021). Herbal: Puama Muira. Retrieved from https://health.detik.com/obat/d-1341878/herbal-puama-muira, diakses 14 Desember 2021.

Mulyono, A. J. (2020), Obat Kuat yang Tewaskan Pasangan di Hotel Baturraden. Retrivied from https://www.tagar.id/obat-kuat-yang-tewaskan-pasangan-di-hotel-baturraden, diakses 10 Sepetember 2021

N.N. (2012), BPOM: Semua Obat Kuat Ilegal. Retrivied from https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-1958609/bpom-semua-obat-kuat-ilegal, diakes 10 September 2021

Puspitasari, I. (2020). Pentingnya Mengenal Kembali Jenis Obat Tradisional Pada Masa

Pandemik             Covid-19.             Retrieved

https://farmasi.ugm.ac.id/id/archives/3821, diakses 12 November 2021.

Wong,     C.     (2021).     What     is     Damiana?     Retrieved

from

from

https://www.verywellhealth.com/damiana-what-should-i-know-about-it-89557,

diakses 14 Desember 2021.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 61 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Kesehatan

Tradisional Empiris.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 02396/A/SKA/III/1986 Tentang Tanda Khusus Obat Keras Terdaftar.

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 44, No. 01 April 2022, h. 116-135

135