Vol. 44, No. 1, April 2022

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika

E-ISSN 2579 9487

P-ISSN 0215-899X


Keberadaan Pasar Buruh Fleksibel di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

Ari Hernawan1

1Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 29 November 2021

Diterima : 19 April 2022

Terbit : 30 April 2022

Keywords :

Flexible Labor Market, Definite Term Employment Agreement, Outsourcing, Job Creation


Kata kunci:

Pasar Buruh Fleksibel, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Outsourcing, Cipta Kerja

Corresponding Author:

[email protected]

DOI :

10.24843/KP.2022.v44.i01.p.04


Abstract

This research was aimed for analyzing the existence of Law No. 11 of 2020 on Job Creation and its implementing regulations in developing flexible labor market in Indonesia and for analyzing the intention of definite term employment agreement and outsourcing arrangement herein. This was descriptive analytical normative research relies on the secondary data in the form of legal material as source data. The research was conducted by way of documentary study, complemented by interview with interviewee, and the result was analyzed in qualitative. The result of research indicated that the Job Creation Law and its implementing regulations affect the growth of flexible labor market through definite term employment agreement and outsourcing arrangement which is getting more flexible, as it moves from a corporatist model of industrial relations to become more market-based. The arrangement of certain time work agreements and outsourcing is interpreted as an illustration of the weak position of workers against investors and the strength of investors against the state. There are economic considerations behind the arrangement, namely to create a permissive climate for the investment ecosystem as part of the larger framework of economic liberalization.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya dalam menumbuhsuburkan pasar buruh fleksibel di Indonesia serta menganalisis makna dibalik pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing di dalamnya. Penelitian normatif yang bersifat deskriptif analitis ini mengandalkan data sekunder berupa bahan hukum sebagai sumber data. Penelitian dilakukan dengan cara studi dokumen, didukung wawancara dengan narasumber, dan hasilnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya berdampak pada tumbuhsuburnya pasar buruh fleksibel di Indonesia melalui pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu dan

outsourcing yang semakin fleksibel, karena bergerak dari model hubungan industrial yang bersifat korporatis menjadi lebih berbasis pada pasar. Pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing tersebut dimaknai sebagai gambaran lemahnya posisi buruh di hadapan pemodal dan kuatnya pemodal dihadapan negara. Ada pertimbangan ekonomis dibalik pengaturannya, yaitu untuk menciptakan iklim permisif bagi ekosistem investasi sebagai bagian dari kerangka besar liberalisasi ekonomi.

  • 1.    Pendahuluan

Kebijakan perburuhan di Indonesia selalu melibatkan dan berpengaruh pada gerakan buruh, hubungan kerja, dan peran negara didalamnya. Karakter kebijakan perburuhan juga tidak dapat dilepaskan dari konteks ekonomi dan politik pada masa pilihan kebijakan tersebut diambil. Artinya pertimbangan ekonomi dan politik selalu menjadi faktor yang berperan penting dalam menetapkan dan menerapkan kebijakan perburuhan.

Pada era Orde Lama motif ekonomi memang tidak terlalu dominan, karena pada awal kemerdekaan fokus pemerintah masih pada mempertahankan kemerdekaan dan konsolidasi kekuatan politik domestik. Serikat buruh menikmati kebebasan politik seiring dengan liberalisasi bidang politik saat itu, meskipun negara juga dominan melakukan intervensi. Sebagai gambaran, pada tahun 1950-an, di Indonesia terdapat sekitar 150 serikat buruh dalam lingkup nasional dan ratusan lainnya di tingkat daerah. Sebagian besar berafiliasi dengan partai politik, sehingga titik berat kegiatan serikat buruh pada masa itu lebih condong kepada politik.1 Menurut Hadiz, hal tersebut karena pada saat itu masih bertahannya euphoria revolusi, pemerintah secara langsung mewarisi egaliterisme dan keadilan sosial dari revolusi 1945. Pada saat itu negara juga masih berkutat pada persoalan domestik pasca runtuhnya Hindia Belanda dan kaum pemodal belum sekuat sekarang.2

Kebijakan perburuhan berubah pada era Orde Baru, dimana motif ekonomi dan politik pemerintah secara berimbang sangat dominan. Kondisi perekonomian awal Orde Baru mendorong pemerintah fokus pada pembenahan ekonomi. Ekonomi menjadi tujuan pembangunan yang utama, semua dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Kebijakan perburuhan juga dikondisikan untuk mendukung berjalannya industrialisasi.

Motif politik di balik kebijakan perburuhan Orde Baru adalah kecenderungan mencegah hadirnya gerakan yang dianggap radikal, berbasis massal, dan dianggap pro komunis, karena itu dilakukan kontrol yang ketat diikuti aksi represif negara terhadap buruh dan serikat buruh. Gerakan buruh didepolitisasi dan dominasi peran negara semakin menguat dalam hubungan perburuhan, misalnya melegalkan konsep upah minimum, menghadirkan jaminan sosial tenaga kerja, dan ikut menentukan syarat-syarat dan kondisi kerja. Sebagai akibatnya, hubungan perburuhan menjadi kaku, karena lebih

didasarkan kompleks pertimbangan ekonomi dan politik pemerintah. Sistem hubungan perburuhan yang kaku, kontrol yang kuat dari negara terhadap buruh dengan sejumlah represi sebagai wujud dominasi, merupakan bentuk korporatisme eksklusioner negara.3

Pada saat Orde Baru runtuh, krisis ekonomi juga terjadi mulai dari turunnya nilai rupiah, larinya modal keluar negeri secara besar-besaran, turunnya pertumbuhan ekonomi, perusahaan tutup, pemutusan hubungan kerja massal, dan tingginya pengangguran. Kondisi tersebut mendorong pemerintah meminta asistensi International Monetary Fund (IMF) dan lembaga internasional lain untuk menangani krisis ekonomi di Indonesia. Salah satu yang disarankan adalah merombak sistem ketenagakerjaan yang kaku diubah menjadi lebih fleksibel. Fleksibilitas ini dibutuhkan untuk menarik investasi yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja serta mengurangi pengangguran.

Runtuhnya kekuasaan Orde Baru mengubah pola hubungan perburuhan di Indonesia. Pada era Reformasi, gerakan buruh kembali dibebaskan sejalan dengan liberalisasi politik di semua bidang. Serikat buruh kembali bermunculan dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang telah mengubah model single union ke multi union system, walaupun masih dengan sejumlah restriksi bagi ruang gerak serikat buruh. Ini adalah proses liberalisasi politik yang berhasil menekan International Labour Organization (ILO) bekerja sama dengan IMF untuk memaksa pemerintah meratifikasi konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, sebagai basis lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Pada era Reformasi, perubahan karakter yang paling terlihat adalah hubungan kerja mulai difleksibelkan dari sebelumnya yang bersifat kaku. Intervensi negara yang pada era sebelumnya sangat kuat, pada era Reformasi ini mulai dikurangi dengan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Disinilah mulai dilegalkan sistem kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai bentuk nyata fleksibilitas pasar buruh, meskipun masih dengan sejumlah pembatasan dan syarat yang ditentukan pemerintah.

Perkembangan saat ini, di Indonesia telah diundangkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan metode omnibus law, yang terdiri dari berbagai klaster. Dalam klaster ketenagakerjaan Undang-Undang tentang Cipta Kerja tersebut terdapat perubahan signifikan pengaturan mengenai sistem kerja kontak (yang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikenal dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan pengaturan mengenai outsourcing (yang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebut sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja disebut alih daya).

Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia mengajak Dewan Perwakilan Rakyat untuk menerbitkan Undang-Undang Cipta (Lapangan) Kerja yang menjadi omnibus law untuk merevisi puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja. Investasi untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan dan prosedur yang panjang harus dipotong.4 Hal tersebut didukung data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir berkisar di angka 5%, dengan realisasi investasi Tahun 2019 sampai kuartal III 2019 Rp. 601 Triliun. Diperlukan pertumbuhan ekonomi 6% atau lebih per tahun untuk membuka lapangan kerja baru guna menampung 2 (dua) juta pekerja baru dan 7 (tujuh) juta pengangguran yang ada serta upaya ekstra untuk menarik investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.5

Hal yang menarik, sejumlah pembatasan dan syarat perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dihilangkan dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, sehingga memancing reaksi buruh. Kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja sebagai peraturan turunan atau pelaksanaan Undang-Undang tentang Cipta Kerja tersebut menjadikan permasalahan ketenagakerjaan menjadi semakin kompleks. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tersebut semakin menguatkan asumsi adanya pergeseran pola hubungan industrial di Indonesia dari korporatis ke arah kontraktualis, dimana peran negara semakin dikurangi. Hal tersebut tentu dapat berpengaruh pada kondisi pasar buruh di Indonesia. Dalam kondisi dan situasi dimana penawaran dan perintaan tenaga kerja tidak seimbang, tentu permasalahan ini menjadi menarik untuk diteliti.

Sejak rancangannya, Undang-Undang tentang Cipta Kerja tersebut memang telah mendapat penolakan dari kaum buruh, bukan hanya prosesnya yang dinilai tidak partisipatif, tetapi substansinya tidak memihak buruh. Undang-Undang tentang Cipta Kerja dan turunannya tersebut merubah beberapa pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, salah satunya tentang perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing. Resistensi kelompok buruh yang didukung koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat ini merupakan bentuk perlawanan terhadap upaya perubahan kebijakan yang akan mereduksi hak dan kepentingan kaum buruh. Dari perspektif buruh, tentu reaksi tersebut merupakan hal yang rasional dan tidak bersifat personal karena lebih disebabkan aspek struktural akibat pertentangan logika antara pemerintah dan pengusaha yang menekankan nilai efisiensi, produktivitas dan keuntungan, dan buruh yang menuntut peningkatan kesejahteraan, kondisi kerja yang baik dan keamanan kerja yang lebih besar.

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

  • 1.    Apakah pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsoucing dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja semakin akseleratif bagi tumbuh suburnya pasar buruh fleksibel di Indonesia?

  • 2.    Ada makna apa dibalik teks pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bahwa sebuah kebijakan terkait perburuhan, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (melalui klaster ketenagakerjaan) dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja berpengaruh terhadap keberadaan pasar buruh fleksibel di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bahwa ada makna tersembunyi dibalik pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya yang potensial menyebabkan ketiadaan perlindungan hukum bagi buruh yang terikat dalam sistem kerja tersebut.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian mengenai keberadaan pasar buruh fleksibel di Indonesia pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini bersifat deskriptif analitis. Dikatakan deskriptif karena penelitian ini menggambarkan persoalan hukum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dari sisi pengaturannya yang berdampak pada keberadaan pasar buruh.6 Dikatakan analitis karena bekerjanya norma, asas, dan nilai hukum terkait dengan permasalahan dianalisis dengan menggunakan tinjauan pustaka dan landasan teori untuk membedahnya.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan data sekunder sebagai sumber data. Berbagai asas, norma dan sistem nilai dikaji dalam penelitian ini melalui penelitian kepustakaan. Penelitian normatif ini didukung dengan wawancara terhadap narasumber yang berkompeten di bidangnya untuk memperkuat analisis atas data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan

Penelitian Kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dari bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Cara yang dipergunakan dalam penelitian kepustakaan adalah studi dokumen, yaitu studi dengan cara mempelajari, memahami termasuk melakukan pengelompokan secara sistematis data sekunder baik berupa buku, laporan hasil penelitian, tulisan para ahli, dan peraturan yang berkaitan dengan materi penelitian.

Wawancara dengan narasumber dalam penelitian ini juga dilakukan dengan pertimbangan mempunyai kompetensi untuk membantu mengurai dan menganalisis data hasil penelitian. Alat yang digunakan dalam wawancara dengan narasumber adalah pedoman wawancara. Dalam melakukan wawancara digunakan teknik wawancara tidak terstruktur, yakni wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara yang memuat hal-hal pokok atau garis besar materi wawancara. Pedoman wawancara bersifat kombinasi terbuka dan tertutup agar dapat menyesuaikan dengan permasalahan dan kondisi saat penelitian dilakukan.

Data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dipilih dan dihimpun, kemudian disusun dalam suatu kerangka yang sistematis untuk memudahkan analisisnya. Hasil wawancara dengan narasumber diperiksa kembali kelengkapan, kejelasan dan keseragaman datanya. Selanjutnya data tersebut diklasifikasikan dan dicatat secara sistematis dan konsisten. Langkah selanjutnya kemudian dilakukan analisis yaitu data yang telah dipilih dan dihimpun tersebut dikelompokkan, dihubungkan dan dibandingkan satu sama lain. Data dari penelitian kepustakaan dan hasil wawancara dengan narasumber tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang keberadaan pasar buruh fleksibel di Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Keberadaan Pasar Buruh Fleksibel dengan Pengaturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Outsourcing dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja dan Turunannya

Pertumbuhan ekonomi yang berkorelasi dengan penyerapan tenaga kerja, dalam logika pasar bebas selalu dikaitkan dengan pola hubungan perburuhan di suatu negara. Dua tahun setelah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berlaku, oleh World Bank, Indonesia masih dinilai sebagai salah satu negara dengan hubungan perburuhan paling kaku di Asia.7 Di tahun 2020, tingkat kemudahan berusaha di Indonesia menduduki peringkat 73 dunia, jauh di bawah negara ASEAN lainnya seperti Singapura yang menduduki peringkat 2, Malaysia di peringkat 12 dan Thailand di peringkat 21.8 Kondisi ini dipercaya dapat menurunkan minat investor asing menanamkan modalnya di Indonesia, padahal, kehadirannya diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja. Survey Bank Dunia tersebut dianggap menjadi dasar paling berpengaruh bagi para investor internasional untuk memilih negara tujuan investasi.

Memang pada umumnya pembangunan negara berkembang merupakan gagasan yang bukan lahir dari pemikiran negara berkembang itu sendiri, tetapi digagas oleh negara

industri untuk mendukung perluasan pasar mereka. Bank Dunia merupakan organisasi ekonomi yang dipercaya oleh negara kaya untuk mempromosikan pembangunan di negara berkembang.9

Pembangunan ekonomi bagi negara berkembang selalu dianggap obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan keterbelakangan, semuanya disponsori oleh negara-negara maju dengan salah satunya pola pinjaman luar negeri. Mereka bukan hanya mensponsori secara finansial, ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan juga sampai penentuan parameter maju dan terbelakang, tradisional dan modern, kaya dan miskin, welfare dan ill-fare suatu negara, semuanya itu tidak lepas dari campur tangan para sponsor. Dengan demikian semua persoalan negara berkembang ditentukan melalui sistem keuangan internasional.10 Hanya saja lembaga seperti IMF kadang menyediakan saran tentang stabilitas ekonomi, namun tidak menunjukkan cara bagaimana ekonomi tumbuh dengan baik.11

“Resep” dari lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF tersebut dalam perjalanannya mempengaruhi kebijakan perburuhan di Indonesia. Dengan dalih Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 terlalu kaku bagi dunia usaha dan investasi, dimunculkan wacana revisi undang-undang tersebut. Lama tidak ada perkembangan mengenai rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, justru di tahun 2020 ini pemerintah membuat inisiasi Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan metode omnibus law, dimana ketenagakerjaan merupakan salah satu klasternya.

Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia mengajak Dewan Perwakilan Rakyat untuk menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi omnibus law untuk merevisi puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja. Investasi untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan dan prosedur yang panjang harus dipotong.12 Hal tersebut didukung data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir berkisar di angka 5%, dengan realisasi investasi Tahun 2019 sampai kuartal III 2019 Rp. 601 Triliun. Diperlukan pertumbuhan ekonomi 6% atau lebih per tahun untuk membuka lapangan kerja baru guna menampung 2 (dua) juta pekerja baru dan 7 (tujuh) juta pengangguran yang ada serta upaya ekstra untuk menarik investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.13

Kehadiran Undang-Undang tentang Cipta Kerja dan turunannya pun mendapat penolakan dari kaum buruh, bukan hanya prosesnya yang dinilai tidak partisipatif,

tetapi substansinya tidak memihak buruh karena semakin akseleratif terhadap pasar buruh fleksibel. Undang-Undang tentang Cipta Kerja tersebut merubah banyak pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, salah satunya tentang perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing. Resistensi kelompok buruh yang didukung koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat ini merupakan bentuk perlawanan terhadap upaya perubahan kebijakan yang mereduksi hak dan kepentingan kaum buruh. Dari perspektif buruh, tentu reaksi tersebut merupakan hal yang rasional dan tidak bersifat personal karena lebih disebabkan aspek struktural akibat pertentangan logika antara pemerintah dan pengusaha yang menekankan nilai efisiensi, produktivitas dan keuntungan, dan buruh yang menuntut peningkatan kesejahteraan, kondisi kerja yang baik dan keamanan kerja yang lebih besar. .

  • a.    Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Pemerintah masih mengadopsi sistem kerja kontrak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang dikenal dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Perjanjian kerja waktu tertentu mendasarkan hubungan kerja pada jangka waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu. Hal tersebut juga dikuatkan dengan kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja yang merupakan turunannya.

Dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja dan turunannya tersebut, terdapat perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu, yang sebelumnya dibatasi hanya dua tahun, dengan kesempatan perpanjangan 1 (satu) tahun dan pembaruan 2 (dua) tahun, dirubah menjadi ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak, dengan ketentuan jangka waktu keseluruhan PKWT beserta perpanjangannya tidak lebih dari 5 (lima tahun). Hal yang sama juga berlaku untuk PKWT berdasarkan selesainya pekerjaan. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT belum dapat diselesaikan sesuai lamanya waktu yang disepakati, maka jangka waktu PKWT dilakukan perpanjangan sampai batas waktu tertentu hingga selesainya pekerjaan. Dalam logika tersebut, buruh dan pengusaha diberikan kebebasan untuk bertanggung jawab atas keputusan dalam hubungan kerja diantara mereka. Negara tidak punya alasan apapun untuk mencampuri dan mengawasi pasar buruh, termasuk dalam hubungan kerja.

Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu dalam Undang-Undang Cipta Kerja tidak lagi dikenal. Ketentuan tersebut sejalan dengan pasar buruh fleksibel dimana kontrak kerja didasarkan pada kesukarelaan, sebuah hubungan kontraktual. Tiap pihak memiliki kesempatan untuk masuk atau menghentikan pekerjaan atas dasar kesepakatan. Dengan pertimbangan rasional buruh bebas memilih pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, sebaliknya pengusaha juga bebas memilih buruh yang akan dipekerjakan.

Jika sebelumnya perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak dibuat tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu, dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja tidak ada akibat hukumnya jika tidak tertulis. Dengan ketentuan seperti itu, artinya negara tidak lagi hadir dengan melakukan pembatasan-pembatasan untuk melindungi buruh kontrak, karena mengenai aturan main dalam hubungan kerja diserahkan kepada para pihak. Dalam konteks ini, buruh dan pengusaha bertemu pada

tingkat upah dan pekerjaan tertentu, dimana kedua belah pihak memiliki keleluasaan dalam menentukan keputusan untuk bekerja sama tanpa hambatan, karena tidak ada lagi pembatasan dan persyaratan yang sebelumnya ditentukan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Fleksibilitas pasar buruh terlihat dengan adanya ketidakpastian kerja karena jika sudah memenuhi jangka waktu atau pekerjaan sudah selesai maka demi hukum hubungan kerja berakhir. Kalaupun ada perpanjangan atas “kebaikan hati” pengusaha, karena inisiasinya dari pengusaha, itupun dengan jangka waktu sangat terbatas.

Dampak lain dari pasar buruh fleksibel seperti itu adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja atas buruh tetap yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu, untuk kemudian buruh tersebut direkrut kembali dengan sistem kerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu. Ini adalah pilihan rasional pengusaha, karena dengan sistem kerja kontrak dapat meringankan beban pengusaha, baik upah maupun kompensasi, dibandingkan merekrut buruh tetap.

Dengan sistem kerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu, perekrutan dan pemberhentian buruh mudah dan tidak memakan banyak biaya. Hal ini dianggap menjadi insentif bagi pengusaha untuk dapat merekrut tenaga kerja baru dengan sistem kontrak sesuai kebutuhan pasar. Jika permintaan pasar sedang tinggi, perusahaan akan merekrut kembali buruh dengan sistem kontrak, namun jika permintaan menurun maka perusahan dapat menghentikan kontrak tanpa keharusan membayar uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Sebagai catatan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan pengusaha membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak kepada buruh tetap yang diputus hubungan kerjanya. Hal tersebut dikeluhkan memberatkan dunia usaha karena besaran nominalnya tinggi

Dengan segala kelebihannya, pengusaha akan cenderung memilih sistem kerja ini. Apalagi ketentuan perpanjangan diperbaharui dan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu berikut implikasinya juga dihapus. Artinya sangat mungkin terjadi buruh akan menyandang status “buruh kontrak” seumur hidup.

Dalam pasar buruh fleksibel, dimana hubungan kerja cenderung didasarkan pertimbangan dan kebutuhan rasional, akan menguntungkan pengusaha. Pilihan untuk menggunakan sistem kerja kontrak dianggap luwes oleh pengusaha, karena dalam merekrut buruh kontrak akan menyesuaikan dengan jenis dan kapasitas produksi yang dibutuhkan serta persaingan yang dihadapi dalam pasar komoditas.

Dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja terdapat penambahan cara berakhirnya perjanjian kerja, yaitu dengan selesainya suatu pekerjaan tertentu maka perjanjian kerja berakhir. Dengan demikian, buruh dengan sistem kerja kontrak semacam itu sewaktu-waktu bisa “dibuang” jika tidak lagi dibutuhkan ketika pekerjaan sudah selesai. Dengan fleksibilitas pasar buruh, mudah bagi pengusaha untuk mencari buruh yang sesuai dengan pertimbangan rasionalnya, sebaliknya dengan penawaran dan permintaan tenaga kerja yang tidak seimbang, buruh masih harus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan baru, apalagi yang tidak memiliki kemampuan atau keahlian yang dibutuhkan pengguna.

  • b.    Outsourcing

Di Indonesia, awalnya outsourcing merupakan keistimewaan yang diberikan kepada Kawasan Berikat/export processing zones melalui Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 264/Kp/1989 tentang Pekerjan Sub-Kontrak Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat dan Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 135/ KP/VI/1993 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan Berikat. Alasan kehadiran outsourcing sebagai strategi manajemen untuk memangkas biaya produksi, agar dapat mengejar target permintaan pasar eksport. Hal ini merupakan bagian dari kebijakan Orde Baru yang menitikberatkan industri berorientasi ekspor. Jadi, awalnya outsourcing merupakan kebijakan perdagangan dan industri, dan baru menjadi kebijakan perburuhan melalui Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-08/MEN/1990 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Pemberi Borongan Pekerjaan terhadap Perlindungan dan Kesejahteraan Pekerja Perusahaan Pemborong. Dalam Surat Edaran tersebut, sistem kerja outsourcing diartikan sebagai “memborongkan sebagian pekerjannya kepada perusahaan lain (pemborong).

Sama dengan kelahiran sistem kerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu, gagasan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebabkan karena dominannya kerangka pikir neoliberal pemerintah Indonesia dalam usaha mengatasi krisis ekonomi sejak tahun 1997. Hal yang menjadi alasan untuk legalisasi outsourcing utamanya adalah analisa ekonomi yang menekankan soal kemampuan perusahaan untuk tetap bertahan di tengah persaingan global, semuanya diukur berdasarkan kemampuan kompetitif dan adaptasi. Tuntutan kompetitif mendorong perusahaan mengurangi biaya produksi dengan berbagai cara dan strategi manajemen guna merebut pasar dunia, dan sistem kerja outsourcing menjadi pilihan yang paling mudah dilakukan.

Dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, outsourcing didefinisikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, yang berbadan hukum, melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa tenaga kerja yang dibuat secara tertulis. Dengan demikian terjadi perluasan pemaknaan dari sistem kerja outsourcing yang berlaku di Indonesia saat ini, karena bukan hanya pelaksanaan pekerjan yang dapat dialihkan pada perusahaan lain, tetapi juga dimungkinkan terjadinya pengalihan tenaga kerja.

Menurut Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat :

  • 1) . dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

  • 2) . dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

  • 3) . merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

  • 4) . tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Persyaratan tersebut juga dikuatkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 4/MEN/VIII/2013.

Persyaratan tersebut dalam Undang-Undang Cipta Kerja tidak lagi dikenal karena keberadaan Pasal 65 Undang -Undang Ketenagakerjaan dieliminasi. Perlindungan buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja Bersama. Ini artinya Perjanjian outsorcing tidak lagi dikenal dalam klaster ketenagakerjaan. Hal yang dipertahankan adalah hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dan buruh, itupun didasarkan pada perjanjian dan peraturan perusahaan, sehingga tergantung kesepakatan dan kesadaran internal para pihak, sehingga potensi fleksibilitasnya tinggi.

Hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dan buruh outsourcing dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tetentu dalam bentuk tertulis. Dalam hal dilakukan melalui perjanjian kerja waktu tertentu harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak bagi buruh outsourcing apabila terjadi pergantian perusahaan outsourcing dan sepanjang obyek pekerjaan tetap ada. Persyaratan pengalihan perlindungan merupakan jaminan bagi buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu, tidak untuk buruh dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut sehingga meskipun secara eksplisit diatur namun potensial tidak diimplementasikan, karena bekerjanya hukum dalam praktik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengawasan, penegakan dan sanksinya.

Perusahaan outsourcing merupakan bentuk usaha berbadan hukum dan wajib memiliki ijin berusaha dari Pemerintah Pusat. Syarat dan tata cara memperoleh perijinan berusaha dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai norma, standard, prosedur, dan kriteria perijinan berusaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Undang-Undang Cipta Kerja tidak mengharuskan menerapkan sistem outsourcing. Diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha untuk mempergunakan sistem kerja outsourcing atau tidak. Meskipun demikian, dengan segala kelebihanya, tentu pengusaha akan lebih memilih sistem ini karena efisien dan aman. Efisien karena tidak harus mengeluarkan banyak biaya untuk memenuhi hak buruh outsourcing layaknya buruhnya sendiri. Disebut aman karena perlindungan buruh outsourcing menjadi kewajiban perusahaan outsourcing sehingga dapat menghindarkan pengguna dari risiko ketenagakerjaan

Dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja berbagai persyaratan yang merupakan pembatasan dieliminasi. Ini dapat saja dimaknai semua pekerjaan bisa dioutsourcing-kan, tidak ada lagi pembatasan-pembatasan berupa syarat -syarat yang sebelumnya dimuat di Pasal 64, 65 dan Sebagian Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena syarat-syarat tersebut dihilangkan, maka selamanya buruh bisa menjadi buruh outsourcing dengan berpindah-pindah pada perusahaan penyedia jasa buruh.

Meskipun Pasal 64 yang membuka eksistensi outsourcing dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memuat syarat pekerjaan yang dapat dioutsorce dihilangkan, tetapi Undang-Undang tentang Cipta Kerja justru membuka tumbuhkembangnya outsourcing dengan memberikan syarat yang cukup

longgar bagi pendirian perusahaan alih daya atau outsourcing. Dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja hanya disebutkan syarat “berbentuk badan hukum” dan “wajib memenuhi ijin usaha” dalam pendirian perusahaan alih daya atau outsourcing.

Dalam outsourcing, buruh dianggap “komoditas”, dipakai ketika diperlukan dan “dibuang” ketika sudah tidak dibutuhkan. Ini merupakan bentuk fleksibilitas pasar buruh dimana buruh dapat direkrut dan diberhentikan dengan mudah.

Implikasi dari hadirnya sistem kerja outsourcing yang fleksibel ini adalah munculnya pemutusan hubungan kerja baik buruh tetap maupun buruh kontrak, untuk selanjutnya buruh direkrut kembali melalui perusahaan penyedia jasa buruh, yang berkembang cukup pesat di Indonesia. Pola outsourcing ini disukai oleh pemberi kerja dalam rangka efisiensi, meskipun sering dikritik melanggar hak asasi buruh dalam praktek di lapangan, karena dikecualikan dari hak-hak buruh pada umumnya dalam bekerja seperti upah lembur, insentif jabatan, fasilitas kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan. Outsourcing merupakan pilihan yang aman karena yang bertanggung jawab mengenai persoalan ketenagakerjaan adalah perusahaan outsourcing. Apabila perusahaan kurang sehat maka outsourcing menjadi alternatif paling mudah sekaligus menghindari risiko ketenagakerjaan.

Dalam fleksibilitas pasar buruh, buruh outsourcing sering dianggap sebagai pelengkap, buruh kelas dua, hanya bekerja jika memang ada skema pekerjaan tambahan dan karenanya tidak memiliki jaminan atas keberlangsungan pekerjaannya. Bentuk penyimpangan dalam praktek juga sering dialami buruh outsourcing seperti bekerja di bagian produksi utama, pelanggaran kontrak kerja yang terus menerus diperpanjang, atau perusahaan penyedia jasa buruh mengutip uang dari buruh outsourcing.14

Longgarnya aturan tentang outsourcing dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja dan turunannya berpotensi menyebabkan semakin menjamurnya bisnis outsorcing di Indonesia. Pelaku usaha, termasuk pelaku bisnis outsourcing ini dianggap sebagai kelompok kontributif dalam menyoal pertumbuhan ekonomi, apalagi faktanya juga punya akses ke sumber daya ekonomi dan politik. Persaingan antar perusahaan juga akan menjadi motif utama terjadinya perubahan-perubahan bentuk kerja seperti outsourcing ini.15

Dengan pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang fleksibel seperti itu, sistem kolektivisme dalam hubungan industrial mulai digeser ke individualisme. Individualisasi hubungan kerja dianggap sebagai kunci penting untuk mendorong produktivitas, kepentingan produksi dan ekspansi modal, tetapi mengurangi kontrol kolektif serikat buruh terhadap anggotanya..

Peran dan fungsi serikat buruh dengan kekuatan kolektifnya, menjadi tereduksi karena sistem kerja kontrak dan outsourcing tidak memberikan ruang yang cukup bagi buruh untuk berorganisasi karena mudahnya keluar dari hubungan kerja. Relevan dengan hal tersebut keberadaan serikat buruh yang aktif menyuarakan perlindungan bagi buruh kontrak dan outsourcing dianggap dapat menghambat fleksibilitas modal dalam menghadapi fluktuasi tekanan pasar. Serikat buruh dan kekuatan kolektifitasnya dianggap ketidaksempurnaan dalam persaingan dan variabel pengganggu dalam pasar buruh fleksibel.16

Pasar buruh yang semakin akseleratif bagi fleksibilitas dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini dapat membawa implikasi buruh didorong untuk tidak terikat pada satu pemberi kerja dalam jangka waktu yang lama. Buruh dapat pindah pindah pekerjaan sesuai dengan tingkat pendapatan yang lebih baik, dan pengusaha dapat merekrut buruh sesuai kebutuhan dan kondisi.17 Dalam fleksibilitas pasar buruh semacam ini, keamanan lapangan kerja lebih penting dari keamanan kerja.

Pertimbangan rasional buruh memang juga ditentukan oleh seberapa jumlah pendapatan yang diberikan oleh pengusaha untuk dapat menenuhi kebutuhan hidup, tetapi dengan jumlah penawaran tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan permintaan pasar, bisa jadi posisi tawar buruh dalam kesepakatan juga melemah. Bagaimanapun juga keleluasaan yang ditawarkan dalam pasar buruh fleksibel memerlukan strategi bagi buruh untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

  • 3.2.    Makna Pengaturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Turunannya

Tekanan krisis ekonomi di Indonesia tahun 1998 berdampak pada meluasnya pengangguran, rendahnya pertumbuhan ekonomi, inflasi tinggi, yang dibarengi dengan tingginya angkatan kerja. Untuk mengatasi persoalan tersebut diperlukan investasi besar, sementara pemerintah memiliki keterbatasan dana. Untuk itu pemerintah perlu menarik dana investasi asing maupun pinjaman luar negeri. Sementara itu, secara politik semakin menguat tuntutan kebebasan berserikat bagi buruh serta penyelesaian konflik hubungan industrial yang netral dan adil bagi buruh. Berbagai tekanan tersebut memaksa pemerintah merubah kebijakan perburuhan.

Memperbaiki kondisi ekonomi tersebut bukan hal mudah, karena memerlukan kepercayaan dunia internasional. Agar memperoleh kepercayaan itu, syaratnya harus mampu menjalankan isu dan paradigma ekonomi internasional yang bersifat kompetitif dan terintegrasi dengan liberalisasi ekonomi. IMF sebagai lembaga penguat bantuan pemulihan ekonomi Indonesia pada saat itu, mengajukan resep neoliberal dalam mengatasi krisis ekonomi. Neoliberal merupakan gerak yang ingin mengembalikan liberalisme ke “khitahnya”, yaitu mengembalikan pasar dengan “invisible hand” yang melekat pada dirinya sebagai satu-satunya mekanisme distribusi sumber daya dalam

masyarakat. Sikap bermusuhan dengan “sang pemerintah” merupakan ciri pertama dan utama dari pandangan neoliberalisme.18 Untuk mewujudkan masyarakat “madani”, neoliberalisme menyerahkan pada kebebasan pasar, karena jika pasar diberi kebebasan ia akan memberikan yang terbaik bagi masyarakat.19

Pemerintah Indonesia, dengan dibantu asistensi teknis oleh IMF dan dukungan dana dari USAID (United States Agency for International Development) tersebut memulai program reformasi hukum perburuhan, yang meliputi “the review, revision, formulation or reformulation of practically all labor legislation with a view to modernizing and making it more relevant to and in step with the changing times and requirements of a free market economy”.20 Manifestasi program reformasi Hukum Perburuhan itu adalah dilahirkannya paket tiga buah undang-undang yang bernafaskan liberalisasi, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengakomodasikan sistem kerja kontrak dan outsourcing, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang merubah model single union menjadi multi union dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang mengadopsi rasionalitas legal.21

Hadirnya perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing mengilustrasikan bahwa atas nama mengatasi tingginya angka pengangguran, Undang-Undang Ketenagakerjaan bersendikan pada penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya dengan mengurangi perlindungan dan kepastian bekerja yang selama ini ada. Dengan hadirnya pasar buruh fleksibel, kepastian kerja menjadi tereduksi.

Namun demikian, masih adanya kontrol dan intervensi dominan negara dalam pasar buruh fleksibel di Indonesia melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut dianggap tidak permisif bagi iklim investasi. Undang-Undang Ketenagakerjaan masih dipandang kaku dan tidak akseleratif dengan dunia bisnis yang menghendaki fleksibilitas lebih. Kekakuan Undang-Undang Ketenagakerjaan dianggap sebagai salah satu penyumbang terbesar tidak signifikannya pertumbuhan ekonomi.

Pasar buruh belum benar-benar fleksibel karena negara masih melakukan kontrol dan intervensi. Sejumlah pembatasan dan persyaratan atas sistem kerja kontrak dan outsourcing dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa di atas kertas, eksistensi negara dalam melindungi buruh masih relatif kuat. Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun masih dianggap kaku dan belum relevan dengan semangat liberalisasi yang dibutuhkan dunia usaha.

Oleh karena itu pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dirasakan menghambat investasi perlu direvisi agar lebih relevan, sejalan dengan waktu yang berubah dan kebutuhan ekonomi pasar. Wacana revisi muncul seiring dengan dikeluarkannya sejumlah paket kebijakan perbaikan iklim investasi, yang salah satu substansinya meminta Hukum Ketenagakerjaan tidak kaku dan lebih kondusif bagi investasi.

Undang-Undang Cipta Kerja melalui klaster ketenagakerjaan dianggap menjawab permasalahan tersebut. Untuk memulihkan kondisi ekonomi Indonesia, dunia usaha perlu dibantu, salah satunya dengan menerapkan sistem kerja fleksibel yang lebih luas dari sekedar yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dunia usaha tidak boleh diikat dengan aturan ketenagakerjaan yang kaku, terutama dalam perekrutan dan pemberhentian buruh. Dunia usaha harus diberi kelonggaran dalam aturan merekrut dan memberhentikan buruh sebagai syarat bagi tetap bertahannya usaha. Dengan fleksibilitas semacam ini, pengusaha dapat menyesuaikan jumlah buruh sesuai dengan kondisi pasar. Artinya, jika produksi meningkat, maka pengusaha akan merekrut buruh baru, sebaliknya jika usaha sedang lesu dapat memangkas ongkos produksi dengan memberhentikan buruhnya. Hal ini dapat dicapai dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing yang jauh lebih besar fleksibilitasnya.22

Perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing oleh karena itu masih dipertahankan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, meskipun outsourcing-nya sendiri dikembalikan ke ranah perjanjian perdata, agar pasar buruh lebih fleksibel, sehingga mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi tingkat pengangguran. Motif ekonomi dibalik dipertahankannya perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing secara lebih fleksibel dibanding pengaturan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan memang sangat kental. Langkah liberalisasi pasar buruh ini diharapkan dapat meningkatkan minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia, dengan logika jika investor datang lapangan kerja baru akan dibuka dan pada gilirannya mengurangi pengangguram. Dengan pertimbangan ekonomi tersebut, akhirnya pemerintah mengintrodusir perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yang menjadi turunannya, dengan pengaturan yang lebih fleksibel. Aturan yang dinilai memberatkan dunia usaha harus digeser lebih bersahabat dengan pasar. Dengan pengaturan yang demikian, diharapkan sebagian hubungan perburuhan mulai diatur oleh mekanisme pasar, termasuk perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing ini.

Dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yang merupakan salah satu turunannya, dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing, buruh dituntut untuk lebih lentur dalam melakukan pekerjaan, tidak tersekat oleh rincian kerja yang kaku, dan mampu beradaptasi lebih cepat dengan perubahan. Persaingan antar perusahan menjadi motif utama terjadinya perubahan bentuk sistem kerja. Persaingan merebut pasar dunia menuntut perusahaan untuk lebih produkif dan efsien sehingga melakukan berbagai strategi manajemen dalam model hubungan kerjanya. Untuk konteks Indonesia, perubahan hubungan kerja bukan hanya

akibat dari persaingan antar perusahaan, tetapi juga dilegitimasi oleh pemerintah lewat kebijakannya melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan saat ini melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan turunannya .23

Hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja, menunjukkan strategi yang dipandang efisien oleh negara adalah melakukan reformasi regulasi dengan merubah beberapa ketentuan yang bersifat lintas sektor, mengingat persoalan investasi tidak berdiri sendiri dan melibatkan banyak klaster. Melalui reformasi regulasi ini dilakukan penataan sekaligus terhadap banyak peraturan perundangan yang dirasakan tumpang tindih dan memiliki ego sektoral, yang tidak bersahabat bagi investasi.

Undang-Undang Cipta Kerja adalah bagian dari ide mewujudkan sistem hukum perburuhan Indonesia yang mendukung efisiensi ekonomi dengan mengurangi ongkos buruh melalui pasar buruh fleksibel. Dengan pengaturan didalamnya yang demikian, seperti sudah diuraikan sebelumnya, akan semakin melemahkan posisi tawar buruh. Kemudahan melakukan pemutusan hubungan kerja, diikuti perekrutan buruh melalui perjanjian kerja waktu tertentu dan outsorcing, adalah dampak nyata fleksibilitas pasar buruh yang berorientasi pasar tersebut.

Sebenarnya sudah ada serangkaian pernyataan sikap, kampanye, demonstrasi, menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing yang merupakan icon neoliberal ini. Perjuangan menolak outsourcing bahkan sudah ada sebelum Undang-Undang Ketenagakerjaan disahkan, ketika masih dalam bentuk draft naskah pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat. Gugatan hak uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi juga sudah dilakukan.24 Setelah itu, belum terlihat lagi ada progam serikat buruh yang terkoordinasi dan sistematis dalam menghadapi situasi pasar buruh fleksibel saat ini, sampai akhirnya buruh melakukan perlawanan lagi dengan hadirnya Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang semakin akseleratif terhadap pasar buruh fleksibel.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan paparan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengaturan klaster Ketenagakerjaan dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya telah mengubah signifikan ketentuan hubungan kerja. Dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, beberapa pembatasan dan persyaratan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dihilangkan. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, meskipun buruh juga dilemahkan korporatisme negara, tetapi setidaknya di atas kertas, buruh masih dilindungi dan memiliki peran yang relatif kuat. Dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, secara formilpun posisi buruh dalam perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing dilemahkan, praktis berada di posisi paling bawah dalam hubungan industrial. Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang

Cipta Kerja, Hukum Perburuhan Indonesia mengalami transformasi dari model korporatis dengan negara yang kuat dibelakangnya menjadi lebih berbasis pasar. Dipertahankan dan dipermudahnya perjanjian kerja waktu tertetu dan outsourcing yang merupakan icon pasar buruh fleksibel mengilustrasikan Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 sebagai salah satu turunannya, potensial menumbuhsuburkan pasar buruh fleksibel di Indonesia. Pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja dapat dimaknai sebagai gambaran lemahnya posisi buruh dihadapan pemodal sekaligus kuatnya posisi pemodal di hadapan negara, karena peran negara untuk melindungi buruh kontrak dan buruh outsourcing tereduksi. Semangat “demi investasi” menjadi alasan yang dipakai untuk mengabaikan hak-hak buruh. Atas nama “investasi” dan “pertumbuhan ekonomi” negara yang seharusnya hadir sebagai penyeimbang dalam ketimpangan relasi melalui regulasi, justru menyerahkan kepada buruh kontrak dan outsourcing untuk menentukan aturan main melalui kesepakatan dengan pelaku usaha. Akselerasi pasar buruh fleksibel dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja dan turunannya, sebagai bagian dari kerangka besar liberalisasi ekonomi yang menekankan pada mekanisme pasar dalam hubungan kerja, lebih mendukung pelaku bisnis dalam mengembangkan usahanya dan tidak bagi perlindungan buruh.

Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut pilihan negara menggeser model hubungan industrial korporatis ke kontraktualis akan merestriksi peran negara sebagai pelindung kelompok lemah seperti buruh, karena negara berada di luar area. Dalam model hubungan industrial kontraktualis, dimana kesepakatan menjadi dasar untuk menentukan aturan main dalam sebuah hubungan, kesederajadan adalah kebutuhan. Namun nampaknya hal itu masih menyulitkan bagi buruh secara individual untuk berhadapan setara dengan pengusaha. Oleh karena itu, keberadaan serikat buruh sebagai kekuatan kolektif buruh memainkan peran penting. Mewujudkan serikat buruh yang solid, sistematis, dan terorganisir meskipun sulit, menjadi sebuah kebutuhan agar mampu memperjuangkan kepentingan buruh dengan mempengaruhi proses legislasi dan pembentukan hukum. Sejak awal pembentukannya, Undang-Undang tentang Cipta Kerja seharusnya transparan dan partisipatif dengan melibatkan semua stakeholders, termasuk buruh perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing, karena mereka nanti yang akan melaksanakan dan menerima akibat dari kebijakan tersebut, sehingga masukan justru harus dari mereka supaya ada rasa memiliki atas kebijakan tersebut dan pada akhirnya mengimplementasikannya. Dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, buruh, termasuk buruh perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing, sebaiknya diberikan kesempatan untuk merumuskan preferensi atau kepentingannya, dan mengusahakan agar dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan tanpa diskriminasi. Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang dalam perspektif pemerintah memiliki peluang untuk mengundang investor, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja baru, harus diikuti perlindungan bagi buruh. Ketidakmampuan mengharmoniskan dua kepentingan tersebut dapat memunculkan resistensi dari kelompok yang merasa dirugikan, yang menyebabkan undang-undang tersebut menjadi kontra produktif. Materi hukum sebaiknya diambil dari nilai-nilai dan realitas sosial kemasyarakatan dari kelompok sasaran kebijakan. Meskipun kedudukan buruh sama dengan pengusaha di muka hukum, tetapi secara sosiologis berbeda, oleh karena itu hukum yang dibentuk selain dibangun berdasar prinsip kesamaan, harus mampu mengakomodasikan perbedaan-perbedaan yang ada. Ketidakmampuan hukum dalam mengakomodasikan perbedaan

tersebut justru berpeluang menjadi sumber ketidakadilan.25 Untuk itu perlu merenungkan kembali teori keadilan dari Rawls yang menyebutkan ketidaksamaan di bidang sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa agar golongan yang paling lemah merupakan pihak yang paling diuntungkan, dan setiap orang diberikan kesempatan yang sama. Efisiensi ekonomi dan kesejahteraan harus dirumuskan sedemikian rupa agar memaksimalkan tingkat kesejahteraan, sehingga dengan demikian pihak yang kurang mendapatkan kesempatan diberikan kesempatan yang lebih tinggi, dan pihak yang mendapat kesulitan supaya lebih diringankan.26 Artinya, akselerasi pasar buruh fleksibel harus diikuti pula dengan akselerasi perlindungan hukum bagi buruh, dan itu semua berpulang pada komitmen negara dalam melindungi buruh karena negara sebagai pembuat kebijakan politik nasional memegang peranan vital dalam menentukan pasar kerja Indonesia .

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Bellante, Don dan Mark Jackson, 1990, Labor Economics : Choise in Labor Market, Terjemahan, LPFE Universitas Indonesia, Jakarta.

Giddens, Anthony, 2002, The Third Way : Jalan Ketiga Pembaharuan Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Habibi, Muhtar, 2009, Gemuruh Buruh Di Tengah Pusaran Neoliberalisme : Pengadopsian Kebijakan Perburuhan Neoliberal Pasca Orde Baru, Gava Media, Yogyakarta.

Hadar, Ivan A., 2004, Utang, Kemiskinan, dan Globalisasi: Pencarian Solusi Alternatif, Pustaka Jogja Mandiri, Yogyakarta.

Hancock, Graham, 2005, “Dewa-Dewa” Pencipta Kemiskinan : Kekuasaan, Prestise dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional, Cinderalaras Pustaka Rakyat Cerdas, Sleman.

International Labour Organization, 1999, Demystifying The CoreConvention of the ILO through Social Dialogue : The Indonesian Experience, ILO Jakarta Office, Jakarta.

Nazir, Moh., 2002, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, tanpa tahun, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung.

Rawls, John, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts.

Saptorini, Indah dan Jafar Suryomenggolo, 2007, Kekuatan Sosial Serikat Buruh, Putaran Baru dalam Perjuangan Menolak Outsourcing, Trade Union Rights Centre, Jakarta.

Stiglitz, Yoseph E., 2002, Globalization and Its Discontens, Penguin Groups, London.

Tjandra, Surya dan Rani Hanggrahini, 2007, Hukum Perburuhan, Desentralisasi, dan Rekonstruksi Razim Perburuhan “Baru”, Trade Union Rights Centre, Jakarta.

Jurnal

Frenkel, Stephen dan Sarosh Kuruvilla,“Logics of Action, Globalization, and Changing Employment Relations in China, India, Malaysia and the Philippines” dalam Industrial and Labour Relations Review, Vol.55, No. 3, April 2002.

Hadiz, Vedi R., “Gerakan Buruh dalam Sejarah Politik Indonesia”, Majalah Prisma, No. 10, Oktober, 1994.

……..,……….., “Buruh dalam Penataan Politik Awal Orde Baru”, Majalah Prisma, No. 7, Juli, 1996.

Suroto, Suri, “Gerakan Buruh dan Permasalahannya”, Majalah Prisma No. 11, 1985.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4356)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6573)

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaa Lain

Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 264/KP/1989 tentang Pekerjaan Sub-Kontrak Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat

Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 135/KP/VI/1993 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan Berikat

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh

Keputuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-08/MEN/1990 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Pemberi Borongan Pekerjaan terhadap Perlindungan dan Kesejahteraan Pekerja Perusahaan Pemborong

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor SE.04/MEN/VIII/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

Putusan Mahkamah Konsitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 012/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar 1945, tertanggal 28 Oktober 2004

Website resmi:

World Bank, 2006, Doing Business in 2006, Creating Jobs, IBRD/the World Bank, Washington, dalam www.theworldbank.com

World Bank the International Finance Corporation and Oxford University Press, “ Doing Business in 2005    : Removing Obstacles to Growth”,

http://rru.worldbank.org/doingbusiness

Lain-lain

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Struktur Ketenagakerjaan Indonesia per Agustus 2019.

Pidato Presiden Republik Indonesia pada Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam rangka Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024, 20 Oktober 2019.

“World Bank Ease of Doing Business Survey 2020”, disampaikan dalam Penjelasan Omnibus Law Cipta Lapangan Pekerjaan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian Republik Indonesia, 29 Januari 2020.

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 44, No. 01 April 2022, h. 62-81

81