Quo Vadis Penyiaran Over-The-Top: Meluruskan Kedaulatan Kelembagaan Pengawas Penyelenggara Sistem Elektronik

Alif Duta Hardenta,1 Zuhdi Fansuri Ariawan,2 dan Akhmad Farhan Nazari3

1Center for Law, Technology, RegTech, & LegalTech Studies, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: alifduta01@mail.ugm.ac.id

  • 2    Center for Law, Technology, RegTech, & LegalTech Studies, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: zuhdiariawan@mail.ugm.ac.id

  • 3    Center for Law, Technology, RegTech, & LegalTech Studies, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: akhmadfarhan11@mail.ugm.ac.id

    Info Artikel

    Received : 9th September 2021

    Accepted : 25th July 2022

    Published : 30th August 2022

    Keywords :

    Over-The-Top (OTT) Media;

    Legal Arrangements; Supervisory

    Agency


    Kata kunci:

    media Over-The-Top (OTT); pengaturan hukum; lembaga pengawas.


Abstract

Over-The-Top (OTT) media-based Electronic System Operators are increasingly being used by the public as a result of media convergences and internet services. Nevertheless, the use of OTT services raises various problems, ranging from problems of threats to users, to regulatory issues for OTT. So far, OTT services are not regulated in a standard manner in one comprehensive law, causing uncertainty for both the consumer and its competitors, which are arranged by some regulatory attestation. This problem then became tangible when one of the broadcast services tried to appeal related to the definition and scope of regulation from the OTT services to the Constitutional Court. Based on these complications, it can be stated that there is a need for legal arrangements followed by institutions from the OTT supervisor. Therefore, the researcher elaborates the status quo with the problems of implementing the OTT services. With the description of the problem, together with further comparisons between countries, the researcher can conclude the arrangements for OTT organizers that can be included in legal regulations. In this study, several policy strategies were formulated for the implementation of institutional arrangements in the OTT services.

Abstrak

Penyelenggara Sistem Elektronik berbasis media Over-The-Top (OTT) semakin ramai digunakan oleh masyarakat sebagai akibat perkembangan dari konvergensi media dan layanan internet. Akan tetapi, pemanfaatan media OTT tersebut menimbulkan sejumlah permasalahan yang beragam, mulai dari permasalahan ancaman bagi pengguna hingga permasalahan kewenangan pengaturan terhadap media OTT. Akan halnya selama ini media OTT tidak diatur secara baku dalam satu

Corresponding Author:

Alif Duta Hardenta, E-mail: alifduta01@mail.ugm.ac.id

DOI :

10.24843/KP.2022.v44.i02.p.05


aturan hukum, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan kerugian baik bagi masyarakat maupun kompetitornya yang banyak diatur oleh sejumlah rambu regulasi. Permasalahan ini kemudian menjadi nyata ketika salah satu media penyiaran mencoba mengajukan permohonan terkait dengan definisi dan lingkup pengaturan dari media OTT kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dapat dinyatakan urgensi penting dari adanya pengaturan konkrit yang berkaitan dengan pengaturan hukum yang diikuti oleh kelembagaan dari pengawas media OTT. Oleh karena itu, peneliti menguraikan status quo beserta permasalahan dari penyelenggaraan media OTT. Uraian masalah tersebut ditambah dengan adanya komparasi antar negara sehingga dapat ditarik kesimpulan seputar pengaturan penyelenggara OTT yang dapat dicantumkan dalam aturan hukum. Adapun dalam penelitian ini juga dirumuskan beberapa strategi kebijakan terhadap penyelenggaraan pengaturan lembaga dalam media OTT.

  • 1.    Pendahuluan

Negara di berbagai belahan dunia terus menerus mengalami kemajuan berupa perkembangan dengan membuat inovasi teknologi dan modernisasi kehidupan masyarakat. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pengaruh globalisasi yang menciptakan pertukaran informasi, ilmu pengetahuan, dan budaya secara masif. Belum lagi membicarakan pengaruh dari internet yang tidak dapat dilepaskan dari terciptanya kemudahan pertukaran tersebut. Tidak terkecuali bagi Indonesia yang ikut mengalami perkembangan pada awal dekade 1990, dimana internet telah menjadi media informasi yang senantiasa terus berkembang sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Dengan negara yang terdiri dari ribuan pulau yang memisahkan jutaan penduduknya, internet menjadi salah satu komponen yang penting dalam mengupayakan ada pertukaran informasi yang efektif dan efisien. Selain dari segi penyebaran informasi yang sangat mudah untuk dikelola, perkembangan penyerapan informasi baik dari aspek sosial-politik maupun kebudayaan terlihat sangat berkembang pesat.

Perubahan kualitas dari persebaran Informasi dengan wadah perputaran yang sangat cepat seperti internet sangat meningkatkan jumlah persebaran informasi yang ada di dalam internet.1 Adaptasi terhadap perubahan yang sangat cepat ini justru menjadikan kita sebagai masyarakat digital untuk lebih sadar akan perubahan dari hubungan, perilaku, ekspektasi, dan kerangka berpikir kita mengenai berbagai macam aspek.2 Indonesia tidak dikecualikan dari adanya perubahan ini, dan ini dibuktikan pada tahun 2020 bahwa 197 juta dari 267 juta masyarakat Indonesia (sekitar 73,7%) adalah pengguna internet dengan perkembangan dari 2019 sebesar 8,9%.3

Pada masa ini, kecanggihan teknologi mengakibatkan penyebaran informasi di Internet cenderung menggunakan visualisasi berbentuk media gambar maupun suara. Terlebih masyarakat selaku pengguna internet menuntut untuk mendapatkan berbagai informasi secara lebih efektif, sehingga penggunaan perangkat teknologi yang mudah dan efisien menjadi faktor penting. Penggunaan internet sebagai sumber informasi menjadi tren yang senantiasa akan terus berkembang dan meluas seiring waktu. Penggunaan layanan berbasis Over-The-Top (OTT) kini semakin berkembang membawa masyarakat digital menuju era baru yang berorientasi penuh pada penggunaan internet sebagai wadah untuk menyiarkan berbagai bentuk konten informasi yang ada. Tokopedia, Netflix, Twitter, dan masih banyak lagi adalah beberapa dari sekian banyaknya layanan OTT yang tersedia di Indonesia.

Pemanfaatan OTT tidak hanya menawarkan berbagai macam konten seluruh penjuru dunia, namun OTT juga menawarkan kemudahan mengakses konten tersebut bagi para pengguna internet. Manfaat-manfaat inilah yang menjadi unggulan dari hadirnya OTT, terutama di Indonesia. Tingkat penyerapan OTT di Indonesia atas kemudahan-kemudahan ini terutama di masa pandemi Covid-19 pula meningkat secara signifikan dengan 66% dari para pengguna internet di Indonesia menggunakan layanan OTT sebagai sumber penyerapan informasi dan konten-konten yang ada.4 Lebih khususnya, pertumbuhan OTT paling besar terletak pada layanan media sosial dengan persentase 83% dan layanan VoIP dengan persentase 83%.5

Maraknya penggunaan pelayanan OTT oleh masyarakat tentunya menghasilkan sebuah arah baru yang progresif terhadap keterbukaan informasi, baik itu dari aspek sosiopolitik maupun dari aspek kultural. Terlepas dari segala kebermanfaatan tersebut, tentunya tidak dapat dikesampingkan adanya dampak tidak terukur dari adanya pelayanan OTT di masyarakat digital. Kenestapaan yang menjadi akibat dari maraknya pelayanan OTT di Indonesia pada masa sekarang berkaitan dengan data pribadi pada pengguna internet di Indonesia. Sekitar Juli 2020, layanan Tokopedia mengakui bahwa sekitar 91 juta data akun penggunanya bocor ke internet dan dijual di dark web dengan nilai sebesar 5.000 dolar Amerika Serikat.6 Selain pelanggaran terhadap data pribadi pengguna internet, terdapat permasalahan lain yang berkaitan dengan penyiaran yaitu layanan OTT seringkali tidak menyaring konten-konten negatifnya dengan baik.

Dengan pelanggaran dan kelalaian yang semakin banyak dilakukan oleh para penyedia layanan OTT, perlu dilakukan adanya kebijakan lebih lanjut oleh negara yang bisa mengendalikan dan memberikan beban pertanggungjawaban terhadap para penyedia layanan OTT. Salah satu peraturan yang menjadi landasan dasar dalam pelaksanaan layanan OTT di Indonesia adalah Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

https://apjii.or.id/survei2019x/download/bZHWtLMinDremwSyvdkYscBX3aqFl0. (diakses 8 April 2021).

Transaksi Elektronik. Sebagai tindak lanjut dan melihat adanya perkembangan pelayanan OTT di Indonesia, pemerintah juga telah menetapkan berbagai macam kebijakan yang mengatur pengawasan dan penegakan hukum di bidang layanan OTT.

Perkembangan layanan OTT di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, perlu diikuti dengan diberlakukannya pengaturan dan pengawasan terhadap layanan OTT. Hal tersebut bertujuan supaya layanan OTT dapat sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta dapat terlindungi dari berbagai konten yang bermuatan negatif.7 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka diperlukan lembaga yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pengaturan dan pengawasan terhadap layanan OTT di Indonesia. Saat ini, pengaturan dan pengawasan layanan OTT berada di bawah wewenang Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen Aptika) dengan landasan aturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Melalui Dirjen Aptika, diharapkan penyelenggaraan layanan OTT dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD NRI 1945, serta tidak terjadi pemuatan berbagai konten digital yang bermuatan negatif.

Dalam belahan dunia lain, beberapa negara telah melakukan intervensi terhadap pengaturan layanan OTT termasuk web-based broadcasting. Negara seperti Turki, Tiongkok, dan Singapura menjadi beberapa pemerintahan dunia yang melakukan pengawasan yang ketat terhadap pelayanan OTT di negaranya agar media yang disajikan selaras dengan kebijakan dan harapan dari pemerintah. Tentu hal ini juga diterapkan sama seperti Indonesia yang menerapkan beberapa kelembagaan yang khususnya mengawasi dan memberikan penilaian terhadap semua bentuk pelayanan yang muncul di dalam dunia media Indonesia.

Akan tetapi, timbul permasalahan dimana Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mempunyai wacana untuk meluaskan lingkup kewenangan mereka dengan mengatur dan mengawasi layanan OTT yang ada di Indonesia.8 KPI menilai bahwa dalam penyiaran layanan konten digital banyak memuat berbagai konten negatif yang dapat merugikan masyarakat.9 Wacana tersebut didasari oleh frasa “media lainnya” dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), yang dianggap oleh KPI mencakup penyiaran dalam layanan OTT.10 Oleh sebab itu, apabila KPI memiliki wewenang untuk melakukan pengaturan dan pengawasan layanan OTT, maka dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih kewenangan antara KPI dengan Aptika, yang kemudian dapat menyebabkan ketegangan dan persengketaan kewenangan antar lembaga negara.11 Berdasarkan penjelasan tersebut, akan timbul potensi terjadinya tumpang tindih kewenangan antara

lembaga negara, maka diperlukan pembentukan lembaga negara yang secara khusus mengatur dan mengawasi layanan OTT.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan tiga permasalahan untuk dibahas dalam penelitian ini. Satu, praktik dan landasan hukum pengaturan dan pengawasan terhadap layanan OTT di Indonesia. Dua, Komparasi pengawasan dan pengaturan Penyelenggaraan Sistem Elektronik di negara lain untuk melihat bentuk kelembagaan serta kebijakan yang ada. Tiga, rekomendasi strategi dan kebijakan dalam penyusunan kelembagaan pengawas OTT sebagai bentuk masukan konseptual peneliti bagi pembentuk undang-undang.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam artikel jurnal ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum ini menggunakan beberapa pendekatan yang lazim digunakan dalam sebuah penelitian hukum (legal research), antara lain pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).12 Sedangkan untuk metode penelitian yang digunakan dalam artikel jurnal ini adalah metode kualitatif non-interaktif yang menitikberatkan pada analisis logis serta deskripsi dan penyimpulan yang bersifat naratif.13 Penelitian non-interaktif (non-interactive inquiry) disebut juga penelitian analitis, mengadakan pengkajian berdasarkan analisis dokumen, dalam hal ini berupa data sekunder dari bahan hukum primer, sekunder maupun tersier yang berhubungan dengan tata kelola penyelenggaraan pengawasan penyelenggara sistem elektronik over-the-top.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Praktik dan Landasan Hukum Pada Penyelenggaraan Pengaturan dan Pengawasan Layanan OTT di Indonesia

Dalam perkembangannya, layanan OTT di Indonesia yang terdiri dari layanan aplikasi dan layanan konten digital dengan menggunakan jaringan internet, termasuk dalam ruang lingkup Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Hal tersebut didasari oleh kedudukan hukum layanan OTT yang diatur dalam beberapa regulasi yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan layanan OTT yang termasuk sebagai PSE, layanan OTT diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE). Hal ini didasari oleh Pasal 26 UU ITE yang mengatur perlindungan penyedia dan pengguna layanan OTT dalam hal data pribadi.14 Kemudian, dalam UU a quo juga mengatur mengenai konten yang disajikan dalam layanan OTT, khususnya terkait dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam mentransmisikan konten informasi dan dokumen elektronik.15

Dari UU ITE tersebut, kemudian muncul aturan turunan yang secara khusus mengatur mengenai PSE yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Mengacu pada peraturan a quo, dijelaskan bahwa terdapat dua ruang lingkup PSE, yaitu lingkup publik dan lingkup privat.16 PSE lingkup publik merupakan penyelenggaraan sistem elektronik yang dilaksanakan oleh instansi penyelenggara negara atau institusi yang ditunjuk oleh instansi penyelenggara negara.17 Sedangkan PSE lingkup privat merupakan penyelenggaraan sistem elektronik berupa portal, situs, aplikasi yang memanfaatkan jaringan internet, yang dilakukan oleh orang, badan usaha, dan masyarakat.18 Berdasarkan ruang lingkup PSE tersebut, maka dapat diketahui bahwa terhadap layanan OTT di Indonesia, termasuk dalam PSE lingkup privat. Terhadap pengaturan pada PSE lingkup privat, berlaku aturan tersendiri yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.19

Selain itu, perlu diketahui bahwa layanan OTT bekerjasama dengan jaringan operator telekomunikasi berbasis protokol internet untuk menyalurkan berbagai konten dalam layanan OTT.20 Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi juga menjadi landasan hukum terhadap layanan OTT. Selain berlakunya aturan UU a quo, Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, yang mengatur mengenai kewajiban penyelenggara layanan OTT untuk bekerjasama dengan operator telekomunikasi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1), yang bertujuan untuk mengurangi beban operator telekomunikasi dalam menyalurkan konten layanan OTT dan untuk menjaga kualitas layanan OTT sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan penjelasan di atas terkait berlakunya keempat regulasi yang mengatur tentang layanan OTT, menyebabkan terjadinya tumpang tindih regulasi yang dapat mengakibatkan kontradiksi antar-regulasi, multitafsir, dan regulasi menjadi tidak efektif.21 Belum lagi permasalahan ketidakpastian hukum dalam ruang lingkup penyiaran, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang tidak dengan tegas menyatakan apakah layanan yang menggunakan jaringan internet seperti layanan OTT termasuk dalam penyiaran melalui sarana “media lainnya”.22

Mengacu pada permasalahan tersebut, maka diperlukan sebuah penataan dan pembaharuan regulasi layanan OTT dengan melakukan evaluasi regulasi yang saat ini

berlaku, yang kemudian diikuti dengan penguatan pembentukan regulasi baru.23 Penataan regulasi tersebut bertujuan untuk membentuk sebuah regulasi yang sinkron, tidak tumpang tindih, mengikuti perkembangan global, dan sederhana namun tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat.24 Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mempersiapkan Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet. Namun sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top). Pengeluaran Surat Edaran tersebut adalah guna mempersiapkan penyedia layanan OTT dan operator telekomunikasi dalam hal pemberlakuan regulasi layanan OTT oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.25

Dalam perkembangannya, layanan OTT semakin mudah untuk diakses dan semakin luasnya cakupan konten yang ditampilkan, hal ini membuat layanan OTT perlu untuk diatur dan diawasi. Saat ini, wewenang pengaturan dan pengawasan layanan OTT dimiliki oleh Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Aptika) untuk melaksanakan kewenangan tersebut.26 Hal tersebut berdasar pada layanan OTT yang termasuk dalam PSE, dimana dalam layanan OTT mencakup layanan aplikasi dan layanan konten digital yang menggunakan jaringan internet.27

Pada praktek fungsi pengaturan layanan OTT, Aptika telah membentuk berbagai peraturan yang bertujuan untuk mengatur pergerakan layanan OTT di Indonesia dan yang terbaru adalah Aptika sedang membentuk Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet. Beralih kepada fungsi pengawasan layanan OTT, Aptika telah bertindak untuk mengawasi layanan OTT dengan tujuan supaya layanan aplikasi dan/atau konten digital tidak bertentangan dengan nilai moral bangsa serta tidak bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.28 Salah satu tindakan yang dilakukan Aptika untuk mencapai dan menjaga tujuan pengawasan tersebut adalah dengan menerapkan program Trust+Positif, yaitu sebuah program yang membentuk server atau database pusat dengan tujuan untuk menjadi acuan bagi layanan informasi publik dan untuk menganalisa penggunaan internet di Indonesia, yang dalam menjalankan program ini, Aptika akan berkoordinasi dengan penyedia layanan OTT.29 Melalui program tersebut, Aptika menangani berbagai konten negatif dalam layanan OTT,

dimana hingga akhir tahun 2012, telah terdaftar lebih dari 800.000 situs di internet yang kemudian akan diawasi oleh Aptika.30

Akan tetapi, karakteristik layanan OTT yang mirip dengan penyiaran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, mengakibatkan permasalahan, dimana KPI memiliki wacana untuk meluaskan ruang lingkup kewenangan dengan mengatur dan mengawasi layanan OTT.31 Hal ini didasarkan pada penafsiran frasa “media lainnya” dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, yang menurut KPI mencakup penyiaran dalam layanan OTT.32 Hal tersebut menurut Ketua KPI Pusat merupakan pernyataan bahwa KPI ingin mengawasi media baru atau media digital karena isi konten yang sudah masuk dalam ranah penyiaran.33 Penafsiran frasa “media lainnya” kemudian menimbulkan kekaburan hukum, tidak hanya bagi KPI, namun juga bagi stasiun penyiaran, yaitu PT Visi Citra Mitra Mulia (iNEWS TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan ini mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.34 INEWS TV dan RCTI menilai bahwa telah terjadi ketidakadilan atau unequal treatment bagi penyelenggara penyiaran, dikarenakan layanan OTT tidak termasuk dalam kategori penyiaran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran.35

Setelah melalui proses judicial review, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa layanan OTT tidak termasuk dalam kategori penyelenggara penyiaran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran karena layanan OTT merupakan layanan yang menggunakan jaringan internet, sedangkan maksud dari penyiaran dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran adalah penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio.36 Kemudian, Mahkamah Konstitusi menambahkan bahwa apabila layanan OTT dimasukkan dalam kategori “media lainnya” dalam pengertian penyiaran, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2, maka akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum apabila tidak diikuti dengan merevisi UU Penyiaran.37 Oleh sebab itu, berdasarkan putusan tersebut, KPI tidak dapat untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap layanan OTT di Indonesia. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Putusan bahwa hingga saat ini, KPI hanya memiliki wewenang untuk mengawasi penyiaran free to air, yaitu penyiaran melalui siaran televisi dan radio, sesuai dengan UU Penyiaran.38

Selain itu, sejumlah layanan OTT memberikan layanan berupa penayangan film berbasis pengguna (film on demand). Hal tersebut mengakibatkan pertanyaan seputar pengaturan dan pengawasan film yang ditayangkan melalui layanan OTT. Kewenangan pengaturan dan pengawasan film, khususnya sensor film, dimiliki oleh Lembaga Sensor Film Indonesia (LSF)39. Dengan perkembangan layanan OTT, LSF menilai dan menyatakan bahwa mereka berhak untuk melakukan pengaturan dan pengawasan sensor film terhadap karya film yang ditayangkan melalui layanan streaming seperti Netflix dan Iflix.40 LSF sendiri mengklaim bahwasanya berbagai film yang ditayangkan melalui layanan streaming telah menjadi konsumsi publik sehingga LSF berwenang untuk menindak dengan tujuan menjaga tayangan tersebut sesuai dengan moral dan budaya bangsa.41

Hal tersebut diperkuat dengan data survei APJII pada tahun 2018, dimana sebanyak 45,3% responden survei mengunjungi layanan OTT yang menyediakan konten film.42 Namun, kewenangan LSF untuk mengawasi film di layanan OTT dibantah oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XVIII/2020, yang menyatakan bahwa LSF hanya memiliki kewenangan untuk melakukan sensor film dalam lingkup film yang ditayangkan secara konvensional seperti bioskop. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (UU Perfilman), tidak terdapat pengaturan mengenai kewenangan LSF untuk mengawasi film yang ditayangkan melalui layanan OTT. Apabila mengetahui yang dimaksud dengan “film” dan “iklan film” dalam UU Perfilman, dengan film adalah media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukan.43 Sedangkan “iklan film” adalah bentuk promosi film melalui media konvensional.44 Mengacu pada kedua tafsir tersebut, dapat diketahui bahwa konten film yang ditayangkan melalui layanan streaming belum termasuk dalam lingkup UU Perfilman.

  • 3.2.    Komparasi Penyelenggaraan Pengawasan dan Pengelolaan Layanan OTT

Upaya-upaya pemerintah dalam mengawasi dan mengelola layanan OTT seiring waktu berkembang mengikuti peningkatan dan maraknya layanan OTT tersebut di masyarakat. Hadirnya kelembagaan dalam mengawasi pengelolaan layanan OTT di suatu negara menjadi tanda bahwa masifnya layanan OTT di masyarakat perlu diawasi secara struktural oleh negara untuk meminimalisir hingga menghindari adanya pelanggaran dan tindak pidana yang dilakukan oleh para pengelola OTT yang bersangkutan. Tak hanya Indonesia, beberapa negara lain juga mempunyai regulasi dalam mengawasi pergerakan layanan OTT di negaranya secara khusus dan struktural.

  • 3.2.1    Singapura

Dengan pasar OTT yang semakin masif di dunia perekonomian digital, Singapura pada tahun 2016 mengesahkan berdirinya IMDA (Info-Communications Media Development Authority) yang memiliki dasar hukum IMDA Act pada tahun 2016 dan Broadcasting Act pada tahun 2012. Salah satu fungsi IMDA sebagai lembaga yang membuat segala ketentuan mengenai perlindungan konsumen dan kompetisi yang sehat dalam perekonomian digital di Singapura adalah memastikan bahwa segala macam konten yang disediakan oleh layanan OTT tidak bertentangan dengan kepentingan dan ketertiban publik, keharmonisan bangsa, dan tidak melanggar adanya norma sosial yang ada di masyarakat serta mendorong penggunaan internet dan e-commerce di Singapura dengan memberikan kerangka hukum yang jelas dan pasti.45 Dalam hal kewenangan yang diperoleh oleh IMDA khususnya untuk mengelola OTT, lembaga ini mempunyai wewenang untuk mengelola pelayanan media dan telekomunikasi di internet yang berada di dalam yurisdiksi Singapura yang meliputi namun tidak terbatas pada:46

  • a.    menerbitkan atau menyetujui, dan mengawasi kepatuhan subjek hukum yang tunduk terhadap kode praktik, standar kinerja dan saran pendoman mengenai isu apapun yang berkaitan dengan IMDA;

  • b.    untuk mengendalikan dan meregulasikan segala macam manajemen dan alokasi dari beberapa rancangan dan skema untuk sistem dan pelayanan telekomunikasi;

  • c.    menentukan tarif, biaya, dan ongkos atau sesuai dengan proporsinya, diantara IMDA dengan otoritas layanan telekomunikasi di luar Singapura, yang tarif, biaya, dan ongkos tersebut dianggap tepat oleh IMDA; dan

  • d.    melakukan penelitian dan investigasi yang diperlukan untuk pengembangan layanan informasi dan komunikasi dan layanan media di Singapura.

  • 3.2.2    Turki

Sama halnya dengan Singapura, Turki juga mempunyai lembaga yang berfungsi secara menyeluruh dalam mengawasi dan mengelola layanan media yang ada di negaranya yang dinamakan Radio and Television Supreme Council (RTUK) dengan anggotanya yang dipilih secara langsung oleh parlemen Turki.47 Keberadaan RTUK di Turki dilandasi oleh Law On the Establishment of Radio and Television Enterprises and Their Media Services No. 6112 of 2011. RTUK sebagai lembaga pengawasan terhadap segala bentuk media di Turki, bertugas untuk mengatur dan mengawasi radio, televisi, dan layanan media on-demand, memastikan kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, untuk menentukan prosedur-prosedur yang diperlukan dalam hal kegiatan administratif, finansial dan struktur teknikal, kewajiban para penyedia layanan, dan ruang lingkup serta kompetensi dari RTUK.48 Pasal 29 dari peraturan hukum tersebut kemudian

menjadi dasar dari adanya By-Law on the Provision of Radio, Television and On-Demand Media Services Via Internet Environment oleh RTUK pada tahun 2019.

Berkaitan dengan kelembagaan RTUK di Turki, RTUK bergerak secara independen berdasarkan tanggung jawab yang diberikan oleh badan legislatif.49 Selain itu, kewenangan yang dimiliki secara spesifik oleh RTUK mencakup namun tidak terbatas pada:50

  • a.    Menyosialisasikan penekanan pluralisme pada setiap pelayanan media yang ada di Turki;

  • b.    Menetapkan standar-standar perizinan bagi para pengelola OTT yang ingin mendapatkan izin;

  • c.    Mengawasi penyiaran media khususnya OTT agar sesuai dengan peraturan dan traktat internasional yang telah diikuti oleh Turki;

  • d.    Mengambil pencegahan yang diperlukan untuk memfasilitasi akses dari para lansia dan orang-orang marjinal terhadap segala bentuk teknologi media yang baru

  • e.    Mengambil data-data yang diperlukan untuk memastikan bahwa para pengelola pelayanan media mematuhi ketentuan dari RTUK; dan

  • f.    Menetapkan peraturan turunan yang menjadi ruang lingkup dari RTUK.

  • 3.2.3    Republik Rakyat Tiongkok

Dalam hal pengawasan dan pengelolaan yang diatur secara kelembagaan oleh pemerintah, negeri tirai bambu menjadi perbandingan yang tepat mengenai pengawasan yang ketat mengenai pelayanan OTT, terutama OTT asing. Secara kelembagaan, Pemerintah Tiongkok menyerahkan pengelolaan terhadap OTT kepada Ministry of Information Industries (MII).51 Lebih lanjut, otoritas terhadap segala pengelolaan telekomunikasi di semua provinsi, daerah otonomi, dan perkotaan akan ada dibawah kendali penuh dari pemerintah pusat dengan bimbingan MII.52 Segala macam supervisi dan keperluan administrasi dari pelayanan telekomunikasi pada dasarnya akan dilaksanakan dengan prinsip pemisahan negara dengan perusahaan, anti-monopoli, promosi terhadap pembangunan, keterbukaan, keadilan, dan ketidakberpihakan.53

MII sebagai kementerian juga diberikan wewenang untuk memberikan izin kepada para penyedia layanan media di Tiongkok sesuai dengan kebijakan Telecommunication Regulation of the People’s Republic of China. MII dalam hal ini diberikan kewenangan yang sangat luas dalam menentukan layanan OTT apa yang disetujui untuk ditayangkan

untuk publik. Semua pihak baik lokal dan asing yang ingin melaksanakan bisnis di sektor telekomunikasi perlu untuk disetujui oleh MII. Dalam hal layanan OTT asing, MII juga membatasi layanan OTT asing dan mendorong layanan OTT lokal untuk lebih bisa berkontribusi di pasar telekomunikasi Tiongkok, ini sesuai dengan negative list yang dikeluarkan oleh Tiongkok dalam 2020 Special Administrative Measures (Negative List) for Foreign Investment Access dan 2019 Foreign Investment Law of the People’s Republic of China.

  • 3.3.    Rekomendasi Kebijakan Dan Strategi Penataan Pengaturan dan Pengawasan Pelayanan OTT

Komparasi dari beberapa negara tersebut menunjukkan bahwa Indonesia saat ini mengalami ketertinggalan dalam hal pengaturan dan pengawasan terhadap layanan OTT. Hal tersebut mengakibatkan adanya konflik kewenangan pengaturan dan pengawasan OTT hingga munculnya konflik dalam pasar penyiaran antara penyiaran konvensional dan penyiaran OTT.54 Kedua masalah ini menandakan bahwasanya semakin dibutuhkan adanya kebijakan yang akan dituangkan dalam aturan hukum untuk mengatur mengenai pengawasan dan pengaturan bagi OTT.

Dalam melaksanakan penataan terhadap aturan dan tata kelola kelembagaan pengawas terhadap penyelenggara sistem elektronik, diperlukan sejumlah strategi yang mencakup sejumlah ruang pengaturan. Ruang pengaturan ini kemudian menjadi substansi yang akan dituangkan dalam satu peraturan perundang-undangan. Kebijakan tersebut salah satunya dapat meliputi penataan hukum, terlebih penataan diharuskan bertujuan menciptakan sistem hukum yang mengabdi pada kepentingan nasional.55 Arti kepentingan nasional disini berarti menjamin rasa keadilan sosial, mengedepankan kesejahteraan rakyat, serta tidak hanya berfokus pada sektor-sektor komersial semata. Penataan tersebut dilakukan dengan strategi yang pada pokoknya meliputi landasan hukum, kelembagaan, kewenangan, penindakan, dan penyelesaian sengketa.

  • 3.3.1    Menata dan Membentuk Landasan Hukum Bagi Penyelenggaraan

    Penyelenggara Sistem Elektronik Over-The-Top

Selama ini aturan mengenai penyelenggaraan OTT dipersamakan dengan media penyiaran publik. Padahal penyelenggaraan OTT sendiri merupakan hal yang berbeda dengan lembaga penyiaran publik seperti televisi dan radio, sehingga dibutuhkan perlakuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai OTT.56 Hal tersebut juga diperkuat dengan aturan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwasanya OTT dikecualikan dari aturan penyiaran yang tunduk pada Undang-Undang Penyiaran, dikarenakan memiliki karakter yang berbeda dengan penyelenggaraan konvensional.57 Belum lagi melihat fakta permasalahan dimana media OTT yang sangat luas dan beragam, dimana aturan OTT mengacu pada berbagai

peraturan perundang-undangan yang dianggap relevan dengan jenis maupun konten pelayanannya. Peraturan perundang-undangan tersebut mulai dari Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang ITE, Undang-Undang Pers, bahkan Undang-Undang Hak Cipta.58 Eksistensi pengaturan yang beragam ini membuat penyelenggaraan PSE menjadi timpang dan memungkinkan ketidakpastian hukum sehingga memunculkan konflik dalam ranah pengaturan. Oleh karena itu, diberlakukan adanya penataan hukum khususnya berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai OTT untuk dijadikan dalam satu aturan hukum yang konkrit mengatur permasalahan OTT.

  • 3.3.2    Menata Pengaturan Kelembagaan Pengawas dan Pengatur Penyelenggara Sistem Elektronik Over-The-Top

Dalam pengawasan penyelenggaraan OTT, kewenangan diberikan terhadap kegiatan pengaturan yang mencakup kegiatan penyiaran, dimulai dari tahap pendirian, pendaftaran penyelenggaraan, pertanggungjawaban, dan evaluasi. Kewenangan ini merupakan bentuk tambahan dari kewenangan yang dikenakan pada proses penyiaran yang ada pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Berdasarkan Undang-Undang a quo, pengawasan meliputi penetapan standar penyiaran, menyusun peraturan yang berkaitan, mengawasi pelaksanaan, menjatuhkan sanksi, dan melakukan koordinasi bersama-sama dengan masyarakat dan/atau pemerintah.59

Akan tetapi, kewenangan tersebut dapat diadopsi dalam pengawasan OTT dengan sejumlah pengecualian karena sifatnya yang merupakan suatu bentuk tontonan/penyiaran walau dalam sarana yang berbeda. Kewenangan pengawasan dalam Penyelenggara Sistem Elektronik OTT tidak dapat pula menjadi kewenangan bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang telah mengawasi penyiaran secara konvensional. Adanya kewenangan pengawasan harus diberikan pada ranah baru dan lembaga baru, yang berbeda dengan model konvensional seperti televisi dan radio. Adapun sejumlah platform OTT tersebut tetap harus diperhatikan kewenangan pengawasannya dengan tujuan untuk tetap melindungi konsumen atau masyarakat. Dalam hal ini perlindungan diberikan tidak hanya dari segi konten semata, tetapi juga meliputi aspek lain seperti data pribadi.

  • 3.3.3    Menata Layering Kelembagaan Terhadap Lembaga Pengawas dan Pengatur Penyelenggara Sistem Elektronik Over-The-Top

Terhadap kewenangan-kewenangan kelembagaan tersebut, dibutuhkan pembatasan tegas antar kewenangan masing-masing lembaga yang memiliki keterkaitan dengan konten maupun penyiaran. Masing-masing dari lembaga-lembaga tersebut memiliki celah untuk dapat mengatur pengawasan terhadap platform OTT. Lembaga-lembaga pengawasan yang berkaitan meliputi 3 lembaga, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Lembaga Sensor Film (LSF), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Masing-masing lembaga memiliki batasan tegas terhadap masing-masing subjek dan objek pengawasan. Untuk KPI sendiri memiliki kewenangan pengawasan terhadap konten penyiaran melalui gelombang televisi dan radio.60 LSF sendiri

memegang kewenangan pengawasan terhadap konten dan sensor terhadap film serta jasa bioskop yang ada di Indonesia.61 Sedangkan Kominfo melalui Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika memiliki kewenangan pengawasan terhadap penyelenggaraan aplikasi informatika beserta penggunaan jaringan komunikasi yang ada.

Pada dasarnya setiap lembaga yang berkaitan erat terhadap penyelenggaraan OTT, sehingga masing-masing memiliki ruang untuk diberikan legitimasi dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan. Akan tetapi apabila masing-masing lembaga tersebut diberikan kewenangan, maka dikhawatirkan diantara ketiga lembaga ini akan memicu konflik kewenangan. Hal ini dikarenakan dalam permasalahan OTT sendiri terdapat irisan dari ketiga lembaga tersebut yang menciptakan suatu ruang abu-abu yang mana hanya memiliki perbedaan terhadap substansi konten dari OTT itu sendiri. Oleh karena itu, rekomendasi strategi kebijakan yang dimungkinkan untuk menghindarkan konflik tersebut adalah membentuk lembaga sendiri. Lembaga ini merupakan lembaga dengan kewenangan spesialis atau dapat dikatakan diberikan kewenangan kelembagaan yang diberikan secara menyeluruh untuk mengatur serta mengawasi penyelenggaraan OTT. Dengan demikian, maka mengurangi potensi ketidakpastian hukum terkait dengan kewenangan lembaga dalam pengawasan penyelenggara sistem elektronik OTT.

  • 3.3.4    Mengamanatkan Adanya Fungsi Penindakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bagi Penyelenggara Sistem Elektronik Over-The-Top

Dalam hal mempertegas kewenangan penegasan yang dimiliki oleh lembaga yang menyelenggarakan pengawasan OTT, maka dibutuhkan pula fungsi penindakan terhadap penyelenggara sistem elektronik OTT. Perumusan terhadap fungsi penindakan tersebut meliputi pengenaan sanksi yang tertuang dalam peraturan, baik sanksi yang dapat bersifat pidana maupun sanksi yang bersifat administratif. Kebijakan pengenaan sanksi ini dirumuskan dengan kebijakan masing-masing sektor pengaturan. Adapun perumusan dan perancangan mekanisme sanksi harus memperhatikan rasa keadilan, tidak hanya bagi sektor komersial/perusahaan tetapi juga bagi masyarakat yang menggunakan jasa layanan OTT.

Berkaitan dengan penyelenggaraan hukum maka pengawasan OTT diharuskan untuk didukung dengan fungsi penyelesaian sengketa. Fungsi penyelesaian sengketa yang dimiliki oleh kelembagaan ini dapat mencontoh dari lembaga-lembaga dengan kewenangan pengawasan lain. Sebagai contoh, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan lembaga pengatur dan pengawas di sektor perbankan dan jasa keuangan.62 OJK mengatur mengenai pengaduan konsumen di sektor layanan tertentu hingga menghadirkan adanya lembaga alternatif penyelesaian sengketa konsumen.63 Eksistensi dari penyelesaian sengketa ini adalah memberikan perlindungan yang lebih condong kepada perlindungan konsumen serta memberikan alternatif dari mekanisme litigasi.64 Fungsi penyelesaian sengketa dengan sedemikian rupa dapat digunakan serta difokuskan untuk benar-benar melindungi konsumen atau masyarakat. Hal ini

dilakukan pula dengan tujuan untuk mengurangi jumlah angka penyelesaian sengketa yang harus dibawa pada ranah pengadilan yang dinilai memakan waktu dan biaya lebih.

  • 4.    Kesimpulan

Dalam praktik pengaturan OTT di Indonesia masih terjadi permasalahan ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan unsur regulasi. Akibatnya adalah munculnya sengketa kewenangan pengaturan terhadap penyelenggaraan OTT secara kelembagaan. Hal tersebut memperkeruh kondisi dimana masih belum jelas seputar klasifikasi regulasi antara penyelenggara penyiaran publik seperti televisi dan radio dengan penyelenggara OTT. Sedangkan pada sejumlah negara yang telah memiliki landasan hukum dan kelembagaan dalam pengaturan dan pengawasan OTT maka dapat dilihat bahwa masing-masing negara telah mengatur secara komprehensif dengan cara yang berbeda-beda. Komparasi tersebut menunjukkan pula bahwasanya saat ini Indonesia masih tertinggal dalam hal pengaturan dan pengawasan bagi layanan OTT. Oleh karena itu, Pemerintah dapat melakukan pengaturan mengenai penyelenggaraan OTT sendiri dengan menggunakan mekanisme penataan hukum. Penataan hukum sendiri dibutuhkan karena tersebarnya sejumlah pengaturan OTT dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Mendasarkan pada kesimpulan diatas, peneliti merekomendasikan kepada pemerintah untuk saat ini mulai mempertimbangkan untuk melakukan penataan dan pengaturan hukum terhadap penyelenggara OTT. Peneliti juga merekomendasikan sejumlah substansi yang perlu diatur dalam penataan hukum yang kelak dapat dituangkan dalam satu aturan hukum komprehensif yang mengatur masalah penyelenggara OTT. Pengaturan yang ada diberikan pula dengan memperhatikan fungsi kelembagaan dan perlindungan terhadap konsumen dari penyelenggara OTT. Dengan demikian, maka sudah seharusnya pengaturan dan pengawasan dari penyelenggara OTT diberikan kepada satu lembaga komprehensif.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Hamdi, A.S. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif: Aplikasi dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Deepublish.

Ibrahim, J. (2006). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.

Katsh, M.E. (1989). The Electronic Media and The Transformation of Law. New York: Oxford University Press.

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian

Afiftania, L.A. et. al. (2021). Diferensiasi Hukum bagi Penyedia Layanan Over The Top (Studi Perbandingan Indonesia dengan Singapura). Perspektif Hukum. 85-88. DOI: DOI:10.30649/PHJ.V21I1.299.

Agatha, A.R., Hadjon, E.T.L. (2020). Urgensi Pengawasan Layanan Konten Digital Over The Top (OTT) di Indonesia, Jurnal Kertha Negara. 8 (12). 24-39. Retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/64830.

Ernawati. (2020). Pembatasan Konten Digital Pada Media Netflix Oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Jurnal Perspektif: Kajian Hukum.   25   (1).   50-53. DOI:

http://dx.doi.org/10.30742/perspektif.v25i1. p. 51-52.

Huda, N. (2017). Potensi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penyelesaiannya di Mahkamah Konstitusi. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. 24 (2): 1-4. DOI: https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss2.art2.

Muhlizi, A.F. (2017). Penataan Regulasi Dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional. Jurnal Rechtsvinding. 6     (3):     356-360.     DOI:

http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v6i3.191.

Risdianto, D. (2017). Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Hukum Dalam Memperkuat Ketahanan Nasional. Jurnal Penelitian Hukum De Jure. 17(2): 180-183. DOI: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2017.V17.177-193.

Valentine, L. Z. (2018). Analisis Perspektif Regulasi Over the Top di Indonesia Dengan Pendekatan Regulatory Impact Analysis. Jurnal Telekomunikasi dan Komputer. 8 (3): 222-232. DOI: 10.22441/incomtech.

Internet

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Laporan Survei Internet APJII 2019-2020 (Q2).                             Available                             from

https://apjii.or.id/survei2019x/download/bZHWtLMinDremwSyvdkYscBX3 aqFl0, diakses 8 April 2021.

CNN Indonesia. LSF Minta Payung Hukum untuk Sensor Film Netflix dan Iflix. Available from         https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20200220190418-220-

476564/lsf-minta-payung-hukum-untuk-sensor-film-netflix-dan-iflix, diakses 29 April 2021.

Republika. Tokopedia Laporkan Kasus Kebocoran Data Pengguna. Available from https://www.republika.co.id/berita/qd18a0414/tokopedia-laporkan-kasus-kebocoran-data-pengguna, diakses 9 April 2021.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Trust + Positif. Available from https://kominfo.go.id/content/detail/332/trustpositif/0/e_ business, diakses 16 April 2021.

Media Indonesia. Layanan OTT Berbeda dengan Penyiaran Publik. Available from https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/339796/layanan-ott-berbeda-dengan-penyiaran-publik, diakses pada 20 April 2021.

Tempo. Ini Alasan KPI Ngotot Awasi Tayangan Youtube hingga Netflix. Available from https://bisnis.tempo.co/read/1234392/ini-alasan-kpi-ngotot-awasi-tayangan-youtube-hingga-netflix, diakses 17 April 2021.

The Trade Desk. 57 Percent of Southeast Asian Viewers are Now Streaming More OTT Video Content Because of       COVID-19.       Available from

https://www.businesswire.com/news/home/20201207006003/en/, (diakses 8 April 2021).

Yozami. KPI Ingin Awasi Konten Digital, Kominfo: Belum Ada Aturannya. Available from https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d5260a5e791a/kpi-ingin-awasi-konten-digital--kominfo--belum-ada-aturannya, diakses 17 April 2021.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2004 tentang Lembaga Sensor Film.

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan RI Nomor NOMOR 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan.

Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XVIII/2020 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Telecommunication Regulation of the People’s Republic of China (2016 Revision).

The Law of Turkish No.6112 on the Establishment of Radio and Television Enterprises and Their Media Services.

Singapore Info-Communications Media Development Authority Act No. 22 of 2016.

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 44, No. 02 Agustus 2022, h. 192-208