Vol. 44, No. 1, April 2022

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika

E-ISSN 2579 9487

P-ISSN 0215-899X


Kebijakan Formulasi Pemidanaan Terhadap Penyebar Selebaran Mengandung Unsur Provokatif Dalam RKUHP

I Made Wahyu Chandra Satriana1

1Fakultas Hukum Universitas Dwijendra, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 11 Juli 2021

Diterima : 7 April 2022

Terbit : 30 April 2022

Keywords :

Leaflet, Provocative Regulation, RKUHP 2019.


Kata kunci:

Pengaturan, Selebaran Provokatif, RKUHP 2019.

Corresponding Author:

I Made Wahyu Chandra Satriana,

E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/KP.2022.v44.i01.p.06


Abstract

This study was aimed to examine the policy formulation of punishment for the act of distributing leaflets containing provocative elements in the RKUHP. This research method used normative juridical legal research, because of the ambiguity of norms. The analysis technique used a statutory approach, a conceptual approach and a comparative approach. Provoking is an act in the form of expressing feelings of hostility, hatred or humiliation in public against one or several groups, it can be said to be hate speech if the feelings of hostility, hatred or humiliation are carried out in the form of actions and efforts, either directly or indirectly. The regulation on the act of distributing leaflets containing the closest provocative elements is contained in the 2019 RKUHP, Article 241, 243 paragraph (1), Article 246 and Article 247. If the provocative element contains the meaning of inciting to commit a criminal act, then it is regulated in Articles 246 and 247. There are differences in criminal sanctions regulated in the Criminal Code and the 2019 RKUHP. Criminal sanctions regarding elements that contain provocative acts are regulated in Article 161 of the Criminal Code. with a maximum imprisonment of four years or a maximum fine of four thousand five hundred rupiahs. RKUHP 2019 Article 247, criminal sanctions against anyone who commits an act of distributing leaflets containing provocative elements to commit a criminal act is threatened with a maximum imprisonment of 4 (four) years 6 (six) months or a maximum fine of category V.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemidanaan terhadap perbuatan penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif dalam Hukum Positif dan sanksi terhadap perbuatan penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif dalam perspektif ius constituendum agar memiliki kepastian hukum. Metode yang digunakan dalam penelitian ini mempergunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif, karena adanya kekaburan norma. Analisis isu hukum dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan. Memprovokasi adalah perbuatan berupa pernyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di depan umum terhadap suatu atau beberapa

golongan, dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan dan usaha baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaturan hukum terhadap perbuatan menyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif yang paling mendekati terdapat dalam RKUHP tahun 2019, Pasal 241, 243 ayat (1), Pasal 246 dan Pasal 247. Apabila dalam unsur provokatif tersebut mengandung makna menghasut untuk melakukan tindak pidana, maka diatur dalam Pasal 246 dan 247. Terdapat perbedaan sanksi pidana yang diatur dalam KUHP dan RKUHP 2019. Sanksi pidana mengenai unsur yang mengandung provokatif untuk melakukan perbuatan pidana diatur dalam Pasal 161 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Sedangkan dalam RKUHP 2019 Pasal 247, sanksi pidana terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan menyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif untuk melakukan tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori V.

  • 1.    Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang menjamin kebebasan hak individu setiap warga negaranya. Hak individu ini merupakan bagian dari hak dasar / Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki yang tercantum dalam konstitusi negara. Salah satu hak individu yang dimiliki adalah hak untuk mengemukakan pendapat. Kebebasan untuk mengemukakan pendapat di Indonesia, diatur dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28E ayat (3) menyatakan: “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pasal 28F, menyatakan: “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Secara khusus tentang kebebasan mengemukakan pendapat diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan: “setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara”. Meskipun demikian, seseorang dalam mengeluarkan pendapatnya harus menghargai hak orang lain, serta tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang diwajibkan untuk menghormati hak-hak orang lain yang ditetapkan dengan undang-undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi rasa keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu aspek penting

demokrasi. Indonesia sebagai negara hukum Pancasila yang menjunjung tinggi demokrasi menjamin perlindungan HAM, salah satunya kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat menjadi tujuan sekaligus prasyarat bagi jalannya demokrasi.1 Hak asasi manusia adalah suatu materi yang sangat melekat pada hakekat dan hidup manusia, hak-hak manusia itu sejarahnya bisa ditelusuri sampai pada saat permulaan kisah manusia dalam pergaulan hidupnya di dunia ini, yaitu pada mulai sadar akan kedudukannya sebagai subyek hukum.2 Indonesia menerapkan demokrasi dengan sistem presidensial yang memberi kekuasaan yang tertinggi kepada rakyat.3 Sebagai negara dengan kedaulatan yang berada di tangan rakyat, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat mendukung pengawasan, kritik, dan saran terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

Kebebasan mengemukakan pendapat dimuka umum, semakin meningkat sejak berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Melakukan kritik terhadap pemerintah, instansi-instansi/lembaga negara tertentu dan hal-hal lainnya yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan di masyarakat dapat secara bebas dilakukan. Terkadang cara-cara yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dimuka umum tersebut sering melanggar hukum dan mengganggu hak-hak orang lainnya. Seperti perusakan, penyerangan terhadap kelompok lain, dan sebagainya.4 Sejak saat itulah mulai dikenal istilah provokator. Istilah ini berasal dari istilah bahasa Inggris: “provocator, atau kata bendanya: provocation, yang berarti “penghasutan, provokasi, pancingan” sedangkan kata kerjanya adalah to provoke, yang menurut penyusun kamus dijelaskan sebagai berikut: “Provoke 1. Menggusarkan 2. Memancing (criticism), 3. Menimbulkan, membangkitkan (a reply), 4. Menghasut”.5 Istilah provokator kerusuhan tersebut digunakan oleh pihak pemerintah, yaitu pihak pemerintah melontarkan tuduhan bahwa kerusuhan-kerusuhan yang terjadi itu dengan sengaja digerakkan oleh para provokator.6

Beberapa waktu yang lalu, terdapat kasus perbuatan penghasutan untuk melakukan penjarahan di kawasan Denpasar, Bali beredar luas melalui selebaran. Isi dari selebaran tersebut adalah ajakan untuk melakukan perusakan dan memprovokasi masa untuk berdemonstrasi dan melakukan aksi yang anarkis sehingga hal ini menjadi sangat meresahkan masyarakat di Bali. Unsur-unsur provokatif lainnya juga dapat dijumpai dalam media sosial-media sosial seperti ajakan untuk menolak Vaksinasi Covid 19, menolak untuk tidak bepergian, menolak untuk melakukan aktivitas di dalam rumah (work from home), mengkritik pemerintah dan lain sebagainya. Dengan demikian, terlepas dari soal benar atau tidaknya keberadaan provokator dibalik terjadinya

berbagai kerusuhan dan gejolak dalam masyarakat, masalah penghasutan merupakan hal yang menarik untuk dikaji dari sudut hukum yang berlaku di Indonesia.7

Berdasarkan uraian diatas, maka didalam penelitian ini dapat dirumuskan dua permasalahan, yaitu: (1) Bagaimanakah pemidanaan terhadap perbuatan penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif dalam KUHP perspektif ius constitutum? (2) Apakah sanksi terhadap perbuatan penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif dalam hukum positif perspektif ius constituendum?

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) mengkaji kebijakan formulasi pemidanaan terhadap perbuatan penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif yang terdapat dalam KUHP perspektif ius konstitutum dan dalam RKUHP tahun 2019 perspektif ius konstituendum dan 2) untuk mengetahui sanksi yang dapat dikenakan terhadap perbuatan penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif dalam hukum positif perspektif ius constitutum dan ius constituendum.

Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, namun kajiannya berbeda dengan tulisan ini, diantaranya penelitian yang mengkaji “Pendekatan Restorative Justice Dalam Tindak Pelaku Penyebaran Hoaks”,8 “Tanggungjawab Hukum Terhadap Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkis”,9 “Kajian Hukum Terhadap Terbitnya Surat Edaran Kapolri Nomor 06/X/2015/ Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech)”,10 dan “Provokator Kerusuhan Dari Sudut Penghasutan Terhadap Ketertiban Umum Dalam KUHP Perspektif Hukum Islam”.11 Pada penelitian ini kebijakan formulasi pemidanaan terhadap perbuatan yang mengandung unsur provokatif dalam RKUHP dan sanksi terhadap perbuatan yang mengandung unsur provokatif, kemudian akan dikaji dengan menggunakan pendekatan perbandingan dengan melakukan perbandingan terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tindak pidana terhadap perbuatan penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif karena fokus kajiannya beranjak dari adanya kekaburan norma.12 Penelitian hukum normatif menurut Soejono Soekanto merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah

hukum dan penelitian hukum.13 Penelitian ini menggunakan pendekatan Statute Approach (pendekatan perundang-undangan) dan Conceptual Approach (pendekatan konsep) untuk mengkaji permasalahan pada penelitian ini. Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder dan juga tersier, yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi serta dianalisis dengan langkah-langkah deskriptif, sistematisasi, inteprestasi, eksplanasi dan argumentasi Sifat dari penelitian ini deskriptif analisis yakni memberikan gambaran pada masalah yang dibahas penelitian ini dan melaksanakan analisis terhadap peraturan hukum yang berkaitan agar memberikan jawaban atas masalah yang diangkat.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Pemidanaan Terhadap Perbuatan Penyebar Selebaran Mengandung Unsur

Provokatif Dalam KUHP Perspektif Ius Constitutum

Susilo menyatakan tindakan provokasi merupakan suatu hal yang ditujukan dengan maksud untuk “menghina” yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Lebih lanjut dinyatakan, penghinaan terhadap seorang individu terdiri dari 6 macam, yaitu:

  • 1)    “Menista secara lisan

  • 2)    Menista dengan surat/tertulis

  • 3)    Memfitnah

  • 4)    Penghinaan ringan

  • 5)    Mengadu secara memfitnah

  • 6)    Tuduhan secara memfitnah.”

Semua penghinan tersebut hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari seseorang yang merasa terkena dampak dari penghinaan, kecuali apabila penghinaan tersebut dilakukan kepada seorang pegawai negeri yang sedang melakukan pekerjaannya secara sah. Provokasi/provokatif apabila ditinjau berdasarkan suku katanya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki arti: provokasi adalah perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; pancingan; tantangan. Provokatif artinya bersifat provokasi; merangsang untuk bertindak; menghasut.14 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penghasutan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan suatu tindak pidana, dapat dikaitkan dengan suatu tindakan provokasi.

Dalam KUHP tidak terdapat frase yang menyebutkan kata provokatif, namun unsur-unsur provokatif tersebar dalam berbagai pasal-pasal dalam KUHP. Berikut ini beberapa pasal-pasal dalam KUHP yang pengaturannya paling mendekati terkait dengan tindakan penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif, yaitu:

  • 1.    Pasal 156 KUHP, menyatakan: “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

  • 2.    Pasal 156 a KUHP, menyatakan: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

  • a)    Yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

  • b)    Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang tidak bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

  • 3.    Pasal 157 ayat (1) dan (2) KUHP, menyatakan:

  • (1) . “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

  • (2) . “Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut”.

  • 4.    Pasal 310 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, menyatakan:

  • (1) . “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

  • (2) . “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

  • (3) . “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”

  • 5.    Pasal 311 ayat (1), menyatakan: “Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diijinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun”.

  • 6.    Pasal 160, menyatakan: “barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

  • 7.    Pasal 161 KUHP, menyatakan:

  • (1)    “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan, atau menentang sesuatu hal lain seperti tersebut dalam pasal di atas, dengan maksud supaya isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

  • (2)    “Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut”.

Provokasi dalam KUHP tidak ada pengaturan secara eksplisit, sehingga diperlukan suatu kebijakan formulasi dalam pembentukan (penormaan) aturan hukum tentang provokasi. Berdasarkan pada pengalaman empiris dalam masyarakat, ternyata tanpa disadari seringkali dijumpai perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur provokatif untuk tujuan-tujuan tertentu. Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.15

Sebagai aturan hukum yang berorientasi pada masa depan (Ius Costituendum) Rancangan KUHP tahun 2019, tidak secara ekspisit mengatur mengenai tindakan provokatif. Namun demikian terdapat pasal-pasal yang mendekati unsur provokatif dalam RKUHP tahun 2019, yaitu: Pasal 241 dan 243 ayat (1).

Pasal 241 RKUHP tahun 2019:

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V”.

Pasal 243 ayat (1) RKUHP tahun 2019:

(1) “Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya Kekerasan terhadap orang atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Pasal 247 RKUHP 2019, yang menyatakan:

“Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi hasutan agar melakukan Tindak Pidana atau melawan penguasa umum dengan Kekerasan, dengan maksud agar isi penghasutan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori V”.

Kebijakan formulasi pengaturan terhadap pelaku penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif jika dibandingkan antara KUHP (ius constitutum) dan RKHUP tahun 2019 (ius constituendum), maka terdapat perbedaan yang lebih ringkas. Pasal dalam KUHP yang paling mendekati tindakan yang mengandung provokatif

diatur dalam Pasal 156, 157, 310, 311, dan Pasal 161 KUHP. Sedangkan dalam RKUHP tahun 2019 hanya diatur dalam Pasal 241, 243 ayat (1) dan pasal 247 RKUHP.

  • 3.2.    Sanksi Terhadap Perbuatan Mengandung Unsur Provokatif Dalam Hukum Positif Perspektif Ius Constitutum Ius Constituendum

Seorang filosof Yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, artinya manusia merupakan makhluk yang hidup bermasyarakat. Sejak lahir hingga meninggal, manusia hidup ditengah-tengah masyarakat dan melakukan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan antara seseorang dengan orang-orang lain mungkin bersifat langsung ataupun tidak langsung. Hubungan itu menyebabkan kehidupan bermasyarakat antara manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan dapat sama dengan satu yang lainnya, atau bahkan dapat bertentangan/berlawanan 16

Akibat hukum merupakan suatu akibat dari tindakan yang dilakukan, untuk memperoleh suatu akibat yang diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang dimaksud adalah akibat yang diatur oleh hukum, sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan tindakan hukum yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Akibat hukum merupakan suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh karena suatu sebab, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum, baik perbuatan yang sesuai dengan hukum, maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum.

Pertentangan-pertentangan tersebut dapat menimbulkan perselisihan dan kekacauan dalam masyarakat, untuk mengatasinya diadakan ketentuan yang mengatur yaitu tata tertib yang dapat mengembangkan kepentingan yang bertentangan tersebut, sehingga timbul kedamaian (Rust en Orde). Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan petunjuk hidup yang merupakan hukum yang berkembang bersama-sama masyarakat atau dengan lain perkataan hukum berarti tertib sosial17

Aspek sistem peradilan pidana yang terdiri dari aparat penegak hukum sangat besar eksistensinya untuk menentukan norma hukum yang hidup dalam masyarakat.18 Keberadaan norma tersebutlah hukum dapat ditegakkan di kalangan masyarakat dengan memberi keadilan pada masyarakat yang merasa dirugikan.19

Sanksi pidana dapat merampas nyawa manusia, kebebasan maupun harta benda yang dimiliki oleh subjek hukum.20 Kebijakan formulasi pembentuk undang-undang dimulai dengan penetapan perbuatan yang dilarang karena dianggap merugikan kepentingan hukum atau kriminalisasi. Jika proses kriminalisasi atas perbuatan tersebut telah selesai, pembentukan Undang-Undang kemudian dihadapkan kepada sekian banyak alternatif untuk melindungi kepentingan hukum yang diatur tersebut melalui sanksi hukum yang diancam kepada pelanggar.21

Tujuan hukum pidana adalah melindungi kepentingan masyarakat dan perseorangan dari tindakan-tindakan yang tidak menyenangkan akibat adanya suatu pelanggaran oleh seseorang. Hukum pidana tidak hanya menitik beratkan kepada perlindungan masyarakat, tetapi juga individu perseorangan, sehingga tercipta keseimbangan dan keserasian.22 Fungsi hukum pidana yang demikian dalam teori sering kali pula disebut sebagai fungsi subsidiaritas. Artinya, penggunaan hukum pidana itu haruslah dilakukan secara hati-hati dan penuh dengan berbagai pertimbangan secara komprehensif. Sebab selain sanksi hukum pidana yang bersifat keras, juga karena dampak penggunaan hukum pidana yang dapat melahirkan penalisasi maupun stigmatisasi yang cenderung negatif dan berkepanjangan.23

Sanksi tidak lain merupakan reaksi, akibat, dan konsekuensi pelanggaran kaidah sosial. Sanksi pada umunya adalah alat pemaksa agar seseorang menaati norma-norma yang berlaku. Pada hakikatnya sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaidah dalam keadaan semula. Tugas sanksi adalah sebagai berikut:

  • 1.    Merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap orang.

  • 2.    Merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum.24 Perbuatan yang menimbulkan perasaan permusuhan, rasa kebencian dan untuk membangkitkan kemarahan, merupakan unsur dari tindakan provokatif. Dalam KUHP, tindakan provokatif ini merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam masyarakat sehingga diperlukan adanya sanksi yang tegas terhadap perbuatan yang mengandung unsur provokatif tersebut.

Perbuatan yang mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, diatur dalam KUHP Pasal 156. Perbuatan yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, diatur dalam Pasal 157 KUHP.

Provokasi secara lisan dapat diartikan sebagai sebuah penghinaan di mana menghina sama artinya dengan menjatuhkan martabat seseorang maka hal tersebut dapat dikenakan pasal penghinaan yang diatur dalam Pasal 310 ayat (1), diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan media tulisan atau gambar, dipertunjukkan atau ditempel di muka umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Apabila perbuatan tersebut mengandung unsur provokatif untuk melakukan tindak pidana, diatur dalam Pasal 160 dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah dan Pasal 161 KUHP

dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Berbeda halnya mengenai tindakan provokatif yang diatur dalam RKUHP tahun 2019, terdapat dalam Pasal 241 yang menyatakan penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V. Sedangkan Pasal 243 RKUHP tahun 2019 mengatur mengenai pernyataan perasaan permusuhan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Apabila dalam unsur provokatif tersebut mengandung makna menghasut untuk melakukan tindak pidana, diatur dalam Pasal 247 RKUHP 2019, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori V.

Berat ringannya ancaman pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang mengandung unsur provokatif, dilihat dari luasnya dampak dari perbuatan yang dilakukan. Semakin luas dampak dari perbuatan yang dilakukan, maka semakin lama pula ancaman sanksi pidana penjara yang dijatuhkan kepada pelaku.

  • 4.    Kesimpulan

Kebijakan formulasi pemidanaan terhadap perbuatan penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif dalam KUHP dan RKUHP tahun 2019 tersebar dalam berbagai pasal-pasal. Hal ini disebabkan karena secara eksplisit tidak ada frase yang menyebutkan unsur provokatif. Pasal dalam KUHP yang paling mendekati tindakan yang mengandung unsur provokatif diatur dalam Pasal 156, 157, 310, 311, dan Pasal 161 KUHP. Sedangkan dalam RKUHP tahun 2019 hanya diatur dalam Pasal 241, 243 ayat (1) dan pasal 247 RKUHP. Sanksi terhadap perbuatan penyebar selebaran yang mengandung unsur provokatif dalam KUHP perspektif ius constitutum dan RKUHP tahun 2019 perspektif ius constituendum yaitu: Pada KUHP diatur dalam Pasal 161 KUHP dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Sedangkan pada RKUHP 2019 dalam Pasal 247, sanksi pidana terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengandung unsur provokatif untuk melakukan tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori V.

Daftar Pustaka/Daftar Referensi

Buku

Ali Zaidan, (2015). Menuju Pembaruan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Barda Nawawi Arief, (2002). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Edisi Revisi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1991) Kamus Besar Bahasa Indonesia,Cet ke 2, (Balai Pustaka,)

Hambali Thalib, (2009). Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertahanan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mahrus Ali, (2011). Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Soeroso.R, (2006). Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-8. Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal

Aswandi, B., & Roisah, K. (2019). Negara Hukum Dan Demokrasi Pancasila Dalam Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 1(1).

Agustini, A. A. D. T., & Parwata, I. G. N. Upaya Penegak Hukum Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, 10(5).

Hasanah, N. H., & Soponyono, E. (2018). Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia dalam Perspektif HAM dan Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 7(3), 305-317.

Lazuardi, G. (2020). Pendekatan Restorative Justice Dalam Tindak Pelaku Penyebaran Hoaks. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 8(9),    1301-1312.

doi:10.24843/KS.2020.v08.i09.p01

Lestari, S., & Bahmid, B. (2020). Tanggung Jawab Hukum Terhadap Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkis. Jurnal Pionir, 6(2).

Sitinjak, I. V. W., & Sugama, I. D. G. D. Diskresi Polisi Dalam Kerusuhan Demonstran Di Indonesia. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, 9(7), 1-12.

Saputra, B. E. (2013). Provokator Kerusuhan dari Sudut Penghasutan dan Penyertaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Crimen, 2(4).

Tesis atau Disertasi

Prasetyo, N. (2017). Provokator Kerusuhan Dari Sudut Penghasutan Terhadap Ketertiban Umum Dalam KUHP Perspektif Hukum Islam (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).

Yuliansyah, F. (2017). Kajian Hukum Terhadap Terbitnya Surat Edaran Kapolri Nomor 06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran kebencian (Hate Speech) (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Jember).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 44, No. 01 April 2022, h. 105-115

115