Perkembangan Regulasi dan Urgensi E-Litigasi Di Era Pandemi Corona Virus Disease -19
on
Perkembangan Regulasi dan Urgensi e-Litigasi di Era Pandemi Corona Virus Disease-19
Joko Sriwidodo1
1 Universitas Jayabaya Jakarta, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 20 Januari 2021 Diterima : 21 Juni 2021
Terbit : 1 Juli 2021
Keywords :
Supreme Court Regulations;
Administration; Electronic Court
Kata kunci:
Peraturan Mahkamah Agung;
Administrasi; Persidangan
Elektronik
Abstract
The implementation of e-Litigation during the Covid-19 pandemic in Indonesia still raises several issues, such as the issue of legal disharmony, and unfamiliarity of the Indonesian people about the use of e-Litigation. However, based from these issues, the judicial process must still run considering that law enforcement must continue to be carried out in order to achieve justice. Based on this background, the formulation problem in this study is how the regulation development of case settlement during the Covid-19 Pandemic and what is the urgency of e-Litigation during the Covid-19 Pandemic. The research is a normative legal research with a qualitative descriptive approach. The results showed that the Government of Indonesia had made efforts to resolve cases during the Covid-19 Pandemic, both through the litigation and non-litigation. The Attorney General's Office has implemented the case settlement efforts through the non-litigation with the establishment of the RI Attorney's Office Regulation (PERJA). Meanwhile, law enforcement efforts to resolve cases during the Covid-19 Pandemic are through litigation, namely e-Litigation. The existence of E-Litigation is needed during the Covid-19 Pandemic as it is today, because the e-Litigation process fulfills the principles of fast, simple and inexpensive. Even though in the implementation of e-Litigation there are several weaknesses in the legal element, namely the legal substance and legal culture. Regarding legal substance problems, these problems can be resolved by the formulation of more established regulations related to e-Litigation or can be done by revising the Criminal Procedure Code. Meanwhile, the issue of legal culture can be resolved with the availability of adequate facilities and human resources, the disclosure of comprehensive information that is easily accessible, the availability of a budget to meet needs, and the method of decision making.
Abstrak
Pelaksanaan e-Litigasi saat pandemi Covid-19 di Indonesia masih menimbulkan beberapa isu, mulai dari isu disharmonisasi hukum, hingga belum akrabnya masyarakat Indonesia akan penggunaan e-Litigasi. Namun terlepas dari isu tersebut, proses peradilan tetap harus berjalan mengingat penegakan hukum harus terus dilakukan demi tercapainya keadilan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini yaitu bagaimana perkembangan regulasi penyelesaian perkara
saat Pandemi Covid-19 dan bagaimana urgensi e-Litigasi saat Pandemi Covid-19. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Upaya penyelesaian perkara saat Pandemi Covid-19 telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia baik dilakukan upaya melalui jalur litigasi maupun melalui jalur non-litigasi. Adapun upaya penyelesaian perkara melalui jalur non-litigasi telah diterapkan oleh Lembaga Kejaksaan dengan terbentuknya Peraturan Kejaksaan RI (PERJA). Sedangkan upaya penegak hukum dalam penyelesaian perkara saat Pandemi Covid-19 melalui jalur litigasi yaitu dengan adanya e-Litigasi. Diperlukannya keberadaan E-Litigasi saat Pandemi Covid-19 seperti saat ini yaitu karena proses e-Litigasi yang memenuhi asas cepat, sederhana dan murah. Meskipun dalam pelaksanaan e-Litigasi terdapat beberapa kelemahan pada unsur hukum yakni substansi hukum dan budaya hukum. Terkait permasalahan substansi hukum, permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan adanya perumusan peraturan yang lebih mapan terkait e-Litigasi ataupun dapat dilakukan dengan merevisi KUHAP. Sedangkan permasalahan budaya hukum, dapat diselesaikan dengan ketersediaan fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai, keterbukaan informasi lengkap yang mudah diakses, ketersediaan budget untuk memenuhi keperluan, serta metode pengambilan keputusan.
-
1. Pendahuluan
Sejak tahun 2019 dunia dihadapi oleh wabah Corona Virus Disease (Covid-19), tidak terkecuali Indonesia. 1 Pada 16 April 2021 diketahui bahwa data pasien positif Coivd-19 yaitu 1.594.722 dengan korban meninggal 43.196. 2 Keberadaan wabah ini membuat pemerintah Indonesia membuat berbagai kebijakan dalam rangka mengurangi penularan Covid-19.3 Salah satu kebijakan tersebut yaitu kebijakan social distancing atau pembatasan sosial untuk mengurangi kerumunan di berbagai tempat, termasuk kerumunan pada saat proses pengadilan.4 Adapun penyelenggaraan sistem peradilan dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar pada asas yang sudah kita ketahui bersama yakni asas sederhana, cepat dan biaya ringan. 5 Universalnya asas peradilan cepat, tidak serta merta menjadikan penanganan perkara dalam lembaga
peradilan cepat. Lambatnya penanganan perkara merupakan isu yang selalu dialami oleh semua lembaga peradilan di seluruh dunia, terkhusus pada saat wabah Covid-19 seperti ini.6 Hal tersebut dikarenakan adanya kebijakan Work From Home atau WFH bagi seluruh instansi di Indonesia termasuk instansi pengadilan yang bertujuan untuk mengurangi penyebaran Covid-19, namun kebijakan ini justru menghambat proses peradilan.7
Adanya permasalahan lambatnya penanganan perkara di pengadilan membuat Mahkamah Agung (MA) Indonesia melakukan reformasi birokrasi. 8 Reformasi ini dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sebagaimana yang sedang berkembang di era digital saat ini. Adapun pemanfaatan teknologi oleh MA dapat dilakukan dengan manajemen perkara untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi di pengadilan.9 Pengadilan sebagai salah satu pelayanan publik akan lebih optimal ketika memanfaatkan teknologi informasi. 10 Dengan adanya pemanfaatan teknologi di pengadilan maka pengadilan akan mendapatkan berbagai keuntungan seperti kecepatan dalam penanganan perkara, konsistensi, dan ketepatan.11 Keuntungan-keuntungan ini sebagaimana asas peradilan cepat, sederhana, dan murah.12 Konsep pengadilan yang memanfaatkan teknologi juga dikembangkan oleh Dory Reiling, yaitu pemanfaatan teknologi yang berdiri sendiri, teknologi yang menggunakan basis jaringan, dan teknologi eksternal.13
Saat ini teknologi informasi telah menjadi kebutuhan manusia di berbagai bidang seperti ekonomi, hukum serta sumber-sumber daya utama lainnya. 14 Pada ranah hukum, teknologi dimanfaatkan dengan adanya pembaharuan peradilan oleh Mahkamah Agung dengan prinsip kemudahan pelayanan publik.15 Apabila ditinjau berdasarkan konsep Dory Reiling, maka pemanfaatan teknologi yang dilakukan oleh MA meliputi dua konsep yakni pemanfaatan teknologi yang berdiri sendiri, dan teknologi yang
menggunakan basis jaringan.16 Adapun peran teknologi telah dimanfaatkan oleh MA sejak tahun 1986, dengan memanfaatkan teknologi aplikasi Dbase IV. Aplikasi ini digunakan MA pada pencatatan kasus kasasi dan pada kasus peninjauan kembali.17
Pemanfaatan teknologi lain yang dilakukan oleh Mahkamah Agung yaitu dengan Peradilan Elektronik (e-Court).18 Pelaksanaan e-Court diatur dalam Peraturan MA No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik.19 E-Court diterapkan MA pada berkas elektronik (e-Court File) yang berdampak pada proses penanganan suatu kasus.20 Kemudian Peraturan MA No. 3 Tahun 2018 ini terus disempurnakan oleh MA menjadi Peraturan MA No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan secara Elektronik. MA semakin serius untuk memanfaatkan perkembangan teknologi pada ranah persidangan dengan menerbitkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik. Adapun PERMA tahun 2019 ini disebut sangat tepat digunakan pada era saat ini ketika Indonesia dilanda wabah Covid-19.21
Salah satu layanan e-Court adalah e-Litigasi. E-Litigasi adalah perluasan dari e-Court sebagai tahapan dari keseluruhan proses persidangan yang dilakukan melalui komputer untuk mengurangi banyaknya orang yang datang langsung ke pengadilan. E-Litigasi diterapkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. 22 Kemudian yang akan menjadi pertanyaan yaitu apakah masyarakat Indonesia sudah siap dengan reformasi e-Litigasi ini? Dan apakah penerapan e-Litigasi sejauh ini telah berjalan dengan baik?
Adapun penyelenggaraan e-Litigasi sendiri dapat menimbulkan isu disharmonisasi hukum. Pelaksanaan e-litigasi yang tidak dihadiri langsung oleh terdakwa akan bertentangan dengan Pasal 154 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang mewajibkan para terdakwa wajib hadir dalam persidangan. Lebih lanjut dalam Pasal 152 (2) KUHAP menegaskan bahwa terdakwa tidak boleh diwakilkan saat proses persidangan. Sebagaimana diketahui e-litigasi menggunakan aplikasi
teleconference yang mana terdakwa hanya dihadirkan melalui video bukan dihadirkan langsung pada persidangan.23
Pada tanggal 17 Februari 2021, Mahkamah Agung memberikan laporan bahwa sepanjang tahun 2020 total kasus yang masuk pada e-Court adalah 186.987 kasus, namun kasus yang diselesaikan melalui e-litigasi hanya 8.560 kasus atau sekitar 4,58% saja dari keseluruhan kasus yang masuk. 24 Data ini menunjukkan bahwa e-Litigasi belum akrab dalam masyarakat karena minimnya penyelesaian melalui e-Litigasi itu sendiri. Fakta ini tentu menimbulkan berbagai asumsi terkait anggapan e-litigasi di masyarakat. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Dewi Rahmaningsih Nugroho dan S. Suteki yang menyebutkan bahwa kelemahan e-litigasi yaitu kekhawatiran akan terjadinya permasalahan teknis di seperti tidak stabilnya jaringan internet yang berpotensi mengahambat proses persidangan.25 Adapun asumsi lain terkait hambatan pelaksanaan e-litigasi yang diungkapkan juga dalam penelitian oleh Burhanuddin dkk yang menyebutkan bahwa pengetahuan masyarakat Indonesia yang masih terbatas dalam mengakses teknologi berpengaruh juga dalam pengetahuan masyarakat terkait akan e-court dan e-litigasi.26
Dari paparan di atas maka dapat terlihat bahwa pelaksanaan e-litigasi masih menimbulkan beberapa isu dan permasalahan. Namun disisi lain proses peradilan tetap harus berjalan mengingat penegakan hukum harus terus dilakukan demi tercapainya keadilan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini yaitu bagaimana perkembangan regulasi penyelesaian perkara saat Pandemi Covid-19? Dan bagaimana urgensi e-Litigasi saat Pandemi Covid-19?
-
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif berupa produk hukum yang dipengaruhi oleh dokrin hukum murni, misalnya mengkaji undang-undang.27 Adapun penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang memberikan gambaran terhadap berbagai gejala yang terjadi di lingkungan masyarakat yang memiliki kaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini akan menggambarkan adanya wabah Covid-19 di masyarakat yang
Penyelesaian perkara merupakan proses penyelesaian antara pihak korban dalam suatu kasus tertentu dengan pihak pelaku. Adapun terdapat dua cara dalam proses penyelesaian perkara yaitu proses penyelesaian melalui jalur litigasi (pengadilan) dan proses penyelesaian melalui jalur non-litigasi (diluar pengadilan).28
Litigasi juga biasa disebut penyelesaian suatu perkara yang dihadapi melalui jalur pengadilan. 29 Proses penyelesaian sengketa tersebut melibatkan para pihak untuk membeberkan informasi dan bukti terkait dengan sengketa yang sedang dilakukan persidangannya. Penyelesaian sengketa melalui jalur ini, adalah agar menghindari timbulnya permasalahan yang tak terduga di kemudian hari atau pada saat persidangan berlangsung.
Penyelesaian sengketa melalui litigasi ini, diselesaikan dibawah naungan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman sendiri menurut Pasal 24 UUD NRI 1945 berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya. 30 Adapun badan-badan tersebut antara lain; Mahkamah Konstitusi, peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara. Kasus-kasus penyelesaian sengketa melalui litigasi memiliki bermacam-macam jenis, antaranya:
-
a. Kasus Perbankan.
-
b. Sengketa keperdataan.
-
c. Kejahatan perusahaan (fraud).
-
d. Mengenai pembebasan lahan.
-
e. Dan lainnya.
Proses penyelesaian sengketa melalui litigasi, sering juga disebut dengan ultimum remedium. Akhirnya kita bisa disimpulkan bahwa litigasi adalah merupakan sarana akhir dari upaya penyelesaian sengketa, yang hasil litigasi tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat kepada para pihak yang terkait dalam suatu sengketa tersebut.31
Penyelesaian non-litigasi merupakan penyelesaian suatu sengketa melalui jalur luar pengadilan. Adapun dasar hukum penyelesaian sengketa diluar pengadilan yaitu Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 angka 10 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Metode non-litigasi memliki beberapa macam penyelesaian sengketa, antara lain:32
-
a. Mediasi, penyelesaian sengketa melalui jalur ini melibatkan pihak ketiga (netral) sebagai mediator. Penyelesaian sengketa melalui jalur ini, dilakukan oleh seorang mediator, sang mediator sendiri dapat menawarkan dan mengembangkan pilihan penyelesaian sengketa kepada para pihak dan para pihak sendiri dapat mempertimbangkan tawaran pilihan penyelesaian sengketa yang ditawarkan mediator sebagai suatu alternatif menuju kesepakatan dalam penyelesaian sengketa.
-
b. Negosiasi atau musyawarah atau perundingan merupakan jalur penyelesaian sengketa yang secara langsung melibatkan para pihak yang bersengketa. Kemudian kesepakatan hasil dari negosiasi dituliskan dan ditandatangani para pihak yang bersengketa.
-
c. Konsultasi, adalah penyelesaian sengketa melalui orang ketiga (konsultan) namun lebih bersifat personal antar pihak yang bersengketa. Peran konsultan dalam penyelesaian sengketa yaitu dengan memberikan pendapat hukum, namun segala keputusan dari hasil penyelesaian tetap berada di tangan para pihak yang bersengketa.
-
d. Konsiliasi atau perdamaian yaitu jalur penyelesaian sengketa yang melibatkan
pihak ketiga (konsiliator) melalui perundingan.
-
e. Pendapat ahli merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan
berdasarkan pendapat objektif dari seorang ahli terkait permasalahan yang dihadapi para pihak.
Pada dasarnya para penegak hukum di Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam menyelesaikan perkara saat Pandemi Covid-19 dengan memperhatikan protokol kesehatan untuk mengurangi penularan virus Covid-19. Upaya tersebut dilakukan baik pada penyelesaian perkara litigasi maupun non litigasi. Adapun upaya penyelesaian perkara melalui jalur non-litigasi dapat terlihat dengan terbentuknya Peraturan Kejaksaan RI (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. PERJA ini memicu lembaga peradilan untuk melakukan penyelesaian perkara di luar jalur pengadilan. Hal tersebut dikarenakan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice merupakan suatu model penyelesaian perkara yang mengedepankan musyawarah dan adanya pertanggungjawaban langsung dari pelaku kejahatan kepada korban dan masyarakat. 33 Dengan demikian, upaya penyelesaian perkara melalui jalur non-litigasi yang berdasarkan keadilan restoratif lebih diutamakan oleh institusi Kejaksaan sebelum perkara sampai pada pengadilan. Hal ini tentu diperlukan apalagi saat pandemi Covid-19 yang dihimbau pemerintah
untuk mengurangi kerumunan di Pengadilan agar tidak terjadi penularan virus Covid-19.
Kemudian upaya penegak hukum dalam penyelesaian perkara saat Pandemi Covid-19 melalui jalur litigasi yaitu dengan adanya e-Litigasi. Pada dasarnya e-Litigasi telah dikembangkan oleh Mahkamah Agung sebelum pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dengan dibentuknya Peraturan MA No. 3 Tahun 2018 yang kemudian dikembangkan dengan Peraturan MA No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara elektronik. Kedua peraturan ini menjadi awal landasan hukum bagi penerapan persidangan secara elektronik di Indonesia.34
Kemudian saat pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, terbentuklah Peraturan MA No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Pidana secara elektronik disertai dengan Surat Edaran MA Nomor 1 Tahun 2020, Surat Edaran MA No. 6 Tahun 2020 dan Peraturan MA No. 6 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Kemanan dalam Lingkungan Pengadilan. 35 Peraturan-peraturan tersebut memberikan arahan pada pengadilan-pengadilan di bawah MA agar menerapkan proses persidangan yang dilakukan melalui elektronik atau e-Litigasi.
Terjadinya pandemi Covid-19 di Indonesia berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, tidak terkecuali pada aspek hukum peradilan. Sebelum terjadinya pandemi, proses penegakan hukum di peradilan dihadiri langsung oleh hakim, jaksa, terdakwa dan/atau penasihat hukum yang berkumpul dalam suatu ruang sidang. Namun setelah pandemi Covid-19 terjadi, Mahkamah Agung menerbitkan berbagai peraturan terkait pelaksanaan peradilan yang dilakukan Dalam Jaringan atau Daring dan menggunakan elektronik atau disebut dengan e-Litigasi.36 Pada dasarnya e-Litigasi diharapkan dapat mewujudkan efektivitas peradilan dan meringkas proses birokrasi.37 Kemudian dengan terjadinya pandemi Covid-19 e-Litigasi diharapkan dapat mengurangi penularan virus Covid-19, namun proses penegakan hukum di persidangan tetap berjalan demi tercapainya keadilan.
Diperlukannya keberadaan E-Litigasi saat Pandemi Covid-19 seperti saat ini yaitu karena proses pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa maupun terdakwa menjadi lebih cepat. 38 Hal ini sebagaimana asas peradilan yaitu cepat, sederhana dan biaya ringan karena jadwal sidang dalam pelaksanaan e-Litigasi lebih pasti dan pemeriksaan saksi serta pembacaan putusan dilakukan secara daring atau online. Kemudian salinan putusan tersebut dikirim secara online dengan kekuatan hukum tetap sebagaimana
kekuatan hukum dari salinan fisik.39 Adapun keuntungan lain pelaksanaan e-Litigasi ketika pandemi covid-19 dapat dikelompokkan menjadi:40
-
a. Metode pembayaran panjar lebih bervariasi, baik dapat dilakukan melalui berbagai bank atau melalui saluran multi chanel.
-
b. Penyimpanan arsip berbagi dokumen tersimpan dengan baik dan lebih mudah diakses melalui berbagai media dan dari berbagai tempat.
-
c. Proses pengiriman replik-duplik juga relatif lebih singkat karena penyaluran data lebih cepat.
Berbagai keunggulan e-Litigasi ini juga telah menjawab beberapa kelemahan pengadilan. Sebagaimana riset yang telah dilakukan oleh MaPPI atau Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, terdapat adanya kekurangan dalam pelayanan pengadilan. Kekurangan tersebut diantaranya jadwal sidang yang kerap kali tidak tepat waktu, sulitnya mendapatkan informasi pelayanan, dan ditemukannya praktik pungutan liar.41 Dengan demikian, keberadaan e-Litigasi menjadi jawaban dari permasalahan-permasalahan tersebut. Namun terlepas dari berbagai keuntungannya, terdapat berbagai isu dalam pelaksanaan e-litigasi ini yaitu isu adanya disharmonisasi hukum dan isu e-Litigasi yang masih belum akrab dalam masyarakat Indonesia.
Terkait permasalahan disharmonisasi hukum, Mahkamah Agung berupaya dengan melakukan perjanjian kerjasama bersama Kementerian Hak Asasi Manusia atau KEMENKUMHAM dan Kejaksaan Agung. Perjanjian Kerjasama tersebut ditetapkan pada 13 April 2020 dengan Nomor 402/DJU/HM.01.1/ 4/2020, No.
KEP.17/E/Ejp/4/2020 dan No. Pas-06.HH.05.05 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference. 42 Perjanjian kerjasama ini diharapkan menjadi acuan bagi setiap pihak yang terlibat dalam perkara pengadilan dalam pelaksanaan sidang melalui via online atau yang disebut dengan e-litigasi. Adapun tujuan perjanjian ini agar para pihak dan instansi yang terlibat dalam e-litigasi dapat bekerja dengan efektif, optimal, efisien dan aman. Sehingga tugas dan fungsi para pihak dalam pelaksanaan e-Litigasi tidak mengalami pertentangan.43
Namun perjanjian kerjasama antara MA, KEMENKUMHAM dan Kejaksaan RI disebut tidak berlandaskan pada peraturan hukum yang cukup kuat dikarenakan tidak ada peraturan lebih tinggi yang mengatur tentang e-Litigasi.44 Adapun permasalahan terkait e-Litigasi yaitu adanya kelemahan pada unsur hukum yakni substansi hukum dan budaya hukum. 45 Substansi hukum yaitu isi dari hukum yang terdiri dari peraturan hukum yang termuat dalam perundang-undangan dan digunakan sebagai materi
hukum.46 Sehingga disharmonisasi hukum e-Litigasi ini yaitu terkait substansi hukum. Pada saat ini diperlukan hukum yang dapat mengakomodir lebih dari sekedar prosedur hukum, dalam hal ini hukum diperlukan memiliki kompetensi keadilan. Sehingga hukum dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat umum dan berkomitmen untuk mencapai keadilan sebagaimana yang dicita-citakan negara.47 Dengan demikian, untuk menyelesaikan permasalahan ini maka diperlukan adanya perumusan peraturan yang lebih mapan terkait e-Litigasi ataupun dapat dilakukan dengan merevisi KUHAP.
Adapun isu terkait e-Litigasi yang masih belum akrab dalam masyarakat Indonesia yaitu adanya kelemahan pada unsur hukum yakni budaya hukum. Budaya hukum merupakan pandangan atau tanggapan yang sama dari masyarakat terkait prilaku atau nilai terhadap gejala-gejala hukum yang terjadi dalam masyarakat. 48 Permasalahan budaya hukum dalam e-litigasi yaitu ketika masyarakat belum terlalu mengatahui terkait e-litigasi. Masyarakat yang masih minim akan pengetahuan dan penguasaan teknologi penggunaan e-litigasi dapat menghambat pelaksanaan e-litigasi itu sendiri.49 Selain diperlukan adanya penguatan dalam perumusan peraturan yang lebih detail terkait e-litigasi, diperlukan juga adanya upaya dalam membangun budaya hukum. Pentingnya upaya dalam membangun budaya hukum sebelum menangani permasalahan terkait perumusan peraturan tentang e-litigasi, namun akan lebih penting untuk mempersiapkan penegak hukum sebagai aktor yang menggerakan hukum dan budaya hukumnya.50
Terkait permasalahan budaya hukum dalam e-Litigasi maka diperlukan adanya ketersediaan fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai, informasi lengkap yang mudah diakses, ketersediaan budget untuk memenuhi keperluan, serta metode pengambilan keputusan. 51 Adapun persoalan minimnya pengetahuan masyarakat tentang e-Litigasi, maka diperlukan adanya berbagai sosialisasi yang melibatkan langsung masyarakat dalam mempraktikkan penggunaan e-Litigasi. Sehingga dalam hal ini diperlukan sosialisasi masif terhadap masyarakat sebagai wujud keterbukaan informasi e-Litigasi. Dengan demikian, keterbukaan informasi yang berkaitan dengan e-Litigasi tidak hanya tanggung jawab lembaga pengadilan tertentu, melainkan tanggung jawab bersama antara institusi hukum, komunitas, masyarakat, dan individu sebagai bentuk respon terhadap keterbukaan informasi yang diterapkan badan pengadilan.52
-
4. Kesimpulan
Upaya penyelesaian perkara saat Pandemi Covid-19 telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia baik dilakukan upaya melalui jalur litigasi maupun melalui jalur non-litigasi.
Adapun upaya penyelesaian perkara melalui jalur non-litigasi telah diterapkan oleh Lembaga Kejaksaan dengan terbentuknya Peraturan Kejaksaan RI (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sedangkan upaya penegak hukum dalam penyelesaian perkara saat Pandemi Covid-19 melalui jalur litigasi yaitu dengan adanya e-Litigasi. E-Litigasi saat Pandemi Covid-19 berdasarkan pada Peraturan MA No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Pidana secara elektronik disertai dengan Surat Edaran MA Nomor 1 Tahun 2020, Surat Edaran MA No. 6 Tahun 2020 dan Peraturan MA No. 6 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Kemanan dalam Lingkungan Pengadilan.
Diperlukannya keberadaan E-Litigasi saat Pandemi Covid-19 seperti saat ini yaitu karena proses e-Litigasi yang memenuhi asas cepat, sederhana dan murah. Meskipun dalam pelaksanaan e-Litigasi terdapat beberapa kelemahan pada unsur hukum yakni substansi hukum dan budaya hukum. Terkait permasalahan substansi hukum, permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan adanya perumusan peraturan yang lebih mapan terkait e-Litigasi ataupun dapat dilakukan dengan merevisi KUHAP. Sedangkan permasalahan budaya hukum, dapat diselesaikan dengan ketersediaan fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai, keterbukaan informasi lengkap yang mudah diakses, ketersediaan budget untuk memenuhi keperluan, serta metode pengambilan keputusan.
Berdasarkan pemaparan diatas maka dalam hal ini penulis menyarankan agar legislator Indonesia mulai membentuk peraturan tegas yang khusus mengatur tentang e-Litigasi. Selain itu diperlukan adanya sosialisasi masif kepada masyarakat Indonesia terkait penggunaan e-Litigasi.
Daftar Pustaka
Buku
Mahkamah Agung RI. (2007). Laporan Tahunan 2006. Jakarta: Mahkamah Agung.
Reiling, Dory. (2009). Technology for Juctice: How Informaton Technology Can Support
Judicial Reform. Leiden: Leiden University Press.
Reiling, Dory. (2009). Technology for Juctice: How Informaton Technology Can Support
Judicial Reform. Leiden: Leiden University Press.
Soekanto, Soerjono. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Sutarman. (2009). Pengantar Teknologi Informasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Suyudi, Aria et al. (2010). Pemetaan Implementasi Teknologi Informasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan.
Jurnal
Anggraeni, RR. Dewi. (2020). Wabah Pandemi Covid-19, Urgensi Pelaksanaan Sidang Secara Elektronik. ‘Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, 4 (1), 7-12,
10.15408/adalah.v4i1.15264 .
Asmawati. (2014). Mediasi Salah Satu Cara Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan. Jurnal Ilmu Hukum Jambi, 5 (1), 54-66.
Burhanuddin, et.al. (2020). Layanan Perkara Secara Elektronik (E-Court) Saat Pandemi Covid-19 Hubungannya Dengan Asas Kepastian Hukum. Artikel UIN Sunan Gunung Djati, 1-12.
Koloay, Renny N. S. (2016). Perkembangan Hukum Indonesia Berkenaan Dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jurnal Hukum Unsrat. 22 (5). 16-27.
Lathif, Azharuddin., Habibaty, Diana Mutia. (2019). Disparitas Penyelesaian Sengketa Jalur Litigasi Pada Polis Asuransi Syariah Dan Putusan Pengadilan. Jurnal Legislasi Indonesia. 16 (1). 76-88.
Lumbanraja, Anggita Doramia. (2020). Perkembangan Regulasi Dan Pelaksanaan Persidangan Online Di Indonesia Dan Amerika Serikat Selama Pandemi Covid-19. Jurnal Crepido, 2 (1), 46-58, DOI: https://doi.org/10.14710/crepido.2.1.46-58.
Machmudin, Dudu Duswara. (2015). Optimalisasi Peran Hakim Agung dalam Penyelesaian Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jurnal Konstitusi, 12 (2), 373400. DOI: https://doi.org/10.31078/jk1229.
Majid, Muhamad Edo Khoirul. (2019). Optimalisasi Sistem Layanan Pengadilan Berbasis Elektronik Guna Menjamin Keterbukaan Informasi Menuju Peradilan yang Modern. Legislatif, 3 (9), 97-115.
Majid, Muhamad Edo Khoirul., Ainayyah, Naura Hafiza., Amrina, Naila. (2019). Optimalisasi Sistem Layanan Pengadilan Berbasis Elektronik Guna Menjamin Keterbukaan Informasi Menuju Peradilan yang Modern. LEGISLATIF, 3 (1), 97115.
Nugroho, Dewi Rahmaningsih dan S. Suteki. (2020). Membangun Budaya Hukum Persidangan Virtual (Studi Perkembangan Sidang Tindak Pidana via Telekonferensi). Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2 (3), 291-304, DOI:
https://doi.org/10.14710/jphi.v2i3.291-304.
Nursobah, Asep. (2015). Pemanfaatan Teknologi Untuk Mendorong Percepatan Penyelesaian Perkara di Mahkamah Agung. Jurnal Hukum dan Peradilan, 4 (2), 323334, DOI: http://dx.doi.org/10.25216/jhp.4.2.2015.323-334.
Purwantini, Nahliya et.al. (2021). Penerapan E-Litigasi Terhadap Keabsahan Putusan Hakim di Pengadilan Agama Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara Dan Persidangan Secara Elektronik. Dinamika, 27 (8), 1116-1131.
Raharjo, Agus. (2008). Mediasi Sebagai Basis Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Mimbar Hukum, 20 (1), 91-109, DOI: https://doi.org/10.22146/jmh.16316.
Rahmawati, Diana. (2008). Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pemanfaatan Teknologi Informasi. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, 5 (1), 107-118. DOI: https://doi.org/10.21831/jep.v5i1.606.
Rifqi, Muhammad Jazil. (2020). Perkembangan dan Pemanfaatan Teknologi Informasi Pengadilan Agama. Al-Qaḍāu. 7 (1), 70-82, DOI: https://doi.org/10.24252/al-qadau.v7i1.13935.
Rio Satria, Persidangan Secara Elektronik (E-Litigasi) di Pengadilan Agama, artikel dikutip dalam www.pa-sukadana.go.id diakses tanggal 21 Desember 2020.
Rusli, Hadifadhillah., Jauhari, Iman., Ali, Dahlan. (2016). Penggunaan Teknologi
Informasi Dalam Proses Peradilan Di Mahkamah Syar’iyah. Jurnal Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala, 4 (3), 1-5, p. 1.
Saprudin, Ahmad. (2021). Optimalisasi Layanan E-Court Bagi Masyarakat Non Advokat (Pengguna Lain). Artikel Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 1-10.
Sari, Ni Putu Riyani Kartika. (2019). Eksistensi E-Court Untuk Mewujudkan Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan Dalam Sistem Peradilan Perdata di Indonesia. Jurnal Yustitia, 13 (1), 1-17.
Sonata, Depri Liber. (2015). Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum. 8 (1): 15-35, https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v8no1.283.
Subiyanto, Achmad Edi. (2012). Mendesain Kewenangan Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945. Jurnal Konstitusi, 9 (4), 662-681,
DOI: https://doi.org/10.31078/jk%25x.
Sudarsono. (2018). Penerapan Peradilan Elektronik Di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Jurnal Hukum Peratun, 1 (1), 57-78.
Wagiu, Justisi Devli. (2015). Tinjauan Yuridis Terhadap Asas Keadilan Restoratif Dalam Perkara Tindak Pidana Penggelapan. Lex Crimen, 4 (1), 57-70.
Internet
https://covid19.go.id/, diakses pada 17 April 2021.
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 43, No. 2 Agustus 2021, h. 197-209
209
Discussion and feedback