Sinkronisasi Pengaturan Perceraian dan Produk Pengadilan Agama Dalam Cerai Talak dan Cerai Gugat
on
Vol. 44 No. 3, Desember 2022
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika
E-ISSN 2579-9487
P-ISSN 0215-899X
Sinkronisasi Pengaturan Perceraian dan Produk Pengadilan Agama Dalam Cerai Talak dan Cerai Gugat
I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati1
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 29 Januari 2020
Diterima : 19 Desember 2022
Terbit : 30 Desember 2022
Keywords :
Sync, Basic, Trial Products
Kata kunci:
Sinkronisasi, Asas, Produk
Pengadilan.
Corresponding Author:
I Gusti Ayu Agung Ari
Krisnawati, E-mail:
DOI :
10.24843/KP.2022.v44.i03.p.07
Abstract
The purpose of this study is to prevent legal disharmony and overcome conflicting matters in legal norms, for legal certainty within the scope of procedural law arrangements for religious courts. This writing method uses normative legal research with a statutory approach and concept analysis. Sources of legal materials include primary and secondary legal materials with legal material collection techniques through system cards. Then interpreted grammatically and evaluated. Based on an analysis of grammatical interpretation, between the principles of divorce and the reasons for which they derive from Islamic law and the principles of the rule of reasons for divorce regulated in Law Number 1 of 1974 and the KHI are horizontally synchronized. With descriptive analysis, evaluation and argumentation there is no horizontal synchronization of regulation of the products of the Religious Courts concerning divorce, vows of divorce based on divorce or divorce based on taklik divorce with the khuluk way regulated in the UU PA and KHI. In KHI the product of the Religious Courts is in the form of a decision to allow the husband to pronounce a divorce pledge and the product of the court is in the form of a determination that a divorce pledge trial has taken place. This determination is evidence of a divorce. Meanwhile, in the Law on Religious Courts, all of the products of the divorce and divorce court are in the form of stipulations. Evidence of divorce in the form of a divorce certificate. The Religious Courts in examining, finalizing divorce and divorce pledges, their products follow KHI regulations.
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk tidak terjadi disharmonisasi hukum dan mengatasi hal-hal yang berlawanan dalam norma-norma hukum, untuk kepastian hukum dari lingkup pengaturan hukum acara pengadilan agama . Metode penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan serta analisis konsep. Sumber bahan hukum meliputi bahan hukum primer serta sekunder dengan tekhnik pengumpulan bahan hukum melalui kartu sistem. Kemudian diinterprestasi secara gramatikal dan dievaluasi. Berdasarkan analisis penafsiran gramatikal, antara asas-asas perceraian dan alasan-alasannya yang bersumber pada hukum Islam dengan asas-asas dari kaidah alasan-alasan percerian yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 serta KHI sudah sinkron secara horizontal. Dengan analisis secara deskripsi, evaluasi dan
argumentasi tidak ada sinkronisasi secara horisontal pengaturan produk pengaturan Pengadilan Agama yang menyangkut cerai talak, ikrar talak berdasarkan cerai talak maupun berdasarkan taklik talak dengan jalan khuluk yang diatur dalam UU PA dan KHI. Dalam KHI produk Pengadilan Agama berupa putusan untuk diijinkan suami mengucapkan ikrar talak dan produk pengadilan berupa penetapan, bahwa telah terjadi sidang ikrar talak. Penetapan ini merupakan bukti terjadinya perceraian. Sedangkan dalam UU Peradilan Agama produk peradilan cerai talak semuannya berupa penetapan. Bukti terjadinya perceraian berupa akte cerai. Pengadilan Agama dalam memeriksa, menyelesaikan cerai talak dan ikrar talak, produknya mengikuti pengaturan KHI.
Setiap warga negara mempunyai hak asasi untuk melaksanakan perkawinan, sesuai dengan ketentuan pasal 28 B UUD 1945 sebagai hasil perubahan kedua dari UUD 1945. Namun hak asasi tersebut dibatasi dengan aturan dan wajib ditaati.1 Pengaturan Perkawinan di Indonesia diatur dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan). Ketentuan Undang-Undang ini bersifat nasional dan pelaksanaannya ditentukan dalam PP No. 9 tahun 1975.
Salah satu masalah dalam kaitannya dengan perkawinan adalah putusnya perkawinan karena perceraian. Perceraian dinyatakan sah apabila adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap serta memiliki alasan-alasan sabagaimana yang disyaratkan dalam Peraturan Pelaksana dari UU perkawinan. Alibi perceraian yang dimaksud, sebagaimana tertuang dalam penjelasan pasal 39 UU perkawinan beserta Peraturan pelaksananya menampung asas- asas serta kaedah- kaedah bagi bermacam kalangan warga bersumber pada hukum agama serta kepercayaannya.
Kompilasi hukum islam disingkat KHI merupakan sekumpulan aturan hukum islam berjumlah 299 pasal. Substansi KHI memuat 3 bidang hukum , terdiri dari: hukum perkawinan (170 pasal),hukum kewarisan termasuk hibah dan wasiat (44 pasal), hukum perwakahan (14 pasal) dan ketentuan penutup yang diperuntukkan untuk ketiga bidang hukum tersebut.2 Bidang hukum perkawinan dalam KHI memuat alasan- alasan perceraian yang dilansir dari UU Nomor 1 Tahun 1974 serta tambahan 2 alasan lainnya sebagaimana yang termuat dalam pasal 116 KHI. Penambahan alasan tersebut, antara lain: suami melanggar taklik talak dan murtad atau peralihan agama yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Perkembangan KHI dengan berlakunya UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, menimbulkan perdebatan tentang kekuatan
mengikatnya. Perdebatan itu timbul karena berlakunya KHI berdasarkan instruksi presiden/keputusan presiden. Kedudukannya hukumnya tidak kuat dan tidak mengikat, kecuali undang-undang menentukan kekuatan mengikat tersebut.3 Terlepas dari kelayakan kedudukan KHI ini, kenyataannya Peradilan Agama sebagai badan peradilan yang berperan dalam memeriksa , mengadili dan memutus sengketa perceraian bagi pihak-pihak yang beragama islam di Indonesia sejauh ini menggunakan KHI sebagai pedoman dan sumber hukum materiil dalam memutuskan perkara terutama perkara perceraian.4
Kenyataan ini sejalan dengan kompetensi absolute dari peradilan agama sebagaimana ditegaskan dalam pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) yang salah satunya memuat tentang perkara perceraian sabagai permasalahan bidang perkawinan.Tata cara dari pemeriksaan dan penyelesaian perceraian berikut produk hukumnya diatur dalam pasal 66 s/d pasal 88 UUPA. Dari penjelasan umum UUPA ini dinyatakan proses pemeriksaan perceraian yang diatur dalam UUPA adalah mengatur lebih khusus dan meningkatkan pengaturan hukum acara sengketa perkawinan, perceraian yang diatur dalam Peraturan pelaksanaan UU Perkawinan.
Pengaturan yang spesifik tentang hukum acara perceraian berikut produk hukumnya diatur juga dalam pasal 114 s/d pasal 148 KHI. Dari pengaturan hukum acara tentang perceraian dalam UUPA maupum KHI yang lebih melengkapi dan lebih mengkhusus dari yang diatur dalam UU Perkawinan yo peraturan pelaksananya dapat disimak, bahwa ada 2 macam perceraian yaitu permohonan cerai talak serta gugatan perceraian (cerai gugat). Permohonan Cerai talak diajukan oleh pihak suami kepada istrinya melalui pengadilan agama serta harus diikrarkan dalam sidang Pengadilan Agama dengan cara mengajukan permohonan.5 Menurut hukum acara perdata, tuntutan hak yang diajukan ke pengadilan dengan cara permohonan/voluntair, produk hukum akhirnya berupa penetapan.6
Gugatan perceraian/cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan (kontensius) oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan produk hukumnya sebagai hasil dari pemeriksaan perkara adalah putusan. Khusus untuk tuntutan hak tersebut hanya dapat diajukan oleh seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam. Untuk terjadinya perceraian ini tidak diperlukan ikrar talak dari suami.7 Namun ada penyimpangan terhadap ketentuan perceraian dengan alasan suami melanggar taklik talak dengan jalan kuluk yang disertai dengan uang iwad’l (tebusan) dari pihak istri sebagaimana diatur dalam pasal 148 KHI. Apabila sudah ada kesepakatan
tentang besarnya uang iwad’l, untuk terjadinya perceraian harus dilakukan ikrar talak oleh suami atau kuasanya didepan sidang pengadilan.
Berdasarkan uraian tentang alasan-alasan perceraian yang bersumberkan hukum Islam dan dituangkan dalam UU Perkawinan yo Peraturan pelaksananya serta dalam KHI, diperlukan penelitian secara normatif dari segi sinkronisasi asas-asas dan alasan-alasan perkawinan dari aturan-aturan tersebut. Selanjutnya diperlukan juga penelitian tentang sinkronisasi tentang produk pengadilan yang menyangkut cerai talak, cerai gugat dengan alasan pelanggaran taklik talak dengan jalan khuluk yang diatur dalam UUPA dan KHI. Tujuan penelitian ini untuk menghindari terjadinya disharmonisasi hukum dan mengatasi hal-hal yang berlawanan antar norma-norma hukum dalam UU Perkawinan jo. Peraturan pelaksananya, UUPA dan KHI yang menyangkut asas-asas perceraian beserta alasannya dan penyelesaian perceraian berdasarkan hukum Islam termasuk produk hukumnya. Sehingga diperoleh kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang mengungkapkan keserasian asas-asas perceraian dan alasan-alasan perceraian yang bersumber pada hukum islam dan dibentuk dalam hukum negara, yaitu UU Perkawinan yo Peraturan Pelaksananya dan KHI. Selain itu penelitian ini mengungkapkan sinkronisasi produk pengadilan agama tentang pemeriksaan, penyelesaian permohonan cerai talak, ikrar talak berdasarkan cerai talak dan berdasarkan taklik talak dengan jalan khuluk yang pengaturannya terdapat dalam UU Peradilan Agama dan KHI. Pendekatan yang dipergunakan dalam tulisan ini ,yaitu pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep. Penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan hukum primer tersebut berasal dari peraturan-peraturan hukum islam yang menyangkut perkawinan dan perceraian serta peraturan-peraturan perkawinan dan perceraian yang dibentuk oleh negara. Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan secara sistematis untuk mencari kaitan antara asas-asas hukum dan kaidah-kaidah antara hukum islam dengan hukum negara. Kemudian dianalisis secara deskripsi, diinterprestasi secara gramatikal, dievaluasi tepat tidaknya suatu rumusan norma, keputusan yang tertera dalam bahan-bahan hukum. Selanjutnya dilakukan argumentasi dengan penalaran untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang tertera dalam rumusan masalah penelitian ini.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Sinkronisasi Asas-Asas Perceraian Dan Alasan Perceraian Yang Bersumberkan Pada Hukum Islam Dengan Asas-Asas Dari Kaidah Alasan Perceraian Yang Diatur Dalam UU Perkawinan Dan KHI.
-
3.1.1 Sinkronisasi Asas-Asas Perceraian Dan Alasan Perceraian Yang Bersumberkan Pada Hukum Islam Dengan Asas-Asas Dari Kaidah Alasan Perceraian Yang Diatur Dalam UU Perkawinan.
-
-
Dalam kaitan dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, pengertian sinkronisasi menurut kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “sinkron” yang
artinya pada waktu yang sama serentak, sejalan, sejajar, sesuai, selaras. Sinkronisasi yaitu perihal menyinkronkan, penyerentakan. Istilah sinkronisasi hampir sama juga dengan kata harmonisasi yaitu upaya mencari keselarasan.8 Yang dimaksud sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu.9 Penyelarasan berbagai perundang-undangan terkait mencakup penyelarasan asas dan norma yang terkandung diantara perundang-undangan tersebut.10
Sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan dilakukan dengan dua cara yaitu :
-
1. Secara vertikal11
Sinkronisasi vertikal, yaitu sinkronisasi peraturan perundang-undangan dari hierarki yang tidak sejajar. Sehingga yang dilihat disini, apakah ada pertentangan pada hierarki peraturan perundangan yang ada baik dari tingkat yang lebih tinggi maupun lebih rendah dalam suatu bidang tertentu.
-
2. Secara horisontal.12
Sinkronisasi horisontal, yaitu sinkronisasi antara peraturan perundang-undangan pada pengaturan bidang yang sama dalam hierarki yang sama.
Perihal mengkaji arti dan makna hukum Islam penulis dari ahli hukum Islam dalam pembahasannya mengkaitkan hubungan pengertian syari’at, fikih dan hukum Islam. Syari’at secara terminologi mengandung arti jalan menuju mata air. Jalan menuju mata air ini dapat dimaknai sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Pengaitan syariat dengan air dimkasudkan untuk memberi penekanan pentingnya syariat dalam kehidupan seperti halnya kegunaan air sebagai sumber kehidupan.13
Syamsul Anwar memberi pola pengertian syariat dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas,syariat adalah keseluruhan norma agama islam yang meliputi aspek doktrinal maupun aspek praktis. Dalam pengertian sempit,syariat merupakan aspek praktis saja dari ajaran islam,yaitu bagian yang terdiri dari norma-norma yang
mengatur tingkah laku manusia seperti ibadah, nikah, jual beli, berperkara di pengadilan dan lain-lain.14
Yayan Sopyan mengartikan syari’at dalam arti sempit (khusus) adalah perintah Allah yang berkaitan dengan perilaku manusia baik yang bersifat akidah (disebut ushuli) maupun yang bersifat amaliyah (disebut furu’i). Perbedaan ushuli dengan amaliyah sebagai berikut, ushuli menitik beratkan pada masalah keimanan, seperti iman kepada Allah, Rasul, malaikat (bersifat batiniah) sedangkan amaliyah (furu’i)menitik beratkan pada pekerjaan manusia yang bersifat lahiriah.15 Yang diikuti dalam tulisan ini adalah pengertian syari’at dalam arti khusus.
Syari’at agar dapat dipahami terutama oleh orang yang awam dan dipedomani, dikaji oleh ilmu fikih, yaitu ilmu mengenai hukum-hukum syari’at yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Orang yang ahli dalam fikih disebut Faqih, atau Fuqaha (jamaknya). Menurut ahli fikih, istilah fikih mengandung 2 (dua) pengrtian, (1) Fikih adalah memelihara permasalahan syari’at yang praktis (berkaitan dengan prilaku) yang diambil dari alqur’an dan as-sunnah, serta yang disimpulkan dari keduanya. (2) adalah kumpulan hukum syari’at secara spesifik dengan metode spesifik pula.16
Berdasarkan dari pengertian fikih ini, dapat dikatakan metode-metode hukum untuk menemukan ajaran syari’at identik dengan fikih. Sedangkan hukumnya disebut syariat. 17 Dengan menyimak pengertian dan makna syari’at dan fikih, maka hukum Islam adalah “seperangkat peraturan bersumber wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku mukalaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersumberkan pada wahyu Allah yang meliputi syari’at dan fikih,.18
Sumber hukum Islam terdiri dari Alqur’an dan juga Hadits/Sunnah sebagai sumber utama, dan hasil ijtihad para ulama yang ahli dibidang pengembangan hukum Islam sebagai sumber pelengkap. Ijtihad adalah usaha manusia yang memenuhi syarat dengan akal pikirannya (ra’yu) untuk berusaha berikhtiyar untuk memahami kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam Alqur’an dan Hadits (Sunnah). Hasil pemahaman Kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam Alqur’an dan Hadits tersebut kemudian diformulasikan menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada kasus tertentu.19
Ijtihad diperlukan manakala tidak ada kaidah hukum dalam Alqur’an dan Hadits atau ada namun masih bersifat umum, sehingga memerlukan penafsiran dan atau pengembangan. Hasil Ijtihad dapat dijadikan rujukan manakala dilakukan dengan
berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh para ulama. Metode yang dipakai dalam ijtihad antara lain (1) Ijma (konsensus/kesepakatan ahli ijtihad), (2) Qiyas (analogi), (3) Istihsan, (4) Maslahat al-Mursalah, (5) Urf (kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam). Dasar yuridis kebolehan melakukan ijtihad, antara lain Alqur’an surat an-Nisa ayat 59 dan Hadits Mu’azbin Jaba), yang menjelaskan bahwa Mu’az sebagai penguasa (Ulil Amri) di Yaman dibenarkan oleh Nabi mempergunakan ra’yunya untuk berijtihad.20
Menyimak uraian tentang pengertian dan makna hukum Islam, asas-asas apa yang terkandung khususnya dalam hukum perceraian dan alasannya menurut hukum Islam terlebih dahulu perlu diuraikan pengertian asas-asas. Asas secara etimologi berasal dari bahasa Arab “asasun” yang artinya“dasar, basis dan pondasi”. Dilihat dari terminologi tersebut, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Dikaitkan dengan hukum, asas hukum merupakan landasan umum yang terkandung dalam peraturan hukum. Landasan umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis, serta jiwa dari norma hukum . Kaidah-kaidah (aturan-aturan) hukum ini merupakan wujud konkret dari asas-asas hukum sehingga asas hukum ini bisa berlaku dalam praktek. 21
Sejalan dengan pengertian asas hukum, asas hukum Islam sebagai kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan dalam mengemukakan suatu argumentasi, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum berasal dari Alqur’an dan Sunnah Nabi Muhammad baik yang bersifat rinci maupun bersifat umum. Yang disebutkan terakhir ini dikembangkan oleh akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk itu.22
Berdasarkan pada makna dari pengertian asas dalam hukum Islam, menurut ahli fikih asas perceraian dalam hukum Islam tidak terlepas dari asas perkawinan. Asas-asas perceraian tersebut antara lain:23
-
1. Asas bahwa perkawinan yang disyariat’kan adalah perkawinan untuk selama-lamanya yang diliputi rasa kasih sayang dan saling menyayangi.
-
2. Asas perceraian merupakan suatu yang musykil artinya yang bertentangan dengan asas dari perkawinan.
-
3. Asas perceraian merupakan jalan terakhir sebagai jalan keluar suatu kesulitan yang tidak dapat dipecahkan lagi.
-
4. Asas perceraian harus disertai alasan-alasan.
Hasanudin menyatakan dalam perceraian juga mengandung asas-asas sebagai berikut:24 1. Asas perlindungan kepada istri, contoh sighat taklik talak.
-
2. Asas keseimbangan : adanya hak talak dan sighat taklik talak.
-
3. Asas kemaslahatan.
-
4. Asas kesetaraan/persamaan (al-mussawa).
-
5. Asas kemerdekaan/kebebasan (al-huriyah), hak menikmati hidup, hak menentukan cara penyelesaian bila terjadi sengketa.
Asas-asas perceraian yang diuraikan ini berasal dari sumbernya (Alqur’an, as-Sunnah dan Ijtihad) serta berbahasa Arab sebagaimana dinyatakan dalam Alqur’an surat Al Baqarah ayat 227, bahwa Allah membenci perceraian. Bercerai adalah pilihan terakhir bagi pasangan suami istri ketika memang tidak ada lagi jalan keluar lainnya. Demikian pula yang dinyatakan pada Sunnah RAssullullah SAW (H.R Abu Daud dan dinyatakan Shaheh oleh Al Hakim) yang terjemahannya: “Yang halal yang paling dibenci Allah ialah perceraian” ,serta Sunnah Rasullullah SAW (H.R. An Nassa –I dan Ibnu Hibban) yang diterjemahkan “jika terjadi perceraian harus disertai alasan”.25
Berdasarkan penulis hukum Islam dinyatakan ada beberapa alasan terjadinya perceraian, yaitu:26
-
1. Terjadinya nushuz dari pihak istri maupun suami, yaitu kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya begitu juga sebaliknya. Kedurhakaan istri dapat dalam bentuk tidak mengindahkan perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat menganggu keharmonisan rumah tangga. Nushuz dari pihak istri ini sesuai dengan Alqur’an surat al-Nisa : 34. Kewmungkinan Nushuz-nya seorang suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Nushuz seorang suami ini dinyatakan dalam Alqur’an surat al-Nisa : 128.
-
2. Terjadinya perselisihan/percekcokan antara suami istri (shiqaq).
Kemungkinan terjadinya perceraian ini karena suami istri terjadi percekcokan (shiqaq), misalnya disebabkan kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar. Cara menangani problema kericuhan dalam rumah tangga ini, Alqur’an surat al-Nisa ayat 35 memberi petunjuk untuk lebih mudah mendamaikan suami istri yang sedang bertengkar dengan mengirimkan hakam(arbitrator) dari masing-masing pihak, karena para perantara itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga sendiri.
-
3. Terjadinya salah satu pihak berbuat zina.
Kemungkinan terjadinya perceraian ini disebut juga dengan Fakhishah, yaitu saling menduga antara suami istri berzinah. Untuk membuktikan tuduhannya masing-masing suami istri menyatakan kesaksiannya yang dikuatkan dengan sumpah li’an.
Dari uraian alasan perceraian yang kemungkinan menimbulkan perceraian ini, ahli fiqih menyatakan dilihat dari sudut pandang, siapa yang berwenang memutuskan perceraian, dapat dibedakan bentuk penyebab alasan perceraiannya dan cara memutuskan, yaitu:27
-
1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah SWT melalui takdirnya, dimana salah satu pasangan meninggal dunia.
-
2. Putusnya perkawinan karena kehendak suami dengan alasan Nushuz, Shiqaq, Fasakh (cacad badan, gila). Cara pemutusan perceraiannya dengan
pengucapan ikrar talak. Talak mengandung arti melepaskan atau meninggalkan yang diartikan dari kata “ithlaq” dalam bahasa arab. Dilihat dalam syari’at, bahwa talak adalah mengakhiri hubungan suami istri dan melepaskan tali perkawinan. Menjatuhkan talak dalam Islam menjadi hak dan berada ditangan suami, tetapi suami tidak boleh sewenang-wenang harus memiliki alasan yang jelas.
-
3. Putusnya Perkawinan atas kemauan dari seorang istri, .
Istri menyatakan keberatan untuk menjalankan rumah tangga bersama suami yang dibenarkan oleh syari’at baik karena alasan Nushuz, Shiqaq, Fasakh, atau intervensi keluarga. Cara pemutusan perceraian ini disebut dengan Khuluk (penyerahan harta yang dilakukan istri). Yaitu mengembalikan mahar yang pernah dibayarkan oleh suaminya, agar suaminya dapat menceraikannya.
Alasan-alasan perceraian dengan bentuk cara pemutusan perceraian yang diuraikan ini mencerminkan asas perlindungan kepada istri, asas keseimbangan, asas kemaslahatan, asas kesetaraan, asas kemerdekaan/kebebasan dalam menentukan penyelesaian sengketa perceraian. Bagaimana sinkronisasi asas-asas perceraian dalam hukum Islam, sebagai hukum tidak tertulis dengan asas-asas perceraian dalam UU Perkawinan yo peraturan pelaksananya yang merupakan hukum negara dan bersifat nasional, diperlukan penelusuran sejarah lahirnya UU No. 1 Tahun 1974.
Proses pembentukan Hukum Islam sebagai peraturan tertulis yang sesuai dengan asas-asas hukum Islam melalui proses yang bertahap dan berliku yang lebih detail dapat dilihat dalam tulisan ahli sejarah hukum islam dan hukum keluraga di Indonesia.28 Seperti ditertibkannya tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk bagi masyarakat beragama Islam melalui UU No. 22 Tahun 1946 tentang masalah perkawinan dan hukum keluarga. Undang-undang ini dilaksanakan berdasarkan Instruksi Menteri Agama No 22 Tahun 1947.
Partisipasi organisasi wanita mempunyai peran penting dalam proses lahirnya UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Keterlibatannya ini tidak berhenti pada proses terbentuknya UU Perkawinan tetapi masih tetap ada dalam implementasi UU perkawinan sampai sekarang ini.29
Rancangan UU Perkawinan diajukan pemerintah atau usul insiatif dewan perwakilan rakyat melalui tahapan-tahapan persidangan di DPR RI,sesuai dengan proses aturan dari keputusan DPR RI no.7 /DPR/III/71-72 tanggal 8 januari 1972. Rancangan UU perkawinan ini kemudian disetujui dan disahkan oleh Presiden pada tanggal 2 Januari tahun 1974 dengan nama UU no.1 tahun 1974 tentang UU Pokok perkawinan. UU perkawinan ini dilihat dari isinya selain mengandung asas-asas hukum perkawinan nasional, juga menampung prinsip-prinsip yang menjadi landasan berbagai golongan masyarakat di Indonesia dan masyarakat Islam khususnya.
Dari Proses terbentuknya UU perkawinan dapat dilihat tujuan dibentuknya UU perkawinan ini memuat hal-hal sebagai berikut: ( 1)membatasi dan bahkan menghapus pernikahan anak,(2). membatasi poligami,(3).membatasi hak sepihak dari talak yang semena-mena,(4).membangun persamaan hak untuk suami dan istri.30
Dengan penguraian secara sitemmatis tentang asas-asas dari pengaturan alasan-alasan perceraian dalam hukum Islam maupun dari proses terbentuknya UU No 1 Tahun 1974 ini, dapat dianalisis secara diskripsi dan diinterprestasi secara gramatikal serta dievaluasi dengan penalaran, bahwa ada sinkronisasi horizontal dari asas-asas perceraian dan alasannya menurut hukum Islam dan asas-asas dari kaidah alasan perceraian yang tertuang pada UU Perkawinan dengan penjabarannya sebagai berikut :
-
1. Asas perkawinan yang disyari’atkan dalam Islam adalah perkawinan untuk selama-lamanya . Asas ini menginginkan agar terbentuknya keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 UU No 1 Tahun 1974.
-
2. Asas perceraian adalah hal yang musykil dalam Islam. Asas perceraian bertentangan dengan ikatan kekal lahir dan batin sebagai suami istri sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 dan penjelasan umum e UU No 1 Tahun 1974.
-
3. Asas perceraian merupakan jalan terakhir sebagai solusi terakhir antara suami istri terhadap kesulitan yang tidak dapat diselesaikan sehinggatidak dapat hidup rukun sebagai suami istri sebagaimana ditentukan dalam pasal 39 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974.
-
4. Asas perceraian harus ada alasan-alasan yang jelas seperti yang ditentukan dalam hukum Islam. Asas ini termuat juga dalam UU Perkawinan, yaitu untuk mengajukan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu (penjelasan pasal 39 UU No 1 Tahun 1975 yo pasal 19 PP No 9 Tahun 1975).
-
5. Asas perlindungan kepada istri, asas keseimbangan, asas kemaslahatan, asas kesetaraan (persamaan), asas kemerdekaan dalam menentukan cara penyelesaian sengketa perceraian yang tersirat dalam asas alasan perceraian hukum Islam, ada sinkronisasi secara horizontal dengan asas perceraian yang terkandung dalam UU Perkawinan, yaitu adanya ketentuan suami yang tidak boleh semena-mena melakukan talak . Talak yang dijatuhkan suami harus dilakukan dalam sidang pengadilan dengan disertai alasan-alasan perceraian serta pengadilan memutuskan bahwa suami istri yang bersangkutan tidak bisa lagi didamaikan untuk hidup rukun kembali dalam rumah tangga. Ketentuan ini sesuai dengan asas perlindungan kepada istri dan asas kemaslahatan, asas keseimbangan, asas kesetaraan dan asas kemerdekaan dalam menentukan cara penyelesaian sengketa. UU Perkawinan juga memberikan ketentuan bahwa seorang istri mempunyai hak melakukan gugatan perceraian.
Sinkronisasi asas dari alasan-alasan perceraian berdasarkan hukum Islam dengan UU Perkawinan ini, konkretnya tercermin dalam kaidah-kaidah yang dimuat dalam penjelasan pasal 39 UU Perkawinan yo pasal 19 Peraturan Pelaksananya sebagai berikut:
-
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
-
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lainnya dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
-
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
-
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
-
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
-
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Terjadinya Perceraian dengan alasan-alasannya yang dikonkretkan dalam penjelasan pasal 39 UU Perkawinan yo pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 huruf a s/d f dikonkretkan pula dalam pasal 116 KHI dengan memuat 2 (dua) tambahan alasan,sebagai berikut :
-
1. Suami melanggar taklik talak
-
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Dilihat dari landasan hukumnya, pelanggaran taklik talak suami, menurut ulama fiqih didasarkan pada konsep nusyuz yang terdapat dalam Alqur’an surat al-Nisa (4) : 34 dan 128 dan beberapa Hadits yang dikenal dalam hukum perkawinan Islam. Karena dikawatirkan pada suatu saat suami berlaku nusyuz kepada istrinya, maka boleh keduanya membuat perjanjian dalam bentuk taklik talak. Dalam sighat (perjanjian) taklik talak ini mengandung unsur iwadl atau biasa disebut sebagai uang pengganti dari istri kepada suaminya agar suaminya mentalak istrinya. Ini menunjukan, jika dikemudian hari suaminya melanggar sighat taklik talak, istri dapat mengadukan suaminya kepengadilan dengan talak khulu : karena dalam talak khulu adanya istilah iwadl.31
Alasan perceraian karena murtad atau peralihan agama dalam hukum Islam secara tegas tidak memperkenankan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan non muslim, termasuk perempuan ahlal-kitab, maupun sebaliknya seperti yang tertulis dalam Alqur’an surat al-Baqarah ayat 221.32Namun Alasan perceraian ini baru dapat dipakai sebagai alasan mengajukan perceraian apabila mengakibatkan ketidakharmonisan dalam hubungan suami istri.33
UU Perkawinan tidak mengatur secara jelas dan tegas tentang beda agama, namun dapat dianalisis secara argumentasi dari pasal 2, pasal 8f, pasal 57 dan pasal 66 UU Perkawinan bahwa dilarangnya perkawinan beda agama didukung oleh UU
Perkawinan . Ketentuan pasal 2 menyatakan bahwa : (1). Perkawinan adalah syah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 8 huruf (f) menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Pasal 57 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pada pokoknya Pasal 66 menyatakan, semua peraturan perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, yaitu : “ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), ordonansi perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesia 1933 No 74), peraturan perkawinan campuran (Regeling op Gemeng de Huwelijken S.1898 No 158) serta peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Tambahan ketentuan 2 (dua) alasan terjadinya perceraian yang disebutkan dalam KHI, sesuai dengan jiwa UU Perkawinan yang bersifat nasional sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umumnya. Undang-undang perkawinan ini mengandung asas-asas hukum perkawinan nasional yang bisa diperlakukan bagi berbagai macam suku bangsa dan golongan penduduk. Termasuk memuat prinsip-prinsip bagi berbagai golongan masyarakat yang kemudian juga dituangkan dalam peraturan yang lebih khusus. Untuk menyatakan tentang sinkronisasi asas perceraian dan alasannya yang bersumber dalam hukum Islam dan KHI terlebih dahulu ditelusuri tentang latar belakang disusunnya KHI dan kedudukannya dalam tata hukum Indonesia.
Awalnya istilah kompilasi berasal dari Bahasa latin, yaitu dari kata compilare yang artinya mengumpulkan bersama-sama. kemudian istilah ini dikembangkan menjadi compilation dalam Bahasa Inggris atau compilatie dalam Bahasa Belanda, yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi kompilasi.34 Kompilasi hukum Islam sebagai pengumpulan bahan-bahan hukum Islam, pendapat hukum, atau juga aturan norma yang berasal dari sumber hukum Islam. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No 07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek kompilasi hukum Islam menjadi landasan hukum penyusunan KHI.35
Latar belakang disusunnya KHI melalui proyek KHI ini, karena memerlukan wujud tertulis berupa buku konkret yang dipakai sebagai pedoman khusus untuk menyelesaikan memutuskan perkara yang diajukan kepada peradilan agama. Hal ini diperlukan, mengingat sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia yang hanya berdasarkan fatwa ulama-ulama atau penafsiran ulama saja.36
Kenyataannya dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara dilingkungan peradilan agama, para hakim merujuk kepada kitab-kitab fiqih sebagai rujukan utama.Putusan pengadilan bukan didasarkan kepada hukum, melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang telah terdeskripsi di dalam kitab-kitab fiqih. Akibat dari cara kerja yang demikian, maka terjadi berbagai produk putusan pengadilan agama yang berbeda-beda meskipun menyangkut satu perkara hukum yang sama. Hal ini semakin rumit dengan adanya beberapa mazhab dalam fiqih itu sendiri, sehingga terjadi pertarungan antara mazhab dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama.
Dengan berhasilnya penyusunan KHI, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebar luaskan KHI. Menteri Agama dengan keputusannya No 154 Tahun 1991, melaksanakan penyebar luasan KHI untuk digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan masalah dibidang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan oleh instansi pemerintah dan oleh pihak-pihak yang memerlukan. Sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden tersebut, KHI memiliki kekuatan yang mengikat bagi lingkungan Peradilan Agama. Daya mengikatnya ini, karena instruksi presiden merupakan bagian dari perintah atasan pada bawahan sebagai pembinaan badan-badan peradilan di bawah exsekutif , seperti : Departemen Kehakiman dan Departemen Agama. 37
Kekuatan mengikat dan berlakunya KHI ini dengan adanya amandemen UU 45 menimbulkan pertanyaan. Pengadilan Agama yang sebelum amandemen di bawah kekuasaan eksekutif (Presiden), sesudah amandemen Pengadilan Agama beralih di bawah kekuasaan Kehakiman yang independen dan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dengan perubahan kekuasaan tersebut apakah Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam masih di akui dan mempunyai daya hukum mengikat terhadap lingkungan Pengadilan Agama. Terhadap pertanyaan tersebut para penulis hukum berpendapat. Pendapat pertama menyatakan, ketentuan peraturan yang dibentuk oleh Presiden (termasuk Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam) tidak mengikat. Istilah Instruksi merupakan perintah atasan kepada bawahan hilang dengan sendirinya.
Pandangan Kedua menyatakan bahwa KHI yang merupakan hasil pertemuan ilmiah lokakarya yang dilakukan secara nasional pada tanggal 25 Pebruari serta merupakan hasil kesepakatan (ijma) dari beraneka golongan, kekuatan hukumnya tidak perlu diragukan lagi karena mengacu pada sumber hukum Islam, yaitu Alqur’an dan as-Sunnah disamping kitab-kitab fiqih madzhab yang dijadikan sebagai bahan orientasi. Perumusannya selanjutnya dibentuk secara tertulis sesuai dengan tatanan hukum di Indonesia. KHI merupakan suatu perwujudan fiqih yang bercorak keIndonesiaan. Sehingga KHI tetap menjadi sumber hukum materiil di Peradilan Agama dan menjadi panduan bagi Hakim dalam memutus perkara tanpa memandang kelayakan KHI dan perbedaan aturan yang tertulis dan tidak tertulis. 38
Walaupun ada perbedaan pandangan, namun disepakati bahwa eksistensi KHI di Indonesia diperlukan untuk digunakan sebagai rujukan bagi Hakim di Pengadilan Agama. Oleh karena itu perlu mempositifkan KHI melalui jalur UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian dapat mempunyai kekuatan
mengikat yang harus ditaati . KHI ini agar segera dapat digunakan sebagai sumber hukum oleh Peradilan Agama dalam menyelesaikan masalah umat Islam di bidang tertentu, maka pilihan yang tepat adalah meningkatkan kedudukan hukum KHI menjadi bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).39 Usulan lainnya agar KHI ini menjadi peraturan Mahkamah Agung (PERMA) sehingga mengikat para hakim dalam membuat putusannya.40
Dengan mengikuti pandangan kedua dari kedudukan KHI dan berdasarkan argumentasi dengan penalaran, ada sinkronisasi asas-asas perceraian dan alasannya yang bersumber pada hukum Islam dengan asas-asas perceraian dan alasannya yang dikonkretkan dalam kaidah-kaidah KHI. Selain itu KHI adalah lex spesialis dari UU perkawinan yang memuat ketentuan umum bagi semua golongan agama dan kepercayaannya dan telah dibuktikan kesinkronannya dengan hukum agama khususnya hukum Islam.
-
3.2 Sinkronisasi Pengaturan Produk Hukum Pengadilan Agama Yang Menyangkut Cerai Talak, Taklik Talak Dengan Jalan Khulu Pada Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) dan KHI.
Dalam menegakkan Hukum materiil Islam di Indonesia, sebelum kemerdekaan telah didirikan peradilan agama dengan nama yang beraneka ragam seperti di Jawad an Madura pada tahun 1882 pendiriannya dengan nama Priesterraad atau Raad Agama, pada tahun 1937 sebagian besar Residensi Kalimantan Selatan dan Timur dengan nama Kerapatan Qadi, . Tahun 1957 dalam suasana kemerdekaan pendirian Peradilan Agama dengan nama Mahkamah Syari’ah untu daerah luar Jawa, Madura dan di luar Karisedinan Kalimantan Selatan .
Perkembangan berikutnya nama Peradilan Agama ini diseragamkan dengan nama Peradilan Agama melalui undang-undang Kekuasaan kehakiman yaitu UU No 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman . Undang-undang ini merupakan induk lahirnya UU Peradilan Agama dan menggantikan semua Peraturan Peradilan Agama yang tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 dan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU Peradilan Agama tersebut adalah UU No 7 Tahun 1989 yang kemudian mengalami perubahan pertama dengan UU No 3 Tahun 2006, kemudian tahun 2009 mengalami perubahan lagi dengan UU RI No 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas UU No 7 Tahun 1989. Perubahan kedua UUPA ini menyangkut aspek substansi hukum tentang kekuasaan Pengadilan Agama, aspek institusi hukum Peradilan Agama dan aspek sosio kultur hukum Peradilan Agama.41
Dengan perubahan-perubahan UU Peradilan Agama ini ,susunan pengadilan, kekuasaan pengadilan dan hukum acara Pengadilan Agama mempunyai kedudukan yang mantap dengan tugas dan wewenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah
(pasal 49 UU No 3 Tahun 2006). Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU Pengadilan Agama (pasal 54 UU No 7 Tahun 1989).
Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara yang diajukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, ia harus memeriksa memberi putusan dan mengeluarkan produknya. Bentuk hasil akhir hukum acara peradilan Agama dapat dilihat ketentuannya dalam pasal 60 UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyebutkan : “Penetapan dan Putusan Pengadilan hanya syah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
Pasal 60 ini menunjukan, bahwa produk Pengadilan Agama terdiri dari:42
-
1. Penetapan
Penetapan merupakan produk peradilan agama yang artinya suatu pernyataan hakim yang dibuat dan diucapkan oleh hakim di depan persidangan, sebagai hasil akhir pemeriksaan perkara permohonan. Permohonan dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan Yuridictio volumtaria karena dalam permohonan ini tidak ada lawan. Sehingga pernyataan penetapan tidak akan pernah berbunyi “menghukum”, melainkan hanya bersifat menyatakan (deklaratoire) atau menciptakan (constitutoire).43
-
2. Putusan.
Penjelasan pasal 10 UUPA memberi perumusan tentang putusan sebagai berikut: “Putusan adalah Hasil akhir Pengadilan atas perkara gugatan didasarkan atas suatu sengketa”.
Dihubungkan khususnya dengan peradilan perdata di Pengadilan Agama, putusan selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu atau untuk melepaskan sesuatu atau menghukum sesuatu. Jadi dictum vonis selalu memiliki salah satu diantara dua sifat yaitu comdemnatoir, artinya menghukum dan constitutoir artinya menciptakan. Perintah dari Pengadilan ini, jika tidak dituruti dengan sukarela, dapat diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa yang disebut dengan “eksekusi”.44
Produk Pengadilan penting dibahas khususnya dalam kaitan dengan perceraian melalui Pengadilan agama yang mempunyai kekhususan tersendiri dalam pengaturannya sebagaimana tersebar dalam UU Pengadilan Agama, UU Perkawinan, yo Peraturan pelaksananya maupun dalam KHI. Dalam peraturan-peraturan tersebut dapat ditarik kesimpulan ada dua cara untuk melakukan perceraian, yaitu :
-
1. Dengan cara cerai talak
Istilah cerai talak disebutkan dalam penjelasan pasal 14 PP No 9 Tahun 1975 dan pasal 66 UU No 7 Tahun 1989 UUPA. Dalam pasal 14 PP No 9 Tahun 1975 ditentukan, cerai talak hanya ditujukan khusus untuk pihak laki-laki yang menceraikan istri dalam perkawinan yang dilakukan menurut agama islam.
-
2. Dengan gugatan perceraian
Berdasarkan penjelasan pasal 20 PP No 9 Tahun 1975 dijelaskan, gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agam Islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam.
Dalam hukum Islam gugatan perceraian yang dapat dilakukan oleh seorang istri, salah satunya adalah dengan alasan suami melanggar taklik talak dengan jalan khuluk. Alasan perceraian ini tidak disebutkan dalam penjelasan pasal 39 UU Perkawinan maupun dalam pasal 19 Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan dan baru muncul ketentuannya dalam pasal 116 KHI. Ditentukannya alasan gugatan perceraian karena suami melanggar taklik talak dalam KHI, karena landasan taklik talak disebutkan dalam Alqur’an surat An Nisa (4) : 128 yang memfirmankan tentang Nusyus, yaitu suami istri yang meninggalkan kewajiban bersuami istri yang membawa kerenggangan hubungan diantara keduannya.45
Taklik talak ini sudah melembaga dalam masyarakat Islam di Indonesia di formulasikan dalam bentuk sighat taklik talak yang dicantumkan dalam kutipan akta nikah, dan redaksionalnya ditentukan oleh Menteri Agama berdasarkan pasal 11 ayat 3 Peraturan Menteri Agama No 3 Tahun 1975.
Tujuan ditentukan redaksi sighat taklik talak oleh Menteri Agama, agar sighat taklik talak bisa memberikan keseimbangan antara suami memiliki hak talak mutlak dengan istri memperoleh perlindungan dari tindakan suami yang semena-mena .46
Pasal 46 ayat 3 dan ayat 2 KHI menyatakan taklik talak merupakan perjanjian yang tidak harus diadakan dalam setiap perkawinan tetapi sekali taklik talak sudah diucapkan tidak dapat dicabut kembali. Sighat taklik talak yang tercantum dalam kutipan akte nikah walaupun tidak wajib dilakukan dalam pelaksanaan dimasyarakat selalu diikrarkan oleh suami setelah pelaksanaan ijab kabul pernikahan yang ditandatangani oleh suami. Dengan adanya sighat taklik talak sesuai dengan redaksinya, apabila suami melakukan perbuatan yang melanggar taklik talak, maka istri dapat melakukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama dengan jalan khuluk.
UU Pengadilan Agama tidak mengatur tentang pemeriksaan gugatan pengaturan pemeriksaannya diatur dalam pasal 148 KHI tentang gugatan khuluk yang dikaitkan dengan isi sighat taklik talak, sebagai berikut : “Setelah Pengadilan Agama menerima gugatan perceraian istri, Pengadilan Agama memerintahkan kepada istri untuk membayar uang iwadl (uang pengganti) kepada suaminya sebesar sejumlah uang yang telah disepakati atau tercantum dalam sighat taklik talak yang telah ditandatangani oleh suami. Kemudian suami mengucapkan talak atau menguasakan pengucapannya kepada Hakim dihadapan sidang, maka jatuhlah talak khuluk kepada istri”.
Produk hukum Pengadilan Agama dalam menyelesaikan talak khuluk ini dalam ketentuan KHI berupa penetapan,sebagaimana disebut dalam pasal 148 ayat 5 sebagai berikut: “Penyelesaian selanjutnya (bukti terjadinya talak khuluk) dilakukan sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat 5”.Pasal 131 ayat 5 ini mengatur tentang produk Pengadilan Agama dalam menyelesaikan ikrar talak berdasarkan permohonan
cerai talak yang diterima dengan bunyi ketentuannya yang pada intinya sebagai berikut : “Pengadilan Agama membuat penetapan tentang teradinya talak sebagai bukti perceraian bagi bekas suami dan istri setelah sidang penyaksian ikrar talak.”
Dari ketentuan pasal 148 ayat 5 dan pasal 131 ayat 5 KHI ini, dapat dinyatakan bahwa produk akhir pemeriksaan dalam menyelesaikan ikrar talak, berupa penetapan berdasarkan gugatan perceraian dengan jalan khuluk. Hukum acara penyelesaian cerai talak berikut syahnya ikrar talak serta produk hukumnya dari Pengadilan Agama juga diatur dalam UUPA No 7 Tahun 1989.
Apabila dianalisis secara sistimatis adanya dua pengaturan dalam UUPA No 7 Tahun 1989 dan KHI tentang penyelesaian cerai talak dapat diketahui tidak adanya kesinkronan secara horizontal dalam pengaturan produk hukumnya. Hal ini dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Pengaturan Produk Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Cerai Talak Berdasarkan UUPA Dan KHI.
UUPA No 7 Tahun 1989 (pasal 66 s/d pasal 72) |
KHI (pasal 129, 130 dan pasal 131 ayat 1 dan ayat 5) | |
1 |
Suami yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman termohon, untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak (pasal 66). |
Suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu (pasal 129). |
2 |
Pengadilan telah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud, istri dapat mengajukan banding (pasal 70 ayat 1 dan ayat 2). |
Permohonan untuk menjatuhkan talak dengan ikrar talak yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama produk hukumnya berupa “keputusan” yang dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi (pasal 130, pasal 131 ayat 2). |
3 |
Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksiaan. Ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut (pasal 70 ayat 3) – |
Ikrar talak baru bisa diucapkan setelah keputusan izin ikrar talak mempunyai kekuatan hukum tetap. Bila suami tidak mengikrarkan talaknya dalam waktu 6 bulan terhitung dari keputusan hukum yang tetap, |
-Jika suami dalam tenggang waktu 6 bulan sejak “ditetapkan” hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara syah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama (pasal 70 ayat 6). |
maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh (pasal 131 ayat 3 dan ayat 4). | |
4 |
Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi (pasal 71 ayat 2). Bukti cerai berupa akte cerai. |
Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap 4 yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. (Pasal 131 ayat 5). |
Hasil produk hukum tentang penyelesaian cerai talak , pengaturannya terdapat dalam UUPA dan didiskripsikan dalam bagan ini menunjukan berupa penetapan baik berdasarkan sidang pertama dalam permohonan cerai talak maupun dalam sidang kedua tentang penetapan putusnya perkawinan dengan dilaksanakannya ikrar talak oleh suami. Pengaturan produk hukum dalam KHI tentang pemeriksaan permohonan cerai talak pada sidang tahap pertama yang telah didiskripsikan, hasilnya berupa putusan pada tahap sidang kedua penyaksian ikrar talak, produk Pengadilan Agama berupa penetapan.
Pengaturan produk hukum dalam pemeriksaan cerai talak baik hasilnya putusan dan penetapan adalah kontraversi, karena permohonan cerai talak atas permohonan pemohon yang semestinya tidak ada lawan dan diktumnya hanya berbunyi menyatakan atau (deklaratoire) atau menciptakan (constitutoir). Namun pengaturan dalam pemeriksaannya bersifat “contradiktoir” (berlawan) dan diktumnya berbunyi “menghukum”. Terhadap istri diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya hukum banding dan kasasi.47
Pihak-pihak dalam penetapan tersebut ada pihak pemohon dan termohon, tetapi para pihak diperlakukan sebagai penggugat dan tergugat, sehingga penetapan itu harus dianggap sebagai putusan.48 Dalam penelusuran pengumpulan produk hukum pemeriksaan cerai talak, pelaksanaan ikrar talak berdasarkan cerai talak maupun berdasarkan gugatan khuluk karena pelanggaran taklik talak, ternyata produk hukum yang diikuti Pengadilan Agama adalah ketentuan produk hukum KHI. Berikut diuraikan putusan Pengadilan Agama yang dimaksud dan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dari inventarisasi produk hukum penyelesaian perkara cerai talak dan pelanggaran taklik talak dengan jalan khuluk di beberapa pengadilan dapat dievaluasi bentuk produk hukum yang diterapkan :
-
1. Putusan Pengadilan Agama Karangasem No 1/Pdt.6/2017/PA.Kras tentang permohonan cerai talak yang diikuti dengan penetapan ikrar talak.
-
2. Putusan Pengadilan Agama Lahat Sumatra Selatan No 41/Pdt/G.2015/PA.Lt tentang permohonan cerai talak yang dilanjuti dengan penetapan ikrar talak.
-
3. Putusan Pengadilan Agama Surabaya No 4693/Pdt/G.2013/PA.SBY tentang permohonan cerai talak yang dilanjuti dengan penetapan ikrar talak.
-
4. Putusan Pengadilan Agama Pasuruan No 0464/Pdt/G.2012/Pa Pasuruan tentang permohonan cerai talak yang dilanjuti dengan penetapan ikrar talak.
-
5. Putusan Pengadilan Agama Denpasar No 40/Pdt/G.2018/Pa DPS tentang permohonan cerai talak yang dilanjuti dengan penetapan ikrar talak.
-
6. Putusan Pengadilan Agama Pasir Pangarayan (Kabupaten Rukan Hulu) No 273/Pdt/G.2015/Pa Ppg tentang pelanggaran taklik talak dengan jalan khuluk, didalam amar penetapan dijatuhkan talak satu kepada istri.
-
7. Putusan Pengadilan Agama Mentok (Kabupaten Bangka Barat) No 035/Pdt/G.2014/Pa Mtk tentang pelanggaran taklik talak dengan jalan khuluk, didalam amar penetapan dijatuhkann talak satu kepada istri.
Berdasarkan pada pengumpulan produk hukum Pengadilan Agama yang menyangkut cerai talak, ikrar talak berdasarkan cerai talak maupun karena pelanggaran taklik talak dengan jalan khuluk, dapat diketahui bahwa Pengadilan Agama mengikuti pengaturan produk hukum dari KHI. Dengan demikian KHI tetap dipakai sebagai pedoman dan sumber hukum perdata materiil dalam memutuskan perkara perceraian dilingkungan Pengadilan Agama. Dinyatakan sebagai sumber hukum perdata materiil, karena KHI merupakan hasil konsensus (ijma) dari berbagai cendekiawan dan golongan masyarakat Islam yang kekuatan hukumnya berlandaskan pada Alqur’an dan Sunnah disamping hasil ijtihad yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab.
Secara horizontal ada sinkronisasi dari asas-asas perceraian serta alasan-alasannya yang bersumberkan pada hukum Islam, dengan asas-asas dari kaidah alasan perceraian yang diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 jo. PP No 9 Tahun 1975 dan KHI. Asas-asas ini dikonkretkan dalam pasal-pasal UU No. 1 Tahun 1974 yo PP No 9 Tahun 1975 dan KHI sebagai berikut :
-
1) . Bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (pasal 39 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, pasal 115 KHI).
-
2) . Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri (pasal 39 ayat 2 UU No 1 Tahun 1974, pasal 39 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974, pasal 115 KHI). Alasanalasan perceraian ditentukan dalam penjelasan pasal 39 UU No 1 Tahun 1974, pasal 19 PP No 9 Tahun 1975, pasal 116 KHI.
-
3) . Tata cara perceraian diajukan dengan cerai talak oleh suami (pasal 14 PP No 9 Tahun 1975, pasal 114, pasal 129 KHI). Gugatan perceraian diajukan oleh istri yang beragama Islam (pasal 20 PP No 9 Tahum 1975, pasal 114, pasal 132 I).
Secara horizontal tidak ada sinkronisasi pengaturan produk hukum Pengadilan Agama dalam penyelesaian perkara cerai talak dengan penyelesaian ikrar talaknya, berikut
produk hukum dari penyelesaian ikrar talak berdasarkan penyelesaian taklik talak dengan jalan khulu dalam UU Pengadilan Agama No 7 Tahun 1989 dan KHI. Ketidak sinkronan ini disimak dari ketentuan UU Pengadilan Agama No 7 Tahun 1989 yang menentukan produk hukum berupa penetapan untuk mengabulkan suami yang akan menceraikan istrinya melalui permohonan untuk mengadakan sidang ikrar talak. Apabila sidang ikrar talak sudah dilaksanakan, perkawinan dinyatakan putus oleh Pengadilan Agama dengan mengeluarkan produk berupa penetapan. Sebagai bukti terjadi perceraian, pengadilan memberi akte cerai kepada para pihak. Dalam KHI hasil pemeriksaan permohonan cerai talak dari suami, produk hukumnya berupa putusan. Pengadilan Agama mengeluarkan produk hukum berupa penetapan apabila ikrar talak telah dilaksanakan dalam sidang untuk itu. Penetapan ini merupakan bukti bahwa telah terjadi perceraian.
Daftar Pustaka
Buku
Hamzani,(2018), Achmad Irwan,Asas-Asas Hukum Islam Teori dan Implementasinya Dalam Pengembangan Hukum di Indonesia, Yogyakarta, Thafa Media.
Jurnal
Abdillah, M. J. Analisis Putusan Pengadilan Agama Terhadap Cerai Gugat dan Cerai Talak Menurut UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan dan KHI.Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam,10(2),183-192.
Afianto, A. B. (2013). Status Perkawinan Ketika Suami atau Isteri Murtad dalam Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Humanity, 9(1).121-140,
Anwar, S. (1997). Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations: Toward a Reinterpretation. Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies, 35(60), 128-
153.DOI:10.14421/ajis.1997.3560.128-153.
Asril Asril, A. (2015). Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hukum Islam, 15(1), 28-45.DOI : 10.24014/hi.v15i1.1156.
Azizah, L. (2012). Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam. Al-'Adalah, 10(2), 415-422.DOI:10.24042/adalah.v10i2.295.
Azwar, W. LATAR BELAKANG LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 (UUP). Hukum Islam, 21(1), 133-151. DOI: 10.240 14/Jhi.v21i1.11616.
Burlian, F. (2019). Eksistensi Perkawinan Dan Perceraian Menurut Hukum Islam Dan Pasca Berlakunya UU NO. 1 Tahun 1974. Mizan: Jurnal Ilmu Hukum, 8(2), 7784. DOI: 10.32503/mitan.v8i2.669.
Faisal, A. (2019). Syariat Islam di Indonesia: Pergulatan antara Sakralitas dan Profanitas. Al-Ulum, 19(1), 27-52.DOI:10.30603/au.v19i1.669.
Hasanudin, H. (2016). Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif. Medina-Te: Jurnal Studi Islam, 12(1), 45-60.DOI:10.1909/medinate.v12i1.1145.
Helmi, M. (2016). Kedudukan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Mazahib: Jurnal Hukum Islam, 15(1), 139-150.
DOI:10.21093/mj.v15i1.616.
Hermawan, D., & Sumardjo, S. (2016). Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Materiil Pada Peradilan Agama. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 6(1), 24-46.DOI:10.21043/yudisia.6i1.1469.
Hermawan, D., & Sumardjo, S. (2016). Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Materiil Pada Peradilan Agama. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 6(1), 24-46.DOI:10.21043/yudisiav6i1.1469.
Huda, M. (2014). Yurisprudensi Isbat Nikah Dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. Religi: Jurnal Studi Islam, 5(1), 43-71.
Nasution, K., & Nasution, S. (2017). Peraturan dan Program Membangun Ketahanan Keluarga: Kajian Sejarah Hukum. Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum, 51(1), 1-23.DOI :10.14421/ajish.2017.51.1.1-23.
Nusri, N. T., & Rajafi, A. (2019). Persepsi Pimpinan Badan Kontak Majelis Taklim, Aisyia, Wanita Syarikat Islam, Fatayat NU, Dan Kerukunan Wanita Islam Di Kota Manado Tentang Poligami. ADHKI: JOURNAL OF ISLAMIC FAMILY LAW, 1(2), 137-148 .DOI :10.37876/adhki.v1i2.23.
Rosidah, Z. N. (2013). Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Mengenai Perkawinan Beda Agama. Al-Ahkam, 23(1), 1-20. DOI:
10.21580/ahkam.2013.23.1.70.
Susilo, J. (2022). Sinkronisasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228 Tahun 2017 Dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Terkait Kewajiban Pemberian Data Dan Informasi Yang Berkaitan Dengan Perpajakan. Klausula (Jurnal Hukum Tata Negara, Hukum Adminitrasi, Pidana Dan Perdata), 1(1), 14-
29.DOI:10.32503/klausula.v1i1.2363.
Wandasari, S. L. (2012). Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dalam mewujudkan pengurangan risiko bencana. Unnes Law Journal: Jurnal Hukum Universitas Negeri Semarang, 1(2).137-150, DOI:10.15294/ulj.v2i2.2274.
Online/world Wide Web
Artikel (2018), Harmonisasi Dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan, http://sogood.id diakses 23 Nopember 2019.
Hamdan,H (2017), Perceraian Menurut Hukum Positif Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), http;//digilib. Uinsby. ac.id, (diakses tanggal 27 Nopember 2019).
Home Page Hukum Islam Pernikahan, (2018) Penyebab Perceraian Dalam Islam Dan Cara Mengatasi, https://dalamislam.com (diakses tanggal 25 Oktober 2019).
Jessika Adidarma, (2017), Sinkronisasi Peraturan Mengenai Alasan Perceraian Akibat Murtad Dalam Hukum Perkawinan Nasional Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dan Undang Undang No 1 Tahun 1974, https://respository. unpar.ac.id, (diakses tanggal 22 Nopember 2019,)
Nana Rudiana (2015), Makalah Peradilan Agama- Produk Hukum Peradilan Agama,Seminar Peradilan Agama, 30 Desember 2015, Sina-na.blogspot.com/2015/12
Nunung Yushar (2018), Perceraian Dalam Fiqih, http.s://wwwgoogle.co.id, (diakses tanggal 6 April 2018.)
Rian Bagus Saputro , artikel Tinjauan Umum Tentang Sinkronisasi Hukum, RBS 16 Juni 2011 Bagussaputro.blogspot.com, diakses 23 Nopember 2019.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 44, No. 3 Desember 2022, h. 358-379
Discussion and feedback