Pengaruh Penentuan Parliamentary Threshold Dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Sistem Presidensial di Indonesia
on

Vol. 42, No. 1, April 2020
https://ojs.unud.nc.id index. phpkerthapaiπkM
t IMX 2<'**UΓ r lux oiism∙x
PENGARUH PENENTUAN PARLIAMENTARY THRESHOLD DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF DAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA
I Gusti Ayu Apsari Hadi1 Desak Laksmi Brata2
1Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha E-mail: apsari.hadi@gmail.com
-
2Badan Pengawas Obat dan Makanan, Singaraja E-mail: laksmi.brata@gmail.com
Info Artikel”
Masuk” : 6 Oktober 2019 Diterima”: 26 Desember 2019
Terbit” : 27 April 2020
Keywords”:
Parliamentary Threshold;
Election; Effect.
Kata kunci:
Parliamentary Threshold;
Pemilihan Umum; Pengaruh.
Abstract
Indonesia held simultaneous general elections in 2019 which included the election of the President and Vice President as well as the election of members of the People's Representative Council, the Regional Representative Council, and the Regional People's Representative Council. Law No. 7 of 2017 concerning General Elections (Election Law) regulates a parliamentary threshold for political parties participating in the election which is different from the previous election provisions, which is 4% of the number of valid votes nationally to be included in the determination of votes for seats for members People's Representative Council. This paper pays a concern on the differences in parliamentary threshold arrangements, especially regarding the purpose of its application in the election of legislative members in Indonesia and its influence on the development of presidential government systems in Indonesia. The research method used is normative legal research using the legislative approach and concept approach which analyzes the concept of parliamentary threshold from various doctrines and teachings of scholars. The results indicate that the parliamentary threshold is aimed to simplify the existing political party system in Indonesia and to create an effective presidential system. If the number of political parties occupying parliament is simplified then the presidential system will be stable because those political parties will not raise many views and interests.
Abstrak
Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) serentak pada tahun 2019 yang mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Corresponding Author: I Gusti Ayu Apsari Hadi, E-mail:
DOI :
10.24843/KP.2020.v42.i01.p0
3
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur mengenai ambang batas perolehan suara (Parliamentary Threshold) bagi partai politik peserta pemilu yang berbeda dari ketentuan pemilu sebelumnya, yakni sebesar 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan suara kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Adanya perbedaan pengaturan parliamentary treshold menjadi dasar permasalahan dari penelitian ini, khususnya mengenai tujuan penerapannya dalam pemilihan anggota legislatif di Indonesia serta pengaruhnya terhadap perkembangan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep parliamentary threshold yang dianalisis dari berbagai doktrin dan ajaran para sarjana. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa parliamentary threshold ditujukan untuk penyederhanaan sistem kepartaian yang ada di Indonesia serta menciptakan sistem presidensial yang efektif. Jika jumlah partai yang menduduki parlemen disederhanakan maka sistem presidensial akan stabil karena partai tidak akan terlalu menimbulkan banyak pandangan dan kepentingan.
Negara-negara modern yang dikenal sebagai negara kesejahteraan atau welfare state, selalu menyatakan bahwa negaranya menganut sistem demokrasi.1 Setiap negara memiliki demokrasi masing-masing dan tidaklah bisa disamakan antara negara satu dengan negara lain, yang mana kondisi sosial budaya dan falsafah negara sangatlah berpengaruh.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahannya. Penerapan demokrasi biasa dicirikan dengan kebebasan berpendapat warga negaranya, termasuk juga adanya partai politik dan pemilihan umum (Pemilu) yang dilaksanakan secara berkala.2 Sebagai jaminan negara hukum partai politik merupakan sarana perwujudan demokrasi yang dapat menjadi penghubung strategis antara negara dengan rakyat.3 Partai politik inilah nantinya yang akan bertarung dalam kontestasi pemilihan umum khususnya untuk menempati kursi pada lembaga legislatif.
Pemilu di Indonesia pertama kali diadakan pada tahun 1955 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden saat itu. Dalam kurun waktu pasca pemilu pertama tahun 1955, Indonesia tercatat menyelenggarakan pemilu sebanyak 9 kali hingga pada tahun 2014. Begitu pula pada tahun 2019 juga akan diselenggarakan pemilu serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden sekaligus juga anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah. Pengaturan tentang pemilu serentak mulai diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 347, Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak menurut hari, tanggal, dan waktu yang ditetapkan KPU. Dengan demikian artinya pemilu akan diselenggarakan secara serentak di seluruh daerah baik pemilihan eksekutif maupun legislatif di tingkat pusat maupun daerah.
Satu ketentuan yang baru juga diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 yakni pengaturan mengenai ambang batas perolehan suara (Parliamentary Threshold) bagi partai politik peserta pemilu. Adapun dalam ketentuan Pasal 414 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 menyatakan bahwa, Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan suara kursi anggota DPR. Berdasarkan ketentuan tersebut untuk dapat memperoleh kursi keanggotan DPR RI partai politik peserta pemilu harus mencapai 4% secara sah suara nasional.
Parliamentary Threshold berbeda dengan konsep Electoral Threshold di mana perolehan minimum kursi untuk duduk di lembaga parlemen dan juga secara otomatis dapat mengikuti pemilu berikutnya, sedangkan Parliamentary Threshold lebih kepada jumlah dukungan suara dalam batasan tertentu untuk diikutsertakan dalam perhitungan suara partai politik di parlemen.4 Hal ini merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk membuat partai politik peserta pemilu lebih berusaha mencari dukungan dari konstituen sehingga legitimasi dari rakyat juga lebih bisa dipertanggungjawabkan dan pada akhirnya akan terlihat dari kinerja parlemen nantinya ketika sudah menduduki kursi legislatif pusat.
Pemberlakuan Parliamentary Threshold sudah mulai diterapkan pertama kali pada pemilu 2009 dengan ketentuan ambang batas 2,5% dan terdapat sembilan partai politik yang lolos pada saat itu. Penentuan ambang batas pada tahun 2009 sebesar 2,5% dipandang kurang efektif maka kemudian pada pemilu
tahun 2014 pemerintah menaikkan ambang batas menjadi 3,5% yang diatur dalam Pasal 208 UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.5 Selanjutnya, pada tahun 2017 diberlakukan kembali undang-undang tentang Pemilu yang menaikkan kembali angka ambang batas parlemen untuk diterapkan pada pemilu 2019 yakni sebesar 4% berdasarkan Pasal 414 UU No. 7 Tahun 2017.
Pengaturan Parliamentary Threshold sejak awal ditetapkan memperoleh banyak penolakan terutama oleh partai-partai baru peserta pemilu karena pemerintah dan DPR yang mengesahkan undang-undang dianggap melakukan diskriminasi. Sejumlah partai politik kemudian mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan ketentuan terkait Parliamentary Threshold. Akan tetapi berdasarkan Putusan MK No. 52/PUU-X/2012 tetap menganggap aturan Parliamentary Threshold pada dasarnya bersifat konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Merujuk pada Putusan MK No. 52/PUU-X/2012 yang menyebutkan bahwa politik hukum terkait pembatasan jumlah partai adalah sebuah kewajaran. Kewajaran ini dikarenakan banyaknya jumlah partai politik yang tidak secara efektif mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga partai politik tersebut tidak bisa menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan.6 Selain itu MK juga memberikan pertimbangan bahwa dalam rangka menguatkan sistem pemerintahan presidensial sehingga dibutuhkan sistem multipartai yang sederhana.
Dengan demikian tulisan ini akan memaparkan bagaimana tujuan diterapkannya Parliamentary Threshold dalam pemilu bagi pemilihan anggota legislatif di Indonesia serta pengaruh penerapan Parliamentary Threshold berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 dalam pemilu legislatif terhadap perkembangan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Hasil studi dari Abdul Rajab Ulumando pada tahun 2014 mengkaji tentang urgensi Parliamentary Threshold terhadap sistem presidensial serta Parliamentary Threshold yang ideal bagi sistem pemerintahan di Indonesia khususnya dalam UU No. 8 Tahun 2012.7 Selain itu, terkait tentang UU No.7 Tahun 2017 terdapat karya tulis Natasha Camilla Hufadzah tentang Parliamentary dan Presidential Threshold sudah tepatkah hadir sebagai bentuk solusi alternatif perbaikan kancah perpolitikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun
2017 tentang Pemilu.8 Adapun kekhasan dari karya ilmiah ini yakni untuk mengetahui konsep parliamentary threshold yang sudah diterapkan di Indonesia semenjak Pemilu 2009 yang mengalami perubahan di tiap periode pelaksanaan pemilu. Selain itu untuk mengetahui relevansi Parliamentary Threshold dengan sistem presidensial di Indonesia.
Karya ilmiah ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Fokus kajian ialah dari adanya kekaburan norma pada UU Pemilihan Umum yang saat ini mengalami perubahan. UU No. 7 Tahun 2017 mengatur tentang ambang batas perolehan suara dalam pemilu bagi anggota DPR RI yang dianggap masih tidak jelas, multitafsir serta menimbulkan kekhawatiran bagi peserta pemilu dan masyarakat umumnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan yakni UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta menelaah tentang pengaturan ambang batas. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan konsep yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum serta dimungkinkan menggunakan konsep hukum dari sistem hukum tertentu.9 Selain itu, penulis menggunakan pendekatan kasus dengan menelaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Hal pokok yang dikaji adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada putusannya10. Begitu pula dalam penelitian ini mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-VI/2008, beserta dasar pertimbangannya.
-
2. Hasil dan Pembahasan
-
2.1 Tujuan Diterapkannya Parliamentary Threshold Bagi Pemilihan Anggota Legislatif di Indonesia
-
Parliamentary Threshold merupakan ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk bisa menempatkan calon anggota legislatifnya di parlemen. Dengan ketentuan ini, partai politik yang tidak memenuhi ambang batas minimal tidak berhak mempunyai perwakilan di parlemen, sehingga suara yang telah diperoleh oleh parpol tersebut dianggap hangus. Ambang batas parlemen ini dibuat untuk menstabilkan hubungan antara Eksekutif dan Legislatif dalam suatu negara demokrasi.
Letak dasar adanya Parliamentary Threshold adalah untuk mengefektifitaskan representasi suara rakyat di parlemen, bukan membatasi hak rakyat untuk memilih wakilnya di parlemen. Penerapan Parliamentary Threshold ditujukan untuk penyederhanaan sistem kepartaian dan menciptakan sistem presidensial yang kuat dengan lembaga perwakilan yang efektif. Efektivitas lembaga perwakilan tidak terlepas dari banyak atau sedikitnya faksi-faksi kekuatan politik yang ada di DPR. Semakin sedikit partai politik yang ada di lembaga perwakilan maka efektivitas pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga perwakilan akan berjalan lebih baik. Parliamentary Threshold dinilai lebih efektif menjaring partai politik yang serius memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Kecenderungan banyak lahirnya partai politik memang merupakan cerminan nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh Indonesia. Partai politik dianggap sebagai wadah sekaligus alat bagi penguasa untuk melaksanakan fungsi-fungsi kekuasaannya untuk mencapai tujuan bernegara.11 Selain itu, sebagai jaminan HAM terhadap warga negara berdasarkan Pasal 28 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapatnya secara lisan maupun tulisan.
Dengan adanya kebebasan untuk mendirikan sebuah partai politik, maka dibutuhkan regulasi untuk mengontrol partai-partai politik yang ada. Upaya untuk menyederhanakan jumlah partai mulai nampak dari panjangnya proses verifikasi yang harus dilalui oleh sebuah partai politik agar bisa menjadi pesrta pemilu. Selain itu, upaya menyederhanakan partai juga diwujudkan dengan adanya kebijakan Parliamentary Threshold.12
Sebagaimana diketahui, menjelang pemilihan umum akan dibarengi dengan banyaknya partai-partai baru yang cenderung ada hanya sebagai wujud ikut memeriahkan pesta demokrasi lima tahunan saja. Hal tersebut dapat dilihat dengan tidak banyaknya kontribusi yang diberikan dari kehadiran partai-partai tersebut dan terbukti banyaknya partai-partai baru yang tidak memenuhi ambang batas (Parliamentary Threshold) untuk menduduki kursi di parlemen.
Terdapat beberapa perbandingan hasil perolehan suara partai politik peserta pemilu legislatif beserta kursi DPR dari tahun 2009, sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Penghitungan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif Tahun 2009.13
No. Urut Peroleha n Suara |
No. Urut Partai Politik |
Partai Politik |
Perolehan Suara |
Perolehan Kursi DPR | ||
Jumlah |
Persentas e (%) |
Jumlah |
Persentas e (%) | |||
1 |
31 |
Partai Demokrat |
21655295 |
20.81 |
150 |
26.79 |
2 |
23 |
Partai Golongan Karya |
15031497 |
14.45 |
107 |
19.11 |
3 |
28 |
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan |
14576388 |
14.01 |
95 |
16.96 |
4 |
8 |
Partai Keadilan Sejahtera |
8204946 |
7.89 |
57 |
10.18 |
5 |
9 |
Partai Amanat Nasional |
6273462 |
6.03 |
43 |
7.68 |
6 |
24 |
Partai Persatuan Pembangu nan |
5544332 |
5.33 |
37 |
6.61 |
7 |
13 |
Partai kebangkita n Bangsa |
5146302 |
4.95 |
27 |
4.82 |
8 |
5 |
Partai Gerakan Indonesia Raya |
4642795 |
4.46 |
26 |
4.64 |
9 |
1 |
Partai Hati Nurani Rakyat |
3925620 |
3.77 |
18 |
3.21 |
Sumber : Komisi Pemilihan Umum.
Parliamentary Threshold pertama kali diterapkan pada pemilu 2009. Saat pemilu 2009, ketentuan yang berlaku untuk pemberlakuan Parliamentary Threshold ini adalah Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, yang menetapkan bahwa ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 % dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan kursi DPR dan tidak
suara-sah-partai-politik-peserta-pemilu-legislatif-tahun-2004-2014.html, (Diakses pada Kamis, 11 April 2019).
berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Namun, pada Pemilu 2009, partai politik yang sebelumnya tidak mendapat kursi di parlemen pada Pemilu 2004 dan seharusnya tidak diperbolehkan menjadi peserta pemilu dapat menjadi peserta pemilu dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-VI/2008. Hal ini mengakibatkan banyaknya partai politik peserta pemilu 2009, yakni 44 parpol (7 partai lokal Aceh), di mana 28 parpol tidak lolos ambang batas dan hanya membawa 9 (Sembilan) partai politik menuju kursi parlemen di DPR RI (lihat tabel).
Tabel 2. Perolehan Suara dan Kursi DPR Menurut Partai Politik Hasil Pemilu Legislatif 2014.14
No. Urut Peroleha n Suara |
No. Urut Partai Politik |
Partai Politik |
Perolehan Suara |
Perolehan Kursi DPR | ||
Jumlah |
Persentas e (%) |
Jumlah |
Persentas e (%) | |||
1 |
4 |
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan |
23681471 |
18.95 |
109 |
19.46 |
2 |
5 |
Partai olongan Karya |
18432312 |
14.75 |
91 |
16.25 |
3 |
6 |
Partai Gerakan Indonesia Raya |
14760371 |
11.81 |
73 |
13.04 |
4 |
7 |
Partai Demokrat |
12728913 |
10.19 |
61 |
10.89 |
5 |
2 |
Partai Kebangkitan Bangsa |
11298957 |
9.04 |
47 |
8.39 |
6 |
8 |
Partai Amanat Nasional |
9481621 |
7.59 |
49 |
8.75 |
7 |
3 |
Partai Keadilan Sejahtera |
8480204 |
6.79 |
40 |
7.14 |
8 |
1 |
Partai Nasional Demokrat |
8350812 |
6.68 |
35 |
6.25 |
9 |
9 |
Partai Persatuan |
8157488 |
6.53 |
39 |
6.96 |
14 Ibid.
Pembanguna n | ||||||
10 |
10 |
Partai Hati Nurani Rakyat |
6579498 |
5.26 |
16 |
2.86 |
11 |
11 |
Partai Bulan Bintang |
1825750 |
1.46 |
0 |
0.00 |
12 |
12 |
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia |
1143094 |
0.91 |
0 |
0.00 |
Sumber : Komisi Pemilihan Umum
Undang-Undang Pemilu kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang menetapkan ambang batas parlemen sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD. Namun, kemudian aturan tersebut digugat oleh 14 partai politik ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan partai politik atas uji materi UU Nomor 8 Tahun 2012. Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, sepanjang frasa ‘DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan UUD 1945’. Dalam pertimbangan putusan, dijelaskan bahwa pemberlakuan Parliamentary Threshold 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, akan menghilangkan suara parpol yang tidak mencapai 3,5% di tingkat nasional tersebut. Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi menetapkan ambang batas 3,5% tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD. Pada pemilu 2014 sebanyak 15 partai politik ikut serta (3 partai politik lokal Aceh) dan dua partai tidak lolos ke parlemen.
Selanjutnya, untuk pemilu tahun 2019, Undang-Undang Pemilu kembali diubah menjadi UU No. 7 Tahun 2017, yang menaikkan ambang batas parlemen sebesar 4% dari suara sah nasional dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR. Jadi seperti yang terdapat di Pasal 415 UU No. 7 Tahun 2017, apabila partai tidak memenuhi 4%, maka tidak diikutkan dalam penghitungan suara untuk kursi DPR. Ketentuan kedua juga terdapat dalam Pasal 414 yang mengatakan semua partai politik itu diikutsertakan dalam penghitungan suara untuk DPRD Kabupaten/Kota. Dari rumusan pasal tersebut, jelas mengatakan bahwa tidak ada ketentuan yang menyatakan perhitungan bagi partai politik yang tidak memenuhi 4% tidak diikutkan dalam perhitungan di DPRD Kabupaten/Kota.
Parliamentary Threshold pada Pemilu 2014 dilakukan berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012. Pada perkembangannya Undang-Undang tersebut diajukan
Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga melahirkan Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012. Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17, Pasal 208 dan Pasal 209 UU Nomor 8 Tahun 2012 diajukan uji materi ke MK oleh 17 partai politik yang tidak lolos dalam Parliamentary Threshold sebesar 2,5 % pada Pemilu Tahun 2009. Pasal-pasal tersebut dianggap tidak mencerminkan keadilan bagi partai politik untuk bisa mengikuti Pemilu 2014 karena hanya parpol yang tidak duduk dalam parlemen saja yang dilakukan verifikasi ulang untuk menjadi peserta Pemilu 2014, sedangkan partai politik yang sudah duduk di DPR tidak perlu dilakukan verifikasi ulang. Setidaknya putusan tersebut merupakan upaya mengikis kesenjangan politik yang dialami antara kekuatan partai politik lama dengan kekuatan partai politik baru.15 Selain itu, pemberlakuan Parliamentary Threshold secara nasional untuk DPR dan DPRD juga tidak mencerminkan keberagaman pilihan di Indonesia.
Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012 ini memberikan amar putusan untuk mengabulkan sebagian permohonan yaitu berkaitan dengan sifat inkonstitusional pemberlakuan Parliamentary Threshold secara nasional. Dengan pembatalan Parliamentary Threshold secara nasional tersebut, maka besaran Parliamentary Threshold hanya berlaku untuk pemilihan anggota DPR tanpa diikutkan untuk perhitungan suara calon anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam pertimbangan hukum Putusan MK ini, mahkamah berpendapat bahwa pemberlakuan Parliamentary Threshold secara nasional tidak mengakomodasi semangat persatuan dalam keberagaman, berpotensi menghalangi aspirasi politik di tingkat daerah serta bertentangan dengan kebhinekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah. Dengan diberlakukannya Parliamentary Threshold secara nasional, maka dapat mengurangi, membatasi dan menghilangkan hak berpolitik masyarakat di daerah. Karena bisa jadi partai politik yang tidak lolos Parliamentary Threshold secara nasional, namun di beberapa daerah memperoleh suara cukup signifikan atau bahkan peraih suara mayoritas. Tentunya, hal ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, hak politik dan rasionalitas.
Selain persoalan ambang batas di atas, MK juga memutuskan kewajiban verifikasi bagi seluruh partai politik calon peserta pemilu. Verifikasi ini akan menciptakan rasa keadian bagi seluruh partai yang menjadi peserta pemilu. Menurut MK Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 membedakan antara partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara untuk mendapat kursi di DPR, partai politik yang tidak memenuhi ambang batas dan partai politik baru. Hal ini bertentangan dengan rasa keadilan dan dalam asas persamaan tidak boleh dilakukan secara berbeda. Mahkamah Konstitusi tidak mempersoalkan apakah penentuan angka ambang batas perolehan suara itu
bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi, namun lebih diarahkan pada pertanyaan apakah penerapan ambang batas tersebut bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, rasionalitas, dan tujuan pemilihan umum itu sendiri yaitu untuk memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah.16
Selain itu, perbedaan persyaratan yang harus dipenuhi partai politik untuk mengikuti Pemilu 2014 (dalam UU Nomor 8 Tahun 2012) lebih berat dibandingkan persyaratan Pemilu 2009 (dalam UU Nomor 10 Tahun 2008). Dengan pertimbangan pemberlakuan syarat yang berbeda kepada peserta kontestasi (pemilu) yang sama merupakan perlakuan yang tidak sama atau perlakuan yang berbeda yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, MK membatalkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012.
Apabila melihat alasan-alasan yang mendasari putusan MK yang juga diperkuat oleh pihak pemerintah, penerapan ambang batas memiliki maksud dan tujuan yang menjadi dasar filosofi ketentuan undang-undang mengaturnya. Pertama, Parliamentary Threshold ditujukan untuk penyederhanaan sistem kepartaian yang ada di Indonesia. Melihat pada pengalaman Pemilu 2014, partai-partai politik yang tidak lolos Electoral Threshold hanya berubah nama untuk bisa ikut pemilu 5 tahun selanjutnya. Fenomena tersebut menurut Ferry Mursyidan Baldan, tidak sehat untuk menciptakan iklim kepartaian karena Parliamentary Threshold ada untuk mendorong pembangunan partai politik yang lebih sehat mengingat peran dan fungsi sebuah partai politik telah diatur dengan sangat jelas dan tegas dalam UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan.17 Kedua, untuk menciptakan sistem presidensial yang kuat dengan keberadaan lembaga perwakilan yang efektif sebagai penopang subsistemnya. Keberadaan dan efektifnya lembaga perwakilan tidak bisa dilepaskan dari banyaknya faksi-faksi kekuatan politik yang ada di lembaga legislatif pusat. Dengan demikian semakin sedikit partai politik yang ada di lembaga perwakilan maka semakin efektif pelaksanaan fungsi dari lembaga-lembaga tersebut. Ketiga, sebagai upaya untuk menghilangkan praktik reikarnasi partai politik sebagaimana sewaktu sistem Electoral Threshold masih berlaku.18 Artinya agar mencegah berdirinya atau keikutsertaan partai politik yang tidak lolos pada pemilu berikutnya.
-
2.2 Pengaruh Penerapan Parliamentary Threshold Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 dalam Pemilu Legislatif terhadap Perkembangan Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia.
Sistem presidensial merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan legislatif. Ciri-ciri pemerintahan presidensial yaitu :
-
1. Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala Negara.
-
2. Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan rakyat.
-
3. Presiden memiliki hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
-
4. Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan eksekutif.
-
5. Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
-
6. Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif.
Jimli Asshiddiqie merumuskan ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial yaitu :19
-
1. Masa jabatan presiden dan wakil presiden ditentukan lebih pasti, sehingga presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politik. Di beberapa negara masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi dengan jelas seperti di Indonesia yang hanya dapat menjabat selama 2 periode. Kabinet berada di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden
-
2. Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen karena presiden tidak dipilih oleh parlemen. Ini merupakan implikasi dari sistem pemilihan langsung terhadap presiden. Presiden hanya dapat diberhentikan apabila ada pelanggaran hukum.
-
3. Presiden dipilih secara langsung ataupun melalui perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan permanen sebagaimana hakikat lembaga permanen.
-
4. Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala Negara.
-
5. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen demikian juga sebaliknya.
-
6. Tanggung jawab pemerintahan berada pada presiden. Karena itu, presiden yang berwenang membentuk pemerintahan, menyusun cabinet serta pejabat-pejabat publik.
Sistem presidensial tidak terlepas dengan Parliamentary Threshold, di mana Parliamentary Threshold bertujuan untuk menguatkan posisi Presiden. Jika besaran ambang batas parlemen tinggi maka partai yang menduduki parlemen akan lebih sedikit dan posisi yang dimiliki Presiden pun kuat. Kemudian
dengan sedikitnya partai tidak akan menimbulkan banyak pandangan dan banyak kepentingan. Jadi akan lebih baik lembaga perwakilan diwakili oleh beberapa partai agar tidak terlalu banyak kepentingan. Adanya penyederhanaan partai politik dapat memperkuat kelembagaan sistem presidensial. Parlemen menjadi lebih kondusif dan efektif dengan jumlah partai yang sederhana, sehingga dapat berkesinambungan dengan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan.20
Undang-Undang Pemilu dibentuk bersumber dari kewenangan atribusi yaitu pemberian kewenangan pada badan atau lembaga negara tertentu yang diberikan dari pembentuk UUD ataupun oleh pembentuk undang-undang.21 Berdasarkan naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum 2017 dinyatakan bahwa alasan adanya ambang batas yakni nantinya untuk menciptakan dan menguatkan sistem pemerintahan presidensial atau mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial yang dianut di Indonesia.22 Jimly Asshiddiqie, diaturnya ambang batas (Threshold) merupakan mekanisme yang niscaya digunakan dalam sistem presidensial dengan multi partai. Presiden membutuhkan mayoritas suara dalam menjalan pemerintahannya (kebijakan) di parlemen. Tanpa dukungan mutlak, presiden bisa jadi kurang decisive sehingga mengganggu jalannya pemerintahan.23 Parliamentary Threshold diyakini dapat mengurangi jumlah partai politik yang akan masuk ke lembaga perwakilan. Oleh karena itu, terjadi penyederhanaan jumlah partai di DPR dengan jumlah partai yang lebih sedikit, daya topang sistem kepartaian terhadap sistem presidensial yang dianut akan lebih kuat.
Dalam sistem presidensial dukungan lembaga legislatif menjadi suatu aspek penting dalam perjalanannya. Secara teoritis, sistem presidensial akan semakin kuat apabila mendapat dukungan yang memadai dari parlemennya. Dengan demikian, dukungan faksi-faksi politik akan memperkuat berjalannya sistem presidensial. Sebagaimana hasil penelitian Mark P. Jones yang dikutip Mahfud MD menyatakan, “…all evidence indicates the function of presidential system is greatly enhanced when the President is provided with a majority or near-majority in the legislature.”24 Pernyataan tersebut dimaknai bahwa dalam rangka memperkuat sistem presidensial maka akan sangat berkaitan dengan tersedianya dukungan
atau kekuatan politik yang memadai di legislatif kepada presiden. Dukungan yang dimaksud apabila presiden mendapat dukungan mayoritas yakni 50% (lima puluh persen) lebih atau hampir mayoritas yakni mendekati 50%.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem multipartai memang sering kali mengalami kesulitan dalam penerapan sistem presidensial, bisa dikarenakan sistem multipartai justru mengganggu stabilitas sistem pemerintahan presidensial itu sendiri. Adapun yang sering terjadi apabila Presiden tidak mampu mendapat dukungan kurang dari ambang yang ada karena dominannya partai oposisi di parlemen, maka sulit bagi Presiden untuk menentukan kebijakan-kebijakan strategis bagi berjalannya pemerintahan. Selain itu, dampak lain adalah kurangnya atau tidak berfungsinya sistem presidensial bahkan yang terburuk dapat terjadi pada kegagalan pemerintahan.
Dalam praktik pemerintahan di Indonesia, kita bisa melihat pengalaman – pengalaman dari Presiden yang telah berlalu. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla Kabinet Indonesia Bersatu meraih 403 kursi koalisi. Kabinet memperoleh dukungan 56 kursi dari Partai Demokrat sebagai partai pengusung, 11 kursi dari PBB, 45 kursi dari PKS, 1 kursi dari PKPI, 127 kursi Partai Golkar, 58 kursi PPP, 53 kursi PAN dan 52 kursi PKB. Dapat diartikan bahwa presiden merupakan minority president karena partainya tidak mencapai dukungan mayoritas di DPR.
Tipologi pemerintahan yang terjadi pada masa pemerintahan SBY – Kalla yakni adanya indikasi sistem presidensial kompromis. Hal tersebut terlihat dari adanya kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet dengan adanya intervensi partai politik terhadap proses pengangkatan/pemberhentian anggota kabinet, rapuhnya ikatan koalisi partai, adanya kontrol di parlemen terhadap pemerintahan secara berlebihan sehingga mengganggu efektivitas pemerintahan, posisi Presiden dibayangi ancaman pemakzulan karena alasan politis atau kebijakan yang banyak ditentang oleh DPR.
Begitu pula terjadi pada periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono yang berjalan tidak begitu mulus dengan parlemen. Hal ini sebagai akibat munculnya kasus Cicak – Buaya dan Kasus Bank Century. Mekanisme check and balances yang identik dengan menggambarkan hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif, hal ini justru ada hanya untuk mengedepankan kritik membabi buta dengan berorientasi menjatuhkan pemerintahan. Selanjutnya, upaya pemerintahan SBY Jilid II dengan mengefektifkan pemerintahan dan hubungan koalisi yakni dengan pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi. Tujuan pembentukan Setgab agar koalisi dapat terkontrol sehingga pemerintahan dapat stabil. Namun dalam perjalanannya, ternyata Setgab tidak terlalu efektif dan berhasil dalam meredam sikap partai koalisi yang terlampau kritis terhadap pemerintah.
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla ditetapkan undang-undang pemilu yang baru dalam rapat paripurna DPR 21 Juli 2017.25 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disahkan melalui sistem voting dengan jumlah perolehan suara total 322 suara. UU No. 7 Tahun 2017 merupakan kebijakan hukum yang dikeluarkan untuk mewujudkan tujuan negara. Tujuan negara yang dimaksud adalah terciptanya sistem pemilihan umum di Indonesia yang kuatm demokratis, adil, terintegritas, terjamin, berkepastian hukum, serta efektif dan efisien.26 Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu yang baru ialah sistem pemilu terbuka (Presidential Threshold 20-25%), ambang batas parlemen 4%, metode konversi suara Sainte Lague murni dan kursi dapil 3-10 (tiga sampai sepuluh). Opsi-opsi yang disepakati tersebut mendapat dukungan 6 (enam) fraksi partai pendukung pemerintah yakni PDIP, Partai Golkar, PKB, PPP, Nasdem, dan Partai Hanura, sedangkan 4 (empat) fraksi partai lain walk – out.
Kebijakan hukum mengenai ambang batas parlemen merupakan cara untuk menciptakan politik hukum sistem multipartai yang sederhana khususnya dalam mewujudkan sistem pemerintahan presidensial murni di Indonesia. Kenaikan ambang batas menjadi 4% pun bertujuan untuk membangun kehidupan politik dengan menciptakan stabilitas antara sistem kepartaian dengan pemerintahan presidensial dalam suasana mewujudkan check and balances. Ambang batas parlemen menjadi salah satu upaya penyederhanaan partai politik dan jika sudah disederhanakan maka sistem presidensial akan kuat dan stabil. Hal ini karena jika banyak partai yang lolos ambang batas parlemen maka pada saat pengambilan kebijakan akan berdampak pada stabilitas pemerintahan karena banyaknya partai politik dengan kepentingannya masing-masing.
3. Penutup
Parliamentary Threshold ditujukan untuk penyederhanaan sistem kepartaian yang ada di Indonesia. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk menciptakan sistem presidensial yang efektif sebagai penopang subsistemnya dan sebagai upaya untuk menghilangkan praktek reinkarnasi partai politik. Parliamentary Threshold dapat mengurangi jumlah partai politik yang akan masuk ke lembaga perwakilan. Sistem presidensial pun tidak terlepas dari Parliamentary Threshold karena hal ini akan berpengaruh dalam menciptakan sistem presidensial yang kuat dan pelaksanaan fungsi lembaga perwakilan yang efektif. Keberadaan dan efektifnya lembaga perwakilan tidak bisa dilepaskan dari banyaknya faksi-faksi kekuatan politik yang ada di lembaga legislatif pusat. Jika jumlah partai yang
menduduki parlemen disederhanakan maka sistem presidensial akan stabil karena dengan sedikitnya partai tidak akan menimbulkan banyak pandangan dan kepentingan.
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Asshiddiqie, J. (2011). “Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidentiil”. Orasi Ilmiah pada Dies Natalis Negeri Jember ke 47. Jember.
Asshiddiqie, J. (2014). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara; Cet. Ke IV. Jakarta: Rajawali Pers.
_____________. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah (telaah perbandingan konstitusi berbagai negara). Cetakan ke 1. Jakarta: UI Press.
Erfandi. (2014). Parliamentary Threshold dan HAM dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Malang: Setara Press.
Hakim, A.A. (2011). Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hufadzah, N. C. (2017). Quo Vadis: Penetapan Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Bandung.
Isra, S. “Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”. dalam Khairul Fahmi. Pemilihan Umum dalam Transisi Demokrasi: Kompilasi Catatan Atas DInamika Pemilu dan Pilkada di Era Reformasi. (2016). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Marzuki, P.M. (2010). Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
MD, M. (2017). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, dalam Ni’matul Huda dan Imam Nasef. Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Kencana.
Penelitian
Adelia, A. (2018). Relevansi Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) dengan Sistem Presidensial di Indonesia. Tesis. Universitas Islam Indonesia.
Ulumando,A.R. (2014). Urgensi Parliamentary Threshold Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR DPD dan DPRD Terhadap Sistem Pemerintahan Presidensial. Skripsi, Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Jurnal dan Artikel
Tribun Jogja. (2017). “Isu Krusial UU Pemilu”.
Kementerian Dalam Negeri, 2016, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum”
Al-Fatih, Sholahuddin dan Muchammad Ali Safaat. “Reformulasi Parliamentary Threshold yang berkeadilan dalam pemilu legislatif di Indonesia”. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Diniyanto, Ayon. “Politik Hukum Regulasi Pemilihan Umum di Indonesia : Problem dan Tantangannya”. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 16 Nomor 2- Juni 2019 : 160-172.
Jati, Wasisto Raharjo. “Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif”. Jurnal Yudisial Vol.6 No. 2 Agustus 2013.
Pamungkas, Yogo. “Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945”. Jurnal Rechtsvinding Volume 3 Nomor 1, April 2014.
Pradnyana, Dewa Putu Wahyu Jati dan I Gede Yusa, “Analisa Hukum Ambang Batas Pencalonan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum”, Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 06 Nomor 04, Agustus 2018.
Website
Badan Pusat Statistik. Hasil Penghitungan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif Tahun 2004-2014.
https://www.bps.go.id/statictable/2009/03/04/1573/hasil-penghitungan-suara-sah-partai-politik-peserta-pemilu-legislatif-tahun-2004-2014.html, Diakses pada Kamis, 11 April 2019.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggora Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 42, No. 1 April 2020, h. 34 – 51
51
Discussion and feedback