Urgensi Penggunaan Hermeneutika Hukum Dalam Memahami Problem Pembentukan Peraturan Daerah
on
E-ISSN 2579-9487
P-ISSN 0215-899X
Vol. 39, No. 3, DESEMBER 2017 https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika
URGENSI PENGGUNAAN HERMENEUTIKA HUKUM DALAM MEMAHAMI PROBLEM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
Oleh :
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi1
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Pembentukan Peraturan Daerah yang syarat dengan problem hukum, menjadi penting untuk dikaji dan dipahami agar dapat membebaskannya dari kajian hukum yang mengandung otoritarianisme. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan hermeneutika hukum dalam memahami problem melalui gagasan hermeneutika dari Schleiermacher, Dilthey, dan Ricoeur. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan hermeneutika hukum. Hasil studi menunjukkan bahwa penggunaan hermeneutika hokum sangat bermanfaat dalam menggali dan memahami problem hukum khususnya berkaitan dengan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Peraturan Daerah. Melalui hermeneutika hokum dapat digali, dipahami dan dijelaskan problem yuridis, problem sosiologis, problem filosofis, problem teoritik dan problem politik hukum terkait keberadaan Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU12/2011. Dalam memahami problem-problem tersebut digunakan lingkaran hermeneutika hukum yaitu hubungan dialektis antara bagian-bagian teks dan keseluruhan teks. Pemahaman terhadap bagian-bagian teks harus memahami keseluruhan konteks untuk tercapainya pemahaman yang utuh untuk dapat dikontekstualisasi.
Kata Kunci: Hermeneutika Hukum, Problem Hukum, Hubungan Dialektis, Pembentukan Peraturan Daerah
Abstract
The establishment of local regulations that contain a lot of legal problems become important to be studied and understood in order to reduce the influence of legal studies that contain authoritarianism. The purpose of this study is to analyze the use of legal hermeneutics in understanding the legal problem through the notion of hermeneutical from Schleiermacher, Dilthey and Ricoeur. This study uses normative legal methods with statute approach and legal hermeneutics approach. The study indicates that the use of legal hermeneutics is very useful in exploring and understanding the legal problems especially related to the participation of communities in the formation of local Regulations. Through legal hermeneutics can be explored, understood and explained juridical problems, sociological problems, philosophical problems, theoretical problems and legal political problems related to the existence of Article 354 of Law 23/2014 and Article 96 of Law 12/2011. Circle of hermeneutical, a dialectical relationship between parts of the text and the whole text, is used to understand those problems. The understanding of parts of the text must understand the entire context for achieving a complete understanding to be contextualized.
Keywords: Legal Hermeneutics, Legal Problem, Dialectical Relationship, Establishment of Local Regulation.
DOI: 10.24843/KP.2017.v39.i03.p02
Hermeneutika hukum adalah penafsiran yang digunakan untuk mebebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif. Urgensi penggunaan hermeneutika pada prinsipnya adalah sebagai upaya menemukan dan menyajikan makna yang sebenarnya dari tanda-tanda apapun yang digunakan untuk menyampaikan ide-ide. Urgensi lain dari hermeneutika untuk mengkaji dan menggali maupu meneliti makna-makna teks baik dari perspektif pengguna atau pembaca. Sementara itu, apabila dikaitkan dengan keilmuan hukum adalah urgensi hermeneutika adalah agar para pengkaji hukum dapat menggali dan meneliti makna-makna hukum baik dari perspektif pembaca maupun dari pencari keadilan. Untuk mengkaji, meneliti dan menggali makna-makna yang terkandung dalam teks hukum maka digunakan metode interpretasi yang dalam keilmuan filsafat dikenal dengan hermeneutika hukum.
Secara etimologis, hermeneutika merupakan padanan kata dari bahasa inggris yaitu “hermeneutics” dan dari bahasa yunani “hermeneuein” yang berarti menerjemahkan atau bertindak sebagai penafsir2. Dalam konteks menerjemahkan sebuah teks berbahasa asing ke dalam bahasa sendiri, maka perlu dipahami terlebih dahulu teks tersebut, selanjutnya mencoba untuk memahami artikulasi melalui pemilihan kata-kata dan rangkaan terjemahan. Kegiatan penerjemahkan bukankan sekedar menukar kata-kata asing ke dalam kata-kata kita, melainkan memberi penafsiran. Dengan demikian hermeneutika diartikan sebagai kegiatan untuk menyingkap makna sebuah teks. Selanjutnya teks yang dimaksud adalah bukan hanya dalam bentuk tulisan kata-kata saja melainkan teks adalah prilaku, tindakan, norma, mimik, tata nilai, isi pikiran, percakapan, benda-benda kebudayaan, objek-objek sejarah, dan sebagainya atau dapat dikatakan bahwa apapun yang dapat dimaknai oleh manusia maka itu juga dapat disebut teks sehingga memerlukan hermeneutika untuk memahami semua itu.
Di sisi lain, dalam kaitannya dengan problem, khususnya problem hukum, hermeneutika juga memiliki peran penting. Istilah problem berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan masalah atau permasalahan. Dengan demikian problem hukum dapat diartikan permasalahan-permasalahan yang ada dalam hukum. Memahami arti kata problem tersebut maka dalam penggunaan hermeneutika dapat digunakan sebagai cara atau metode dalam penyelesaian suatu permasalahan yang ada pada hukum. Jazim Hamidi menegaskan bahwa hermeneutika mempunyai peran penting bagi pembentuk undang-undang dan peraturan kebijakan yang pada tahap pembentukan sarat dengan kegiatan penafsiran.3 Peraturan kebijakan yang sarat dengan kegiatan penafsiran juga termasuk didalamnya Peraturan Daerah (Perda). Hal ini menandakan bahwa dalam konteks pembentukan Perda sarat dengan kegiatan hermeneutika hukum atau penafsiran hukum.
2
-
2 F. Budi Hardiman, 2015, Seni Memahami Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida, Kanisius Yogyakarta, h.12.
3
-
3 Jazim Hamidi, 2011, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Filsafat dan Metoda Tafsir, Universitas Brawijaya Press (UB Press), h.99.
Dalam memahami problem yang ada dalam hukum dapat dikatagorikan berbagai problem yang melingkupi teks hukum. Problem tersebut dapat berupa problem filosofis, problem sosilogis, problem yuridis, problem teoritik dan problem fungsi dan prolem politik hukum serta banyak lagi problem-problem hukum yang lain. Yang dimaksud dengan problem filosofis dalam konteks ini adalah adanya ketidakadilan dalam hukum, problem sosiologis dapat dipahami bahwa adanya pengabaian hukum terhadap masyarakat, problem yuridis adalah adanya permasalahan yang melingkupi teks hukum, problem teoritik adalah adanya permasalahan dalam tataran teoritik, problem fungsi adalah adanya permaalahan yang melingkupi fungsi dan problem politik hukum adalah ada permasalahan dalam keberadaan hukum yang sekarang yang berakibat pada perlunya pembentukan hukum baru. Dengan memahami problem-problem yang terkait dengan hukum maka tampak jelas pentingnya memahami hermeneutika hukum khususnya dalam konteks memahami problem hukum. Oleh karena itu, penting untuk dikaji lebih lanjut urgensi hermeneutika hukum dalam memahami problem, khususnya problem hukum dalam pembentukan Peraturan Daerah.
Tujuan penulisan artikel ini untuk mengelaborasi secara lebih mendalam peranan. hermeneutika dalam menjelaskan problem hukum, khususnya menjelaskan teks dan konteks dalam pembentukan Perda. Dengan memahami problem hukum melalui penafsiran hermeneutika akan dapat membebaskan pembentukan peraturan hukum dari kajian-kajian hukum yang otoriter.
Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normetif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan hermeneutika hukum. Bahan-bahan hukum dianalisa menggunakan analisis kualitatif yang disajikan secara diskretif.
Schleiermacher mengemukakan hermeneutika sebagai seni memahami yang mengandung makna sebagai proses yaitu proses mengungkap makna dari bahasa, teks dan symbol.4 Lebih jauh, Schleiermacher juga mengkaitkan hermeneutika dengan teks dan konteks. Hal ini dimaksud adalah bahwa dalam memahami teks tidak bisa diabaikan konteksnya. Menurut Schleiermacher, dalam memahami problem, khususnya problem hukum maka penafsiran yang dilakukan adalah menafsirkan problematik teks hukum dengan melihat konteksnya. Selanjutnya dalam gagasan Schleiermacher juga ditegaskan bahwa dalam bahwa lingkaran hermeneutika juga perlu dipahami dan digunakan dalam memeahami problem. Lingkaran hermeneutika Schleiermacher dapat
dipahami sebagai hubungan dialektis antara bagian-bagian dan keseluruhan teks dan sebaliknya. Gagasan ini dapat dipahami bahwa dalam membedah suatu persoalan yang mendasarkan pada hermeneutika hukum, maka permasalahan itu tidak bisa dipahami terpisah-pisah melainkan harus dianalisis hubungan-hubungan antara bagian-bagian dalam lingkaran pemahaman untuk keseluruhannya. Dalam memahami problem yang mendasarkan pada gagasan Schleiermacher interpretasi yang berpengaruh adalah interprestasi psikologis dan interpretasi gramatis. Interpretasi psikologis menempatkan pada isi pikiran penulis, sedangkan interpretasi gramatis menempatkan pada unsur-unsur bahasa teks.5
Interpretasi psikologis dan interpretasi gramatis digunakan dalam memahami problem apaila digunaka secara bersama-sama dan dapat dipertukarkan. Dengan demikian kedudukan interpretasi psikologis dan interpretasi gramatis adalah setara dan saling membutuhkan dan bahkan dapat dipertukarkan. Mendukung gagasan Schleiermacher, Palmer memberikan penjelasan yang lebih konkrit yaitu bahwa untuk memahami kata maka terlebih dahulu harus memahami kalimat dan begitu sebaliknya. Hal ini dapat dipahami bahwa bagian-bagian dan keseluruhan tersebut terjadi gerakan bolak-balik untuk dapat menjaskan makna yang terkandung. Untuk menjelaskan makna tersebut menggunakan kekuatan akal penafsir (disebut dengan divinatoris6: memahami teks dengan cara mengambil alih posisi orang lain, penulis agar dapat menangkap kepribadiannya secara langsung).
Berkaitan dengan pemahaman problem Dilthey mengemukakan bahwa kegiatan yang tepat digunakan adalah lingkaran hermeneutika. Tampaknya pemahaman hermeneutika Dilthey merupakan pengembangan dari gagasan Schleiermacher. Hal ini tampak pada pada pengertian lingkaran hermeneutika yaitu bagian-bagian dapat menjelaskan keseluruhan dan keseluruhan dapat menjelaskan bagian-bagian. Dengan demikian dapat ditangkap adanya hubungan bolak balik antara bagian dan keseluruhan. Apabila dijelaskan dengan makna bahwa makna keseluruhan ditentukan oleh makna bagian-bagian dan makna bagian-bagian juga ditentukan oleh makna keseluruhan. Tampaknya, apabila hanya dipahami makna tersebut secara bolak-balik, maka terkesan terjadi proses penafsiran yang tertutup. Dilthey melakukan pengembangan gagasan dalam memahami problem dengan menggunakan lingkaran hermeneutika terbuka yaitu dalam memahami makna ada dipengaruhi oleh historis dan sosial kemanusiaan, sehingga makna tersebut dapat berubah makna menurut waktu dan hubungan-hubungan yang terlibat melalui proses interpretasi. Selain itu pengembangan gagasan Dilthey dalam memahami problem adalah menempatkan pada suatu metode ilmiah yaitu bahwa seseorang yang melakukan kegiatan memahami harus memiliki kompetensi metodelogis untuk memahami. Sebagai contoh dalam memahami karya seni, maka harus mempelajari diri seniman dan zamannya, untuk menjelaskan tersebut dibutuhkan kompetensi untuk memahami agar tidak terperosok menjadi pemahaman yang subyektif.
Hermeneutika yang berpengaruh terhadap memahami problem adalah hermeneutika dari Ricoeur yang menempatkan pada upaya menyingkap makna yang tersembunyi di balik teks.7 Selanjutnya Ricoeur juga menegaskan bahwa dalam menyingkap makna dalam teks, unsur metodologi sangat diperlukan. Ricoeur menyebutnya sebagai jalan melingkar untuk memahami teks. Jalan melingkar untuk memahami teks dapat ditempuh oleh penafsir lewat metodologi terlebih dahulu untuk sampai pada tujuan yang sama yaitu memahami makna ontologisnya. Selain kegiatan memahami, Ricoeur juga memaknai hermeneutika sebagai kegiatan menjelaskan. Ricoeur menegaskan ada perbedaan memahami dengan menjelaskan. Memahami menempatkan pada penafsiran dan menjelaskan menempatkan pada merefleksikan atau menganalisis. Untuk melihat suatu pemahaman yang komprehensif maka sebuah teks tersebut terbuka terhadap kegiatan menjelaskan. Dengan demikian ada hubungan yang dialektis antara kegiatan memahami dan menjelaskan. Setiap memahami sebuah tekas harus selalu dilengkapi dengan kegiatan penjelasan sehingga dihasilkan sebuah pemahaman yang kritis. Dengan demikian, dapat dikemukakan berdasarkan gagasan Ricoeur bahwa dalam memahami problem, urgensi hermeneutika dapat dilakukan melalui kegiatan hermeneutika yang diawali dengan metodologi, kemudian diikuti dengan kegiatan memahami serta menjelaskan sehingga dapat diketahui makna yang ada dibaliknya selanjutnya dapat direkonstruksi makna.
Partisipasi masyarakat merupakan unsur penting dalam Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) sebagaimana dipahami dari prinsip-prinsip kebijakan publik. Partisipasi masyarakat ini wajib dilaksanakan sebagai bentuk pelaksanaan asas demokrasi dan transparansi (good governance), sebagaimana ditegaskan Jazim Hamidi bahwa partisipasi masyarakat merupakan wujud demokrasi.8 Selanjutnya Demokrasi merupakan pola bernegara yang diidealkan.9 Untuk memahami pola Negara yang diedialkan Rian Nugroho menegaskan bahwa sebagai penyelenggaraan Negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efesien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif di antara domain-domain Negara, sektor swasta dan masyarakat.10 Hal ini dapat dipahami bahwa dalam penyelenggaraan Negara termasuk dalam pembentukan hukum sinergi antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan. Dengan demikian partisipasi masyarakat merupakan hal penting dalam pembentukan hukum. Partisipasi masyarakat dimaksud sebagai keikutsertaan masyarakat. Dalam Pasal 1 angka 41 Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang
Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengatur ketentuan bahwa partisipasi masyarakat adalah peran serta warga masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya dalam Pasal 8 Undang-Undang Republk Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme menyatakan bahwa Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih. Selanjutnya dalam Pasal 5 PP 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
Setelah mengetahui difinisi konsep partisipasi masyarakat secara legal formal, maka timbul kegundahan lagi yaitu apakah partisipasi desa pakraman termasuk dalam konsep partisipasi masyarakat? Untuk mengetahui itu perlu dicarikan rujukan formalnya, dimana merujuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (selanjutnya disebut PP 68/2010) khususnya Pasal 1 angka 8 menyebutkan bahwa masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penataan ruang. Dengan demikian masyarakat dapat dipahami sebagai sekelompok orang yang hidup bersama dalam suatu komunitas yang teratur. Dengan memahami konsep masyarakat di atas, bahwa yang dimaksud masyarakat dalam penelitian ini adalah masyarakat hukum adat dalam kerangka kesatuan masyarakat hukum adat atau desa pakraman11. Oleh karena itu desa pakraman berhak untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum. Sehubungan dengan dengan urgensi hermeneutika dalam memahami problem hukum, perlu digali secara kritis problemproblem yang melingkupi partisipasi desa pakraman dalam pembentukan hukum. Oleh karena secara legal formal desa pakraman mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum, maka dasar hukum formal terkait dengan pembentukan hukum dapat dilihat dalam Pasal 354 UU 23/2014 dan dalam pasal 96 UU 12/2011. Untuk lebih jelas uraian Pasal di atas dituangkan dalam bentuk tabel di bawah ini.
Tabel 1. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perda
UU 12/2011 |
Dalam Pasal 96
|
Diatur partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. |
UU 23/2014 |
Penjelasan Pasal 96 ayat (3) : yang termasuk dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat hukum adat. |
Yang dimaksud masyarakat dalam Pasal 96 adalah termasuk masyarakat adat dalam konteks ini desa pakaman. |
Sumber: diolah penulis dari berbagai bahan hukum.
Hasil studi terkait keberadaan Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011 menunjukkan bahwa dengan menggunakan hermeneutika hukum maka dapat digali dan diuraikan problemproblem yang melingkupi Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011, khususnya dengan menggunakan gagasan hermeneutika hukum Schleiermacher, Dilthey dan Ricoeur yang menegaskan bahwa dalam memahami problem harus menggunakan apa yang disebut dengan metodelogi dan lingkaran hermeneutika. Metodelogi dapat dipahami sebagai cara untuk mengetahui realitas yang diteliti (teks). Dalam memahami realitas yang diteliti diperlukan kemampuan (kompetensi) peneliti untuk menyingkap makna yang ada dalam teks. Sebagai metode ilmiah hermeneutika tidak bisa terlepas dari keterkaitan teks dan konteks. Selanjutnya lingkaran hermeneutika dapat dipahami sebagai hubungan dialektis antara bagian-bagian dan keseluruhan teks dan sebaliknya. Dalam hubungan dealiktis tersebut ada proses memahami secara bolak-balik antara bagian-bagian teks untuk dapat memahami secara keseluruhan teks, dan demikian sebaliknya yaitu memahami kesuruhan teks untuk dapat memahami bagian-bagian teks. Dalam memahami lingkaran hermeneutika tersebut oleh Dilthey juga dipengaruhi oleh social-historisnya yaitu
kepentingan sosial dan sejarah ketika teks tersebut dibuat. Oleh karena itu lingkaran hermeneutika mengalami perkembangan yaitu yang oleh Schleiermacher dikenal dengan lingkaran hermeneutika tertutup dan oleh Dilthey dikenal dengan lingkaran hermeneutika terbuka. Selanjutnya dalam memahami problem Disertasi, Ricouer mengembangkan lingkaran hermeneutika tersebut sebagai hubungan dialektis antara memahami dan menjelaskan. Hal ini dimaksud bahwa dalam menginterpretasi suatu teks Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011 terkait dengan partisipasi desa pakraman, maka kegiatan yang dilakukan untuk menyingkap problem dalam teks tersebut tidak hanya memahami teks bahkan berusaha menjelaskan dan menganalisis isi teks tersebut.
Dengan berdasarkan pada gagasan hermeneutika Schleiermacher, Dilthey dan Ricoeur yang menekankan hermeneutika sebagai metodelogi dan lingkaran hermeneutika, maka dalam memahami problem yang melingkupi Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011 terkait dengan partisipasi desa pakraman dapat diuraikan problematic-problematik yang melingkupi yaitu :
Pertama, problem yuridis terkait partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda ada dalam sumber hukum formal yaitu Pasal 354 UU 23/2014 dan dalam pasal 96 UU 12/2011. Lebih lanjut dapat digali bahwa dasar pengaturan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda terdapat dalam Pasal 354 UU 23/2014 dan dalam pasal 96 UU 12/2011, namun demikian mengenai tata cara ataupun prosedur partisipasi yang masih belum jelas penga-turannya sampai sekarang. Walaupan dalam Pasal 354 ayat (5) UU 23/2014 mengenai partisipasi masyarakat jelas akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (selanjutnya di sebut PP), namun setelah ditelusuri lebih lanjut PP tentang partisipasi masyarakat sebagai pendelegasian dari pada Pasal 354 ayat (5) UU 23/2014 belum ada. Dengan demikian pengaturan partisipasi masyarakat dalam konteks tata cara (prosedur) partisipasi masyarakat menjadi tidak jelas, sehingga berimplikasi pada ketidakjelasan terkait tata cara (prosedur) desa pakraman untuk berpartisipasi dalam pembentukan Perda. Berbeda ketika menelaah Pasal 96 UU 12/2011, bahwa dalam Pasal 96 UU 12/2011 jelas diatur partisipasi masyarakat (desa pakraman) dalam pembentukan Perda. Dalam penjelasannya diatur secara jelas bahwa salah satu masyarakat yang terlibat dalam pembentukan Perda adalah desa pakraman. Hal ini menunjukan bahwa secara materi formal, desa pakraman mempunyai dasar yuridis untuk berpartisipasi dalam pembentukan Perda. Namun demikian dalam Pasal 96 UU 12/2011 tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan tatacara (prosedur) partisipasi masyarakat. Oleh karena tidak ada pengaturan yang jelas terkait tatacara dan prosedur partisipasi mengakibatkan muncul berbagai problem yang melingkupi partisipasi masyarakat diantaranya ketidakjelasan posisi aspirasi masyarakat yaitu tidak jelas terkait keterbukaan dalam pembentukan Perda apakah aspirasi masyarakat (desa pakraman) tersebut diterima (dimasukan dalam norma Perda), dijadikan bahan pertimbangan atau ditolak (tidak dimasukan dalam norma Perda).
Dalam Perpres 87/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak mengatur secara jelas mengenai tata cara dan prosedur partisipasi masyarakat. Dalam Pasal 181 dan Pasal 182 hanya mengatur mengenai penyebarluasan Rancangan Perda Provinsi dan Rancangan Perda Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 182 ditegaskan bahwa penyebarluasan Rancangan Perda dilakukan melalui media elektronik, media cetak dan forum tatap muka (dialog langsung). Namun demikian ketidakjelasan juga melingkupi norma Pasal 181 dan Pasal 182 yaitu tata cara partisipasi masyarakat yang tidak jelas. Ketidakjelasan tersebut nampak pada posisi masukan yang diberikan masyarakat, apakah masukan tersebut diterima, dipertimbangkan atau bahkan ditolak. Dengan demikian ketidakjelasan tersebut mengakibatkan posisi aspirasi masyarakat tidak lebih hanya aspirasi yang semu (tidak ada jaminan dari pembentuk Perda untuk mempertimbangkan aspirasi masyarakat secara serius dalam proses-proses pembahasan berikutnya).
Kedua, Problematik sosilogis, adanya ketidakjelasan norma tata cara (prosedur) partisipasi masyarakat berdampak pada timbulnya problem sosiologis yaitu pengabaian hak desa pakraman untuk berpartisipasi dalam pembentukan Perda12. Pengabaian hak desa pakraman dalam pembentukan Perda dapat dilihat dalam table di bawah ini.
Tabel 2. Data Konsultasi Publik Tahun 2012-2015
Tahun |
Pembahasan (Diskusi Publik) |
Catatan |
2012 |
Konsultasi Publik tentang Ranperda Kabupaten Badung tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. |
Dalam diskusi publik tersebut desa pakraman tidak terlibat |
2013 |
Konsultasi Publik tentang Ranperda Kabupaten Badung tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup |
Desa pakraman tidak terlibat dalam diskusi publik. |
2013 |
Konsultasi Publik tentang Ranperda Provinsi Bali tentang Perlindungan Anak |
Desa pakraman tidak terlibat dalam diskusi publik |
2013 |
Konsultasi Publik tentang Ranperda Provinsi Bali tentang Perlindungan Anak |
Desa pakraman tidak terlibat dalam diskusi publik |
2014 |
Konsultasi Publik tentang Ranperda Provinsi Bali Perlestarian Kain Tenun Tradisional |
Desa pakraman tidak terlibat dalam diskusi publik |
2014 |
Konsultasi Publik tentang Ranperda Kota Denpasar tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan |
MMDP yang terlibat. |
2015 |
Konsultasi Publik tentang Ranperda Kabupaten Badung tentang Pelayanan Publik |
Desa pakraman tidak terlibat. |
2015 |
Konsultasi Publik tentang Ranperda Provinsi Bali tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup |
MMDP yang terlibat. |
Sumber diolah dari hasil-hasil konsultasi publik 2012, 2013,2014. 2015.
Diskripsi dalam tabel di atas menunjukkan bahwa dalam kenyataan, dari beberapa konsultasi publik dalam penyerapan aspirasi masyarakat di Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan di Provinsi Bali, desa pakraman tidak terlibat dalam konsultasi publik, namun dalam beberapa
12
konsultasi publik yang terlibat adalah Majelis Madya Desa pakraman (MMDP)13. Dengan tidak dilibatkan desa pakraman dalam pembentukan Perda terutama Perda-Perda yang berdampak langsung pada kehidupan desa pakraman, maka dapat mengakibatkan adanya penolakan penerapan Perda ataupun gejolak dalam kehidupan masyarakat desa pakraman. Sebagaimana dalam penerapan Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Bali (selanjutnya di sebut RTRW), dalam tataran aplikasi Perda RTRW banyak terjadi penolakan-penolakan dari masyarakat karena tidak sesuai dengan adat-istiadat dan norma agama.
Ketiga, problematik filosofis, bahwa dalam mengkaji partisipasi masyarakat perlu juga di kemukakan problem filosofisnya. Di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, pada alenia IV tersurat bahwa ”pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, pernyataan ini dapat dimaknai bahwa tujuan Pemerintah Indonesia adalah melindungi seluruh warga negara Indonesia secara totalitas. Totalitas dapat dipahami sebagai bentuk perlindungan dan pengayoman terhadap kesatuan dan persatuan bangsa serta perlindungan dan pengayoman terhadap bagian-bagian yang membentuk totalitas tersebut14. Perlindungan dan pengayoman secara totalitas adalah termasuk perlindungan dan pengayoman masyarakat (desa pakraman) dan bagian-bagian yang membentuk desa pakraman. Hal ini dapat dipahami, selain perlindungan dan pengayoman terhadap desa pakraman sebagai kesatuan, juga perlindungan dan pengayoman terhadap warga (krama) desa pakraman. Dengan demikian filsafat negara terefleksi pada alenea IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian filsafat negara mengarah pada pencapaian keadilan substansial dan keadilan formal. Problem filosofis muncul ketika mengkaji problem yuridis dan problem sosiologis berujung pada ketidakadilan bagi desa pakraman untuk berpatisipasi dalam pembentukan Perda.
Problem filosofis juga melingkupi Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU12/2011 yaitu bahwa ketidakjelasan pengaturan tatacara (prosedur) partisipasi masyarakat dalam pembentukan Perda yang berimplikasi pada pengabaian hak desa pakraman untuk berpartisipasi. Hal ini kental dipengaruhi oleh maszab positivisme hukum yaitu lebih mengutamakan hukum dalam bentuk formalnya. Dalam pemahaman selanjutnya bahwa hukum hanya melihat hukum sebagai teks formal dengan mengabaikan konteksnya)15. Pemahaman hukum hanya dilihat teks formalnya (berujung pada keadilan formal semata), hal ini menjadi tidak sesuai dengan semangat tujuan negara dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yaitu melindungi dan mengayomi secara totalitas
yaitu termasuk pencapaian keadilan substansial. Hermeneutika sangat penting digunakan tidak hanya dalam pembentukan hukum juga dalam penemuan hukum. Korelasi hermeneutika dengan metode penemuan hukum sangat penting yaitu tidak terlepas dari filsafat hermeneutika yang berkaitan dengan mengerti dan memahami sesuatu.16 Hermeneutika hukum berkaitan dengan penemuan hukum sangat relevan digunakan oleh penegak hukum, karena dalam tugasnya menemukan hukum, seorang hakim misalnya tidak bisa dilepaskan dari kegiatan menginterpretasi teks hukum maupun peristiwa dan fakta hukum.17 Hermeneutika hukum meskipun digunakan untuk menginterpretasi namun berbeda dengan interpretasi hukum dan konstruksi hukum, karena hermeneutika hukum lebih menekankan pada pemahaman teks secara mendalam, secara mendalam, sementara itu interpretasi hukum hanya penafsiran teks yang digunakan dalam hal terjadi konflik norma.18
Selain itu, problem filosofis yang melingkupi Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011 yaitu adanya ketegangan antara mazhab positivisme hukum dengan mazhab sosiological jurisprudence. Ketegangan tersebut dapat dikaji dari pendekatan yang digunakan dalam pembentukan Perda. Pendekatan yang umum digunakan dalam pembentukan Perda adalah hanya pendekatan legalistik yang mengarah pada positivisme hukum yaitu mengidentikan hukum dengan undang-undang. Cara pandang positivisme hukum yang formalistik memandang bahwa kebenaran itu ada dalam undang-undang. Apabila dikaitkan dengan partisipasi desa pakraman, maka dapat dipahami bahwa sepanjang partisipasi dalam konteks tata cara partisipasi tidak diatur dalam undang-undang maka tata cara partisipasi itu tidak ada dan tidak dapat diterapkan (lebih mengarah pada mematikan partisipasi itu sendiri). Memahami Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011 dengan cara pandang positivisme hukum yang hanya mengatur partisipasi masyarakat, maka berakibat mematikan tata cara (prosedur) partisipasi desa pakraman dalam konteks pembentukan Perda. Cara pandang positivisme hukum berbeda dengan cara pandang mazhab sociological jurisprudence yang memaknai bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).19 Cara pandang sociological jurisprudence menunjukan adanya kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. Dalam konteks ini problem filosofis muncul ketika desa pakraman sebagai wujud the living law tidak terlibat dalam pembentukan Perda, yang dalam pandangan sociological jurisprudence lebih mengutamakan kompromi hukum tertulis dengan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, dengan kata lain memberikan perhatian yang sama antara hukum dan masyarakat. Apabila dikaitkan denggan partisipasi masyarakat maka dapat dipahami bahwa cara pandang sociological
jurisprudence memungkinkan tumbuhnya partisipasi yang dalam konteks ini partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda. Dengan demikian pengaruh cara pandang terhadap hukum juga sangat menentukan keadilan terkait dengan partisipasi desa pakraman.
Keempat, Problematik teoritis juga dapat digali melalui tahapan pembentukan Perda, di mana dalam pembentukan Perda yang hanya mengedepankan kajian legalistik dan mengabaikan kajian ilmu sosial termasuk penggunaan ilmu-ilmu interdisipliner (kajian sosiolegal). Perlu dipahami bahwa kajian ilmu hukum dalam perspektif legalistik yaitu ilmu hukum yang bebas nilai dan objektif, pemahaman yang normologis (ilmu hukum semata-mata mempelajari norma-norma positif yang bebas dari pengaruh multidisipliner dan interdisipliner)20. Oleh karena itu secara aksiologi, kepastian hukum merupakan tujuan akhir. Di sisi lain kajian ilmu hukum perspektif sosiolegal merupakan kajian hukum dengan menggunakan pendekatan ilmu-lmu sosial (melibatkan interdisipliner)21. Sehingga secara aksiologi, kemanfaatan hukum menjadi tujuan akhir. Problem teoritik terkait dengan pelibatan kajian yang legalistik dan kajian sosiolegal dalam pembentukan Perda perlu dikaji lebih lanjut, terutama pengaruh penggunaan dari masing-masing kajian tersebut terhadap partisipasi desa pakraman.
Selanjutnya dalam norma partisipasi masyarakat yang diatur dalam Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU12/2011 dilingkupi ketegangan antara konsep pluralisme hukum dengan sentralisme hukum. Pluralisme hukum sebagaimana di tegaskan oleh Griffiths22 yang mengakui ko-eksistensi antar berbagai bidang sistem hukum dalam lapangan sosial, dan sangat menonjolkan dikotomi antara hukum negara di satu sisi dan berbagai macam sistem hukum rakyat di sisi lain. Oleh Nurjaya23 menegaskan bahwa sentralisme hukum mengedepankan implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum negara (state rule-centered), dan bahkan mematisurikan keberadaan hukum adat (adat law/customary law) dan juga hukum agama (religious law). Memahami konsep pluralisme hukum dan sentralisme hukum berimplikasi pada memungkinkan dan mematisurikan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda.
Kelima, Problematik Politik hukum, bahwa partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda juga dilingkupi problem politik hukum. Untuk memahami problem politik hukum, terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang arah politik hukum Provinsi Bali yang dapat dilihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Bali Tahun 20052025 yang diatur dengan Perda Nomor 6 Tahun 2009. Di dalam arah pembangunan Bali, partisipasi masyarakat merupakan point penting dalam usaha untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat adalah dalam pengambilan keputusan. Ha ini dapat dipahami, dalam setiap pembangunan, masyarakat diberi akses untuk
melibatkan diri (berpartisipasi) dalam proses pengambilan keputusan atas pelaksanaan pembagunan di daerah, selanjutnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Bali (RPJMD) menengaskan bahwa salah satu tujuan RPJMD adalah mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan peningkatan kesadaran partisipasi masyarakat serta membuat perencanaan pembangunan yang aspiratif. Hal ini menandakan bahwa salah satu point penting dalam mewujudkan pembangunan daerah adalah partisipasi masyarakat. Diaturnya partisipasi masyarakat dalam RPJPD dan RPJMD Provinsi Bali memberikan arah yang pasti terhadap partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda.
Politik hukum partisipasi masyarakat juga dapat dilihat dalam konsidran menimbang huruf b UU 23/2014 yang dengan tegas mengatur bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peranserta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian dapat dipahami mendasarkan pada RPJPD dan RPJMD serta UU23/2014 memberikan arah yang jelas terhadap politik hukum partisipasi masyarakat.
Prolematik politik hukum muncul ketika dalam pengaturan partisipasi masyarakat tidak tuntas dalam UU 23/2014 dan UU 12/2011. Tidak tuntas dimaksud adalah tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan tata cara dan prosedur masyarakat untuk berpartisipasi. Ketidakjelasan norma tersebut menjadi alasan dalam politik hukum kedepan untuk perlunya dikonstruksi sebuah norma baru dengan model partisipasi yang ideal terkait dengan partisipasi masyarakat (desa pakraman) dalam pembentukan Perda.
Dengan demikian urgensi hermeneutika hukum dalam memahami problem terkait dengan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan perda sangat besar dan memiliki peran penting. Dengan menggunakan hermeneutika hukum proses menggali problem dan proses menganalisis menjadi lengkap dan sesuai dengan tujuan hermeneutika hukum yaitu menggambarkan hubungan yang dialektis antara teks, pembaca dan masa lalu dan masa sekarang. Apabila di analisis dalam pembentukan perda maka ada hubungan dialektis antara teks partisipasi masyarakat dalam Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU12/2011, pembentuk perda (legislatif, eksekutif dan masyarakat) dan historis ketika Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU12/2011 dibentuk serta keberadaan dan pemahaman Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU12/2011 dalam konteks sekarang. Sehingga jelas bahwa hermeneutika hukum menempatkan teks dan konteks untuk dikontekstualisasikan.
Urgensi hermeneutika hukum dalam memahami problem mengemuka melalui gagasan Schleiermacher yang menempatkan pada seni memahami, Dilthey menempatkan hermeneutika hukum sebagai metode ilmiah dan Ricoeur yang menempatkan hermeneutika hukum sebagai memahami dan menjelaskan. Dalam konteks memahami problem yang melingkupi pembentukan
Peraturan Daerah (Perda), penggunaan hermeneutika hukum dari ketiga tokoh tersebut sangat bermanfaat dalam menggali dan memahami problem hukum khususnya berkaitan dengan partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda, melalui penggunaan hermeneutika hukum dalam menggali dan memahami Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU12/2011. Problem yang dapat digali dalam Pasal tersebut meliputi peroblem yuridis, problem sosiologis, problem filosofis, problem teoritik dan problem politik hukum. Dalam memahami peroblem-problem tersebut digunakan lingkaran hermeneutika hukum yaitu hubungan dialektis antara bagian-bagian teks dan keseluruhan teks secara bolak balik, hal ini dimaksud bahwa dalam memahami bagian-bagian teks harus memahami keseluruhan untuk tercapainya pemahaman yang utuh atau memahami teks dan konteks untuk dapat dikontekstualisasi.
DAFTAR PUSTAKA
-
F. Budi Hardiman, 2015, Seni Memahami Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida, PT Kanisius Yogyakarta.
Irfan Nur Rahman dkk, 2011, “Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Proses Pengajuan Undang-Undang di Makamah Konstitusi”, Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Makamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
I Nyoman Nurjaya, 2008, Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara dalam Masyarakat Multikultural : Perspektif Antropologi Hukum” dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
I Gede MArhaendra Wija Atmaja, 2005, “Trasparasi Dalam Proses Penyusunan Perda Tentang APBD, Makalah yang disampaikan pada forum Diskusi Mahasiswa (FODIM) bertemakan “ Transparansi Mekanisme PEmbentukan dan Pengawasan APBD Bali” diselenggarakan oleh Komite Mahasiswa Fakulas Hukum Universitas Udayana, Di Denpasar pada jumat 29 April 2005.
--------------------------------------, 2012, Politik Pluralisme Hukum Dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dengan Peraturan Daerah, Disertasi pada Progam Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu Di Indonesia, Konstitusi Press khasanah peradaban hukum & konstitusi, Jakarta.
Jazim Hamidi, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka Publiher, Jakarta.
------------------, 2011, Hermeneutika Hukum : Sejarah, Filsafat dan Metoda Tafsir, Universitas Brawijaya Press (UB Press).
Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Yasif Watampone, (anggota IKAPI), Jakarta.
Satjipto Rahardjo,2009, “Rangkuman Hukum dan Sang Legislator”, dalam Karolus Kopong Medan dan Frans J. Rengka, Editor, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas Jakarta.
Sulistyowati Irianto, 2009, Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya, dalam Sulistyowati Irianto &Shidarta, editor, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
-------------------------, 2009, “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global” dalam Sulistyowati Irianto, editor, Hukum Yang Bergerak Tinjauan Antropologi Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Wayan P. Windia, 2011, “Peran Strategis MDP Bali dalam Menjawab Tantangan Bali Masa Depan”, dalam Himpunan Hasil-Hasil Pesamuhan Agung III MDP Bali, Penerbit Majelis Utama desa Pakraman (MDP) Bali.
Widodo Dwi Putro, 2009, “Mengkritisi Positivieme Hukum: Langkah Awal Memasuki Diskursus Metodologis dalam Penelitian Hukum” dalam Sulistyowati Irianto &Shidarta, editor, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
---------------------------, 2011, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta.
Christianto, H., 2011, Penafsiran Hukum Progresif Dalam Perkara Pidana, Mimbar Hukum, 23(3).
Syamsudin, M., 2010, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya Pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Mimbar Hukum, 22(3).
Saragih, T. M., & Rozarie, P. C. R. D, 2013, Telaah Hermeneutika Pada Perbuatan Tercela, Jurnal Konstitusi, 2(1).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5104).
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah (Berita Negara Republik Indoneisa Tahun 2014 Nomor 177).
175 | Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana
Discussion and feedback