E-ISSN 2579-9487

P-ISSN 0215-899X

Vol. 39, No. 3, DESEMBER 2017

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika

UPAYA PEROLEHAN HAK ATAS INDIKASI GEOGRAFIS TERHADAP KERAJINAN

BATIK DENGAN CORAK “BATIK GONGGONG” DI KEPULAUAN RIAU

Oleh :

Irene Svinarky1 Lenny Husna2

Fakultas Sosial dan Humaniora, Universitas Putera Batam

Abstrak

Di bidang hak kekayaan intelektual, perlindungan terhadap hak tak berwujud (immateril) yang diperoleh dari hasil kreatifitas dan intelektualitas manusia untuk mengelola segala hal sumber daya alam yang berada di sekitarnya yang dikenal dengan perlindungan indikasi geografis. Dilakukannya pendaftaran Hak Indikasi Geografis ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dapat memberikan perlindungan hukum terhadap nama asal barang. Masyarakat Kepulauan Riau memanfaatkan alam (laut) untuk mengembangkan kerajinan batik dengan corak motif “Batik Gonggong.” Motif cangkang siput gonggong yang merupakan hewan khas yang berasal dari Kepulauan Riau dipadukan dengan pakaian batik menjadi ciri khas yang menarik, penuh dengan makna implisit yang menunjukan kekhasan suatu wilayah. Untuk menjaga kekhasan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang dapat untuk melindungi komoditas masyarakat pengrajin “Batik Gonggong” di Kepulauan Riau dari praktek persaingan curang dalam perdagangan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Hasil dari penelitian ini adalah pendaftaran Hak Indikasi Geografis harus melengkapi persyaratan pendaftaran dan uraian-uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan barang tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Kendala yang dihadapi adalah masih sulitnya mendefinisikan karakter indikasi geografis terhadap produk. Selain itu, terdapat tim kajian yang terdiri dari masyarakat pengrajin batik gonggong, pemerintah dan akademisi, mengingat pendaftaran indikasi geografis ini sifatnya komunal.

Kata Kunci: Hak Indikasi Geografis, Kerajinan Batik Gonggong, Upaya Pendaftaran Hak Indikasi Geografis.

Abstract

In the field of intellectual property rights, the protection to intangible (immaterial) obtained from the creativity and intellectuality of human to manage all natural resources that are be around known as the protection of geographical indication. The registration of the Geographical Indication Right to the Directorate General of Intellectual Property Rights may provide legal protection to the original name of the goods. The Riau Islands society utilizes marine nature to develop batik handicrafts with motif “Batik Gonggong”. The motif shell of snail gonggong, which is a typical animal originating from the Riau Islands, combined with batik cloth becomes an interesting characteristic, full of implicit meaning that shows uniqueness in a region. To maintain the uniqueness of these products should be followed by the legal protection that can to protect the human community of craftsmen “Batik Gonggong” in the Riau Islands from the practice of fraudulent competition in the trade. This research is a qualitative research that uses sociological-juridical approach. The result of this study found that the registration of the Geographical Indication Right shall encompass the registration requirements and descriptions of the characteristics and qualities that differentiate certain goods from other goods of the same category, and describe their relation to the area in which the goods are produced in accordance with Law Number 20 Year 2016 concerning Brands and Geographical Indications. Constraints faced is the difficulty to define character of geographical indication of the product. In addition, there is a review team consisting of the community of batik gonggong batik, government and academia, since the registration of geographical indication reflects a communal character.

Keywords: Geographical Indication Rights, Handicraft “Batik Gongong”, Registration Effort of Geographical Indication.

DOI:10.24843/KP.2017.v39.i03.p05

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Indonesia merupakan negara besar dengan keragaman budaya dan sumber daya alam. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagian besar masyarakat Indonesia memanfaatkan sumber daya alam sehingga menghasilkan produk-produk daerah yang kental akan corak kekhasan alam dan budaya masyarakat daerah. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut melahirkan produk daerah yang bernilai ekonomis tinggi dan bahkan beberapa produk tersebut telah mendapatkan tempat di pasar internasional. Suatu contoh misalnya, kualitas buah Apel Malang, melekat dengan kawasan daerah atau wilayah geografis yaitu malang (suatu wilayah goegrafis yang sejuk dan cukup baik untuk jenis tanaman apel). Adapun Contoh lain Dodol Garut yang diproduksi oleh masyarakat Kota Garut. Tembakau Deli juga merupakan contoh dimana kualitas tanah antara Sungai Wampu dan Sungai Ular (yang dikenal dengan Tanah Deli) akan menghasilkan tanaman tembakau yang berkualitas tinggi. Demikian pula untuk jenis tanaman kopi yang ditanam di Sidikalang dan Tanah Toraja akan menghasilkan kopi yang berkualitas tinggi3.

Masyarakat Kepulauan Riau yang juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia, tidak terkecuali juga memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, dari pengembangan hasil budaya dan alam, masyarakat Kepulauan Riau menghasilkan produk daerah berupa kerajinan batik dengan motif bahari. Salah satu kreatifitas masyarakat Kepulauan Riau, contoh pada KUBE Pelukis Tak Bertuan yang nama mulanya dibantu oleh UMKM Perusahaan “Puan Lawa” dimana ide kreatif Batik yang dibuat oleh KUBE Pelukis Tak Bertuan ini digagas oleh Ibu Yayuk pemilik Puan Lawa Tersebut. yang memproduksi kerajinan batik bahari dengan corak motif “Batik Gonggong”, Motif cangkang siput gonggong yang dipadukan dengan pakain batik menjadi ciri khas yang menarik, penuh dengan makna implisit yang menunjukan kekhasan suatu wilayah. Selain itu Batik Gonggong juga menambah khasanah kebudayaan Indonesia.

Gonggong (Strombus Turturella) adalah salah satu jenis siput laut yang terdapat disekitar perairan Pulau Bintan Kepulauan Riau. Gonggong merupakan objek kuliner makanan khas Tanjung Pinang, Gonggong juga mencerminkan daerah kemaritiman Provinsi Kepulauan Riau yang secara Geografis 95% merupakan wilayah Laut4. Batik gonggong merupakan media refleksi bagi generasi muda untuk terus mengembangkan kreativitas. Menurut peneliti pada awalnya Indikasi Geografis dari segi peraturan tentang Hak Kekayaan Intelektual belum mendapat perhatian besar seperti halnya Merek, Paten Hak Cipta dan lain sebagainya. Dalam ketentuan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia Indikasi Geografis masih dimasukkan di dalam Undang-Undang Merek. Pengaturan Indikasi Geografis belum mempunyai undang-undang sendiri sehingga di dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Indikasi Geografis hanya dibahas dibeberapa pasal saja. Namun Pemerintah menyadari bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan

  • 3    Sadikin OK. 2013, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada, h 386.

  • 4    Anggreini, Shinta. https://www.google.co.id/amp/s/infobatik.id/amp/234-2. Motif Batik Gonggong Sebagai Ikon Kepulauan Riau, diakses pada tanggal 13 September 2017.

kebutuhan masyarakat di bidang Merek dan Indikasi Geografis serta belum cukup menjamin pelindungan potensi ekonomi lokal dan nasional sehingga perlu diganti. Tahun 2016 Pemerintah mengelurakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis (Selanjutnya disebut Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016).

Tim Peneliti melihat dari undang-undang yang ada untuk Penyebutan Indikasi Geografis pada penamaan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 bukanlah tanpa sebab. Di lihat dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Indikasi Geografis hanya dibahas sedikit sekali, dan cenderung lebih banyak dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah (PP). Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Merek dan Indikasi Geografis diuraikan lebih jelas dan tertuang di dalam empat bab dimana dimulai dari Pasal 53 sampai dengan 71)5. Keempat bab tersebut mengurai hal-hal terkait dengan pihak yang dapat memohon Indikasi Geografis. Di dalam Ketentuan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis memberikan penjelasan bahwa Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Pengajuan Hak atas Indikasi Geografis dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis juga memberikan batasan bahwa hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemegang hak Indikasi Geografis yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya pelindungan atas Indikasi Geografis tersebut masih ada. Indikasi Geografis, menurut Pasal 53 Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis akan mendapatkan perlindungan setelah didaftar, Pemohon Indikasi Geografis harus mengajukan Permohonan kepada Menteri dimana permohonan dilakukan dengan cara komunal yang dapat dimohonkan oleh lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan tertentu dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten Kota) dan Produk yang dapat dimohonkan (Sumber daya alam, Barang kerajinan tangan dan hasil industri dari masyarakat ataupun lembaga di kawasan geografis tertentu. Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai Hak Atas Indikasi Geografis yang dapat di peroleh oleh masyarakat untuk melindungi produk hasil daerah mereka dari kemungkinan praktek curang dalam industri perdagangan. Di dalam tulisan iniagar pembaca dapat lebih memahami maka penulis akan memberikan sedikit referensi tentang Indikasi Geografis.

  • 1.1.1.    Tinjauan Umum Perlindungan Indikasi Geografis dalam Kerangka Perlindungan Merek di Indonesia

Adapun tinjauan umum mengenai perlindungan Indikasi Geografis dalam rangka perlindungan merek di Indonesia akan dibahas sebagai berikut:

  • a.    Pengertian Indikasi Geografis

Pengertian Indikasi Geografis dapat ditemukan dalam Paris Convention for the Protection of Industri Property atau Konvensi Paris yang pertama kali ditandatangani pada tahun 1883

dan telah mengalami beberapa revisi sampai perubahan terakhir pada tahun 1979. Meskipun di pasal yang telah diatur di dalam Konvensi Paris ini tidak mengatur secara spesifik, tetapi secara umum di Pasal 9 menentukan kewajiban yang berkaitan dengan cara penanganan barang-barang inpor yang mengandung merek dagang maupun nama dagang yang melawan hukum termasuk barang-barang yang menggunakan tanda asal tempat yang tidak tepat .6

Perjanjian Madrid juga mengatur tentang Indikasi Geografis dimana mengatur tentang represi terhadap Indikasi Asal Barang yang salah satu menyesatkan atau The Madrid Agreement for the Repression of False or Deceptive Indication of Source on Goods of 1981, tidak menggunakan istilah Indikasi Geografis tetapi Indikasi asal atau Indication of source dari produk barang. Perjanjian Madrid ini tidak menyebutkan Indikasi asal secara eksplisit. Meskipun dengan adanya keharusan untuk menyita setiap barang yang menggunakan indikasi asal yang salah dan menyesatkan, dapat ditafsirkan bahwa setiap indikasi asal harus secara jelas dapat dipresentasikan di tempat asal terkait. Indikasi Geografis merupakan indikasi atau tanda yang dilekatkan pada barang yang berasal dari suatu tempat, wilayah atau geografis tertentu yang menunjukkan “kualitas”, “reputasi” atau “karakteristik” tertentu, termasuk faktor alam atau manusia yang dijadikan “atribut” pada barang yang dihasilkan. Tanda yang dipakai untuk sebagai indikasi geografis dapat berupa “nama tempat”, “daerah”, “wilayah”, “kata”, “gambar” atau “kombinasinya”. Perlindungan produk-produk barang yang dihasilkan berkaitan dengan indikasi geografis meliputi berbagai jenis produk yang diperoleh dari alam, produk hasil pertanian, kriya atau kerajinan dan sebagainya7.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat di bidang Merek dan Indikasi Geografis serta belum cukup menjamin pelindungan potensi ekonomi lokal dan nasional sehingga perlu diganti. di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, pelindungan konsumen, serta pelindungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan industri dalam negeri. Untuk lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan, dan investasi dalam menghadapi perkembangan perekonomian lokal, nasional, regional, dan internasional serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, perlu didukung oleh suatu peraturan perundang-undangan dibidang Merek dan Indikasi Geografis yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan itu perlu membentuk Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Pemerintah dan DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang diberlakukan pada tanggal 25 November 2016. Di dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis tersebut terdapat poin-poin penting khususnya yang membedakan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, di antaranya

adalah (setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dan Indikasi Geografis bahwa):

  • 1)    Perubahan judul, yang semula judulnya Undang-Undang Merek ditambahkan menjadi Undang-Undang Merek8 dan Indikasi Geografis; 9

  • 2)    Perluasan tipe merek, yang semula pada Undang-Undang Merek yaitu berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka, susunan warna, atau kombinasi sedangkan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 berdasarkan Pasal 2 angka (3) yang terdiri dari: gambar, logo, nama, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan atau jasa yang diproduksioleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa

  • 3)    Perubahan alur dalam proses pendaftaran merek, yang semula pada Undang-Undang Merek 2001 yaitu dari permohonan, pemeriksaan kelengkapan persyaratan, pemeriksaan subtantif, pengumuman permohonan, sertifikat merek, maka pada Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 yaitu permohonan, pemeriksaan persyaratan permohonan, publikasi/pengumuman permohonan , menunggu apabila ada keberatan atau sanggahan, pemeriksaan substantif merek, sertifikat merek;

  • 4)    Pengumuman berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek berlangsung selama 3 bulan dimana diumumkan di: Berita resmi Merek yang di tempatkan di Direktorat Jendral dan pada sarana khusus yang telah disediakan oleh Direktorat Jendral dimana terdapat di Pasal 2210, sedangkan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 berdasarkan Pasal 2411 dalam hal pemeriksaan permohonan dapat di daftarkan, Menteri: mendaftarkan merek tersebut, memberitahukan pendaftaran merek tersebut kepada pemohon atau kuasanya, menerbitkan sertifikat merek, dan mengumumkan pendaftaran merek tersebut dalam berita resmi merek baik elektronik ataupun non elektronik.

  • 5)    Menurut Pasal 2812 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek jangka waktu merek terdaftar 10 (sepuluh) tahun untuk perlindungannya untuk perpanjangannya ditentukan di Pasal yang berbeda yaitu Pasal 3513 angka (1) yaitu untuk perpanjangan jangka waktu merek sama dengan jangka waktu pendaftaan pertama kali, sedangkan pada Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 masa perpanjang sertifikat merek berdasarkan Pasal 35 ayat 2 adalah dapat sama dengan jangka waktu 10 tahun sama dengan jangka waktu yang didapatkan ketika merek tersebut di daftarkan sesuai dengan Pasal 35 ayat 1

  • 6)    Berdasarkan Pasal 27 angka (1) Pengambilan sertifikat merek diberikan 30 tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu pengumuman sedangkan pada Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 paling lambat pengambilan sertifikat merek adalah 18 bulan sejak tanggal penerbitan sertifikat yang terdapat di dalam Pasal 25 angka (3);

  • 7)    Pendaftaran merek internasional, yang semula pada Undang-Undang Merek 2001 tidak terdapat pengaturan tentang pendaftaran merek internasional dan pada menurut Pasal 52 angka (4) Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 untuk pendaftaran merek internasional berdasarkan Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the International Registration of Mark;

  • 8)    Pengaturan tentang Indikasi Geografis, yang semula pada Undang-Undang Merek 2001 ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) dan pada Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 diatur secara lebih rinci (Terdiri dari 4 Bab, Pasal 53 sampai dengan Pasal 71);

  • 9)    Ketentuan Pidana, yang semula pada Undang-Undang Merek 2001 tidak memuat ketentuan pemberatan sanksi pidana dan pada Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 memuat ketentuan pemberatan sanksi pidana (menggangu kesehatan dan mengancam keselamatan jiwa manusia).

  • b.    Perkembangan Hukum Merek di Indonesia

Perlindungan merek di Indonesia semula diatur dalam Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912, yang kemudian diperbaharui dan diganti dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (disebut juga Undang-Undang Merek 1961).14 Undang-Undang Merek 1961 kemudian menggantikan Undang-Undang Merek Kolonial. Namun Undang-Undang Tahun 1961 tersebut sebenarnya hanya merupakan unlangan dari undang-undang sebelumnya15.

Tahun 1992 Undang-Undang Merek Baru diundangkan dan berlaku mulai tanggal 1 April 1993, menggantikan Undang-Undang Merek Tahun 1961. Dengan adanya Undang-Undang baru tersebut, surat keputusan administratif yang terkait dengan prosedur pendaftaran merekpun dibuat. Berkaitan dengan kepentingan reformasi Undang-Undang Merek, Indonesia turut serta meratifikasi Perjanjian Internasional Merek WIPO. Tahun 1997, Undang-Undang Merek Tahun 1992 diubah dengan mempertimbangkan pasal-pasal dari Perjanjian Internasional tentang aspek-aspek yang dikaitkan dengan perdagangan dari Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs) - GATT16. Pasal-pasal tersebut memuat perlindungan atas indikasi asal dan geografis. Undang-undang

tersebut juga mengubah ketentuan dalam undang-undang sebelumnya dimana pengguna merek pertama di Indonesia berhak untuk mendaftarkan merek tersebut sebagai merek.

Sejak 25 November 2016 dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016) menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Undnag-Undang Merek 2001). Pengaturan baru ini dikarenakan pertimbangan yuridis yang termuat dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 bagian konsideran huruf c yang menyebutkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat di bidang merek dan Indikasi Geografis, serta belum cukup menjamin perlindungan potensi ekonomi lokal dan nasional sehingga perlu diganti. Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 adalah untuk menyempurnakan perlindungan kepada pemilik Merek dan juga memberikan penyesuaian terhadap perkembangan kekayaan intelektual di Indonesia.

Dalam Penjelasan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 dijabarkan bahwasannya kebutuhan masyarakat terhadap kekhasan produk yang dihasilkan disebuah wilayah perlu di utamakan. Hal ini dapat dilihat dari bidang sosial, ekonomi, maupun budaya semakin mendorong cepatnya perkembangan perekonomian masyarakat. Peningkatan teknologi informasi dan sarana transportasi, telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan baik barang maupun jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kecenderungan akan meningkatnya arus perdagangan barang dan jasa tersebut akan terus berlangsung secara terus menerus sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat. Dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan seperti itu, menjadi hal yang dapat dipahami jika ada tuntutan kebutuhan suatu pengaturan yang lebih memadai dalam rangka terciptanya suatu kepastian dan pelindungan hukum yang kuat. Perubahan terhadap alur proses pendaftaran Merek dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 dimaksudkan untuk lebih mempercepat penyelesaian proses pendaftaran Merek. Dilaksanakannya pengumuman terhadap Permohonan sebelum dilakukannya pemeriksaan substantif dimaksudkan agar pelaksanaan pemeriksaan substantif dapat dilakukan sekaligus jika ada keberatan dan/atau sanggahan sehingga tidak memerlukan pemeriksaan kembali.

Berkenaan dengan Permohonan perpanjangan pendaftaran Merek, pemilik Merek diberi kesempatan tambahan untuk dapat melakukan perpanjangan pendaftaran Mereknya sampai 6 (enam) bulan setelah berakhirnya jangka waktu pendaftaran Merek. Ketentuan ini dimaksudkan agar pemilik Merek terdaftar tidak dengan mudah kehilangan Hak atas Mereknya sebagai akibat adanya keterlambatan dalam mengajukan perpanjangan pendaftaran Merek. Selain itu, untuk lebih memberikan pelindungan hukum terhadap pemilik Merek terdaftar dari adanya pelanggaran Merek yang dilakukan oleh pihak lain, sanksi pidana terhadap pelanggaran Merek tersebut diperberat khususnya yang mengancam kesehatan manusia, lingkungan hidup, dan dapat mengakibatkan kematian. Mengingat masalah Merek terkait erat dengan faktor ekonomi, dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 sanksi pidana denda diperberat.

Kajian ini penulis teliti dengan judul penelitian “Upaya Perolehan Hak Atas Indikasi Geografis Terhadap Kerajinan Batik Dengan Corak “Batik Gonggong” di Kepulauan Riau”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah upaya Perolehan Hak Atas Indikasi Geografis terhadap “Corak Batik Gonggong” Di Kepulauan Riau?

  • 2.    Apakah kendala yang dihadapi terhadap perolehan Hak Atas Indikasi Geografis “Corak Batik Gonggong” yang berasal dari Kepulauan Riau?

  • 1.3    Metode Penelitian

    1.    Jenis Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian empris dengan menggunakan pendekatan sociological jurisprudence. Sociological jurisprudence yaitu bagian dari suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat17. Penelitian ini menggunakan analisa data berupa kualitatif. Tim Peneliti membuat penelitian tentang permohonan pengajuan Indikasi Geografis yang mana mempunyai maksud untuk mencari hubungan (korelasi) antara tahapan yang ada dalam referensi buku dengan realita yang sebenarnya terjadi, hal ini dilakukan oleh peneliti dalam pengamatan (observasi) langsung kelapangan dan melihat dokumen yang diajukan sebagai syarat, dan wawancara (interview).

  • 2.    Fokus Penelitian

Fokus penelitian pada penelitian ini sangat penting sebagai sarana untuk memandu dan mengarahkan jalannya penelitian. Peneliti memfokuskan penelitian ini dipandang dari sisi perlindungan konsumen dengan memperhatikan undang-undang yang terkait di dalamnya, yaitu Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal, Buku-Buku Hukum, Website dan aturan terkait terhadap penelitian ini.

  • 3.    Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang Tim tujukan adalah: Kantor Kementerian Hukum Dan HAM yang berada di Kota Batam.

  • II.    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    • 2.1    Upaya Perolehan Hak Atas Indikasi Geografis terhadap “Corak Batik Gonggong” di Kepulauan Riau.

Di dalam mewujudkan upaya perolehan hak atas Indikasi Geografis terhadap batik gonggong milik KUBE Puan Lawa yang di bawah binaan Perusahaan Puan Lawa, Tim

  • 17 Johnny Ibrahim, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing. h. 40.

Peneliti berupaya mendatangi Kementerian Hukum Dan HAM yang mempunyai hubungan baik dengan beberapa staff di Kementerian Hukum Dan HAM dan menanyakan apakah Batik yang mereknya Puan Lawa dimana motif “Batik Gonggong”-nya dapat dikatagorikan sebagai Indikasi Geografis?

Ada 3 (tiga) langkah yang harus dilakukan dalam Upaya perolehan Hak Indikasi Geografis terhadap corak “Batik Gonggong” yang di produksi oleh masyarakat kepulauan Riau

  • a.    Hal yang penulis lakukan membuat analisa atau kajian mengenai suatu produk dapat dikategorikan sebagai produk yang dapat dimohonkan Hak Indikasi Geografisnya. Untuk itu langkah pertama adalah memastikan apakah “Batik Gonggong” tersebut masuk ke dalam Indikasi Geografis”. Di dalam mewujudkan upaya perolehan hak atas Indikasi Geografis terhadap batik gonggong merek Puan Lawa, Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti yaitu Irene Svinarky dan Lenny Husna berusaha membantu Kementerian Hukum Dan HAM, untuk turun mengambil beberapa video dari Batik yang bermerek Puan Lawa agar menjadi pertimbangan oleh Kementerian Hukum Dan HAM Kepulauan Riau dalam mencap batik tersebut. Tim Peneliti dalam mengupayakan untuk mengumpulkan dokumen foto, dokumen video agar nantinya dapat menjadi laporan penelitian dan dapat membantu tugas dari Kementerian Hukum Dan HAM. Dikepulauan Riau, Untuk batik dengan corak “Batik Gonggong “merupakan batik kekhasan Kepulauan Riau, karena hewan laut gonggong juga merupakan biota laut khas yang hanya terdapat diperairan Kepulauan Riau. Melihat keunikan dan kekhasan dari batik corak gonggong ini maka dapat dijadikan dasar kajian dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual apakah dapat dapat dimohonkan Hak Indikasi Geografisnya.

  • b.    Melakukan tahap pendaftaran Hak Indikasi Geografis harus dilakukan secara Komunal. Perbedaan bentuk kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual secara umum dapat dibagi menjadi 2 bentuk:

  • a.    Kepemilikan Komunal (Non-Personal)

  • b.    Kepemilikan Personal

Hak Kekayaan Intelektual yang bersifat personal adalah Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki sepenuhnya oleh individu atau kelompok individu dengan atau tanpa mengajukan permohonan kepada Negara untuk mendapatkan hak monopoli atas eksploitasi secara ekonomi. Termasuk Hak Kekayaan Intelektual yang bersifat Personal antara lain:

  • 1)    Hak Cipta (Copyrights) dan Hak Terkait (Related Rights) lainnya di bidang Seni (Artworks), Sastra (Literature), Ilmu Pengetahuan (Science) dan Hak-hak Terkait yang berhubungan dengan Pelaku (artis, penyanyi, musisi, penari dan pelaku pertunjukkan), Produser Rekaman dan Lembaga Penyiaran18.

  • 2)    Paten (Patent), yakni invensi di bidang teknologi baik produk maupun proses atau pengembangan/penyempurnaan produk atau proses tersebut 19.

  • 3)    Merek (Trademark, Service Mark), yakni tanda pembeda antara satu produk atau jasa dengan produk atau jasa lainnya yang terbagi dalam 45 kelas barang/jasa.20

  • 4)    Desain Industri (Industrial Design), yakni kreasi bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, dalam bentuk dua atau tiga dimensi yang memiliki kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam bentuk pola dua atau tiga dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan21.

  • 5)    Desain Tata letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit), yakni kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.

  • 6)    Rahasia Dagang (Trade Secret), yakni informasi yang bersifat rahasia dan memiliki nilai komersial dan telah ada upaya khusus untuk menjaga kerahasiaannya.

  • 7)    Perlindungan Varietas Tanaman Baru (New Variety of Plant), yakni perlindungan terhadap bahan perbanyakan dari varietas tanaman yang memiliki karakter baru, unik, seragam, stabil dan telah diberi nama

Geographical Indication (Indikasi Geografis), merupakan salah satu bentuk dari Kekayaan Intelektual yang bentuk kepemilikiannya komunal. Komunal disini diartikan kelompok orang yang hidup bersama. Dalam Pasal 53 Ayat 3 Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis yang dapat mengajukan permohonan Hak Indikasi Geografis adalah Pertama lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa: 1. sumber daya alam; 2. barang kerajinan tangan; atau 3. hasil industri. Kemudian lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu antara lain asosiasi produsen, koperasi, dan masyarakat perlindungan Indikasi Geografis (MPIG). Kedua Permohonan dapat juga diajukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.

Pendaftaran Hak Indikasi Geografis terhadap Kerajinan Batik Merek Puan Lawa tidak dapat didaftarkan secara personal, sesuai dengan penjelasan di atas pendaftaran Hak Indikasi Geografis harus dilakukan dengan cara komunal, karena itu dibutuhkan kesadaran masyarakat terutama Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) dalam hal ini bisa asosiali / koperasi produsen pengrajin batik di Kepulauan Riau dan juga dukungan oleh Pemerintah Kepulauan Riau.

  • c.    Pendaftaran mengikuti persyaratan yang sudah diatur Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dan Indikasi Geografi

Berdasarkan hasil penelitian di Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Kepualuan Riau diketahui untuk Hak Indikasi Geografis berdasarkan PP Nomor 45 Tahun 2016 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Berlaku Pada Kementerian Hukum Dan HAM. Permohonan pendaftaran merek dan permintaan perpanjangan perlindungan Merek Terdaftar adalah sebagai berikut:22

  • a.    Usaha Mikro dan Usaha Kecil terbagi atas dua yaitu: Secara Elektronik per kelasnya dikenakan biaya 500.000,00,- sedangkan secara non elektronik dikenakan biaya 600.000,00.

  • b.    Untuk permohonan pendaftaran Indikasi Geografis secara elektronik dikenakan biaya perkelasnya 450.000,00,- sedangkan secara manualnya dikenakan 500.000,00.

Adapun buku persyaratan adalah adalah indentifikasi atas produk yang menjadi dasar penetapan ciri khas, kualitas dan karakteristik. Isi Buku Persyaratan, dimana isi dari Buku Persyaratan adalah23:

  • a.    Pendahuluan24

Latar belakang dari diajukannya permohonan pendaftaran Hak Indikasi Geografis

  • b.    Pemohon

Melampirkan Akta pendirian organisasi asosiasi produsen atau koperasi atau Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG), akta pendirian harus yang sudah legal formal atau akta notaris, dimana dalam akta pendirian juga terdapat Struktur Organisasi, dimana struktur organisasinya terdiri dari:

  • 1)    Pelindung25

  • 2)    Penasehat

  • 3)    Ketua

  • a)    Sekretris

  • b)    Bendahara

  • 4)    Divisi-Divisi

  • a)    Pengawasan Mutu

  • b)    Promosi dan Pemasaran

  • 5)    Koordinator per Wilayah/Kecamatan .

  • a) Wilayah Barat, Timur, Utara dan sebagainya.

  • c.    Melengkapi persyaratan seperti yang sudah diatur dalam dalam pasal 6 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.26

  • 1)    Nama Indikasi Geografis yang dimohonkan pendaftarannya

Dalam hal ini Batik dengan “Corak Batik Gonggong” untuk keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM sendiri Batik Gonggong, tidak dapat didaftarkan ke Indikasi Geografis, lebih cocoknya pendaftaran Batik Gonggong didaftarkan ke Hak Cipta.

  • 2)    Nama barang yang dilindungi oleh Indikasi-geografis;

Dalam hal ini Batik.

  • 3)    Uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan barang tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan;

Dalam hal ini Tipe produk Sifat khas : Karakteristik atau Corak/Motif

  • 4)    Uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari barang yang dihasilkan.

Faktor alam dan manusia, dimana uraian yang menerangkan mengenai ciri-ciri dan kualitas serta keunggulan. Uraian berisi hal yang menjelaskan faktor-faktor alam yang berpengaruh terhadap barang/produk Indikasi Geografis yaitu uraian mengenai keadaan geografis setempat dapat berupa uraian tentang suhu rata-rata, tingkat curah hujan, kelembaban udara, sinar matahari, ketinggian, atau jenis/kondisi tanah

  • 5)    Uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi Geografis;

Adalah uraian yang menjelaskan batas-batas daerah penghasil barang/produk Indikasi Geografis dengan daerah sekitarnya serta dilengkapi dengan gambar peta daerah setempat.

Uraian tersebut harus direkomendasikan oleh Pemda dan menjadi lampiran

  • 6)    Uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasi Geografis untuk menandai barang yang dihasilkan di daerah tersebut, Adalah uraian yang menjelaskan tentang latar belakang sejarah keberadaan barang/produk Indikasi Geografis, yaitu sejarah produksi, pengembangan serta pemakaian barang/produk tersebut oleh masyarakat.

  • 7)    Uraian mengenai metode produksi;

Uraian yang menjelaskan tentang tatacara budidaya, panen dan pengolahan pasca panen barang/produk Indikasi Geografis.

  • 8)    Uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan;

  • 9)    Uraian yang menjelaskan tentang Metode yang dipergunakan untuk menguji kualitas barang/produk Indikasi-Geografis

  • 10)    Label Indikasi Geografis

Merupakan Tanda Bagi Produk yang Mampu Tampil Beda dan Terpercaya ;

Meskipun di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis ada syarat yang harus dipenuhi oleh para masyarakat yang akan mengajukan Indikasi Geografis, tetapi dari Kementerian Hukum Dan Ham menggunakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dan Indikasi Geografis, dan tidak menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis tersebut dalam menentukan IG (Indikasi Geografis).

  • d.    Penutup

Pada akhir buku persyaratan juga dilengkapi dengan Bab Penutup, Daftar Pustaka dan Lampiran (Daftar Kelompok Usaha, Daftar Pengepul, Daftar Pedagang, Surat Rekomendasi, Peta Wilayah, Hasil Uji, dan lain sebagainya sesui yang dibutuhkan.

Menjawab pertanyaan di atas, upaya yang dilakukan untuk mendaftar IG terhadap corak gonggong ini oleh Tim Peneliti dan juga staff Kementerian Hukum Dan HAM Kepulauan Riau maka dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Sub Bidang Pelayanan Administrasi Hukum Umum dan Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Ham, Ibu Rovis Desvyati,S.H,.M.H memberikan penjelasan bahwa:

“Indikasi-Geografis yang dikelola oleh Kanwil Kementerian Hukum Dan HAM yang berada di Kepulauan Riau diberikan dana oleh Kementerian Hukum Dan HAM Republik Indonesia, dana yang diberikan tersebut digunakan untuk kota dan kabupatenyang berada di seluruh wilayah Kepulauan Riau. Anggaran tersebut barulah turun kepada Kanwil Kementerian Hukum Dan HAM untuk mengundang duduk bersama artinya dengan stekholder terkait itu di tahun ini, sedangkan untuk di tahun 2017 kegiatan yang dijalankan oleh Kementerian Hukum Dan HAM dan masih door to door. Door to door yang dimaksud artinya Staff dari Kementerian Hukum Dan HAM tersebut datang ke Dinas terkait yang akan dikunjungi, kemudian dikoordinasikan dengan dinas terkait serta masyarakat setempat yang dituju untuk menyampaikan tentang Indikasi Geografis? Bagi masyarakat belum mengetahui tentang Indikasi Geografis. Masyarakat masih asing mendengar istilah Indikasi Geografis. Kunjungan ke masyarakat yang dilakukan oleh Kementerian Hukum Dan HAM Kepulauan Riau Di tahun 2017 baru sifatnya sebatas sekedar kunjungan. Seharusnya target dari Kementerian Hukum Dan HAM pada saat 2017 adalah telah memiliki minimal 1 (satu) pendaftaran IG dari kabupaten dan kota yang ada di Kepulauan Riau tetapi ternyata setelah upaya yang dilakukan oleh Kementerian Hukum Dan HAM kan belum tercapai. Saat itu, telah ditemukan potensi yang akan di Indikasi Geografiskan. Potensi yang telah ditemukan oleh Kementerian Hukum Dan HAM di tahun 2017 tersebut adalah di daerah lingga. Untuk Kota Batam sendiri belum ada ditemukan. Ibu Desi berusaha menganalisa untuk Corak Gonggong yang Tim Peneliti ajukan. Setelah

dikaji ulang oleh Kementerian Hukum Dan HAM dilihat dari Gambar Gonggong tersebut yang dimasukkan ke Batik, Puan Lawa, Gambar Puan Lawa akhirnya dapat disimpulkan oleh Kementerian Hukum Dan HAM cocoknya masuk Hak Cipta sedangkan Binatang yang ada di Batik tersebut tidak dapat dimasukkanke dalam IG. Menurut Keterangan Ketua Batik Pelukis Tak Bertuan yang Pengusaha Puan Lawa itu sendiri menyatakan bahwa Untuk mendapatkan perlindungan hukum, Puan Lawa ini telah mendaftarkan merek batik mereka pada saat mengikuti seminar di Hotel Novotel Batam. Acara tersebut diselenggarakan oleh UKM dengan Universitas Sebelas Maret serta dihadiri juga oleh Dirjen HaKI. Pendaftaran tersebut dilakukan oleh KUBE Batik Pelukis Tak Bertuan yang dikelola oleh Pengusaha Puan Lawa dimana Batik tersebut dengan mendaftarkan mereknya dengan nama PUAN LAWA kurang lebih sekitar di bulan juli 2017. Batik yang bermerek Puan Lawa tersebut, pengusahanya sedang menunggu keluarnya sertifikat merek tersebut. Selain itu penjelasan yang diberikan oleh Dirjen HaKI apabila pembatik ini mau mendaftarkan Hak Paten skala barangnya sudah mencapai di atas 100 buah”.

  • 2.2. Kendala yang dihadapi terhadap perolehan Hak Atas Indikasi Geografis “Corak Batik Gonggong” yang berasal dari Kepulauan Riau

Untuk mencari tempat yang memproduksi produk yang akan diberikan Indikasi Geografis oleh Kementerian Hukum Dan HAM, biasanya di lapangan pihak Kementerian Hukum Dan HAM sudah berupaya sangat besar, tetapi kendala yang mereka temui, tempat-tempat yang akan dikunjungi di Kepulauan Riau, sangat jauh dan terkadang produksi dari barang yang akan dijadikan sebagai Indikasi Geografis oleh Kementerian Hukum Dan HAM harus jelas. Terkadang hal tersebut yang menjadikan Kementerian Hukum Dan HAM terkendala menguruskan Indikasi Geografis terhadap sebuah produk yang dihasilkan oleh sebuah Perusahaan.

  • III. PENUTUP

  • 3.1.    Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat Tim Peneliti tarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Upaya pemberian Indikasi Geografis terhadap batik gonggong belum dapat diberikan, karena untuk hewan yang dicetakkan di batik tersebut, dapat saja ditemukan di kepulauan lain yang ada di Indonesia, alasannya karena a. tidak ada batas dimana gonggong merupakan hewan laut yang dapat berpindah tempat, b daerah lain yang dengan garis pantai, kemungkinan gonggong dapat ditemukan. Menurut Kementerian Hukum Dan HAM lebih cocok didaftarkan Hak Cipta terhadap gambar yang ada di batik tersebut agar gambar yang dicetakkan dibatik dapat dilindungi kepemilikannya. Upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian Hukum Dan HAM di Kepulauan Riau sudah berjalan baik, staff Kementerian Hukum Dan HAM langsung turun kelapangan untuk mencari contoh produk yang dapat dipasangkan IG, padahal staff Kementerian Hukum Dan HAM dalam hal mencari tersebut harus menyebrangi Pulau satu ke pulau lainnya. Semoga pekerjaan yang dilakukan Kementerian Hukum Dan HAM juga didukung oleh masyarakat.

  • 2.    Kendala yang ditemui ketika Kementerian Hukum Dan HAM kelapangan adalah masih banyaknya masyarakat yang tidak mengenal IG. Kemudian masih sulit menemukan produk yang menjadi ciri khas Batam yang dapat di letakkan kepemilikan IG terhadap produk tersebut. Hal ini karena dalam konsep IG didaftarkan komunal.

  • 3.2.    Saran

Saran yang dapat diberikan oleh tim peneliti dalam penelitian ini adalah:

  • 1.    Memberikan pemahaman dan pengetahuan mengenai pentingnya Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) kepada masyarakat terutama pengrajin “Batik Corak Gonggong” oleh akademisi maupun pemerintah. Untuk pemerintah diharapkan ada kajian kedepannya tentang Binatang yang ada di laut, sehingga kekayaan alam laut juga dapat dijadikan Indikasi Geografis,dikarenakan Indonesia terdapat banyak pulau.

  • 2.    Kendala yang ditemui sangat sulit menjangkau pulau ke pulau, karena akses kendaraan yang tidak selancar di Kota Batam. Kementerian Hukum Dan HAM mau tidak mau harus mengeluarkan banyak biaya untuk melaksanakan tugasnya.

DAFTAR PUSTAKA

  • A.    Buku

Adrian Sutendi. 2013, Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Sinar Grafika.

Johnny Ibrahim. 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.

Sadikin OK. 2013, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Lindsey Tim, dkk, E.d. 2011, Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar. Bandung: PT. ALUMNI.

Yuli Aditya. City Branding Sebagai Strategi Pengembangan Pariwisata Ditinjau Dari Aspek Hukum Merek (Studi Kasus City Branding Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Daerah Tujuan Wisata Unggulan Di Indonesia). Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada . Vol. 5 No. 1 50-68

  • B.    Internet

Anggreini, Shinta. https://www.google.co. id/amp/s/infobatik.id/amp/234-2. Motif Batik Gonggong Sebagai Ikon Kepulauan Riau. 13 September 2017.

http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/wpcontent/uploads/2016/11/Makalah-HKI-dadan.pdf.

  • C.    Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman , Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang , Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4044.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 244

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4131.

Undang-Undang Nomor 28 Tentang 2014 tentang Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Indikasi Geografis, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953.

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Berlaku Pada Kementerian Hukum Dan HAM.

Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana | 220