PENDEKATAN SISTEM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Oleh

I WAYAN SUANDI

(Bagian Hukum Administrasi Negara)

ABSTRAK

Pendekatan sistem relevan dengan proses pembentukan peraturan daerah. Keterpaduan dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling ketergantungan seperti DPRD dan Kepala Daerah menyebabkan pelaksanaan peraturan daerah menjadi lebih efisien. Peraturan daerah itu harus sesuai dengan kondisi masyarakat di mana ia akan diberlakukan. Oleh karena itu, pembentuk peraturan daerah harus memahami kepentingan-kepentingan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Selain itu, dengan memperhatikan masukan dari anggota-anggota masyarakat dapat menumbuhkan perasaan memiliki dan kewajiban moral dari mereka untuk mematuhi peraturan daerah tersebut. Agar dapat mencapai tujuannya, pendekatan sistem harus dilengkapi dengan suatu kontrol seperti umpan balik supaya hubungan antara masukan, proses dan keluaran menjadi seimbang dan dinamis.

Kata-kata kunci : pendekatan sistem, pembentukan peraturan daerah dan efisien.

ABSTRACT

Systemic approach is relevant to the process of formulating of regional rule. The unity of departments that are interrelation and interdependency like the Regional House of Representatives and District Head causes the implementation of regional rule becomes more efficient. The regional rule must be in accordance with condition of community where it will be hold. Therefore, the regional rule maker must understand the interests what is growing and developing in community.

Besides that, with paying attention to an input from the members of community can grow sense of belonging and morality duty of them to obey the regional rule. In order to be achieve its goal, the systemic approach must be completed by a control like feedback so that, the relation of input, process and output become balance and dynamic.

Key words : systemic approach, formulation of regional rule and more efficient.

  • 1.    PENDAHULUAN

Penyelenggaraan pemerintahan yang tertib merupakan syarat utama bagi terwujudnya tujuan negara. Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, ditentukan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Dalam ayat (2) pasal ini ditentukan bahwa “Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

  • (1)    mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Untuk mengurus dan mengatur urusannya sendiri, pemerintahan daerah berhak untuk membuat peraturan daerah sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi daerahnya. Peraturan daerah dapat berfungsi sebagai alat untuk memperlancar jalannya pemerintahan di Daerah dan juga dapat memberi petunjuk terhadap hal-hal yang telah diatur dan dilaksanakan.

Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah tidak terlepas dari tugas untuk membina ketentraman dan ketertiban masyarakat di

Daerahnya. Peraturan daerah harus sesuai dengan keadaan masyarakat di mana peraturan daerah tersebut diberlakukan. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah maka pemerintah daerah dituntut untuk memahami dukungan dan tuntutan yang berkembang dalam masyarakatnya, tetapi kenyataannya sering terjadi bahwa setelah diberlakukannya suatu peraturan daerah, timbul ketidakpuasan warga masyarakat karena substansi dari peraturan daerah dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat. Ketidakpuasan ini terjadi karena aspirasi warga masyarakat sebagai elemen lingkungan dari sistem pembentukan peraturan daerah kurang diperhatikan. Dengan adanya kesadaran tentang hal ini maka pada saat dibuatnya Peraturan Daerah Tata Ruang Daerah Provinsi Bali dilakukan pendekatan sistem yang bersifat terbuka dengan cara memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk berperanserta dalam pembentukan peraturan daerah melalui pemberian saran-saran terhadap rancangan peraturan daerah. Pendekatan sistem dimaksudkan bahwa komponen-komponen sistem pada pokoknya meliputi “input (masukan), process ( proses), output (keluaran). Dalam pembentukan peraturan daerah, feedback (umpan balik) sebagai komponen tambahan dari sistem kadang-kadang tidak diperhatikan sehingga setelah peraturan daerah itu ditetapkan maka warga masyarakat tidak menerimanya yang sekaligus bersikap tidak mematuhinya.

  • 2.    Permasalahan.

Berdasarkan uraian sebelumnya, permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini yaitu bagaimanakah peranan pendekatan sistem dalam pembentukan peraturan daerah ?

  • 3.    Pemahaman terhadap konsep sistem.

Pengembanan hukum secara praktis dibedakan menjadi pembentukan hukum, penemuan hukum dan bantuan hukum. Konsep pembentukan hukum hanya digunakan untuk “menunjuk pada kegiatan pembentukan perundang-undangan atau pembentukan undang-undang dalam arti luas, yakni kegiatan yang berkaitan dengan perancangan pengaturan abstrak atau pembentukan aturan-aturan umum yang abstrak” (B. Arief Sidharta, 1995 : 5). Berhubung peraturan daerah merupakan kegiatan yang berkaitan dengan perancangan pengaturan yang bersifat abstrak maka terhadap kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengannya

digunakan istilah pembentukan peraturan daerah dan bukan pembuatan peraturan daerah.

Dalam rangka menganalisis permasalahan, didasarkan pada pengertian sistem sebagai “pengorganisasian dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling menggantungkan diri antara yang satu dengan yang lain dan membentuk satu kesatuan (Hermien Hadiati Koeswadji I, 1993 : 19-20)”. Pengertian sistem ini digunakan sebagai kerangka berpikir karena dalam pembentukan peraturan daerah terkait dengan beberapa organisasi pemerintah seperti Kepala Daerah termasuk didalamnya Dinas-dinas Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang harus diorganisasikan sehingga membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan yakni terbentuknya peraturan daerah. Sistem merupakan suatu entitas atau suatu konsep yang merupakan himpunan dari bagian-bagian yang saling berkaitan, dipadukan kedalam suatu kesatuan yang bulat dan utuh, untuk “melakukan kegiatan transformasi atau proses merubah masukan menjadi keluaran dan dalam batas lingkup berdasarkan ruang dan waktu tertentu, berinteraksi dengan lingkungan dan dikendalikan oleh mekanisme kontrol yang mengerahkannya kepada pencapaian sasaran dan tujuan bersama (Hermien Hadiati Koeswadji II, 1998 : 6)”. Dalam konsep ini, sasaran-sasaran yang merupakan bagian dari tujuan juga dimasukkan ke dalam konsep sistem. Oleh karena itu, lembaga pemerintah yang terlibat dalam pembentukan peraturan daerah sebaiknya memperhatikan pula sasaran-sasaran yang ingin dicapai sehubungan dengan peraturan daerah yang dibentuknya.

Dalam kaitannya dengan entitas sebagai keseluruhan yang bulat dan utuh maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah sebaiknya mengikutsertakan bagian-bagian yang ada dibawahnya yang terkait dengan pembentukan suatu peraturan daerah seperti Dinas-dinas Daerah. Semuanya berusaha bekerja secara kompak untuk mencapai tujuan yakni terbentuknya suatu peraturan daerah. Diskusi-diskusi dilakukan pada saat mulai disusunnya rancangan peraturan daerah. Jika terjadi pertentangan pendapat, dicari suatu penyelesaian yang bisa diterima oleh semua peserta diskusi. Begitu juga pada saat pembahasan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebaiknya mengutamakan kebulatan secara keseluruhan.

Setelah terbentuknya suatu peraturan daerah diharapkan agar Kepala Daerah bersama dengan dinas-

dinasnya melaksanakannya dengan penuh kepatuhan dan penuh rasa memiliki dan tanggung jawab yang mana perasaan ini timbul karena adanya penerapan kebulatan secara menyeluruh dalam proses terbentuknya peraturan daerah. Dalam suatu keseluruhan yang bulat dan utuh tercermin adanya saling hubungan dan saling ketergantungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah beserta Dinas-dinasnya sehingga hubungan ini tidak saja terjadi secara horizontal tetapi juga vertikal. Dengan demikian “dari sudut pendekatan sistem hubungan itu tidak semata-mata 'otoritatif' seperti pandangan klasik, melainkan hubungan itu terjadi secara menyeluruh dari satu bagian ke bagian lain… (Tatang M.Amirin, 1996 : 39)”.

Dalam kaitannya dengan lingkungan sebagai pemberi masukan terhadap sistem pembentukan peraturan daerah yang mana masukan tersebut “pada sistem terbuka (open system) dikenal dua tipe masukan, yaitu masukan terkontrol (controlled inputs) dan masukan tak terkontrol (uncontrolled inputs) misalnya bencana alam, banjir dan kekeringan (Abdoel Gani, 1993 : 4). Kemudian dalam hubungannya dengan substansi sebagai masukan, dianalisis berdasarkan pendapat Von Savigny yang mengemukakan bahwa '... law is rather a particular expression of the common consciousness of a people at a given time and place' dan yang lazimnya dikenal sebagai the Historical School of Jurisprudence (Hermien Hadiati Koeswadji III, 1992 : 80)”.

Pendapat ini digunakan sebagai dasar analisis karena efektifitas berlakunya peraturan hukum termasuk peraturan daerah sebaiknya dibentuk berdasarkan kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena pembentukan peraturan daerah merupakan kegiatan yang berkaitan dengan perancangan pengaturan abstrak atau pembentukan aturan-aturan umum yang abstrak maka hukum tidak cukup diketahui dan dipahami dengan hanya “menyoroti kaedah-kaedah ideal yang dianggap merupakan pencerminan dari sesuatu yang abstrak tadi. Berhubung dengan itu maka lebih tepatlah jika cara pendekatannya secara sosiologos dan antropologis, karena hukum merupakan pengejawantahan dari masyarakat dan kebudayaan masyarakat tempat hukum tadi tumbuh dan berkembang (Hermien Hadiati Koeswadji IV, 1984 : 7)” .

Kemudian kotak hitam yang ada dalam sistem pembentukan Peraturan Daerah diartikan sebagai kotak

hitam dengan proses karena dalam kotak hitam tersebut terjadi proses mengubah masukan-masukan baik yang datang dari Kepala Daerah beserta bawahannya maupun berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah termasuk masukan yang diberikan oleh warga masyarakat.

  • 4.    Perwujudan Sistem Dalam Pembentukan

    Peraturan Daerah

Peraturan daerah merupakan instrumen bagi pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Kemudian yang dimaksud dengan daerah otonom menurut Pasal 1 angka 6 undang-undang ini adalah “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Sehubungan dengan wewenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan ini, dipergunakanlah peraturan daerah karena dalam Pasal 136 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa “Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan”. Menurut Pasal 136 ayat (3) undang-undang ini, “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”. Selanjutnya, dalam ayat (4) pasal ini ditentukan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Konsep kepentingan umum oleh penjelasan pasal ini dimaknai sebagai “kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar-warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif”.

Dalam kaitannya dengan pendekatan sistem, peraturan daerah ini merupakan output atau keluaran sebagai salah satu komponen dari sistem pembentukan peraturan daerah. Sehubungan dengan Peraturan Daerah ini, dalam Pasal 143 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditentukan bahwa :

  • (1)    Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangan.

  • (2)    Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

  • (3)    Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.

Pada sisi lain, komponen sistem adalah input atau masukan berupa bahan-bahan hukum yang berkenaan dengan peraturan daerah yang akan dibentuk yang salah satunya dapat berupa rancangan peraturan daerah. Berkaitan dengan input atau masukan ini, dalam Pasal 140 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa “Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota”. Selanjutnya dalam ayat (2) pasal ini ditentukan bahwa “Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan”.

Dalam kaitannya dengan input atau masukan ini, dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, ditentukan bahwa “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”. Selaras dengan ini, dalam Pasal 139 ayat (1) ditentukan bahwa “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda”. Sehubungan dengan ini, “partisipasi masyarakat dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan bisa diinterpretasikan

sebagai bentuk keterlibatan masyarakat yang wujud nyatanya berupa penyusunan Naskah Akademik (Mahendra Putra Kurnia, et al., 2007 : 2)”.

Pelembagaan Naskah Akademik ini baru muncul secara tegas melalui Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden. Dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 ini ditentukan bahwa “Pemrakarsa dalam menyusun Rancangan Undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-undang”. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Presiden ini ditentukan bahwa “Penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu (Ibid.)”.

Berdasarkan konstruksi hukum argumentum per analogiam, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden dapat diberlakukan pula terhadap pembentukan peraturan daerah karena berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan daerah dimasukkan ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Pasal ini menentukan bahwa jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :

  • a.    Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  • b.    Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

  • c.    Peraturan Pemerintah;

  • d.    Peraturan Presiden;

  • e.    Peraturan Daerah.

Dalam ayat (2) pasal ini ditentukan bahwa “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :

  • a.    Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;

  • b.    Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

  • c.    Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa eksistensi Naskah Akademik dalam pembentukan peraturan daerah tidak merupakan suatu keharusan walaupun telah diatur dalam peraturan presiden. Naskah akademik dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk penyusunan atau pembentukan peraturan daerah. Akan tetapi, dengan berkembang dan berubahnya “pola kehidupan masyarakat Indonesia serta beberapa permasalahan dalam pembuatan dan pelaksanaan perundang-undangan yang sudah ada sekarang, urgensi Naskah Akademik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang tepat guna, komprehensif dan sesuai dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan menjadi sangat penting (Ibid.)”.

Pembentukan peraturan daerah melalui pendekatan sistem menerapkan keterbukaan maksudnya “as a system in exchange of matter with its environment, presenting import and export, building-up and breaking down of its material components (Ludwig von Bertalanffy, 1972 : 141)”. Dengan demikian, dalam pembentukan peraturan daerah dilakukan interaksi terhadap lingkungan yang mana interaksi ini dapat dilakukan dengan cara memuat rancangan peraturan daerah pada sebuah harian atau surat khabar secara kontinyu dan warga masyarakat diharapkan memberikan kritik-kritik dan saran-saran untuk penyempurnaannya. Cara ini pernah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali pada saat pembentukan Rencana Umum Tata Ruang Provinsi Bali dalam mana rancangan norma-norma hukum yang akan dimuat dalam peraturan daerah tersebut dimuat dalam harian Bali Post secara kontinyu. Masukan-masukan yang

diberikan oleh warga masyarakat sebaiknya diperhatikan oleh pejabat yang berwenang agar peraturan daerah tersebut dapat memenuhi fungsinya secara efektif yakni menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat.

Sehubungan dengan ini, Yehezkel Dror dalam pembahasannya mengenai hukum dan sarana-sarana kebijakan sosial yang lain memberikan suatu kesimpulan yang antara lain mengatakan bahwa “Our conclusions apply not only to the policy approach to law and social change, but to the behavioral approach, too. If we want to understand the operation of law as an independent variable in social change, we must study the social impact of changes in law within the context of the other components of the legal system and of other relevant policy variables (Yehezkel Dror, 1977 : 171). Dengan demikian sangatlah besar peranan lingkungn terhadap pembentukan aturan hukum termasuk peraturan daerah karena jika suatu peraturan daerah dibentuk tanpa memperhatikan lingkungan maka peraturan daerah tersebut tidak dapat melaksanakan fungsinya secara efektif karena tidak dipercaya dan tidak ditaati secara serta merta oleh warga masyarakat. Searah dengan ini, John Rawls mengemukakan bahwa”… laws and commands are accepted as laws and commands only if it is generally believed that they can be obeyed and executed (Jay A.Sigler and Benjamin R.Beede, 1977 : 137)”.

Dengan diterapkannya pendekatan sistem dalam pembentukan peraturan daerah maka dapatlah dicegah terjadinya pertentangan pendapat sebagai wujud ketidakpuasan warga masyarakat karena aturan-aturan hukum yang dituangkan ke dalam peraturan daerah digali dari masyarakat. Sehubungan dengan ini, Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan suatu teori mengenai tiga keadaan dasar hukum dalam masyarakat yang salah satu diantaranya adalah “hukum responsif, yaitu hukum yang merupakan sarana respons atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Mulyana W. Kusumah, 1986 : 12)”. Penerapan teori ini pada pembentukan peraturan daerah berarti memberi peluang kepada warga masyarakat untuk berperan serta dalam pembentukan peraturan daerah.

Dalam kaitannya dengan elemen sistem transformasi atau proses yang mengubah masukan menjadi keluaran maka kotak hitam dalam sistem

pembentukan peraturan daerah dilihat “dengan 'proses' atau 'pemroses' (processor), bahkan ada yang menyebutnya dengan 'throughput'. Konsep 'proses' karena melihatnya dari sudut ada kegiatan pemrosesan didalam kotak tersebut (Tatang M. Amirin, op.cit. : 46)”. Selain itu perlu juga dipahami bahwa model kotak hitam (black-box model) ini merupakan “alat yang sangat bermanfaat sekali untuk melakukan kajian mengenai hasil akhir atau keluaran sesuatu sistem (final-outcome or output analysis) yaitu kajian yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai apa yang bisa diharapkan sebagai hasil atau keluaran manakala usaha atau masukan tertentu disediakan bagi sesuatu tugas kegiatan.(Tatang M. Amirin, op.cit. : 47)”.

Secara fungsional yakni dalam Pasal 136 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditentukan bahwa “Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”. Kepala daerah sebagai penyelenggara pemerintahan di Daerah tidak mempunyai hak monopoli dalam pembentukan peraturan daerah karena memerlukan keterlibatan DPRD melalui persetujuannya. Selaras dengan ini yakni agar DPRD dapat melaksanakan fungsinya, maka berdasarkan Pasal 41 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lembaga ini “memiliki fungsi legislasi”. Penjelasan pasal ini hanya menyebutkan “cukup jelas” sehingga tidak menentukan makna dari legislasi. Jika dilakukan penafsiran sistematis yakni dengan mengkaitkannya dengan penjelasan Pasal 61 huruf a Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk (Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD), fungsi legislasi adalah “legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD Provinsi untuk membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur”. Penjelasan pasal ini mempunyai makna yang sama dengan Penjelasan Pasal 77 huruf a Undang-undang ini yang berlaku bagi kabupaten/kota. Jadi, makna dari legislasi bahwa DPRD mempunyai fungsi membentuk peraturan daerah.

Prakarsa pembentukan peraturan daerah dari DPRD merupakan hak sehingga tidak ada kewajiban bagi anggota dewan untuk menggunakan haknya sehingga hak tersebut lebih bersifat pasif. Berbeda dengan Kepala Daerah, selain mempunyai wewenang legislatif seperti mengajukan rancangan Perda berdasarkan Pasal 25 huruf b Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga

menyelenggarakan pemerintahan yang secara hirarki bertanggung jawab kepada Presiden. Sebagai penyelenggara pemerintahan di Daerah maka Kepala Daerah lebih mempunyai kemampuan dalam penyusunan rancangan peraturan daerah karena sarana, bahan dan sumber daya manusianya lebih menunjang sehingga Kepala Daerah lebih aktif dalam memprakarsai pembentukan peraturan daerah. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan proses sebagai elemen sistem, secara normatif yakni berdasarkan Pasal 25 huruf c Undang-undang ini, persetujuan bersama dari DPRD tetap diperlukan”. Peraturan daerah yang telah disahkan ini merupakan keluaran dari proses atau kegiatan transformasi yang terjadi dalam sistem pembentukan peraturan daerah. Semua tahapan mulai dari tahap pembicaraan sampai pada tahap pengesahan merupakan proses bekerjanya sistem pembentukan peraturan daerah. Proses dalam sistem mengarah pada suatu tujuan dalam mana tujuan ini memperlihatkan adanya “suatu fenomena sebagai keseluruhan yang utuh dengan menggunakan metode heuristik dengan suatu strategi menertibkan suatu yang chaos (Hermien Hadiati Koeswadji V, 1998 : 11)”.

Tujuan merupakan suatu akhir terhadap mana seluruh kegiatan dalam sistem pembentukan peraturan daerah diarahkan sehingga tujuan itu bersifat pokok yang meliputi intinya saja, bersifat umum dan abstrak. Dalam rangka mencapai tujuan, dilakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang masing-masing mempunyai sasaran tertentu pula. Dengan demikian sasaran berfungsi sebagai suatu kegiatan yang menunjang tercapainya tujuan. Misalnya, Pasal 3 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor 7, mencantumkan bahwa tujuan peraturan daerah ini adalah “Untuk terwujudnya pemanfaatan ruang Provinsi yang berkualitas sesuai kebutuhan dan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional”. Kemudian dalam pasal 4 ayat (3)-nya ditentukan bahwa sasaran RTRW atau peraturan daerah ini adalah :

  • a.    terarahnya pengelolaan kawasan lindung atau berfungsi lindung;

  • b.    terarahnya pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu;

  • c.    terarahnya pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan kawasan lainnya.

  • d.    terarahnya pola pengembangan sistem pusat-pusat permukiman perdesaan, dan perkotaan;

  • e.    terarahnya pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi prasarana transportasi, telekomunikasi, energi listrik, air bersih, dan pengairan;

  • f.    terarahnya pengembangan wilayah-wilayah yang diprioritaskan;

  • g.    terarahnya kebijaksanaan penunjang sebagai penjabaran penataan ruang yang meliputi kebijaksanaan-kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.

Jadi, untuk tercapainya tujuan pembentukan peraturan daerah ini yakni terwujudnya pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Bali yang berkualitas sesuai kebutuhan dan kemampuan daya dukung lingkungan serta kebijaksanaan pembangunan nasional dilakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang disebut sasaran-sasaran yang semuanya dilakukan untuk mendukung tercapainya tujuan yakni terbentuknya peraturan daerah. Agar sistem sampai pada tujuannya, maka sistem tersebut memiliki mekanisme kontrol atau sering disebut kendali yang mana “komponen ini merupakan komponen tambahan dengan unsur-unsurnya yakni umpan balik (Hermien Hadiati Koeswadji II, op. cit. : 7)”. Hubungan antara masukan, proses dan keluaran harus seimbang atau dijaga keseimbangannya agar sistem berjalan dengan dinamis. Untuk menjaga keseimbangan ini perlu dikembangkan umpan balik yang memonitor sistem dan mengirim masukan lagi kepada sistem pembentukan peraturan daerah dan masukan baru ini diproses menjadi keluaran untuk waktu berikutnya.

5. Kesimpulan dan saran.

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pendekatan sistem sangat berperan dalam proses pembentukan peraturan daerah karena dengan dipadukannya bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling ketergantungan seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah termasuk perangkat bawahannya seperti Dinas-dinas Daerah serta dengan diperhatikannya masukan-masukan dari warga masyarakat dapat menumbuhkan rasa memiliki baik bagi para pembentuk peraturan daerah maupun warga masyarakat. Rasa memiliki ini dapat menumbuhkan tanggung jawab moral untuk melaksanakan dan mentaati peraturan daerah dengan serta merta sehingga

keberlakuan dari peraturan daerah tersebut menjadi efektif.

Kemudian akhirnya sebagai saran, sebaiknya pendekatan sistem ini diterapkan juga pada kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah terutama kebijakan yang menyentuh kepentingan warga masyarakat untuk mencegah terjadinya keresahan dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku.

Amirin, Tatang M, 1996, Pokok-pokok Teori Sistem, Jakarta : Rajawali Pers..

Bertalanffy, Ludwig von, 1972, General System Theory, Foundations, Development, Applications, New York : George Braziller.

Dror, Yehezkel, 1977, Ventures in Policy Sciences Concepts and Applications, Amsterdam : Elsevier New York Oxford.

Gani, Abdoel, 1993, “Analisis Sistem Suatu Orientasi”, makalah, Kursus Dasar-dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Tipe A), Kerjasama PPLH LEMLIT UNAIR BAPEDAL, Surabaya: Angkatan XI.

Koeswadji, Hermien Hadiati, 1984, Hukum dan Masalah Medik, Surabaya : Airlangga University Press.

-------, 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti.

-------, 1993, Hukum Pidana Lingkungan, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti.

-------, 1998, Ilmu Hukum dan Pendekatan Sistem, Catatan Kuliah, Pascasarjana Universitas Airlangga 1998/1999, Surabaya, 12 Oktober.

-------, 1998, Ilmu Hukum dan Pendekatan Sistem, Catatan Kuliah,   Pascasarjana, Universitas

Airlangga 1998/1999, Surabaya, 19 Oktober.

Kurnia, Mahendra Putra, et al., 2007, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipasif, Kreasi Total Media, Yogyakarta.

Kusumah, Mulyana W., 1986, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta.

Sidharta, B. Arief, 1995, “Implementasi Hukum Dalam Kenyataan. Sebuah Catatan Tentang Penemuan

Hukum” dalam Pro Justitia, Tahun XIII Nomor 3, Juli.

Sigler, Jay A. and Benjamin R. Beede, 1977, The Legal Sources of Public Policy, D.C. Heath and Company, Lexington, Massaehusetts Toronto.

Peraturan Perundang-undangan.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor 7.

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008

8