Penggunaan Asas Derogasi dalam Penyelesaian Disharmonisasi Inventarisasi Ekspresi Budaya Tradisional

Kristian Vincent Gunawan1, Raden Mas Gatot Prasetyo Soemartono2

  • 1    Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, E-mail: kvincentgun@gmail.com

  • 2    Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, E-mail: gatots@fh.untar.ac.id

    Info Artikel

    Masuk : 31 Juli 2023

    Diterima : 20 Agustus 2023

    Terbit : 31 Agustus 2023

    Keywords :

    Principles of Derogation, Disharmonization, Traditional Cultural Expressions, Defensive Protection.


    Kata kunci:

    Asas Derogasi, Disharmonisasi, Ekspresi Budaya Tradisional, Perlindungan Defensif


Abstract

Disharmonization of regulations in the positive legal system in Indonesia often occurs in various types of regulations. One of the disharmonizations is regulations that regulate the inventory of traditional cultural expressions that aim to protect traditional cultural expressions against acts of misuse, deception, fraud, or false statements (misinterpretation), and theft or piracy (misappropriation). Inventory has a vital role as a basis for carrying out defensive protection of traditional cultural expressions. Therefore, the legal basis for an inventory of traditional cultural expressions must be clear, not disharmony. This research answers questions as to why disharmony occurs between various regulations regulating the inventory of traditional cultural expressions and how the use of the principle of derogation can resolve disharmony between regulations. Normative legal studies are the research method used in this research. The research found the disharmonization of traditional cultural expressions happened because several regulations regulate the same object, namely traditional cultural expressions, and deal with the same thing, namely inventory for defensive protection, but differently. The disharmony began from the different institutions at the central government level and the procedures for submitting data, databases, and materials. The derogation principle helps resolve the disharmony of regulations, which overrule the enforceability of regulation. In this case, the lex posterior derogate legi priori principle is used to fix the problem of disharmony in the inventory of traditional cultural expressions.

Abstrak

Disharmonisasi regulasi pada sistem hukum positif di Indonesia terjadi pada berbagai macam aturan-aturan hukum. Salah satu disharmonisasi terjadi pada peraturan tentang inventarisasi ekspresi budaya tradisional yang bertujuan untuk memberikan perlindungan defensif bagi ekspresi budaya tradisional terhadap tindakan penyalahgunaan (misuse), pengelabuan, penipuan, atau pernyataan yang salah (misinterpratation), dan pencurian atau

Corresponding Author: Raden Mas Gatot Prasetyo Soemartono, Email: gatots@fh.untar.ac.id

DOI :

10.24843/KP.2023.v45.i02.p05


pembajakan (misappropriation). Inventarisasi memiliki peranan yang penting sebagai dasar dalam melaksanakan perlindungan defensif atas ekspresi budaya tradisional. Dengan demikian dasar hukum inventarisasi ekspresi budaya tradisional harus jelas dan tidak mengalami disharmonis. Penelitian ini menguraikan mengapa terjadi disharmonisasi antar berbagai regulasi yang mengatur inventarisasi ekspresi budaya tradisional dan penggunaan asas derogasi dalam menyelesaikan disharmonisasi antar regulasi. Metode yuridis normatif digunakan sebagai metode dalam penelitian ini. Hasil Penelitian menunjukan disharmonisasi ekspresi budaya tradisional terjadi karena adanya beberapa regulasi yang mengatur objek yang sama yakni ekspresi budaya tradisional, mengenai hal yang sama yakni inventarisasi untuk perlindungan defensif, namun dengan cara yang berbeda. Cara yang berbeda tersebut dapat dilihat dari perbedaan penyelenggara dalam tataran pemerintah pusat, tata cara penyerahan data, basis data, prosedur, dan materi inventarisasi yang berbeda antara tiap peraturan yang mengatur perihal inventarisasi ekspresi budaya tradisional. Asas derogasi bermanfaat dalam penyelesaian disharmonisasi peraturan perundang-undangan untuk mengesampingkan keberlakuan suatu peraturan, sedangkan asas lex posterior derogat legi priori digunakan untuk menyelesaikan masalah disharmonisasi inventarisasi ekspresi budaya tradisional.

  • 1.    Pendahuluan

Disharmonisasi peraturan adalah permasalahan yang kerap terjadi sebagai risiko dari negara hukum akibat dari banyaknya peraturan dan dikenal sebagai hyper regulations/obesitas hukum.1 Hal ini terjadi pada berbagai negara hukum di dunia, termasuk Indonesia. Disharmonisasi tersebut terjadi pada berbagai hal yang diatur dalam berbagai macam regulasi. Salah satunya yakni disharmonisasi antara berbagai peraturan yang mengatur tentang inventarisasi ekspresi budaya tradisional.

Ekspresi budaya tradisional merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. Ekspresi budaya tradisional memiliki definisi yakni “seluruh perwujudan buah pikir baik berupa fisik maupun non fisik, atau perpaduan keduanya yang menampilkan eksistensi budaya tradisi yang diemban secara publik dan lintas keturunan”.2 Adapun bentuk ekspresi budaya tradisional yang disebutkan di dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Data Kekayaan Intelektual Komunal (Permenkumham No. 13/2017) meliputi: “lanskap, arsitektur, upacara adat, senirupa, teater, gerak, musik, verbal tekstual, dan/atau wujud lainnya sesuai perkembangan”.

Banyak ekspresi budaya tradisional Indonesia yang mendapatkan klaim/pengakuan dari negara lain sebagai ekspresi budaya tradisional milik negara tersebut. Kasus-kasus klaim atas ekspresi budaya tradisional tersebut antara lain: 1) Klaim lagu “Rasa Sayange” oleh pemerintah Malaysia sebagai lagu milik Malaysia dan dipergunakan sebagai musik latar iklan pariwisatanya;3 2) Pengklaiman tari Reog, tari Pendet, dan alat musik angklung sebagai warisan budaya Negara Malaysia; 3) Pengklaiman 1800 motif kerajinan perak Bali oleh pihak asing;4 dan kasus-kasus klaim lainnya yang dilakukan oleh pihak asing. Pengklaiman ekspresi budaya tradisional Indonesia oleh pihak asing tersebut berpotensi merugikan masyarakat Indonesia.

Salah satu perlindungan yang diberlakukan untuk melindungi ekspresi budaya tradisional adalah perlindungan defensif. Perlindungan defensif merupakan perlindungan yang diaplikasikan guna mempertahankan hak masyarakat pengemban ekspresi budaya tradisional dari penggunaan yang tidak patut (misuse), penyaruan, penipuan, pernyataan yang tidak benar (misinterpratation), dan pencurian atau pembajakan (misappropriation).5 Terdapat dua aspek dalam perlindungan secara defensif, aspek tersebut yaitu:6 a) Legal Aspect: Aspek ini akan memberi kepastian hukum terkait prior art (dokumen pembanding) bagi ekspresi budaya tradisional; dan b) Practice Aspect: Aspek ini akan memberi kepastian mengenai ketersediaan dan keterbukaan suatu data ekspresi budaya tradisional bagi pihak-pihak yang ingin melindungi ekspresi budaya tradisional untuk menggunakan dokumentasi tersebut. Menurut Rohaini, berbagai macam bentuk perlindungan defensif pada umumnya dikembangkan di berbagai negara seperti di Cina, India, ataupun Korea Selatan dalam bentuk database yang berisi hasil inventarisasi ekspresi budaya tradisional.7 Kegunaan inventarisasi ekspresi budaya tradisional antara lain:8 a) Bukti untuk menyanggah klaim pihak asing atas kebudayaan Indonesia; b) Sebagai arsip pembanding (prior art) dalam memberikan hak kekayaan intelektual; c) Mencegah penyalahgunaan ekspresi budaya tradisional yang bertentangan dengan hukum; dan d) Sebagai tahapan awal dalam melindungi kebudayaan dan dapat menjadi dasar dalam melakukan bagi hasil dengan pihak asing yang memanfaatkan ekspresi budaya tersebut.

Konstitusi Indonesia telah memberikan dasar bagi undang-undang untuk menjamin hak tiap orang agar mendapat manfaat dari seni dan budayanya serta melakukan pemajuan terhadap budaya Indonesia melalui penjaminan terhadap kebebasan masyarakat untuk merawat dan memajukan nilai-nilai kebudayaannya. Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah dasar dari lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC). Sementara itu, Pasal 32 UUD 1945 menjadi dasar dari lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UUPK). Namun terjadi disharmonisasi antar UUHC dan UUPK terkait dengan dasar hukum inventarisasi ekspresi budaya tradisional yang berakibat pada timbulnya ketidakpastian hukum.

Kata Disharmoni di dalam KBBI berarti kejanggalan dan atau ketidakselarasan.9 Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Disharmonis Peraturan Perundang-Undangan Melalui Mediasi (Permenkumham No. 2/2019), “Disharmonisasi merupakan tubrukan antar aturan hukum atau tubrukan kewenangan yang muncul karena diberlakukannya peraturan perundang-undangan”. Disharmonisasi/konflik norma terjadi bila ada beberapa aturan hukum yang saling berlawanan terhadap sebuah materi aturan yang sama, sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum.10

Dalam bukunya, Tata Wijayanta mengartikan kepastian hukum sebagai “jelasnya suatu peraturan sehingga dapat menjadi kaidah bagi masyarakat yang dikenakan peraturan tersebut”.11 Terdapat dua arti dari kepastian hukum, yaitu:12 1) Dapat ditentukannya hukum yang diterapkan/berlaku untuk isu-isu tertentu; 2) Sebagai perlindungan hukum agar setiap orang yang berperkara terhindar dari kesewenang-wenangan. Kepastian hukum peraturan perundang-undangan diciptakan dengan adanya konsistensi norma hukum perundang-undangan.13 Kepastian hukum adalah situasi dimana terdapat ketentuan-ketentuan yang jelas (jernih) dan konsisten.14 konsisten artinya tetap (tidak berubah-ubah), ajek, taat asas.15 Kepastian hukum mensyaratkan adanya ketentuan yang ajek, tetap, taat asas, dan tidak berubah-ubah.

Sebaliknya ketidakpastian hukum timbul karena perbedaan atau pertentangan di antara berbagai peraturan baik dalam derajat yang sama ataupun dalam derajat yang berbeda.16 Ketidakpastian hukum juga timbul lantaran rumusan yang tidak jelas sehingga sangat mempengaruhi kepastian hukum itu sendiri”.17 Bila ketentuan hukum tersebut tidak tetap (berubah-ubah) dan tidak ajek, ketentuan tersebut tidak memiliki kepastian hukum.

Pasal 6 ayat 1 huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12/2011) menentukan bahwa tiap muatan regulasi harus didasarkan pada asas ketertiban dan kepastian hukum. Menurut penjelasan pasal tersebut asas kepastian hukum bermakna bahwa “tiap-tiap materi regulasi hukum harus mewujudkan ketertiban masyarakat”. Dengan adanya ketentuan tersebut, terjadi ketimpangan terkait dengan apa yang seharusnya terjadi menurut UU No. 12/2011 dengan apa yang senyatanya terjadi yakni disharmonisasi antara UUHC dan UUPK beserta aturan-aturan pelaksananya.

Atas dasar latar belakang tersebut, penelitian ini untuk menjawab permasalahan sebagai berikut: Mengapa terjadi disharmonisasi antara inventarisasi dalam UUHC dan UUPK? dan Bagaimana penggunaan asas derogasi dalam penyelesaian disharmonisasi inventarisasi ekspresi budaya tradisional?

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sebab disharmonisasi antara inventarisasi ekspresi budaya tradisional dalam UUHC dan UUPK serta mengetahui penggunaan asas derogasi dalam penyelesaian disharmonisasi inventarisasi ekspresi budaya tradisional. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui hukum manakah yang dilaksanakan ketika terdapat dua perangkat aturan yang saling tumpang tindih.

Penelitian tentang asas derogasi sebelumnya telah dilakukan oleh Nurfaqih Irfani (2020) yang termuat dalam artikelnya yang berjudul “Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, dan Penggunaannya” yang menguraikan mengenai cara penggunaan asas derogasi secara umum.18 Perbedaan tulisan yang dibuat oleh Nurfaqih Irfani dengan artikel ini adalah, artikel ini menggunakan asas derogasi secara khusus, yaitu untuk menyelesaikan disharmonisasi inventarisasi ekspresi budaya tradisional antara UUHC dan UUPK beserta aturan-aturan pelaksananya. Sejauh ini, tidak ditemukan adanya penelitian tentang penggunaan asas derogasi yang memfokuskan pada disharmonisasi dalam inventarisasi ekspresi budaya tradisional. Penelitian inventarisasi ekspresi budaya tradisional sebelumnya lebih ditekankan pada pengaturan dan pelaksanaannya di lapangan dan bagaimana konsep perlindungan defensif ekspresi budaya tradisional, tetapi tidak memperbandingkan pengaturannya dalam UUHC dan UUPK sebagai suatu yang disharmonis sebagaimana artikel ini.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini berjenis normatif. Penelitian normatif dilakukan untuk menjawab isu dengan menemukan regulasi, prinsip-prinsip, serta doktrin hukum.19 Penelitian ini menguraikan sinkronisasi hukum untuk memeriksa keselarasan peraturan perundang-undangan supaya tidak berlawanan dengan tingkatan peraturan perundang-undangan lainnya.20

Preskriptif merupakan sifat dari penelitian ini yang memiliki tujuan untuk menjabarkan pertimbangan terhadap hasil penelitian yang dikerjakan. Pertimbangan tersebut dijabarkan dengan menguraikan apa yang seharusnya atau seyogyanya terjadi menurut hukum atas peristiwa hukum yang dikaji.21

Data yang dipakai merupakan data sekunder. Dikarenakan penelitian ini berjenis normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka.22 Selain itu, wawancara juga menjadi teknik pengumpulan data dari penelitian ini.Teknik analisis kualitatif merupakan teknik analisis data dari penelitian ini. Analisis kualitatif mendeskripsikan data dalam bentuk kata secara tulisan dan digunakan dalam melakukan interpretasi hasil penelitian.23 Angka tidak digunakan dalam analisis kualitatif, melainkan menggunakan kata-kata dalam menggambarkan (mendeskripsikan) temuan-temuan, dan karena hal tersebut mutu/atau kualitas data lebih diutamakan dibandingkan angka-angka yang bersifat kuantitatif.24

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Penyebab Disharmonisasi Inventarisasi Ekspresi Budaya Tradisional

Suatu peraturan dikatakan tidak harmonis apabila di antara peraturan-peraturan itu mengatur hal yang sama tetapi secara berbeda, atau mengatur hal yang sama tidak sejalan, atau mengatur hal yang sama saling bertentangan.25 Dalam bukunya yang berjudul “Allgemeine der Normen”, Hans Kelsen menjelaskan bahwa “disharmonisasi peraturan terjadi bila yang ditentukan dalam satu aturan dengan yang ditentukan oleh aturan lain tidak kompatibel, akibatnya menjalankan salah-satunya niscaya/mungkin melanggar aturan lainnya”.26 Selanjutnya Nurfaqih Irfani menentukan bahwa “disharmonisasi peraturan terjadi bila terhadap satu objek yang sama memiliki dua aturan yang saling bersilangan sehingga atas satu objek tersebut hanya dikenakan salah satu aturan saja yang berakibat pada dikesampingkannya aturan yang

lain”.27Disharmonisasi peraturan juga dikenal dengan istilah tumpang tindih peraturan, yakni keadaan ketika suatu perihal aturan diatur dalam beberapa aturan yang tidak sama.28 Sebisa mungkin hal tersebut harus dihindari. Aturan yang tumpang tindih adalah suatu yang sia-sia karena tidak merubah keberlakuan peraturan yang telah ada sehingga dapat menimbulkan perbedaan tafsir ketika melaksanakannya.29

Kemungkinan-kemungkinan yang dapat menjadi penyebab disharmonisasi antara lain:30

  • 1.    Secara Vertikal

Yakni bila terdapat format peraturan yang tidak konsisten, terjadi bila suatu regulasi bertentangan dengan regulasi yang tingkatnya berada di atasnya, contohnya perda kabupaten yang disharmoni dengan peraturan pemerintah.

  • 2.    Secara Horizontal

  • a.    Terdapat waktu yang tidak konsisten, terjadi bila terdapat peraturan-peraturan yang sederajat namun yang satu lebih dahulu berlaku dibandingkan yang lain.

  • b.    Terdapat materi antar peraturan yang tidak konsisten, terjadi ketika ada peraturan-peraturan yang sederajat namun isi aturan satu bersifat lebih umum dibandingkan yang lain.

  • c.    Terdapat materi yang tidak konsisten dalam satu regulasi yang sama, misalnya pertentangan yang terjadi antara pasal 1 dengan pasal 14 dalam satu aturan yang sama.

  • 3.    Antar sumber formal hukum memiliki ketentuan yang berbeda satu sama lain seperti perbedaan antara kebiasaan, undang-undang, dan putusan hakim.

Disharmoni peraturan perundang-undangan dapat berakibat pada berbagai hal antara lain:31

  • 1.    Penafsiran yang berbeda ketika melaksanakan peraturan perundang-undangan;

  • 2.    Timbulnya hukum yang tidak pasti;

  • 3.    Tidak terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan; dan

  • 4.    Tidak berfungsinya hukum sebagai pedoman tingkah laku, pengendali sosial, penuntas perselisihan, dan sarana untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan.

Perbedaan ketentuan mengenai inventarisasi ekspresi budaya tradisional terjadi di antara UUHC dan UUPK beserta peraturan pelaksananya. Permenkumham No. 13/2017 merupakan peraturan untuk melaksanakan UUHC yang mana hal tersebut dapat dilihat dari angka 3 dasar hukum Permenkumham No. 13/2017. Sementara Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2021 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan (PP

No. 87/2021) merupakan peraturan pelaksana UUPK sebagaimana tertera pada judul, konsiderans, dan dasar hukum PP No. 87/2021 tersebut.

Menurut Pasal 4 Permenkumham No. 13/2017 ekspresi budaya tradisional terdiri atas “lanskap, arsitektur, upacara adat, seni rupa, teater, gerak, musik, verbal tekstual, dan bentuk ekspresi lainnya sesuai perkembangan”. Sementara dalam Pasal 5 UUPK, objek pemajuan kebudayaan terdiri atas “ritus, olahraga tradisional, tradisi lisan, bahasa, adat istiadat, teknologi tradisional, seni, pengetahuan tradisional, permainan rakyat dan manuskrip ”. Dari ketentuan tersebut, terdapat kesamaan objek antara UUHC dan UUPK. Sekalipun dalam UUPK tidak tertulis frasa ekspresi budaya tradisional, ekspresi kebudayaan yang bersifat tradisi juga termasuk dalam objek yang diatur UUPK, sebab UUPK tidak memberikan batasan apakah objek pemajuan tersebut hanya bersifat tradisional atau tidak.

UUHC dan UUPK juga mengatur mengenai hal yang sama yakni inventarisasi ekspresi budaya tradisional. Perihal ini terlihat pada Pasal 38 ayat 2 UUHC dan Pasal 16 hingga Pasal 21 UUPK. Pada peraturan pelaksananya, inventarisasi tersebut digunakan untuk tujuan yang sama yakni memberikan perlindungan defensif atas ekspresi budaya tradisional. Hal ini terdapat dalam Pasal 34 Jo. Pasal 32 ayat 2 PP No. 87/2021 dan Lampiran Permenkumham No. 13/2017 halaman 15 (yang pada perkembangan terbarunya juga diatur dalam Pasal 27 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal).

Namun penyelenggara inventarisasi tersebut dilakukan oleh menteri/kementerian yang berbeda. Pihak penyelenggara inventarisasi ekspresi budaya tradisional menurut UUHC adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham). Sementara penyelenggara inventarisasi objek pemajuan kebudayaan menurut UUPK ialah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek). Adanya kewenangan tersebut dapat diketahui dari dasar hukum tiap undang-undang, lingkup kewenangan kementerian negara, dan pasal-pasal yang terdapat dalam UUHC maupun UUPK itu sendiri.

Terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam menginventarisasi ekspresi budaya tradisional berakibat pada berbedanya tata cara penyerahan data penginventarisasian ekspresi budaya tradisional pada tiap kementerian. Dalam wilayah kerja Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), tata cara penyerahan data inventarisasi ekspresi budaya tradisional adalah sebagai berikut:32 “1) Pemohon datang ke Kanwil Kemenkumham dengan membawah dokumen pendaftaran yang terdiri atas formulir inventarisasi ekspresi budaya tradisional dan dokumen pendukung berupa surat pernyataan mengenai ekspresi budaya tradisional dari instansi atau lembaga terkait; 2) Pemohon ke petugas loket untuk menyerahkan berkas pendaftaran; 3) Petugas memeriksa kelengkapan berkas permohonan pendaftaran; 4) Petugas memberikan voucher pembayaran PNBP; 5) Petugas menginput permohonan melalui e-filing Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal (PDNKIK); 6) Petugas mencetak bukti

tanda terima pendaftaran; 7) Ditindaklanjuti oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual sampai dengan keluarnya sertifikat”.

Sementara dalam wilayah kerja Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), penyerahan data inventarisasi dapat dilakukan dengan cara: 1) Layanan meja bantuan, yakni mekanisme pengumpulan data yang dapat diakses oleh masyarakat secara luring dengan mendatangi maupun menghubungi secara langsung pusat pengumpulan data yang disediakan oleh dinas kebudayaan setempat;33 dan 2) Urun daya, yakni fitur pengumpulan data secara daring di wilayah kabupaten/kota yang dilakukan oleh masyarakat baik kelompok maupun individu secara mandiri melalui aplikasi Dapobud.34 Adapun cara melakukan urun daya yakni:35 “1) Kelompok atau individu mempersiapkan identitas diri atau kelompok; 2) Kelompok atau individu melakukan registrasi akun melalui halaman Registrasi untuk mendapatkan akun SSO Dapobud; 3) Langkah-langkah pendaftaran akun SSO Dapobud terlampir dalam Panduan Aplikasi Dapobud; 4) Pendataan yang dilakukan melalui mekanisme urun daya akan masuk ke sistem sesuai dengan wilayah administrasi (kota/kabupaten/provinsi) dari pendaftar; 5) Data yang telah masuk ke sistem Dapobud dapat tertolak ataupun diterima oleh pemerintah daerah terkait”.

Basis data untuk melakukan inventarisasi ekspresi budaya tradisional dalam lingkungan Kemenkumham adalah PDN KIK sebagaimana diatur dalam Bab III Permenkumham No. 13/2017, sementara basis data untuk melakukan inventarisasi dalam lingkungan Kemendikbudristek adalah adalah Sitem Pendataan Kebudayaan Terpadu (SPKT) sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUPK dan Bab III PP No. 87/2021. Baik SPKT maupun PDN KIK keduanya digunakan dalam perlindungan defensif atas eskpresi budaya tradisional. Penggunaan SPKT untuk perlindungan defensif diatur dalam Pasal 34 Jo. Pasal 32 ayat 2 PP No. 87/2021, sementara penggunaan PDN KIK untuk perlindungan defensif diatur dalam Lampiran Permenkumham No. 13/2017 halaman 15 (yang pada perkembangan terbarunya juga dimuat dalam Pasal 27 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal).

Prosedur inventarisasi dalam Pasal 7 ayat 4 Permenkumham No. 13/2017 dilakukan melalui: field research/Feasibility Study, pelengkapan administrasi, hasil inventarisasi, dan/atau pertukaran data. Namun pada perkembangan terbarunya inventarisasi ekspresi budaya tradisional dilakukan hanya dengan pencatatan dan integrasi data36 Sementara itu, prosedur inventarisasi pada Pasal 16 ayat 1 UUPK dilakukan melalui tahapan: pencatatan dan pendokumentasian, penetapan dan pemuktakhiran data. Menurut Pasal 18 UUPK, pencatatan dan pendokumentasian merupakan “upaya memahami kondisi wujud, kegunaan sosial, nilai intrinsik, dan/atau nilai ekstrinsik objek pemajuan kebudayaan”. Setelah dilakukan pencatatan dan pendokumentasian,

menteri melakukan penetapan dengan terlebih dahulu melakukan verifikasi dan validasi untuk mengevaluasi dan menguji kebenaran hasil pencatatan dan pendokumentasian seperti yang diatur dalam Pasal24 dan Pasal25 PP No. 87/2021. Pemutakhiran diperlakukan untuk memperbaiki dan memperbaharui data objek pemajuan kebudayaan, di mana proses verifikasi, validasi, dan penetapan seperti yang dilakukan ketika tahap penetapan berlaku secara mutatis mutandis terhadap proses pemutakhiran data. Pemutakhiran dilakukan sekali dalam setiap tahun atau dapat dilakukan kapanpun dikehendaki. Ketentuan mengenai pemutakhiran terdapat dalam Pasal 27 hingga Pasal 30 PP No. 87/2021.

Terkait dengan materi inventarisasi ekspresi budaya tradisional, Pasal 9 Jo. Pasal 15 ayat 1 Permenkumham No. 13/2017 menyatakan bawa “materi inventarisasi ekspresi budaya tradisional minimal meliputi nama, kustodian, bentuk, klasifikasi, wilayah/lokasi, deskripsi, dokumentasi, dan data dukung lainnya”. Lebih lanjut dalam lampiran Permenkumham No. 13/2017 mengenai formulir inventarisasi ekspresi budaya tradisional, hal yang diinventarisasi meliputi nama kanwil, nomor pencatatan, nama ekspresi budaya tradisional (EBT), nama alias EBT, kategori EBT, sub kategori EBT, klasifikasi EBT, persetujuan pencatatan EBT dari Kustodian berwenang, penjelasan atas klasifikasi EBT yang dilaporkan, nama orang yang melaporkan EBT, tempat dan tanggal pelaporan, nama Kustodian EBT, guru budaya/maestro, lokasi EBT, uraian/deskripsi/sejarah singkat terkini EBT yang dilaporkan, kondisi terkini EBT, upaya pelestarian/promosi EBT sejauh ini, dokumentasi, dan referensi.

Sementara terkait dengan materi inventarisasi objek pemajuan kebudayaan, Pasal 18 PP No. 87/2021 mengatur bahwa “materi inventarisasi terdiri atas ciri fisik; fungsi sosial; nilai intrinsik; dan/atau nilai ekstrinsik”. Sampai saat ini masih belum terdapat uraian rinci mengenai materi yang diinventarisasi karena peraturan Mendikbudristek untuk melaksanakan Pasal 23 PP No. 87/2021 masih dalam proses pembentukan. Namun dalam “Buku Panduan Aplikasi Dapobud Website User Kabupaten”, sudah terdapat formulir inventarisasi objek pemajuan kebudayaan yang materi muatannya berbeda satu sama lain tergantung kategori objek pemajuan kebudayaan yang akan diinventarisiasi.. Sebagai contoh objek pemajuan kebudayaan jenis pakaian tradisional memiliki materi inventarisasi antara lain: etnis yang menggunakan pakaian tradisional, bahan yang digunakan, orang yang menggunakan, tempat penggunaan,waktu penggunaan, teknik pembuatan, deskripsi pakaian tradisional, lokasi sentra pembuatan pakaian tradisional, dan unggah multimedia (foto/gambar, dokumen kajian objek, link URL video, dan dokumen lainnya).37

Adanya disharmonisasi juga dapat menyebabkan dikesampingkannya PDNKIK dilihat dari ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 huruf c PP No. 87/2021. SPKT dapat mengenyampingkan PDNKIK karena Pasal 8 ayat 2 huruf c menghendaki SPKT sebagai basis data tunggal yang representatif dan terintegrasi. Tunggal memiliki arti satu-satunya/ bukan jamak.38 Representatif artinya tepat/cakap dalam mewakili/ sesuai

dengan fungsinya sebagai wakil.39 Terintegrasi artinya sudah/dapat digabungkan/disatukan.40 SPKT sebagai basis data tunggal yang representatif dan dapat diintegrasikan sebagaimana tertulis dalam Pasal 8 ayat 2 huruf c PP No. 87/2021 memiliki arti bahwa SPKT merupakan satu-satunya basis data yang tepat mewakili data kebudayaan. Berdasarkan Penjelasan PP No. 87/2021, SKPT menjadi penghubung pangkalan-pangkalan data kebudayaan, sehingga terwujud kompilasi data tentang kebudayaan yang dapat diintegrasikan.

Akibat dari disharmonisasi ini adalah tidak terciptanya efektivitas dan efisiensi ketika menjalankan peraturan perundang-undangan.41 Efektivitas berarti suatu keadaan dimana maksud yang dikehendaki dari suatu perbuatan tercapai. Efektivitas berarti tercapainya keberhasilan sesuai dengan tujuan yang sebelumnya ditetapkan.42 Hans Kelsen mengemukakan bahwa efektivitas hukum memiliki arti ketika orang-orang betul-betul melakukan apa yang dikehendaki oleh norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat.43Arti dari efisiensi yakni melakukan (menghasilkan) sesuatu tanpa menyia-nyiakan biaya, tenaga, dan waktu.44 Dalam konteks pekerjaan, efisiensi adalah pelaksanaan pekerjaan tertentu dengan tanpa mengurangi tujuannya menggunakan cara yang termudah, termurah, tersingkat, teringan, dan terpendek.45 Efisiensi berarti pencapaian yang maksimum dengan usaha yang minimum.46

Tidak efektifnya tujuan SPKT disebabkan karena belum tercapainya basis data tunggal yang representatif dan terintegrasi. Hal ini dikarenakan terdapat basis data lain yang memiliki representasi dan mengintegrasikan data dari berbagai sumber yaitu PDNKIK. PDNKIK mengintegrasikan data dari berbagai sumber seperti Kemendikbudristek, LIPI, dan BPOM.47 SPKT bukanlah satu-satunya basis data yang memiliki representasi dan mengintegrasikan berbagai data yang tersebar di berbagai pangkalan data. Hal ini karena PDNKIK juga memiliki representasi yang diperoleh dari UUHC dan aturan pelaksananya yakni Permenkumham No. 13/2017 dan mengintegrasikan data-data

yang terdapat di berbagai badan pemerintahan baik dari kementerian maupun non-kementerian ke dalam satu basis data.

Efisiensi dalam melakukan inventari ekspresi budaya tradisional belum tercipta dikarenakan adanya dua kelompok peraturan (UUHC dan UUPK beserta aturan-aturan pelaksananya) dan dua basis data yang digunakan untuk tujuan yang sama namun dengan upaya double. Agus Sardjono telah memperkirakan besarnya upaya dan biaya dalam melakukan inventarisasi ekspresi budaya tradisional. Menurutnya pembuatan basis data memerlukan biaya besar dan upaya yang sulit sebab luasnya wilayah dan beragamnya ekspresi budaya tradisional yang dimiliki Indonesia, dan dengan adanya basis data tersebut belum dapat menjamin feedback yang lebih menguntungkan secara ekonomis .48

Berdasarkan Pasal 5 huruf d UU No. 12/2011, salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah asas dapat dilaksanakan. Dalam Penjelasan Pasal 5 huruf d UU No. 12/2011 “asas dapat dilaksanakan mempunyai arti tiap pembentukan regulasi wajib mempertimbangkan efektifnya regulasi tersebut dalam masyarakat”. Secara yuridis sulit mewujudkan apa yang dikehendaki oleh Pasal 8 ayat 2 huruf c PP No. 87/2021 karena masih terdapat PDNKIK yang mendapatkan representasi dari UUHC dan Permenkumham No. 13/2017.

Pada tanggal 24 Agustus 2021 Pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan PP No. 87/2021 dimana sebelumnya pemerintah telah mengundangkan UUPK pada tanggal 29 Mei 2017 sebagai dasar hukum dari SPKT. Namun tanggal 23 November 2021, Kemenkumham meluncurkan pembaruan aplikasi PDNKIK di Hotel Sangri-La, Jakarta.49 Seharusnya pemerintah dapat mempertimbangkan tujuan dari SPKT yang tertulis dalam Pasal 8 ayat 2 PP No. 87/2021 yaitu mewujudkan sistem yang berisi data kebudayaan yang cermat, berdaya guna sesuai dengan tujuannya, efisien, dan mudah dijangkau untuk dipakai oleh pemerintah atau individu; dan mewujudkan satu-satunya database yang memiliki representasi dan terintegrasi sehingga Kemenkumham tidak perlu melakukan pembaharuan terhadap aplikasi PDNKIK dan memaksimalkan penggunaan SPKT.

Beberapa ketentuan hukum positif yang tidak kompatibel terhadap satu objek pengaturan yang sama tanpa adanya penegasan terkait dengan norma manakah yang semestinya diberlakukan akan memunculkan hukum yang tidak pasti.50 Ketidakpastian hukum bertentangan dengan Pasal 6 ayat 1 huruf i UU No. 12/2011 bahwa “setiap muatan regulasi hukum wajib merefleksikan asas kepastian hukum” yang menurut penjelasannya “arti dari asas ketertiban dan kepastian hukum yakni ketertiban dalam masyarakat harus dapat diwujudkan oleh tiap muatan peraturan hukum melalui jaminan kepastian hukum”.

Hasil wawancara dengan Rasji menunjukan disharmonisasi inventarisasi ekspresi budaya tradisional berakibat pada tidak terciptanya kepastian hukum. Hal ini dikarenakan potensi timbulnya keraguan orang-orang mengenai data mana yang sah untuk dipakai dan data mana yang benar. Selain itu hakim bisa berbeda pendapat sehingga bisa menggunakan hukum yang berbeda yang mana itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Disharmonisasi menimbulkan ketidakpastian hukum karena orang tidak menggunakan satu hukum yang bisa dirujuk bersama sebab orang bisa menggunakan hukum yang berbeda. Selain itu disharmonisasi dapat merugikan hak hukum masyarakat karena adanya potensi dimana ketika terjadi sengketa ada dua dasar hukum yang berakibat penyangkalan satu terhadap yang lainnya. Hakim juga bisa berbeda pendapat sehingga hak hukum masyarakat dapat dirugikan.51

Disharmonisasi/tumpang tindih antara dua kelompok regulasi yakni antara UUHC dan UUPK beserta aturan turunannya terlihat dari perbedaan ketentuan mengenai pelaksana, tata cara penyerahan data, basis data, prosedur, dan materi yang dicatatkan sehingga terdapat inkonsistensi dalam pengaturan inventarisasi ekspresi budaya tradisional untuk perlindungan defensif. Disharmonisasi berakibat pada ketidakpastian hukum di tengah masyarakat terkait peraturan manakah yang harus diterapkan ketika hendak melakukan inventarisasi ekspresi budaya tradisional guna perlindungan defensif. Perbedaan ketentuan dalam menginventarisasi ekspresi budaya tradisional dapat berdampak lebih lanjut terhadap penegakkan hukum terkait dengan inventarisasi manakah yang aan digunakan dalam perlindungan defensif.

  • 3.2 Penggunaan Asas Derogasi Dalam Penyelesaian Disharmonisasi Inventarisasi Ekspresi Budaya Tradisional

Dalam hal terjadi pertentangan di antara beberapa aturan hukum positif, asas hukum sering digunakan karena berfungsi dalam menyelesaikan konflik tersebut. Contohnya ada beberapa regulasi yang kesemuanya tengah berlaku terhadap satu hal. Bila terjadi konflik di antara peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum akan berperan sesuai dengan peruntukannya untuk memberi kepastian terkait aturan manakah yang harus digunakan sebagai rujukan. Hal tersebut merupakan sebab disebutnya asas hukum sebagai pengobatan hukum (legal remedies).52

Menurut Hans Kelsen, dalam praktik berhukum konflik aturan adalah sesuatu yang riil dan hanya dapat diatasi melalui “derogation” terhadap aturan-aturan yang saling tidak berkesesuaian tersebut.53 Dalam konteks hukum, derogare berarti “menghilangkan nilai/keberlakuan/keefektifan dari…”.54 Terkait dengan disharmonisasi peraturan perundang-undangan, derogasi berarti peniadaan validitas suatu peraturan terhadap peraturan lainnya.55 Derogasi memiliki fungsi yang amat penting guna menentukan

aturan yang wajib diprioritaskan/diberlakukan bila ada aturan yang saling bersilangan dalam hukum positif.56

Asas derogasi berguna sebagai landasan dalam mengutamakan suatu ketentuan hukum terhadap ketentuan hukum lainnya berdasarkan 3 parameter yakni: hirarki, kronologi, dan kekhususan.57 Adapun asas-asas derogasi peraturan perundang-undangan yang dapat menjawab permasalahan disharmonisasi antara lain:

  • 1.    Asas lex superior derogat legi inferiori

Makna asas ini adalah “aturan hukum yang bertingkat lebih rendah dikesampingkan/dikalahkan oleh aturan hukum yang tingkatnya lebih tinggi”, kecuali bila materi aturan hukum yang lebih tinggi menentukan kepada aturan hukum yang lebih rendah mengenai hal-hal yang menjadi wewenangnya.58

  • 2.    Asas lex specialis derogat legi generalis

Maknanya adalah “aturan hukum yang bersifat umum dikesampingkan oleh aturan hukum yang memiliki sifat lebih khusus". Ketentuan yang wajib dipertimbangkan dalam penggunaan asas ini adalah:59

  • a.    Ketentuan yang sifatnya umum tetap berlaku, kecuali bila ada ketentuan yang sifatnya khusus yang diatur dalam regulasi yang bersifat khusus tersebut.

  • b.    Ketentuan-ketentuan tersebut harus sederajat, contohnya peraturan pemerintah dengan peraturan pemerintah.Aturan-aturan tersebut wajib berada pada rezim hukum yang sama, contohnya KUHD dan KUH Perdata yang keduanya berada dalam lingkup hukum perdata.

  • 3.    Asas lex posterior derogat legi priori

Asas ini memiliki makna bahwa “aturan hukum yang lama akan dikesampingkan/ atau ditiadakan oleh aturan hukum yang baru”. Asas lex posterior derogat legi priori memberi kewajiban bagi hukum untuk menggunakan hukum yang baru. Maksud asas ini adalah mencegah ketidakpastian hukum karena dualisme aturan hukum. Dengan keberadaan asas ini pencabutan aturan-aturan hukum menjadi tidak begitu urgent sebab “berdasarkan asas tersebut aturan hukum serupa yang lama tidak berlaku lagi semenjak pemberlakuan aturan hukum yang baru”.60 Ketentuan pengunaan asas ini adalah:61

  • a.    regulasi yang lama wajib sederajat/lebih rendah dari regulasi yang baru.

  • b.    Harus ada kesamaan aspek di antara regulasi tersebut.

Penggunaan asas Derogasi peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan secara teratur dan runut. Adapun tata urutan yang harus dilaksanakan ketika menggunakan asas derogasi peraturan perundang-undangan secara berurutan yakni:

  • 1.    Lex Superior wajib mendasari pertimbangan paling utama dalam menentukan validitas suatu aturan.

  • 2.    Bila aturan-aturan yang berkonflik ada dalam derajat yang sama, lex specialis harus didahulukan ketimbang lex posterior.

Kasus disharmonisasi/konflik norma seringkali membuat orang-orang berada dalam kondisi sulit terutama dalam menentukan hukum mana yang berlaku. Asas Derogasi menjadi alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah disharmonisasi tersebut.62 Asas lex superior, lex specialis, dan lex posterior sebagai asas/doktrin dalam ilmu hukum dikembangkan oleh para ahli dengan fungsi untuk menghilangkan kontradiksi di antar aturan-aturan hukum positif, sehingga sistem hukum dapat menjadi tatanan yang teratur dan selaras.63

Lex Superior wajib mendasari pertimbangan terutama ketika menentukan validitas aturan. Pentingnya asas tersebut untuk menciptakan hukum yang berkepastian dalam suatu hierarki peraturan perundang-undangan dilandasi oleh ketentuan di mana suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang kedudukannya berada di atas peraturan tersebut.64 Jika terjadi disharmonis maka yang harus dilihat terlebih dahulu adalah lex superior-nya.

Dasar hukum UUHC adalah Pasal 28C ayat 1 UUD 1945, sementara dasar hukum UUPK adalah Pasal 32 UUD 1945. Sekalipun Pasal 28C ayat 1 dan Pasal 32 UUD 1945 merupakan pasal yang bersinggungan dengan kebudayaan, keduanya adalah pasal harmonis. Pasal 28C ayat 1 UUD 1945 merupakan jaminan konstitusi terhadap hak asasi setiap orang agar mendapat perolehan manfaat dari seni dan budayanya untuk memunculkan peningkatan dalam kualitas hidupnya, sementara Pasal 32 UUD 1945 mewajibkan negara untuk melakukan pemajuan terhadap budaya Indonesia di antara peradaban global melalui penjaminan terhadap kebebasan masyarakat untuk merawat dan memajukan nilai-nilai kebudayaannya. Dengan demikian hubungan di antara kedua pasal tersebut adalah masyarakat berhak meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya dengan mendapatkan manfaat dari seni dan budaya, untuk menjamin hak itu negara melakukan pemajuan kebudayaan dengan memberi jaminan kepada masyarakat atas kebebasan untuk merawat dan memajukan nilai-nilai budayanya. Terwujudnya Pasal 28C ayat 1 UUD 1945 diupayakan oleh Pasal 32 UUD 1945.

Menurut Pasal 1 ayat 3 UUD 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Terdapat 3 ciri negara hukum antara lain: 1) Tidak diperkenankan perbuatan yang sewenang-wenangan, seseorang hanya dapat dihukum bila ia melanggar hukum (supremasi hukum); 2) Apakah itu rakyat biasa maupun pejabat, semuanya berkedudukan sama di muka hukum (equality before the law); dan 3) Undang-undang dan keputusan pengadilan menjamin hak asasi manusia.65 Berdasarkan Pasal 6 ayat 1 huruf b UU No. 12/2011 “asas

kemanusiaan harus tercermin dalam tiap muatan regulasi hukum” dan menurut penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf b UU No. 12/2011 yang dimaksud sebagai asas kemanusiaan adalah “tiap aturan hukum wajib mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara sepadan”. Dengan demikian dapat diketahui bahwa setiap undang-undang pada dasarnya diundangkan untuk menjamin hak asasi manusia.

Sebaiknya tiap undang-undang yang mengatur tentang kebudayaan tidak memisahkan Pasal 28C ayat 1 dengan Pasal 32 UUD 1945 karena perbedaan sektor antara “Hak Asasi Manusia” dan “Pendidikan dan kebudayaan” yang diperlihatkan dari pemisahan bab antara Pasal Pasal 28C ayat 1 (Bab XA) dan Pasal 32 UUD 1945 (Bab XIII). Kedua ketentuan tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Pendekatan sektoral yang dominan dapat menyebabkan disharmonisasi.66

Disharmonisasi dimulai antara UUHC dan UUPK dan selanjutnya berdampak pada aturan turunannya yakni PP No. 87/2021 dan Permenkumham No. 13/2017. Hal ini disebabkan karena kesamaan objek yakni ekspresi budaya tradisional dan inventarisasi, tetapi diatur secara berbeda karena perbedaan menteri yang melaksanakan kewenangan. Akibatnya PP No. 87/2021 sebagai aturan pelaksana UUPK dan Permenkumham No. 13/2017 sebagai aturan pelaksana UUHC menggunakan mekanisme inventarisasi ekspresi budaya tradisional yang berbeda. Perbedaan kementerian juga berdampak pada perbedaan tata cara penyerahan data inventarisasi yang dapat menimbulkan kebingungan masyarakat yang hendak menyerahkan data yang telah mereka inventarisasi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa disharmonisasi berasal dari UUHC dan UUPK dimana kedua peraturan tersebut berada pada tingkat yang sama yakni undang-undang.

Apabila kedua peraturan yang mengalami disharmonis berada pada tingkat yang sama maka terdapat dua cara yang harus digunakan secara berurutan. Cara pertama adalah menentukan hubungan antara lex specialis dan lex generali. Bila tidak ada hubungaan lex specialis dan lex generali, maka dapat menggunakan asas lex posterior derogat legi priori.

Menurut Bagir Manan lex specialis dan lex generali harus berada pada rezim hukum yang sama, contoh KUHPer (lex generali) dan KUHD (lex specialis) yang ada dalam rezim hukum perdata.67 UUHC dan UUPK berada dalam rezim hukum yang berbeda. UUHC merupakan bagian dari rezim hukum Hak Kekayaan Intelektual, sementara UUPK bukanlah bagian dari rezim hukum Hak Kekayaan Intelektual melainkan rezim hukum yang berdiri sendiri yang mengatur tentang pemajuan kebudayaan. Hasil wawancara dengan Suyud Margono menunjukan sekalipun UUHC dan UUPK melindungi objek yang sama, kedua undang-undang tersebut berada dalam rezim hukum yang berbeda. UUHC bertujuan untuk menegakkan hak moral dan ekonomi sesuai dengan konsep hak cipta, sementara UUPK bertujuan agar dapat meningkatkan dan mendongkrak upaya

pemajuan kebudayaan.68 Adanya perbedaan rezim hukum antara UUHC dan UUPK, asas lex specialis derogat legi generalis tidak dapat diterapkan.

Asas lex posterior derogat legi priori dapat diterapkan untuk memecahkan masalah disharmonisasi UUHC dan UUPK beserta aturan turunannya. Makna dari asas lex posterior derogat legi priori yakni aturan hukum yang lama akan dikesampingkan keberlakuannya oleh aturan hukum yang baru.69 Alasan logis dari ketentuan tersebut karena pernyataan kehendak terakhir-lah yang berlaku.70 Menurut Bagir Manan, ketentuan dalam pemakaian asas ini adalah sebagai berikut: a) Aturan yang lama harus setingkat atau berada dibawah tingkatan aturan yang baru; dan b) Harus ada kesamaan aspek antara aturan hukum yang baru dan aturan hukum yang lama.71

Penggunaan asas lex posterior derogat legi priori wajib memperhatikan kronologi diundangkannya peraturan yang mengalami disharmoni. Kronologi berpengaruh dalam menetapkan ketentuan yang menjadi lex posterior dan ketentuan yang menjadi lex priori. Adapun kronologi dari diundangkannya UUHC dan UUPK beserta aturan pelaksananya yakni:

  • 1.    UUHC diundangkan tanggal 16 Oktober 2014;

  • 2.    UUPK diundangkan tanggal 29 Mei 2017;

  • 3.    Permenkumham No. 13/2017 diundangkan tanggal 14 Juli 2017;

  • 4.  PP No. 87/2021 diundangkan tanggal 24 Agustus 2021; dan

  • 5.  PP No. 56/2022 diundangkan tanggal 20 Desember 2022.

Dari kronologi di atas, dapat ditentukan bahwa lex posterior (hukum yang terbaru) adalah UUPK sementara lex priori (hukum yang lebih lama) adalah UUHC. Dengan demikian, berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori UUPK meniadakan keberlakuan UUHC. Hal yang sama juga berlaku antara PP No. 87/2021 dan Permenkumham No. 13/2017 dimana PP No. 87/2021 meniadakan keberlakuan Permenkumham No. 13/2017.

Selanjutnya, bagaimana keberlakuan PP No. 56/2022 terhadap PP No. 87/2021? Jika dilihat antara kedua peraturan pemerintah tersebut sebagai peraturan yang berdiri sendiri, maka PP No. 56/2022 akan meniadakan keberlakuan PP No. 87/2021. Namun demikian dasar hukum dari PP No. 56/2022 adalah UUHC, sedangkan dasar hukum PP No. 87/2021 adalah UUPK. Berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori UUPK telah meniadakan keberlakuan UUHC dalam hal inventarisasi ekspresi budaya tradisional terhitung sejak diberlakukan dan diundangkannya pada tanggal 29 Mei 2017. Dengan demikian berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori PP No. 56/2022 sebagai peraturan turunan UUHC juga telah ditiadakan keberlakuannya oleh UUPK. Seharusnya pembuat peraturan perundang-undangan mempertimbangkan diundangkannya PP No. 56/2022 karena hal tersebut tidak diperlukan.

Dengan asas lex posterior derogat legi priori, isu kepastian hukum inventarisasi sebagai perlindungan defensif ekspresi budaya tradisional telah terjawab. Masyarakat dapat menggunakan UUPK beserta PP No. 87/2021 dalam melaksanakan inventarisasi.

Masyarakat dapat menggunakan tata cara penyerahan data hasil inventarisasi ekspresi budaya tradisional menggunakan cara yang ditentukan oleh Kemendikbudristek.

  • 4. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan mengenai penyebab disharmoni dan penggunaan asas derogasi untuk mengatasinya dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, disharmonisasi dalam UUHC dan UUPK terjadi karena kedua undang-undang tersebut beserta aturan pelaksananya mengatur tentang objek yang sama, yaitu ekspresi budaya tradisional dan inventarisasinya, tetapi dengan cara yang berbeda, yaitu berbeda penyelenggara (kementerian), tata cara penyerahan data, basis data, prosedur inventarisasi, dan materi inventarisasinya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta tidak efektifnya dan inefisiensinya peraturan perundang-undangan.

Kedua, asas derogasi dapat menyelesaikan disharmonisasi inventarisasi ekspresi budaya tradisional dengan asas derogasi lex superior sebagai pertimbangan paling utama diikuti asas derogasi lex specialis, dan asas lex posterior derogat legi priori sebagai penentu dengan cara UUPK sebagai undang-undang terbaru meniadakan keberlakuan UUHC dan peraturan pelaksanaannya yang mengatur hal yang sama.

Daftar Referensi

Buku

Dewata, M.F.N. & Achmad, Y. (2013). Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sidik, S.H. dan Nurbaini, E.S. (2013). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ismail,N. (2007). Perkembangan Hukum Pertanahan: Pendekatan Ekonomi-Politik (Perubahan Pilihan Kepentingan, Nilai Sosial, dan Kelompok Diuntungkan. Jakarta: Kerjasama Huma dan Magister Hukum UGM.

Kusumaatmadja, M. & Sidharta, A. (2013). Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

Manan, B. (2004). Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik). Yogyakarta: UII Press.

Marzuki, P.M. (2019). Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Muhaimin. (2020). Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press.

Sardjono, A. (2022). Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung: Alumni.

Sedarmayanti. (2018). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju.

Shidarta. (2006). Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung: Revika Aditama.

Soekanto, S. & Mamudji, S. (2015). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Jurnal

Chandranegara, I.S. (2019). Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi.

Jurnal       Ius       Quia       Iustum,       26       (3),       435-457.

https://doi.org/10.20885/iustum.vol26.iss3.art1.

Hutabarat, S.M.D. (2015). Perkembangan dan Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Ditinjau Dari Perspektif Hak Kekayaan Intelektual. Jurnal Yuridis, 2(2), 202-2019. https://doi.org/10.35586/.v2i2.201.

Irfani, N. (2020). Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum. Jurnal           Legislasi           Indonesia,           16(3),           305-325.

https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/2098428.

Marina, L. & Sunarsi, D. (2019). Kepastian Hukum Perlindungan Kesenian Tradisional Sebagai Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Menunjang Kepariwisataan Indonesia.       Jurnal       Industri       Pariwisata,       2(1),       27-35.

https://doi.org/10.36441/pariwisata.v2i1.28.

Rohaini. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui Pengembangan Sui Generis Law. Jurnal Ilmu Hukum Fiat Justitia, 9(4), 428-449. https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v9no4.609.

Pramisuari A.A.S. & Purwani S.P.M.E. (2018). Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Bingkai Rezim Hak Cipta. Jurnal Ilmu Hukum Kertha Semaya, 7(1), 1-16. https://doi.org/10.24843/KM.2018.v07.i01.p04.

Siregar, N.F. (2018) Efektivitas Hukum. Al-Razi : Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kemasyarakatan,        18        (2),        1-16.        https://ejournal.stai-

br.ac.id/index.php/alrazi/article/view/23

Susetio, W. (2013). Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Agraria. Jurnal Lex Jurnalica, 10(3), 135-147. https://doi.org/10.47007/lj.v10i3.361.

Wijayanta, T. (2014). Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga. Jurnal Dinamika Hukum, 14(2), 216-226. http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2014.14.2.291.

Yuswanto, S. (2018). Efektivitas Ketentuan HKI Terdaftar Dalam Peraturan Pemertintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. Jurnal Legislasi Indonesia, 15(3), 129-143. http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=949794&val=14 663&title=EFEKTIVITAS%20KETENTUAN%20HKI%20TERDAFTAR%20DAL AM%20PERATURAN%20PEMERINTAH%20NOMOR%2042%20TAHUN%202 007%20TENTANG%20WARALABA.

Skripsi dan Tesis

Chandra, D.A. (2023). Kepastian Dasar Hukum Pemidanaan Pelaku Penimbun Obat COVID-19 Di Indonesia. Skripsi. Universitas Tarumanagara.

Suhartono. (2011). Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara (Solusi Penyerapan Anggaran Belanja Negara Yang Efisien, Efektif Dan Akuntabel). Tesis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Widiyana,A. (2016). Analisis Efektifitas dan Efisiensi Pelaksanaan Anggaran Belanja dalam Menilai Kinerja pada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Palembang. Skripsi. Universitas Muhammadiyah.

Online/World Wide Web:

Direktorat Jenderal Kebudayaan. Buku Panduan Aplikasi Dapobud Website User Kabupaten.                        Retrived                        from

https://drive.google.com/drive/folders/1bfhS54aIzFg3r9caXq9A6IUknyDx3F AV, diakses 19 Desember 2022.

________________.Draf    Petunjuk    Teknis    Data    Pokok    Kebudayaan PemerintahDaerahProvinsi/Kabupaten/Kota.         Retrived        from

file:///C:/Users/K%20Vincent/Downloads/DRAF%20JUKNIS%20DAPOBU D.pdf, (Diakses 19 Desember 2022) , diakses tanggal 19 Desember 2022.

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Kemenkumham Luncurkan Aplikasi Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal. Retrived from https://www.dgip.go.id/artikel/detail-artikel/kemenkumham-luncurkan-aplikasi-pusat-data-nasional-kekayaan-intelektual-komunal?kategori=, diakses tanggal 30 Januari 2023.

Mardatillah, Aida. “Kemenkumham Luncurkan Aplikasi Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual             Komunal”.             Retrived             from

https://www.hukumonline.com/berita/a/kemenkumham-luncurkan-aplikasi-pusat-data-nasional-kekayaan-intelektual-lt619e7752af403, diakses 30 Januari 2023.

Kantor Wilayah Kemenkumham Jakarta. Permohonan Pendaftaran Kekayaan Intelektual              Komunal.              Retrived              from

https://jakarta.kemenkumham.go.id/layanan-publik/pelayanan-hukum-dan-ham/layanan-kekayaan-intelektual/permohonan-pendaftaran-kekayaan-intelektual-komunal, diakses tanggal 19 Desember 2022.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Urun Daya. Retrived from https://dapobud.kemdikbud.go.id/urun-daya, diakses tanggal 19 Desember 2022.

Mahendra,A.A.O. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan. Retrived from https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view =article&id=421:harmonisasi-peraturan-perundang-undangan&catid=100&Itemid=180, diakses 23 agustus 2022.

Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi. Modul Pendidikan Negara Hukum dan Demokrasi “Perkembangan dan Unsur-unsur Negara Hukum dan Demokrasi”. Retrived from  https://pusdik.mkri.id/uploadedfiles/materi/Materi_2.pdf,

diakses tanggal 19 April 2023.

World Intelectual Property Organization, Practical Mechanism for the Defensive Protection for the Traditional Knowledge and Genetic Resource. Retrived from https://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_grtkf_ic_5/wipo_grtkf_ic_5_6.pdf. (diakses 1 Juni 2023)

Shidarta & Lakonawa, P. Lex Specialis Derogat Legi Generali: Makna Dan Penggunaannya. Retrived from https://business-law.binus.ac.id/2018/03/03/lex-specialis--legi-generali/, (Diakses 19 April 2023).

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 2 Agustus 2023, h. 201-220