Vol. 45 No. 2, Agustus 2023

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika

E ISSN 2579 9487

P-ISSN 0215 899X


Perbandingan Konsep Recidive dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dengan Criminal Act of South Korea

Busthomi Arifin,1 Rayhan Afief Arfarizky,2 Rusmilawati Windari3

  • 1    Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura, E-mail: busthomiarifin@gmail.com

  • 2    Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura, E-mail: rayhanarfarizky@gmail.com

  • 3    Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura, E-mail: rusmila@trunojoyo.ac.id

    Info Artikel

    Masuk : 6 Juni 2023 Diterima : 20 Agustus 2023

    Terbit : 31 Agustus 2023

    Keywords :

    Recidive; Repeated Crime;

    Indonesia Penal Code;

    Criminal Act of South Korea


    Kata kunci:

    Residivis; Pengulangan Tindak

    Pidana; KUHP Nasional

    Indonesia; KUHP Korea

    Selatan

    Corresponding Author:

    Busthomi Arifin, E-mail: busthomiarifin@gmail.com

    DOI :

    10.24843/KP.2023.v45.i02.p04


Abstract

The purpose of this research is to explore the concept of criminal recidivism between Indonesia and South Korea. The research method employed is normative research using a statute approach, a comparative approach, and a conceptual approach. The research findings reveal that Indonesia and South Korea regulate recidivism with distinct approaches that correspond to the characteristics of each country. In Indonesia, the regulations on recidivism are stipulated in Article 23 of the Indonesian Penal Code, while in South Korea, they are found in Articles 35-36 of the Criminal Act of South Korea. A notable difference is that in South Korea, an individual is considered a recidivist if they repeat a criminal offense that is punishable by imprisonment or a more severe penalty, such as penal servitude or the death penalty. In Indonesia, the aggravation of punishment for recidivism is limited to a one-third increase from the initial penalty, whereas in South Korea, it can be escalated up to twice the initial penalty. Recommendations that can be considered based on the comparison between the two countries include a fair evaluation of recidivism cases, an effective rehabilitation system, a focus on prevention efforts, proportional punishment, as well as enhanced research and monitoring.

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep dari pengulangan tindak pidana (recidive) antara negara Indonesia dengan negara Korea Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia dan Korea Selatan mengatur recidive dengan pendekatan yang berbeda sesuai dengan karakteristik masing-masing negara. Aturan recidive di Indonesia terdapat dalam Pasal 23 KUHP Nasional Indonesia sementara di Korea Selatan dalam Pasal 35-36 Criminal Act of South Korea. Perbedaan yang mencolok adalah bahwa di Korea Selatan seseorang dianggap recidive jika mengulangi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau lebih berat, seperti penal servitude atau

hukuman mati. Di Indonesia, pemberatan pidana bagi recidive dibatasi oleh tambahan sepertiga dari ancaman pidana sementara di Korea Selatan bisa meningkat hingga dua kali lipat. Rekomendasi yang bisa dipertimbangkan untuk Indonesia meliputi evaluasi yang adil terhadap kasus recidive, sistem rehabilitasi yang efektif, fokus pada pencegahan, proporsionalitas hukuman, serta penelitian dan pemantauan yang lebih baik

  • 1.    Pendahuluan

Penjatuhan hukuman atau pemidanaan adalah salah satu cara untuk mengendalikan laju angka kriminalitas di masyarakat. Hal ini merupakan reaksi formal terhadap kejahatan yaitu bagamaina hukum pidana itu bekerja di masyarakat.1 Namun seringkali kita menemukan seorang pelaku yang telah melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi hukuman pidana justru melakukan tindak pidana kembali bahkan sampai berulang kali dihukum karena terus menerus melakukan kejahatan. Padahal tujuan dari adanya penghukuman itu sendiri agar pelaku tersebut jera, insaf, sadar, dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selain itu adanya hukuman tersebut juga bertujuan agar orang lain yang tidak pernah melakukan kejahatan akan berpikir kembali jika ia berniat untuk melakukan kejahatan. Bahwa jika seseorang melakukan perbuatan pidana, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu dan bernasib sama dengan pelaku yang telah dihukum. Dengan demikian, demi tercapainya tujuan hukum maka diperlukan adanya pemberatan terhadap pelaku yang mengulangi kembali perbuatan pidana untuk kedua kali dan seterusnya.

Dalam kepustakaan hukum pidana, pelaku yang mengulangi kembali perbuatan pidana setelah dijatuhi hukuman atau sanksi tersebut dikenal dengan istilah recidive. Dalam KUHP lama Indonesia yaitu Wetboek van Strafrecht (KUHP warisan Kolonial Belanda), recidive diatur khusus secara berkelompok dalam tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan di dalam Buku Kedua maupun berupa pelanggaran di dalam Buku Ketiga. Dengan demikian, recidive tidak secara umum diatur dalam Buku Kesatu Wetboek van Strafrecht seperti percobaan, penyertaan, dan lain sebagainya.2 Hal ini berbeda dengan pengaturan recidive dalam KUHP baru Indonesia saat ini yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya akan disebut "KUHP Nasional Indonesia”). KUHP baru ini adalah usaha untuk melakukan perubahan dari Wetboek van Strafrecht atau lebih tepatnya untuk mengganti dengan KUHP yang lebih baik, selaras dengan cita-cita kemerdekaan guna mempertahankan identitas bangsa.3 Dalam KUHP Nasional Indonesia, recidive dikelompokkan dalam 1 (satu) bab bersama dengan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, penyertaan, dan lain sebagainya di Bab II tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana tepatnya di Pasal 23 KUHP Nasional Indonesia. Namun demikian, meskipun telah disahkan sebagai hukum positif, jika merujuk pada Pasal 624

KUHP Nasional Indonesia maka KUHP yang baru ini masih akan berlaku efektif di tahun 2026 mendatang.

Dalam KUHP Nasional Indonesia sendiri, istilah kejahatan dan pelanggaran sudah tidak digunakan lagi sebagaimana yang ada di dalam Wetboek van Strafrecht. Pembagian tersebut sudah dihilangkan dan hanya ada 1 (satu) istilah yang digunakan yaitu tindak pidana. Konsep dan kerangka recidive di KUHP Nasional Indonesia juga mengalami pergeseran makna dari Wetboek van Strafrecht. Secara singkat, recidive dalam Wetboek van Strafrecht dapat dianalisis menganut konsep recidive khusus.4 Sedangkan dalam KUHP Nasional Indonesia sendiri telah menganut konsep recidive umum dengan beberapa limit atau pembatasan dan syarat-syarat tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 KUHP Nasional Indonesia.

Salah satu negara di dunia yang juga menggunakan hukum pidananya sendiri adalah Korea Selatan. KUHP Korea Selatan (yang selanjutnya disebut “Criminal Act of South Korea”) justru sudah terealisasi dan diberlakukan di Korea Selatan jauh sebelum Indonesia. Criminal Act of South Korea berlaku pada tahun 1953 dimana sebelumnya Korea Selatan masih terikat pada hukum pidana Jepang atau Penal Code (刑法 Keihō) of Japan. Konsep dan kerangka recidive dalam Criminal Act of South Korea tentu saja berbeda dengan KUHP Nasional Indonesia. Ada sebuah perbedaan yang cukup mencolok untuk seseorang dapat dikatakan pelaku recidive di Korea Selatan jika dibandingkan dengan Indonesia. Perbedaan tersebut timbul karena kedua negara membentuk KUHPnya masing-masing tidak lepas dari sejarah dan perkembangan serta kebutuhannya masing-masing yang terus dilakukan penyesuaian.

Perbedaan dalam pengaturan dan konsep pengulangan tindak pidana (recidive) di berbagai negara dapat memiliki dampak positif maupun negatif yang berbeda di antara keduanya. Meskipun begitu, perbedaan-perbedaan ini dapat dijadikan sebagai objek studi perbandingan yang berharga dalam upaya pembaharuan hukum pidana di masing-masing negara. Dengan kata lain, hasil perbandingan mengenai pengulangan tindak pidana (recidive) bisa memberikan sumbangan teoritis yang berarti bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia melalui KUHP Nasional Indonesia yang baru akan diterapkan dalam tiga tahun mendatang.

Selama ini, artikel terkait pengulangan tindak pidana atau recidive tidak begitu banyak ditulis. Salah satu penelitian terkait recidive yang pernah ditulis yaitu dengan judul “Pemberatan Pidana Terdahap Residivis dalam Pandangan Hukum Pidana Islam” oleh Hanif Azhar.5 Penelitian ini membandingkan antara konsep pemberatan pidana untuk kasus recidive dalam Wetboek van Strafrecht dan hukum Islam dengan hasil adanya persamaan dan perbedaan dalam konsep pemberatan pidana untuk recidive diantara keduanya. Dalam hal kesamaan, keduanya memiliki prinsip yang hampir serupa, yakni bahwa pelaku kejahatan harus dihukum berdasarkan putusan pengadilan dan jika pelaku mengulangi tindakannya, hukuman dapat diperberat. Namun perbedaannya

terletak pada pendekatan terhadap pelaku kejahatan yang telah menjadi “terbiasa” melakukan tindak pidana. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana yang dilakukan secara berulang oleh pelaku yang “terbiasa” dapat mengakibatkan penghilangan pelaku dari masyarakat dengan pilihan hukuman mati atau penjara seumur hidup. Namun, dalam Wetboek van Strafrecht, ketentuan yang diterapkan tidak selalu mengikuti pola tersebut.

Penelitian lainnya tentang recidive yaitu berjudul “Penempatan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Implementasinya oleh Aparat Penegak Hukum” yang ditulis oleh Farida.6 Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar dari pengaturan mengenai recidive dalam Wetboek van Strafrecht berasal dari fakta bahwa tindakan kriminal oleh warga pribumi pada era penjajahan Belanda sebagian besar merupakan pelanggaran hukum umum. Situasi ini berlanjut hingga masa pemerintahan Republik Indonesia, di mana tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang masih berhubungan dengan perbuatan yang dilarang oleh KUHP, dan pembentuk KUHP pada waktu itu belum mempertimbangkan kemungkinan adanya tindak pidana yang diatur secara spesifik di luar cakupan KUHP.

Dari beberapa penelitian yang telah dipaparkan tersebut hanya berfokus pada aturan dan hukuman untuk recidive dalam tatanan hukum positif yang berlaku di KUHP lama Indonesia yaitu Wetboek van Strafrecht. Penelitian pertama membandingkan pemberatan recidive dengan hukum positif yang lain yaitu hukum Islam sedangkan penelitian yang kedua melihat pada aspek penerapannya. Dengan demikian, artikel ini akan memaparkan secara spesifik untuk melihat konsep dan pengaturan recidive yang diatur di KUHP baru Indonesia yaitu KUHP Nasional Indonesia dengan KUHP negara lain yaitu Korea Selatan yang memiliki Criminal Act of South Korea. Minimnya penelitian ilmiah terkait recidive terutama dengan cara membandingkannya dengan negara lain dianggap perlu untuk kontribusi terhadap pengayaan wawasan baik di ranah akademis maupun praktis. Dipilihnya Korea Selatan sebagai negara pembanding karena baik Indonesia dan Korea Selatan sama-sama memiliki sistem hukum inquisitorial civil law yang memiliki kemiripan dalam corak praktik penegakan hukumnya. Selain itu, melihat Korea Selatan yang telah berhasil menyusun KUHP nya sendiri jauh sebelum Indonesia memberlakukan KUHP Nasional Indonesia merupakan hal yang dapat dipelajari oleh Indonesia dari Korea Selatan dalam menciptakan hukumnya sendiri terutama jika kita lihat dalam hal pengaturan recidive.

Melalui studi perbandingan hukum, maka akan dapat ditemukan sebuah model baru dari kerangka pengulangan tindak pidana (recidive) yang diterapkan oleh Korea Selatan. Dengan demikian, isu hukum (legal issue) yang akan dikaji dalam artikel ini adalah bagaimanakah konsep recidive menurut doktrin yang ada di dalam hukum pidana secara umumnya untuk nantinya akan mengantarkan kepada isu hukum kedua dan ketiga yaitu bagaimanakah perbandingan pengaturan pengulangan tindak pidana (recidive) antara KUHP Nasional Indonesia dan Criminal Act of South Korea serta bagaimana konstruksi pengaturan recidive yang ideal untuk Indonesia yang dapat dipelajari dari

Korea Selatan untuk nantinya bisa dijadikan bahan dan rekomendasi terhadap pembaharuan hukum pidana Indonesia yang akan berlaku di tahun 2026 mendatang.

  • 2.    Metode Penelitian

Riset penelitian harus mematuhi seperangkat prosedur yang diterima dalam komunitas sejawat sesuai dengan keahliannya untuk memastikan bahwa hasil penelitian diakui.7 Dalam penyusunan artikel ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang nantinya akan menjabarkan norma-norma yang berlaku dalam sistem hukum tertentu.8 Norma yang dimaksud adalah norma yang dirumuskan dalam KUHP di Indonesia dan Korea Selatan khususnya yang berkaitan dengan konsep recidive. Penulisan artikel ini menggunakan beberapa pendekatan yang lazim digunakan dalam sebuah penelitian hukum (legal research) antara lain pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).9 Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan10 antara Indonesia dan Korea Selatan yaitu KUHP Nasional Indonesia dan Criminal Act of South Korea, selanjutnya bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari buku teks yang ditulis oleh pakar hukum, jurnal-jurnal, disertasi, tesis, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, dan simposium yang dilakukan para pakar yang terkait11 serta bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti bibliografi dan lain sebagainya.12 Keseluruhan bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (library research) serta keseluruhan data kemudian dianalisis dan dipaparkan secara deskriptif kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Kerangka Teoritis Pengulangan Tindak Pidana atau Recidive dalam Hukum Pidana

Sebelum membahas recidive, maka kita terlebih dahulu perlu memahami apa itu tindak pidana. Konsep tindak pidana jika ditelaah dari Wetboek van Strafrecht berasal dari istilah yang dikenal strafbaarfeit. Wetboek van Strafrecht tidak menyajikan definisi yang terperinci mengenai konsep perbuatan pidana itu sendiri, dan umumnya tindak pidana sering diartikan sebagai delik yang berasal dari kata Latin “delictum.”13 Dalam terminologi

hukum, delik didefinisikan secara terbatas sebagai tindakan yang dapat diberi hukuman karena melanggar undang-undang (tindak pidana). Dalam bahasa Belanda, tindak pidana disebut strafbaarfeit yang terdiri dari tiga kata: straf berarti pidana dan hukum, baar berarti dapat dan boleh, dan feit berarti tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.14 Selain dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan delik, tindak pidana sering dirumuskan oleh pembuat undang-undang dengan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindakan pidana.15

Ketika seseorang melakukan tindak pidana, maka ada kemungkinan orang tersebut akan melakukan kembali tindak pidana lagi. Dalam kepustakaan hukum pidana, hal itu dikenal dengan istilah pengulangan tindak pidana (recidive). Pada umumnya, residivisme memiliki makna sebagai istilah luas yang merujuk pada tindakan kriminal berulang (recurrence of criminal behavior) yang mencakup situasi di mana seseorang ditangkap kembali (rearrest), dihukum kembali (reconviction), dan dipenjarakan kembali (reimprisonment).16 Residivis juga dapat didefinisikan sebagai individu yang mengulangi tindak pidana. Sementara itu, residivisme (recidivism) menggambarkan kecenderungan seseorang atau sekelompok individu untuk berulang kali melakukan perbuatan tercela meskipun telah sebelumnya dihukum atas perbuatan tersebut.17 Namun dalam konteks hukum pidana, seseorang hanya dapat dianggap sebagai residivis atau menunjukkan perilaku residivisme jika mereka melakukan tindak pidana kembali dengan memenuhi kriteria tertentu yang berpotensi mengakibatkan peningkatan hukuman bagi mereka.18

Recidive berasal dari bahasa Perancis yang mengadopsi dua kata latin yaitu “re” yang berarti “lagi” dan “cado” berarti “jatuh.” Oleh karena itu, “recidive” berarti tendensi untuk melakukan pelanggaran berulang karena telah melakukan pelanggaran yang sama atau serupa.19 Menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, konsep recidive dijelaskan sebagai tindakan di mana seseorang mengulangi perbuatan pidana setelah menerima hukuman dari pengadilan yang telah inkracht karena tindak pidana sebelumnya. Seseorang yang secara berulang melakukan perbuatan pidana, dan karena perbuatan-perbuatannya ini telah mendapat hukuman, bahkan sering kali mendapat hukuman disebut sebagai recidivist. Jika recidive merujuk pada tindakan mengulangi perbuatan pidana, maka recidivist merujuk kepada individu yang melakukan pengulangan perbuatan pidana.

Recidive merupakan hal yang memberatkan pidana (grond van strafverzwaring) karena orang tersebut telah menunjukkan akhlak atau tabiat yang buruk dan dianggap berbahaya bagi masyarakat namun ternyata melakukan tindak pidana kembali. Walaupun ia telah diberi peringatan pidana, ia gagal memperbaiki dirinya untuk kembali ke jalan yang benar. Akibatnya, undang-undang memungkinkan hakim untuk menjatuhkan pidana yang lebih berat kepadanya.

Dalam ranah hukum pidana, konsep recidive dapat dijabarkan secara lebih rinci menjadi 2 (dua) macam. Pertama adalah algemeene recidive atau recidive umum yang merujuk pada pengulangan tindak pidana tanpa mempertimbangkan jenis tindak pidana yang diulang, selama terdakwa kembali terlibat dalam perbuatan pidana apa pun maka dapat disebut recidive. Sedangkan yang kedua adalah speciale recidive atau recidive khusus yang mengacu pada pengulangan tindak pidana yang serupa atau sejenis dengan peristiwa pidana yang sebelumnya menyebabkan hukuman dijatuhkan.

Selain kedua macam recidive tersebut, terdapat juga sistem antara atau tussen system di mana beberapa jenis kejahatan yang memiliki sifat serupa diperlakukan sama dan dikelompokkan dalam satu kategori (groeps recidive).20 Dalam ilmu hukum pidana modern, selain pendekatan doktrinal dikenal pula pengklasifikasian recidive yang lebih rinci yaitu accidentele recidive yang mengacu pada pengulangan tindak pidana yang terjadi secara kebetulan atau karena keadaan tertentu dan habituale recidive yang merujuk pada pengulangan tindak pidana karena kebiasaan.21 Mengenai accidentele recidive ini dapat diberi contoh misalnya seseorang yang karena dipidana untuk kejahatan sebelumnya ia diberhentikan dari pekerjaannya, sehingga ketika keluar dari penjara ia tidak lagi memiliki pekerjaan yang membuatnya tidak dapat membiayai keperluan keluarganya. Pada akhirnya menyebabkan ia terdesak melakukan kembali kejahatan.

Dalam konteks doktrin pidana secara umum, persyaratan yang dibutuhkan untuk adanya recidive adalah sebagai berikut:

  • a.    Telah menjalani hukuman penjara entah secara keseluruhan atau sebagian, atau hukuman tersebut telah dihapuskan atau diberlakukan penghapusan pidana baginya, atau beban pidana tersebut masih ada karena belum melewati batas waktu yang ditetapkan.

  • b.    Waktu antara peristiwa pidana pertama dan yang kedua tidak melebihi lima tahun dihitung sejak selesainya eksekusi hukuman pidana pertama.

Adam Chazawi memberikan penjelasan perbedaan pemaknaan pengulangan (recidive) oleh masyarakat dengan pemaknaannya secara hukum pidana. Dia mengungkapkan bahwa terdapat dua definisi pengulangan, yang satu didasarkan pada aspek sosial masyarakat dan yang lainnya berhubungan dengan hukum pidana. Dalam pengertian pertama, masyarakat menganggap pengulangan terjadi setiap kali seseorang dihukum dan kembali melakukan tindak pidana, tanpa memperhitungkan faktor-faktor lainnya. Namun dalam pengertian hukum pidana, yang menjadi dasar untuk memberlakukan

hukuman yang lebih berat diperlukan lebih dari sekadar frekuensi perbuatan yang berulang.

Pemberatan atau peningkatan hukuman dalam kasus pengulangan tindak pidana sejalan dengan teori tujuan pemidanaan yang bersifat relatif. Dalam konteks ini, Teguh Prasetyo menjelaskan bahwa tujuan utama sistem pemidanaan adalah mencegah terjadinya pelanggaran di masa mendatang. Dengan kata lain, hukuman digunakan sebagai alat untuk mencegah terjadinya kejahatan, yang sering disebut sebagai teori prevensi.22 Pendekatan ini bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan memberlakukan hukuman pidana, diharapkan individu yang berpotensi melakukan tindakan kriminal akan terpengaruh dan menahan diri karena takut akan konsekuensi yang akan mereka alami. Sementara itu, prevensi khusus ditujukan untuk pelaku sendiri agar mereka tidak mengulangi perbuatan jahat yang telah mereka lakukan sebelumnya. Jika dikaitkan dalam konteks konsep recidive, maka pemberatan hukuman diharapkan memberi efek prevensi khusus kepada para terpidana atau mantan terpidana, yakni agar takut melakukan pengulangan tindak pidana karena akan berimplikasi pada pemberatan hukuman.

  • 3.2.    Perbandingan Pengaturan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam KUHP Nasional Indonesia dan Criminal Act of South Korea

    • 3.2.1    Indonesia: KUHP Nasional Indonesia

Pada tanggal 6 Desember 2022, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang. Hal tersebut merupakan gebrakan besar dalam pembaharuan hukum pidana nasional mengingat sebelumnya Indonesia masih menggunakan dan mengadopsi hukum pidana warisan Kolonial Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht. Pengaturan recidive dalam KUHP Nasional Indonesia disebutkan dalam Pasal 23 yang menyebutkan:

Pasal 23

  • (1)    Pengulangan Tindak Pidana terjadi jika Setiap Orang:

  • a.    melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau

  • b.    pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa.

  • (2)    Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III.

  • (3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku untuk Tindak Pidana mengenai penganiayaan.23

Lebih lanjut dalam Pasal 58 KUHP Nasional Indonesia menyatakan:

Pasal 58

Faktor yang memperberat pidana meliputi:

  • a.    Pejabat yang melakukan Tindak Pidana sehingga melanggar kewajiban jabatan yang khusus atau melakukan Tindak Pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;

  • b.    penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan Tindak Pidana; atau

  • c.    pengulangan Tindak Pidana.24

Pasal tersebut menunjukkan bahwa pengulangan tindak pidana atau recidive merupakan salah satu alasan pemberat penjatuhan pidana. Hal ini dimungkinkan karena ketika seseorang melakukan tindak pidana namun ternyata dia melakukan kembali tindak pidana entah itu dalam konteks tindak pidana yang sama ataupun melakukan tindak pidana lain, maka disitulah ada alasan untuk memberikan hukuman yang lebih berat kepada seseorang tersebut. Pasal 59 KUHP Nasional Indonesia menyebutkan:

Pasal 59

Pemberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dapat ditambah paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana. 25

Dengan demikian, jelas kiranya batasan pemberatan penjatuhan pidana dalam hal recidive yakni paling banyak 1/3 dari maksimum ancaman pidana.

  • 3.2.2    Korea Selatan: Criminal Act of South Korea

Criminal Act of South Korea adalah hukum pidana yang saat ini digunakan di Korea Selatan. Diantara tahun 1910 hingga 1945, Korea Selatan hidup dibawah aturan pemerintahan Jepang. Setelah Jepang kalah dalam Perang Asia Timur Raya pada 14 Agustus 1945, Korea Selatan yang sebelumnya berada dibawah kekuasaan Jepang akhirnya terbebaskan. Korea Selatan pun secara resmi terbebas dari penjajahan Jepang dan merdeka pada 15 Agustus 1945. Dari tahun 1912 hingga 1953, selama sekitar 40 tahun di Korea Selatan diberlakukan Penal Code (^⅛ Keiho) of Japan atau hukum pidana Jepang hingga akhirnya pada 18 September 1953, Korea Selatan memberlakukan hukum pidananya sendiri. Criminal Act of South Korea yang diberlakukan pada tahun 1953 sebagian besar merupakan terjemahan dari hukum pidana Jepang sebelumnya. Namun seiring berjalannya waktu, Criminal Act of South Korea menjadi lebih subjektif daripada Penal Code (^⅛ Keiho) of Japan dan memiliki hukuman yang lebih kuat dibandingkan dengan Penal Code (^⅛ Keiho) of Japan. Criminal Act of South Korea telah mengalami 22 kali perubahan sejak versi pertamanya diberlakukan di tahun 1953. Penyempurnaan

Criminal Act of South Korea terakhir dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2020 melalui Act No. 17511.

Pengaturan pengulangan tindak pidana (recidive) dalam Criminal Act of South Korea disebutkan dalam Pasal 35 dan Pasal 36 yang dalam bahasa aslinya seperti berikut:

35(누범) → Article 35 (Repeated Crime)

® ⅛2 o∣⅛o∣ ⅛i ⅛^ n SSi S⅛⅛^U 0^f ⅛e ¥ 3^LH0d∣ ⅛z

이상에 해당하는 죄를 범한 자는 누범으로 처벌한다.

A person who, having been punished with imprisonment without labor or more severe punishment within three years after the date when the execution has been completed or remitted, commits such crimes as shall be punished with imprisonment without prison labor or more severe punishment shall be punished as a repeating offender.

Seseorang yang telah dihukum dengan hukuman penjara tanpa kerja paksa atau hukuman yang lebih berat dalam waktu tiga tahun setelah tanggal eksekusi telah selesai atau dibebaskan, melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara tanpa kerja paksa atau hukuman yang lebih berat, diancam sebagai pelaku kejahatan berulang.

@ T⅛⅛ Si n SO SS S⅛ SOS 2HH¼x∣ 4§m

Punishment for a repeated crime may be aggravated to twice the maximum term of that specified for such crime.26

Hukuman untuk kejahatan berulang dapat diperberat menjadi dua kali lipat dari hukuman maksimum yang ditentukan untuk kejahatan tersebut

36(판결선고후의 누범발각) → Article 36 (Discovery of Repeated Crime after Imposition of Sentence)

판결선고후 누범인 것이 발각된 때에는 그 선고한 형을 통산하여 다시 형을 정할 수 있다. , 선 고한 형의 집행을 종료하거나 그 집행이 면제된 후에는 예외로 한다.

When a repeated crime is discovered after the imposition of sentence, the punishment may be determined de novo by adding to the criminal sentence: Provided, That this shall not apply where the execution of the sentence imposed has been completed or remitted.27

Apabila pengulangan tindak pidana ditemukan setelah dijatuhkannya pidana, maka pidana dapat dijatuhkan secara de novo dengan menambah pidana: Dengan

ketentuan, bahwa hal ini tidak berlaku apabila pelaksanaan pidana yang dijatuhkan telah selesai atau telah dilepaskan.

Hal yang menarik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 Criminal Act of South Korea adalah penegasan bahwa seseorang dikatakan telah melakukan pengulangan (recidive) apabila tindak pidana yang diulangi atau dilakukan kemudian diancam dengan pidana penjara (imprisonment) atau pidana yang lebih berat. Bentuk pidana sendiri di Korea Selatan dibagi menjadi 9 kategori, hal ini disebutkan dalam Criminal Act of South Korea di Pasal 41 yang dalam bahasa aslinya seperti berikut:

41(형의 종류) → Article 41 (Kinds of Punishment)

형의 종류는 다음과 같다.

Kinds of punishment shall be as follows:

Jenis-jenis hukuman adalah sebagai berikut:

  • 1.   사형 → Death penalty (hukuman mati);

  • 2.   징역 → Imprisonment with labor (penjara dengan kerja paksa);

  • 3.    금고 → Imprisonment without labor (penjara tanpa kerja paksa);

  • 4.    자격상실 → Deprivation of qualifications (pencabutan hak tertentu);

  • 5.    자격정지 → Suspension of qualifications (penangguhan hak tertentu);

  • 6.   벌금 → Fine (denda);

  • 7.   구류 → Detention (kurungan);

  • 8.   과료 → Minor fine (denda kecil);

  • 9.    몰수 → Confiscation (penyitaan).

Dari beberapa bentuk pemidanaan tersebut, yang dimaksud dengan pidana yang lebih berat di dalam Criminal Act of South Korea adalah penal servitude dan death penalty. Jadi apabila seseorang melakukan lagi suatu tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana penjara (imprisonment without labor), atau diancam penjara kerja paksa (penal servitude/imprisonment with labor), atau diancam dengan pidana mati (death penalty), maka tidaklah dapat dikatakan telah melakukan pengulangan tindak pidana (recidive).28 Selain dari adanya syarat khusus berupa bentuk ancaman pidana seperti yang dijelaskan diatas, pelaku recidive di Korea Selatan juga sama-sama mendapat pemberatan ancaman pidana seperti di Indonesia namun perbedaannya terlihat dari beratnya ancaman pidana tersebut.

Merujuk pada Article 36 Criminal Act of South Korea, pelaku recidive di Korea Selatan dapat diperberat hukumannya hingga dua kali lipat dari maksimum ancaman pidananya. Hal ini jelas berbeda dengan Indonesia dimana pelaku recidive hanya dapat diperberat hukumannya sepertiga dari maksimum ancaman pidananya. Dengan demikian,

hal ini dapat dianalisis bahwa Korea Selatan dalam kerangka pengaturan recidive memberikan bentuk yang lebih tegas dan keras berupa ancaman pidana yang lebih tinggi dan berat dibandingkan dengan Indonesia.

  • 3.2.3    Tabel Perbandingan Konsep dan Kerangka Formulasi Recidive antara KUHP Nasional Indonesia dan Criminal Act of South Korea

Pengaturan recidive baik dari negara Indonesia maupun Korea Selatan sama-sama memberikan konsep dan bentuk yang khas dengan ciri-cirinya masing-masing. Dengan demikian, dapat kita bandingkan perbedaan pengaturan recidive antara Indonesia dan Korea Selatan sebagai berikut:

No

Perbandingan

KUHP Nasional Indonesia

Criminal Act of South Korea

1

Definisi

Tidak   disebutkan   secara

normatif.

Tidak   disebutkan   secara

normatif.

2

Jenis

Tidak disebutkan secara normatif. Namun berdasarkan doktrin, jenis recidive yang dianut adalah recidive umum (algemeene recidive) dengan beberapa syarat dan limit yang harus dipenuhi.

Tidak disebutkan secara normatif. Namun berdasarkan doktrin, jenis recidive yang dianut adalah recidive umum (algemeene recidive) dengan beberapa syarat dan limit yang harus dipenuhi.

3

Batas Waktu

Melakukan tindak pidana kembali dalam waktu 5 tahun setelah pelaku menjalani seluruh atau sebagian dari pidana pokok yang dijatuhkan.

Melakukan tindak pidana kembali dalam waktu 3 tahun setelah pelaku menjalani seluruh dari pidana pokok yang dijatuhkan.

4

Pemberatan

Penjatuhan sanksi pidana untuk recidive dapat diperberat 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidana.

Penjatuhan sanksi pidana untuk recidive dapat diperberat dua kali lipat dari maksimum ancaman pidana.

5

Syarat Khusus

Recidive mencakup tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III.

Dapat dikatakan recidive jika pelaku melakukan tindak pidana kembali yang diancam berupa penjara tanpa kerja paksa, penjara dengan kerja paksa, atau hukuman mati.

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pengaturan recidive di kedua negara tidak jauh berbeda. Kedua negara sama-sama menganut recidive umum dan juga mendapatkan pemberatan. Perbedaan terlihat di batas waktu dan juga beban pemberatan pidananya.

  • 3.3. Rekomendasi untuk Negara Indonesia terkait Pengaturan Pengulangan Tindak Pidana atau Recidive untuk Progresivitas Hukum Pidana Nasional

Perbedaan pengaturan recidive antara Indonesia dan Korea Selatan sebagaimana dijelaskan dalam tabel diatas dapat menjadi sebuah kerangka acuan dalam perbaikan dan

pembaharuan konsep recidive bagi hukum pidana Indonesia. KUHP Nasional Indonesia yang akan diberlakukan pada tahun 2026 mendatang masih dapat dikaji kembali dari beberapa aspek pengaturannya, salah satunya adalah terkait recidive. Sebagaimana diungkapkan oleh Tahir Tungadi, salah satu manfaat dari studi perbandingan hukum yaitu memperdalam pengetahuan tentang hukum nasional dan dapat secara objektif melihat kebaikan dan kekurangan dari hukum nasional.29

Perbandingan hukum pidana (comparative law) memiliki peran yang sangat signifikan serta bermanfaat baik dalam aspek teoretis maupun praktis. Hal ini dapat memberikan dukungan bagi perkembangan ilmu hukum secara keseluruhan serta hukum pidana secara spesifik. Selain itu, perbandingan hukum pidana dapat memberikan kontribusi positif dalam upaya merumuskan perubahan hukum pidana nasional. Adapun beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan dalam pengaturan recidive berdasarkan pengaturan maupun secara praktik setelah dilakukan komparasi antara Indonesia dan Korea Selatan yaitu:

  • 1.    Evaluasi yang adil terhadap kasus recidive

Penting untuk memastikan bahwa penggunaan konsep recidive didasarkan pada bukti yang kuat dan evaluasi yang adil terhadap kasus-kasus recidive. Hal lain yang perlu dipastikan adalah harus dipastikan bahwa kerangka pengaturan untuk recidive mengenai penalti atau hukuman tambahan harus didasarkan pada data yang akurat, mempertimbangkan pula faktor-faktor seperti tingkat serius atau beratnya suatu tindak pidana dengan mengacu kepada tingkat kejahatan atau kesalahan yang dilakukan oleh seseorang, memperhatikan dampak fisik atau finansial, niat dan motif di balik tindakan, dan keadaan dari pelaku.

  • 2.    Sistem rehabilitasi yang efektif (upaya represif)

Selain memberikan sanksi tambahan bagi pelaku recidive, penting juga untuk mengembangkan sistem rehabilitasi yang efektif untuk membantu para pelaku yang terjerat recidive. Memberikan akses pendidikan dan pelatihan kepada mantan narapidana dapat membantu mereka mengembangkan keterampilan yang dapat membantu mereka memperoleh pekerjaan yang stabil setelah pembebasan. Keterampilan ini membantu mereka mengintegrasikan kembali ke masyarakat dan mengurangi kemungkinan mereka kembali terlibat dalam kegiatan kriminal. Pendekatan rehabilitasi yang komprehensif dapat membantu mengatasi akar permasalahan yang mendasari perilaku kriminal dan memberikan peluang bagi pelaku untuk memperbaiki diri.

  • 3.    Titik fokus pada pencegahan (upaya preventif)

Selain memberikan sanksi tambahan kepada pelaku recidive, perhatian juga harus diberikan pada upaya preventif terhadap recidive yaitu melibatkan serangkaian langkah dan strategi yang bertujuan untuk mencegah pelaku kejahatan melakukan tindak pidana lagi di masa depan. Hal ini bisa dilakukan melalui pendekatan yang berpusat pada pemulihan dan reintegrasi sosial, seperti dukungan untuk pendidikan, pelatihan kerja, dan kesehatan mental. Dapat juga dilakukan melalui

aspek sosial yakni mendukung mantan narapidana dengan menyediakan jaringan dukungan sosial yang kuat sehingga dapat membantu mereka mengatasi tantangan setelah pembebasan dan mencegah mereka jatuh kembali ke dalam lingkaran kejahatan. Dukungan sosial bisa datang dari keluarga, teman, atau lembaga masyarakat seperti kelompok pendukung mantan narapidana.

  • 4.    Keadilan proporsional

Penting untuk memastikan bahwa hukuman tambahan yang diberikan kepada pelaku recidive tetap proporsional dengan kejahatan yang dilakukan. Sistem hukum harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti perubahan perilaku, penyesuaian sosial, dan rehabilitasi yang telah dicapai oleh pelaku.

  • 5.    Penelitian dan pemantauan

Hal terakhir yang tidak kalah penting yakni untuk terus melakukan penelitian dan pemantauan terhadap efektivitas pengaturan recidive dengan mengumpulkan data dan melakukan evaluasi yang sistematis. Pemerintah dapat memperbaiki dan menyempurnakan pengaturan recidive sesuai dengan kebutuhan di Indonesia.

Dalam merancang pengaturan recidive, penting untuk mempertimbangkan tujuan pencegahan kriminal, perlindungan masyarakat, dan reintegrasi sosial para pelaku ke dalam masyarakat. Pemerintah dan lembaga terkait harus melakukan analisis mendalam dan berkonsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk ahli hukum, praktisi, dan masyarakat umum untuk merancang kebijakan yang paling sesuai untuk Indonesia.

Jika melihat dari formulasi kebijakan tentang recidive di Korea Selatan, pemberatan yang diterapkan hingga dua kali lipat merupakan konsep yang tegas dan keras dari Korea Selatan terhadap pelaku recidive. Hal ini bisa dicontoh oleh Indonesia dengan terus melakukan kajian dan penelitian terhadap perkembangan kasus-kasus recidive itu sendiri sehingga nantinya dapat ditemukan formula ideal tentang kerangka dan konsep pengaturan recidive yang dapat diperharui dalam KUHP Nasional Indonesia.

4. Kesimpulan

Konsep dan pengaturan recidive atau pengulangan tindak pidana merupakan hal yang umum ditemukan dalam kepustakaan hukum pidana. Secara singkat, recidive adalah seseorang yang melakukan tindak pidana berulang setelah mendapatkan hukuman. Baik di Indonesia maupun Korea Selatan pun sama-sama mengatur terkait recidive dengan konsep yang berbeda dan khas sesuai dengan negara mereka masing-masing. Pengaturan recidive di Indonesia dapat dilihat di Pasal 23 KUHP Nasional Indonesia sedangkan di Korea Selatan dapat dilihat di Article 35-36 Criminal Act of South Korea. Selain itu, recidive juga merupakan alasan pemberat pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58 KUHP Nasional Indonesia. Hal yang mencolok dari pengaturan recidive di Korea Selatan dibandingkan dengan Indonesia yaitu seseorang dikatakan telah melakukan pengulangan (recidive) apabila tindak pidana yang diulangi diancam dengan pidana penjara (imprisonment) atau pidana yang lebih berat. Pidana yang lebih berat dalam hal ini adalah penal servitude dan death penalty. Sehingga jika ancamannya bukan hal tersebut, maka tidak bisa dikatakan recidive. Selain itu, pemberatan pidana bagi

recidive di Indonesia hanya dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidananya sedangkan dalam Criminal Act of South Korea yakni dapat diperberat lebih tinggi 2 kali lipat dari ancaman pidananya. Beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan dalam pengaturan recidive berdasarkan pengaturan maupun secara praktik setelah dilakukan komparasi antara Indonesia dan Korea Selatan yaitu evaluasi yang adil terhadap kasus recidive, sistem rehabilitasi yang efektif (upaya represif), titik fokus pada pencegahan (upaya preventif), keadilan proporsional, serta penelitian dan pemantauan.

Daftar Pustaka

Buku

Ali, Z. (2021). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Arief, B. N. (2010). Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Djulaeka & Rahayu, D. (2020). Buku Ajar: Metode Penelitian Hukum. Surabaya: Scopindo Media Pustaka.

Efendi, J., & Ibrahim, J. (2018). Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. Jakarta: Prenada Media.

Eryansyah, A. M. (2021). Hakikat Sistem Pemasyarakatan Sebagai Upaya Pemulihan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan: Perspektif Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Jejak Pustaka.

Hakim, L. (2020). Penerapan dan Implementasi “Tujuan Pemidanaan” dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHP). Yogyakarta: Deepublish.

Hamzah, A. (2017). Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Mubarok, N. (2017). Kriminologi dalam Perspektif Islam. Sidoarjo: Dwiputra Pustaka Jaya.

Susanti, D. O., & Efendi, A. (2022). Penelitian Hukum: Legal Research. Jakarta: Sinar Grafika.

Tomalili, R. (2019). Hukum Pidana. Yogyakarta: Deepublish.

Zaidan, A. M. (2015). Menuju Pembaruan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal

Azhar, H. (2019). Pemberatan Pidana Terdahap Residivis dalam Pandangan Hukum Pidana Islam. Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam, 5(2), 381-405. DOI: https://doi.org/10.15642/aj.2019.5.2.381-405.

Benuf, K., & Azhar, M. (2020). Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer. Gema Keadilan, 7(1), 20-33. DOI: https://doi.org/10.14710/gk.2020.7504.

Cahyo, R. N., & Cahyaningtyas, I. (2021). Kebijakan Hukum Pidana tentang Diversi Terhadap Anak Pelaku Recidive Guna Mencapai Restorative Justice. Jurnal Pembangunan      Hukum      Indonesia,      3(2),      203-216.      DOI:

https://doi.org/10.14710/jphi.v3i2.203-216.

Farida, F. (2021). Penempatan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Implementasinya oleh Aparat Penegak Hukum.        Jurnal        Justiciabelen,        3(1),        22-31.        DOI:

https://doi:10.30587/justiciabelen.v3i1.2243.

Fazel, S., & Wolf, A. (2015). A Systematic Review of Criminal Recidivism Rates Worldwide: Current Difficulties and Recommendations for Best Practice. PloS ONE, 10(6), e0130390. DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0130390.

Hairi, P. J. (2018). Konsep dan Pembaruan Residivisme dalam Hukum Pidana di Indonesia (Concept and Reform of Recidivism in Criminal Law in Indonesia). Jurnal Negara Hukum, 9(2). DOI: https://dx.doi.org/10.22212/jnh.v9i2.1048.

Putri, A. F. D., & Prasetyo, M. H. (2021). Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Pertambangan. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 3(3), 312-324. DOI: https://doi.org/10.14710/jphi.v3i3.312-324.

Siregar, F. A. (2022). Eksploitasi Anak di Ruang Media; Sebuah Tinjuan Hukum. Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam dan Perundang-Undangan, 9(1), 215-230. DOI:

https://doi.org/10.32505/qadha.v9i1.4060.

Sutanti, R. D. (2017). Kebijakan Aplikatif Pemberatan Pidana Bagi Pelaku Pengulangan Tindak Pidana. IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies), 2(1), 40-53. DOI: https://doi.org/10.15294/ijcls.v2i1.10814.

Tan, D. (2021). Metode Penelitian Hukum: Mengupas dan Mengulas Metodologi dalam Menyelenggarakan Penelitian Hukum. Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(8), 2463-2478. DOI: http://dx.doi.org/10.31604/jips.v8i8.2021.2463-2478.

World Wide Web

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Daring. Tesaurus -re.si.di.vis.me-. Available from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/residivisme, diakses 25 Maret 2023.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Criminal Act of South Korea, Act No. 17511.

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 2 Agustus 2023, h. 185-200