Implementasi Mandat Konstitusional Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam Dinamika Hubungan MK dengan Pembentuk Undang-Undang

I Made Halmadiningrat,1 Violla Reininda Hafidz2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Faculty of Law the Ohio State University, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 31 Mei 2023

Diterima: 19 Desember 2023

Terbit: 30 Desember 2023


Keywords:

Constitutional Mandate, Government Regulation in Lieu of Law, Constitutional Court Decision, Job Creation Law


Kata kunci:

Mandat Konstitusional, PERPPU, Putusan Mahkamah Konstitusi, UU Cipta Kerja


Abstract

The discrepancy between Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVII/2020 on the review of the Job Creation Law and the PERPPU on Job Creation has created constitutional incompatibilities. The research aims to analyze the executorial power in the final and recall nature of the Constitutional Court's decision on the follow-up of the Constitutional Court's decision by the legislators and (ii) the implementation of the constitutional mandate of Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 on Job Creation in the Job Creation PERPPU in the dynamics of the relationship between the Constitutional Court and the legislators. This research uses a combination of normative-doctrinal methods using a contextual approach, legislative approach, conceptual approach and case approach. The results of this study indicate that the Constitutional Court's decision has executorial power over the final and binding nature erga omnes. The Constitutional Court's conditional unconstitutional decision regarding the formal examination of the Job Creation Law has shifted the role of the Constitutional Court as a positive legislature which also results in the nature of the Constitutional Court's decision as a quasi-law. Follow-up of the Constitutional Court's decision is also considered important as compliance with the constitution. This research also shows that there is a mismatch between the constitutional mandate in Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVII/2020 and the follow-up carried out by the President as one of the branches of lawmaking power. This mismatch is clearly a form of constitutional delegitimization and straddles the final and binding Constitutional Court decision.

Abstrak

Diskrepansi antara Putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020 tentang pengujian UU Cipta Kerja dengan PERPPU Cipta kerja telah menimbulkan inkompatibilitas secara konstitusional. Penelitian bertujuan untuk melakukan analisis terhadap kekuatan eksekutorial dalam sifat final dan mengingat putusan MK terhadap tindak lanjut putusan MK oleh pembentuk UU dan (ii) implementasi mandat konstitusional Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Cipta Kerja pada

Corresponding Author:

I Made Halmadiningrat, E- mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/KP.2023.v45.i03.p02


PERPPU Cipta Kerja dalam dinamika hubungan MK dengan pembentuk UU. Penelitian ini menggunakan kombinasi metode normatif-doktrinal dengan menggunakan pendekatan kontekstual, pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa putusan MK memiliki kekuatan eksekutorial atas sifat final dan mengikat secara erga omnes. Putusan inkonstitusional bersyarat MK mengenai pengujian formil UU Cipta Kerja telah menggeser peran MK sebagai positive legislature yang berakibat pula pada sifat putusan MK sebagai undang-undang semu. Tindak lanjut dari putusan MK juga dinilai penting sebagai kepatuhan terhadap konstitusi. Penelitian ini juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian mandat konstitusional pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020 terhadap tindak lanjut yang dilakukan oleh Presiden sebagai salah satu cabang kekuasaan pembentuk undang-undang. Ketidaksesuaian ini jelas merupakan bentuk delegitimasi konstitusi dan mengangkangi putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

  • 1.    Pendahuluan

Eksistensi Mahkamah Konstitusi (MK) pada struktur kelembagaan pada ketatanegaraan di Indonesia merupakan manifestasi dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam memastikan mekanisme checks and balances terhadap kekuasaan.1 Mekanisme pengawasan oleh MK menempatkan cabang kekuasaan lainnya setara dan seimbang dalam penyelenggaraan negara2 serta secara tidak langsung dapat mengoreksi kinerja antar lembaga negara sesuai dengan ketentuan konstitusi.3 Mekanisme pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagai batu uji merupakan salah satu dari sekian kewenangan yang dimiliki oleh MK.4 Kewenangan konstitusional MK tersebut mencerminkan eksistensi MK sebagai

pengawal konstitusi dalam menjaga keutuhan dan penegakan dari supremasi konstitusi5 dalam kapasitas kekuasaan membentuk undang-undang yang dipegang DPR bersama-sama dengan Presiden.6 Proses inilah yang meneguhkan esensialitas dari mekanisme check and balances dengan mengejawantahkan bahwa konstitusi sudah tidak menghendaki keberadaan lembaga tertinggi7 dengan maksud agar produk legislasi sesuai dengan rel konstitusi. Argumentasi sejalan dengan original intent pembahasan MK yang menghendaki MK untuk fokus pada menguji konstitusionalitas undang-undang.8

Kewenangan MK melalui pengujian undang-undang atas UUD NRI Tahun 1945 dapat dimaknai sebagai usaha untuk memastikan proses dan substansi pembentukan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.9 Kualitas produk undang-undang baik secara ketaatan terhadap prosedur formal maupun substansi seringkali menempatkan kepentingan politis sebagai rujukan pembentukan yang pada akhirnya menghasilakan produk legislasi yang tidak melalui proses yang legitime serta tidak memenuhi rasa keadilan karena tereduksi proses tersebut. Kapasitas inilah yang menunjukkan nilai ontologis MK menjadi penting dalam menjaga produk hukum sesuai dengan ketentuan konstitusi melalui kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas dari sebuah undang-undang. Kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 (toetsingsrecht van den rechter) dibedakan dalam dua bentuk yang masing-masing merupakan hak menguji formil (formele toetsing recht) dan hak menguji materiil (materiële toetsing recht).10 Pengujian undang-undang oleh MK pada akhirnya bermuara pada sebuah Putusan yang dikeluarkan oleh MK sebagai refleksi hakim terhadap ada atau tidaknya inkonstitusionalitas dari sebuah produk undang-undang.11

Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Cipta Kerja merupakan salah satu bentuk pengawasan MK terhadap produk politik dari pembentuk undang-undang yang inkonstitusional dalam syarat formil pembentukannya. Putusan tersebut merupakan salah satu landmark putusan MK dikarenakan sejak berdirinya MK, UU Cipta Kerja adalah produk hukum yang pertama kalinya dinyatakan inkonstitusional lewat uji formil.12 Terlepas dari putusan tersebut yang memperlihatkan pijakan dua kaki hakim MK, putusan ini secara tidak langsung menunjukkan kecacatan secara ideologis dari keberpihakan arah ekonomi konstitusi pada UU Cipta Kerja.13 UU Cipta Kerja merupakan manifestasi dari hasil produk legislasi politik yang berkiblat pada ‘neoliberal authoritarian cositualinalism’14, oleh sebab itulah secara formil UU tersebut inkonstitusional. Bagi Greg Albo dan Carlo Fanelli, praktek neoliberal menggunakan konsep ‘disciplinary democracy’ dengan mensubordinasi demokrasi pada pasar.15 Konsekuensinya bahwa demokrasi menjadi hanya berwatak prosedural dan mereduksi fungsi substantifnya dalam konteks pembentukan UU Cipta Kerja. Fenomena ini sekaligus mentasbihkan melalui demokrasi, neoliberalisme menjadi mungkin.

UU Cipta Kerja sebagai produk politik telah menegaskan adanya pengesampingan pada aspek keadilan16 demi kepentingan ekonomi kelompok tertentu yang terikat dengan kekuasaan. Aspek keadilan yang telah dikesampingkan dalam UU Cipta Kerja berkaitan dengan proses legislasi yang tidak dilakukan atas kehendak dan kepentingan rakyat. Pembentuk undang-undang seolah-olah membuat urgensitas dengan dalil dan dalih ekonomi dan kepentingan rakyat untuk membahas dan mengesahkan UU Cipta Kerja dengan mekanisme yang tidak proporsional, kilat dan tidak partisipatif. Hilangnya peran rakyat sebagai warga negara sebagai subjek yang utuh dari objek keberlakuan UU Cipta Kerja mengesankan partisipasi publik yang semu pada proses pembahasan UU Cipta Kerja. Fakta tersebut semakin menunjukkan dan menegaskan bahwa produk hukum Indonesia cacat secara ideologis17 dari sistem ekonomi Pancasila18 dan secara

diam-diam telah berganti badan menjadi sistem ekonomi yang neoliberal.19 Roh UU Cipta Kerja yang mengandalkan ekonomi sebagai panglima atau dengan kata lain pasar sebagai penentu baik atau buruknya sebuah bangsa adalah salah satu ciri khas dari negara neoliberal.

Maka pengujian UU Cipta Kerja yang telah diputus pada tahun 2021 diharapkan dapat mengatasi pergeseran ideologis tersebut. Putusan MK pada dasarnya merupakan mahkota MK sebagai wujud nyata dari checks and balances.20 Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada intinya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional namun dengan beberapa syarat agar konstitusional yakni dengan “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan” dan “bila dalam jangka waktu tersebut UU Cipta Kerja tidak diperbaiki, UU tersebut secara konstitusional secara permanen”.21 Bentuk putusan tersebut merupakan varian putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dari varian lainnya yakni putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), putusan yang menunda pemberlakuan putusan (limited constitutional) dan putusan yang merumuskan norma baru.22 Terlepas dari bentuk varian putusan yang dihadirkan oleh MK telah menyimpangi apa yang tertulis pada UU MK yang hanya mengamanatkan bentuk putusan diterima, tidak dapat diterima atau ditolak, yang dalam penelitian ini pembahasan tersebut dikesampingkan dan dianggap sebagai bentuk progresifitas dan kemerdekaan hakim MK.

Bentuk putusan MK dengan varian inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) secara tidak langsung mengubah paradigma MK dari negative legislature menjadi positive legislature. Perubahan paradigma ini mengakibatkan MK tidak lagi hanya membatalkan suatu frasa, ayat, pasal dan/atau undang-undang, melainkan telah menciptakan norma baru dalam putusannya.23 Paradigma inilah mengakibatkan perlu adanya tindak lanjut implementasi putusan MK pada perbaikan produk undang-undang oleh pembentuk undang-undang. Putusan MK sejatinya mengamanatkan

sebuah mandat konstitusional24 dalam putusan tentang UU Cipta Kerja. Presiden Joko Widodo secara mengejutkan pada akhir tahun 2022 lalu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (PERPPU Cipta Kerja) salah satunya dengan dalih melaksanakan hasil putusan MK tentang Cipta Kerja.25 Kesesuaian mandat konstitusional pada putusan MK tentang UU Cipta Kerja dengan tindakan yang diambil oleh pembentuk undang-undang memunculkan perdebatan dalam ketatanegaraan Indonesia.

Kegiatan legislasi memang seringkali menimbulkan ketegangan antar institusi yang saling berinteraksi.26 Pada konteks Indonesia, muncul potensi dan aktualisasi ketegangan antara MK dengan pembentuk undang-undang.27 Oleh karena itu, tindakan Presiden Joko Widodo menjadi titik penting dalam melihat kepatuhan putusan peradilan konstitusi oleh para pembentuk undang-undang dalam menjalankan mandat konstitusional dari putusan MK. Skeptisisme ini jelas dimunculkan dikarenakan adanya kecenderungan beberapa putusan MK yang tidak ditindaklanjuti bahkan oleh addressat putusan.28 Implementasi putusan MK menjadi esensi penting dalam upaya menjaga hak konstitusional warga negara.29 Putusan MK diharapkan dapat memberikan pengaruh pembentuk undang-undang dalam menjalankan amanat konstitusi dalam membentuk produk hukum.30 Kecenderungan yang terjadi memang adanya keberagaman respon yang diambil oleh addressat putusan MK31, namun pengimplementasian putusan MK akan sangat absurd apabila tanpa adanya respon positif oleh addressat putusan MK.32 Apabila Tindakan tersebut di atas terus terjadi, maka akan memunculkan fenomena delegitimasi konstitusional hingga runtuhnya demokrasi.33

Secara perjalanan historis implementasi putusan MK yang cukup rendah, apalagi menyangkut hal-hal yang strategis.34 Gejala ini sudah dimulai semenjak tahun 2004 atau setahun pasca berdirinya MK, khususnya pada putusan nomor 002/PUU-I/2003.35 Fenomena ini mengakibatan efektifitas putusan MK bergantung pada institusi-institusi politik yang mendukungnya.36 Argumentasi ini sebagaimana dikemukakan oleh Richard H. Fallon pada tulisannya yang berjudul Implementation the Constitution bahwa ”If we the Court central role as implementing the Constitution, we can better understand why the Justice sometimes must compromise their own view about what would be best in order to achieve coherent, workable constitutional doctrine”.37 Fenomena sebagaimana diuraikan tersebut menggambarkan posisi dari putusan MK yang seolah-olah tidak mempunyai makna.38 Bilamana implementasi mandat konstitusional putusan MK masih dalam pola yang sama, MK lambat laun akan ditinggalkan oleh pencari keadilan39 serta secara tidak langsung mengokohkan cabang kekuasaan lain secara paripurna. Hal inilah yang akan menjadi titik sentral dalam tulisan penelitian ini guna melihat kepatuhan pembentuk undang-undang terhadap putusan MK tentang Cipta Kerja.

Guna mendapatkan sajian analisis yang komprehensif terhadap implementasi putusan 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentuk undang-undang, penelitian ini akan mengelaborasi dengan menjawab dua rumusan masalah yang berkaitan dengan (i) kekuatan eksekutorial dalam sifat final dan mengingat putusan MK terhadap tindak lanjut putusan MK oleh pembentuk UU dan (ii) implementasi mandat konstitusional Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Cipta Kerja pada PERPPU Cipta Kerja dalam dinamika hubungan MK dengan pembentuk UU. Dalam studi pustaka terhadap penelitian ini, terdapat beberapa penelitian yang telah meneliti berkaitan dengan implementasi putusan MK dalam dinamika hubungan MK dengan pembentuk undang-undang. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Rizki Wahyudi, M. Gaussyah, Darmawan dengan judul “Optimalisasi Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dengan hasil penelitian (i) masih terdapat putusan MK yang belum mencerminkan kekuatan eksekutorial pada sifat dan mengikatnya dan (ii) upaya yang dapat dilakukan dalam mengefektifkan putusan MK adalah melalui amandemen UUD

NRI Tahun 1945 dan revisi UU MK.40 Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Mahrus Ali, Meyrinda Rahmawaty Hilipito dan Syukri Asy’ari dengan judul “Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Konstitusional Bersyarat Serta Memuat Norma Baru” dengan hasil penelitian (i) tindak lanjut bagi addressat putusan MK yakni pembentuk UU akan berlaku apabila varian putusan yang diberlakukan adalah putusan yang bersifat konstitusional bersyarat, putusan inkonstitusional yang bersyarat, perumusan norma baru yang dilakukan oleh MK dan (ii) disharmoni institusional secara vertikal dan horizontal akibat dari ragam varian putusan dari MK.41 Berdasarkan studi pustaka tersebut, penelitian ini akan menawarkan objek kajian implementasi putusan MK tentang Cipta Kerja oleh pembentuk undang-undang dengan mempertimbangkan kekuatan eksekutorial sifat final dan mengikat mandat konstitusional pada putusan tersebut serta analisis implementasi putusan tersebut pada PERPPU Cipta Kerja. Penelitian ini pada akhirnya akan menunjukkan terdapat masalah yuridis-politis dalam implementasi sebuah putusan MK.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini mengkombinasikan metode normatif-doktrinal42 dengan pendekatan kontekstual, pendekatan perundang-undangan (statue approach),43 pendekatan konsep (concept approach) dan pendekatan kasus (case approach).44 Analisis pada penelitian ini akan melihat kompatibilitas dan analisis terhadap tindak lanjut dari mandat konstitusional MK yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Dengan dilakukannya analisis tersebut, hendak diketahui sifat final dan mengikat putusan MK tentang Cipta Kerja dalam kepatuhan implementasinya oleh pembentuk undang-undang dengan mengelaborasinya dengan pendekatan konsep dalam melihat doktrinasi kekuatan eksekutorial putusan MK. Selain menganalisis implementasi putusan MK, penelitian ini juga akan melakukan eksplorasi dengan menghadirkan pendekatan kontekstual guna melihat dan menilai suasana dan/atau faktor politik yang mempengaruhi institusi politik yang dalam hal ini pembentuk undang-undang untuk mematuhi/tidak mematuhi45 putusan MK tentang Cipta Kerja. Hirschl lebih lanjut

menguraikan bahwa kajian tata negara saat ini tidak boleh dilepaskan dari aspek dimensi politik yang selalu mengelilingi dan mempengaruhinya yang dalam konteks ini dilihat pada pada periodisasi proses legislasi dan proses yudisial pengujian konstitusionalitasnya di MK.46 Luputnya aspek tersebut dalam kajian ketatanegaraan, tidak jarang membuat kajian tata negara terlihat kering dan parsial dalam satu kacamata baku.

  • 3.    Hasil dan dan Pembahasan

  • 3.    1. Kekuatan Eksekutorial pada Sifat Final dan Mengikat Putusan Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi terhadap Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi kepada Pembentuk Undang-Undang

  • a.    Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan MK pengujian undang-undang memiliki sifat final dan mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Sifat final dan mengikat putusan MK ini dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menguraikan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan…”,47 lalu diatur pula pada aturan derivatifnya melalui Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menguraikan “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh” 48 dan Pasal 47 UU MK yang mempertegas sifat final dan kekuatan hukum putusan MK yang menguraikan “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.”49 Ketentuan tersebut mempertegas kembali mengenai keberadaan MK lewat putusan yang dikeluarkannya sebagai peradilan yang pertama dan terakhir yang sebagaimana sifat putusannya yang bersifat final dan mengikat.

Perlu diketahui bahwa muncul dua perdebatan dalam sifat putusan ini, ketiadaan mencantumkan frasa “mengikat” pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dianggap sebagai kesalahan fatal dalam amandemen UUD pada masa lalu. Disisi lain, frasa “final” sejatinya sudah cukup memberikan makna mengikat dikarenakan tidak

lagi forum peradilan yang dapat diupayakan, oleh karena itu, secara serta merta merta, putusan MK sejatinya sudah mengikat sejak diputuskan oleh hakim MK. Selain itu, dalam tataran hukum acara MK juga terdapat disparitas hukum yang pada Pasal 41 PMK Nomor 06/PMK/2005 menyebutkan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.50 Sedangkan Pasal 40 PMK Nomor 06/PMK/2005 menyebutkan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung”.51 Norma tersebut telah menunjukkan telah terjadi disparitas terhadap bentuk perlakuan dari putusan MK.52

Selain sifat final dan mengikat, putusan MK apabila ditelisik pada amar putusanya memiliki sifat declaratoir-constitutief. Sifat declaratoir memiliki arti apa yang menjadi dan apa yang semestinya menjadi sebuah hukum. Sedangkan bersifat constitutief bermakna suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru.53 MK telah menciptakan beberapa varian putusan baru yakni konstitusional bersyarat, putusan inkonstitusional bersyarat, putusan yang pemberlakuannya ditunda dan putusan yang merumuskan norma baru, keseluruhan putusan tersebut merupakan jenis putus yang tergolong ‘non-selfimplementing’, yang berarti diperlukan tindak lanjut atas putusan tersebut. Tindak lanjut putusan tersebut ditujukkan kepada addressat-nya untuk melaksanakan tindakan hukum tertentu54, lewat mandate yang dituangkan dalam putusan tersebut. Varian bentuk putusan dari pengujian UU Cipta Kerja yang masuk pada varian inkonstitusional bersyarat tentu perlu mekanisme tindak lanjuti oleh addressat putusan MK.55 Addressat putusan tersebut jelasnya ditujukan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan baik tata cara maupun substansi dari UU Cipta Kerja.

Substansi dari sifat final dan mengikat serta sifat declaratoir constitutief dari sebuah putusan MK dapat diamati salah satunya lewat substansi dari pertimbang hukum

dibedakan menjadi dua bentuk, pertama bentuk ratio decidendi dan kedua bentuk obiter dictum.56 Ratio decidendi secara sederhana dapat dimaknai sebagai konstruksi logis yang didasari oleh argumentasi filosofis, yuridis dan sosiologis dalam mempertimbangkan pilihan hakim dalam menentukan putusan dalam mengadili, memeriksa dan memutus suatu perkara. Pertimbangan hukum tersebut juga merupakan satu kesatuan yang dari amar putusan yang dibuat, oleh karenanya ia sama sama memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Obiter dictum secara sederhana merupakan cara yang digunakan hakim dalam memperjelas pertimbangan hukum lewat analogi yang digunakan dalam mengkonstruksi dan menunjunjang argumentasi pada pertimbangan hukum. Dikotomi dalam pertimbangan putusan MK ini perlu dipahami secara baik dikarenakan pembentuk undang-undang kerap kali tidak mengindahkan mandat konstitusional yang tertuang dalam ratio decidendi putusan MK yang menentukan secara tegas, lugas dan limitatif terhadap suatu hal yang perlu ditindak lanjuti oleh pembentuk undang-undang.

Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar menguraikan bahwa Putusan MK memiliki tiga kekuatan yakni, (i) kekuatan mengikat, (ii) kekuatan pembuktian dan (iii) kekuatan eksekutorial.57 Kekuatan mengikat dari putusan MK dimaknai sebagai sifat dari final dan mengikat dari putusan MK yang juga berlaku secara erga omnes. Kekuatan pembuktian dari putusan MK, menempatkannya sebagai instrumen yang dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah dan kuat (gezag van gewijsde). Putusan MK juga mengisyatakan soal kekuatan kekuatan eksekutorialnya dengan keberlakuan putusan MK terhadap undang-undang yang diujikan, sehingga dapat diketahui bagian tertentu mana yang masih atau tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagai daya keberlakuan sebuah aturan. Kekuatan inilah yang menjadi keniscayaan bagi putusan MK yang mesti untuk ditindaklanjuti agar putusan MK dapat dijalankan sesuai dengan intensionalitas putusan tersebut dan menghindarkan bias penafsiran lewat anasir nonhukum yang secara dibuat sebagai bentuk tendensi intervensi secara politis.58

Fajar laksono lebih lanjut menguraikan aspek keadilan dalam putusan MK memiliki beberapa alasan yakni (i) kedudukan konstitusi dalam makna hukum tertinggi yang mencerminkan ketaatan terhadap hukum keadilan yang diciptakan oleh MK sebagai satu-satunya yang dapat menguji konstitusionalitas dari sebuah produk undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, (ii) keberadaan sifat final daripada putusan MK adalah sebagai bentuk terhadap kewibawaan dari peradilan MK dan (iii) resiko putusan MK yang mengandung kesalahan atau kekeliruan tidak mungkin ditiadakan meskipun

dapat diminimalisir59. Hal tersebut semakin ditegaskan oleh pendapat Mahfud MD yang bahwa putusan MK harus tetap final karena (a) pilihan putusan yang bergantung pada perspektif teori, doktrin dan perspektif lain yang digunakan oleh hakim, (b) eksistensi putusan hakim dalam menyelesaikan perbedaan dan (c) sifat final sebagai sebuah keniscayaan.60 Sifat final dari putusan MK semestinya dianggap sebagai kebenaran yang mesti diakui dan terjustifikasi konstitusionalitasnya.

  • b.    Putusan Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai Quasi Undang-Undang/Semi Undang-Undang

Posisi MK sejatinya adalah sebagai negative legislature yang berwenang untuk membatalkan sebuah norma61 dan tidak menciptakan hukum yang baru. Hans Kelsen menggarisbawahi peran MK sebagai negative legislature dengan menyatakan bahwa “a court which is competent to abolish laws-individually or generally-function as a negative legislature”.62 Hans Kelsen sejatinya ingin menunjukan letak teritorial wilayah kewenangan yurisdiksi konstitusional dari MK dengan sebutan “purely juridical mission, that of interpreting the Constitution” untuk menyatakan sebuah undang-undang telah inkonstitusional.63 Seiring berjalannya MK sebagai lembaga pengawal konstitusi, muncul aliran progresif baru dengan membuat beberapa varian putusan MK dengan bentuk inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) yang secara tidak langsung menggeser paradigma MK dari negative legislature ke positive legislature.64 Kondisi tersebut telah menghasilkan patologi baru dalam mekanisme judicial review yang menempatkan MK bukan hanya sekadar berdiri sebagai badan peradilan sebagai fungsi yudikatif, melainkan telah menunjukkan progresifitas dengan mengkonstruksikan hukum baru dalam sebuah putusan.

Gambar 1. Irisan Konstruksi Quasi Legislasi oleh Putusan MK

Quasi Undang-Undang

Perubahan paradigma peran MK sebagai positive legislature serta ditambah bahwa putusan MK juga bersifat erga omnes, maka dua irisan tersebut telah menghasilkan logika baru peran MK yang telah memasuki fungsi legislasi semu, legislasi semu dalam MK dapat digambarkan bahwa hakim tidak lagi sekadar memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu peristiwa konkret, melainkan sudah pada tatanan pembentukan hukum itu sendiri secara semu. Pembentukan hukum merupakan peristiwa yang dapat dikualifisir sebagai kegiatan dalam kapasitas fungsi legislasi.65 Sifat putusan MK yang erga omnes dapat dimaknai bahwa, putusan MK berlaku dan mengikat secara umum, sifat berlaku dan mengikat secara umum dapat dipadupadankan layaknya keberlakuan dari sebuah undang-undang. Hal itulah yang mencirikan perbedaan antara putusan MK dengan putusan pada badan peradilan lainnya. Irisan antara dua hal inilah yang dalam tulisan penelitian ini secara tidak langsung mengkualifisir putusan MK sebagai bentuk dari quasi undang-undang atau undang-undang yang bersifat semu dengan proses legislasi semu pula.

Sifat quasi undang-undang atau undang-undang semu yang berasal dari putusan MK dalam praktek dapat dimaknai pula sebagai bagian dari undang-undang apabila terdapat amar yang memerintah konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat. Sifat putusan MK yang bersifat final dan mengikat dengan varian putusan tersebut menimbulkan konsekuensi logis putusan MK harus dipatuhi layaknya undang-undang.66 Namun, agar putusan MK dapat berlaku sebagai suatu undang-undang yang sempurna, karena sifatnya masih quasi, maka tetap diperlukan legitimasi lebih lanjut yang dilakukan melalui proses legislasi yang sesungguhnya oleh pembentuk undang-

undang.67 Hal ini juga diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d yang menguraikan bahwa “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau…”.68 Tindak lanjut yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang memiliki nilai esensi penting dalam memastikan suatu ketentuan undang-undang dapat mencerminkan keadilan, kebermanfaatan dan kepastian hukum.

  • c.    Pembangkangan Putusan MK atas Pengujian Undang-Undang Sebagai Contempt of Constitution atau Constitutional Disobedience

Dalam setiap putusan MK tegasnya termaktub suatu mandat konstitusional yang patut dipatuhi oleh setiap warga negara dikarenakan sifatnya yang erga omnes, namun terlebih lagi secara khusus kepada addressat putusan MK kepada pembentuk undang-undang. Putusan MK yang menguji konstitusional sebuah UU dapat dianalogikan dalam kapasitasnya menjaga konstitusi (guardian of the constitution), oleh karena itu pembangkangan terhadap putusan MK juga dapat bermakna sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Dalam konteks inilah logika ini seharusnya digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam menindaklanjuti putusan MK. Tindak lanjut tersebut dapat dinilai dengan kesesuaian apa yang diamanatkan pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020 dengan produk hukum yang dikeluarkan oleh pembentuk undang-undang. Apabila pembentuk undang-undang tidak melakukan tindakan perbaikan ataupun perbaikan yang dilakukan tidak sesuai dengan mandat yang ditegaskan dalam putusan, maka secara tidak langsung DPR dan Presiden telah melakukan Tindakan penghinaan terhadap konstitusi (contempt of constitution) atau lebih-lebih sebagai pembangkangan terhadap konstitusi (constitutional disobedience).

Argumentasi yang dapat menjustifikasi pendapat tersebut adalah dengan menggunakan elaborasi logika dasar konstitusi yakni UUD NRI Tahun 1945 dan UU MK. Simon Butt lebih lanjut menguraikan bahwa pembentuk UU mesti wajib mentaati putusan MK dengan beberapa alasan yakni (i) Pasal 4 UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Presiden mesti menjalankan kekuasaan pemerintahan sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945, (ii), Presiden telah mengambil sumpah jabatan untuk memegang teguh dan taat terhadap ketentuan konstitusi dan (iii) Pasal 1 Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan jika “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.69 Kekuasaan yang diberikan konstitusi kepada pembentuk UU yakni DPR bersama-sama dengan Presiden wajib untuk tunduk dan patuh terhadap ketentuan konstitusi, dalam hal pengujian UU di MK, sebetulnya dengan menggunakan logika konstitusi dan UU MK, maka sudah tegas dan

jelas bahwa DPR bersama-sama dengan Presiden mesti menaati mandat konstitusional dari putusan MK.70

  • 3.    2. Implementasi Mandat Konstitusional Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Terhadap PERPPU Cipta Kerja Dalam Dinamika Hubungan MK dan Pembentuk Undang-Undang

Salah satu persoalan atas putusan MK adalah mengenai implementasi putusan oleh MK sebagai bentuk dari praktek mekanisme checks and balances terhadap lembaga pembentuk undang-undang.71 Titik pijakan yang dapat digunakan sebagai pisau awal dalam menganalisis konstitusionalitas dari PERPPU Cipta Kerja tersebut adalah disandarkan dengan membaca bagian konsideransnya. Konsiderans PERPPU Cipta Kerja dengan tegas menuliskan bahwa “bahwa untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9I/PUU-XVIII/ 2O2O, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja”.72 Pelaksanaan putusan MK Nomor 9I/PUU-XVIII/ 2O2O digunakan sebagai batu pijakan argumentasi dari pembentukan PERPPU tersebut, maka oleh karenanya penting untuk melakukan analisis mendalam terhadap dua instrumen penting yakni (i) putusan MK Nomor 9I/PUU-XVIII/ 2O2O dan (ii) PERPPU Cipta Kerja guna melihat kompatibilitas, koherensi dan komprehensifitas dari pembentukannya. Mengamati ketiga hal tersebut penting dalam melihat terlaksana/tidak terlaksananya putusan MK agar tidak terjadi deligitimasi terhadap ketaatan konstitusi.73

Putusan MK telah memberikan beberapa rambu-rambu konstitusional lewat mandat yang dituangkan dalam putusannya yang mesti ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang. Fajar Laksono Suroso menguraikan mandat konstitusional oleh MK dibagi dalam beberapa varian yang terdiri dari:

“(i) saran, rekomendasi, anjuran atau dorongan untuk melakukan perubahan, penyempurnaan dan pembentukan undang-undang, (ii) pemberian alternatif penormaan dalam membentuk undang-undang, (iii) larangan membuat norma tertentu, (iv) keharusan memuat norma spesifik dalam pembentukan undang-undang, (v) keharusan melakukan perubahan, penyempurnaan atau pembentukan undang-undang dengan memberikan batas waktu penyelesaian dan (vi) keharusan melakukan perubahan, penyempurnaan atau pembentukan undang-undang dengan memberikan batas waktu penyelesaian dan konsekuensi jika tidak dilaksanakan”.74

Dimensi varian itulah yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini sebagai basis analisis dalam mengkaji kompatibilitas, koherensi dan komprehensifitas putusan MK tentang Cipta Kerjat terhadap PERPPU Cipta Kerja.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 pada paragraf 3.20.3 mengamanatkan bahwa:

“Bahwa dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan ini Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU 11/2020 a quo dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan tersebut Mahkamah memandang perlu memberi batas waktu bagi pembentuk UU melakukan perbaikan tata cara dalam pembentukan UU 11/2020 selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam waktu 2 (dua) tahun, UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, maka Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi inkonstitusional secara permanen.” 75

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 pada paragraf 3.20.4 mengamanatkan bahwa:

“Bahwa apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk UU tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU 11/2020 maka demi kepastian hukum terutama untuk menghindari kekosongan hukum atas undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah tersebut harus dinyatakan berlaku kembali” 76

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 pada paragraf 3.20.5 mengamanatkan bahwa:

Bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU 11/2020 selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut” 77

Analisis terhadap Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 menyiratkan 5 (lima) mandat konstitusional yang mengamanatkan (i) pengaturan mekanisme omnibus dalam membentuk peraturan perundang-undangan, (ii) pembentukan peraturan perundang-undangan dengan menerapkan asas keterbukaan dan mekanisme partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, (iii) limitasi perbaikan yang diamanatkan hanya selama 2 (dua) tahun dan apabila tidak dilaksanakan dalam jangka waktu tersebut, UU Cipta Kerja akan inkonstitusional, (iv) diberlakukannya kembali ketentuan norma yang lama apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun tidak diperbaiki dan (v) amanat untuk tidak mengeluarkan peraturan pelaksana dan kebijakan strategis selama masa perbaikan UU Cipta Kerja. Dalam kaitan hubungan mandat tersebut dalam kaitan dasar pembentukan PERPPU, maka ada 3 mandat yang berkaitan yanki mandate konstitusional pada poin (i), (iii) dan (iii). Hasil analisis kesesuaian mandat konstitusional putusan MK tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Tabel 1. Komparasi Mandat Konstitusional pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan PERPPU dan UU Cipta Kerja

Mandat Konstitusional Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020

Formulasi Mandat

Konstitusional Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 Pada PERPPU Cipta Kerja

Formulasi Ideal Mandat

Konstitusional Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 Pada Undang-Undang Cipta Kerja

Pengaturan    Metode

Omnibus       dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Metode omnibus telah diadopsi lewat perubahan kedua UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal tersebut lalu diikuti oleh pembentukan PERPPU Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus

Mandat konstitusional dengan penggunaan metode omnibus telah diadopsi dalam PERPPU Cipta Kerja sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan. Namun, terlepas hal tersebut telah diakomodir, ada catatan mengenai penggunaan metode omnibus dalam PERPPU sebagai produk hukum pada keadaan ketatanegaraan darurat yang dianggap tidak kompatibel

Asas     Keterbukaan

Dengan     Partisipasi

Masyarakat      yang

Maksimal  dan  Lebih

Bermakna

UU      Pembentukan

Peraturan    Perundang-

Undangan         telah

mengadopsi secara lebih

detail          mengenai

UU Cipta Kerja semestinya dilakukan proses legislasi normal agar proses formulasi proseduralnya dapat dilakukan dengan

mekanisme partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna. Mekanisme PERPPU Cipta Kerja telah menghilangkan makna partisipasi yang maksimal dan lebih bermakna dikarenakan mekanisme PERPPU yang langsung dikeluarkan oleh Presiden dan tidak melalui proses legislasi.

mekanisme dalam ketentuan asas pembentukan perundang-undangan serta mekanisme partisipasi masyarakat yang maksimal dan bermakna

Durasi      Perbaikan

Selama 2 (dua) Tahun

Perbaikan Uu Cipta Kerja dilakukan melalui produk hukum PERPPU, bukan UU

Perbaikan yang dikehendaki sebagaimana mandate konstitusional adalah melalui produk hukum UU

Tidak membentuk peraturan pelaksana baru dan kebijakan strategis yang berdampak luas

-

-

Keberlakuan kembali undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah bila tidak diperbaiki dalam 2 (dua) tahun

-

-

Sumber: diolah oleh Penulis dari hasil analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam skema sebagaimana uraian Tabel 1, PERPPU Cipta Kerja sejatinya tidak memenuhi mandat konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020. Sikap pembentuk undang-undang terhadap putusan tersebut merupakan permasalahan secara konstitusional dalam hukum tata negara di Indonesia. Berkaitan dengan fenomena tersebut, Tom Ginsburg menguraikan bahwa addressat putusan MK memiliki beberapa pilihan dalam menindaklanjuti serta merespon putusan MK dengan (i) mematuhi dan melaksanakan putusan MK sebagai dengan tanpa syarat, (ii) tindakan pengabaian dari dari putusan MK yang menjadikan putusan MK menjadi tidak efektif, (iii) mencari dan menggunakan segala dalil dan dalih hukum untuk menolak putusan MK dengan bahkan melakukan revisi terhadap konstitusi maupun

undang-undang yang mengatur MK dan (iv) penyerangan terhadap kelembagaan dan independensi kekuasaan dari MK.78 Ilustrasi beberapa skema tersebut, sangat nampak bahwa sejatinya addressat putusan MK yang ditujukan kepada pemerintah dan DPR dalam kaitannya dengan Putusan MK tentang UU Cipta Kerja dengan PERPPU yang dikeluarkan tidak mematuhi isi putusan dan mengangkangi isi putusan tersebut dengan tafsir yang sesat.

Penelitian dalam konteks implementasi mandat konstitusional putusan MK ini hendak memperlihatkan aspek epistemologis alasan pengabaian putusan MK dalam aspek yuridis-politis. Selain yang disebutkan oleh Ginsburg, salah satu hal yang belum terpotret yang mengakibatkan pembangkangan putusan MK oleh pembentuk undang-undang adalah dikarenakan Putusan MK tentang Cipta Kerja sangat ambigu dan kontradiktif, akibatnya putusan tersebut yang diharapkan akan menyelesaikan masalah justru membuat persoalan baru.79 Dalam konteks ini, persoalan ini terlihat pada ketidaksinkronan antara pertimbangan hukum putusan (posita) dengan amar putusan (terjadi suatu paradoks/pertentangan).80 Pada pertimbangan hukumnya, MK jelas menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tidak memenuhi syarat formil pembentukan undang-undang yang baik.81 Namun pada amar putusan, MK malah tidak membatalkan UU secara keseluruhan, melainkan memberikan tempo waktu selama 2 (dua) tahun untuk memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja.82 Efeknya putusan bersangkutan menuai kontroversi publik, karena putusan Mahkamah Konstitusi justru menimbulkan kebingungan atau ambiguitas.

Denny Indrayana menguraikan secara tegas 5 (lima) ambiguitas dalam Putusan MK tentang UU Cipta Kerja yang diuraikan bahwa, pertama, MK secara tegas menyatakan dalam pertimbangan hukum bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, namun masih diberi ruang untuk berlaku selama 2 (dua) tahun, kedua, jumlah putusan mengenai pengujian UU Cipta Kerja yang dibacakan oleh MK berjumlah 12 dan 10 diantara kehilangan objek padahal UU Cipta Kerja masih berlaku selama 2 ( tahun), ketiga, 10 putusan yang dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK berpotensi menjadi dasar impunitas konstitusi, keempat, putusan MK multi tafsir dan tidak tegas karena menempatkan MK pada keragu-raguan dan kelima, MK menerapkan multi standar pada pengujian formil UU.83 Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK)

UII juga menguraikan berkaitan dengan ambiguitas putusan MK bahwa, pertama, ambiguitas konsep inkonstitusional dan konstitusional bersyarat dan kedua, melahirkan ketidakpastian hukum.84

Bila di telisik, bentuk putusan dalam pengujian formil UU Cipta Kerja diambil oleh MK dikarenakan alasan kepastian hukum dengan dalih progresifitas85 dan utilitarian.86 Dalih progresifitas dapat diamati dalam bentuk pilihan MK dengan mengambil jalan tengah dengan dengan putusan inkonstitusionalitas bersyarat, kendati MK mengakui terdapat cacat prosedural-formil dalam UU Cipta Kerja. Dalih utilitarianisme dalam putusan tersebut adalah bentuk pilihan putusan berupa inkonstitusionalitas bersyarat yang diambil oleh MK demi menghindari ketidakteraturan hukum di masyarakat apabila seluruh norma dalam UU Cipta Kerja dibatalkan. Sifat proporsionalitas antara kepastian hukum dan keadilan hukum telah lama menjadi perdebatan. Radbruch menguraikan dualisme ini sebagai dua mata koin sebagai “material fills form and form protect material”.87 Radbruch menguraikan bahwa ketika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka keadilan hukumlah yang semestinya menjadi prioritas.88 Oleh karena itu, konsiderasi dualism hukum tersebut semestinya diperhatikan baik-baik oleh MK sebelum memutuskan suatu perkara terkhususnya mengenai pengujian undang-undang.89

Selain itu, dalam perspektif politik hukum pembentukan PERPPU Cipta Kerja, argumentasi dari Gardbaum setidaknya dapat memberikan pemahaman lain mengenai ketidakpatuhan institusi politik dalam mematuhi putusan MK. Gardbaum menguraikan bahwa masalah umum bagi pengadilan konstitusi di negara-negara yang baru saja bertransisi ke demokrasi adalah relasi yang terjalin antara institusi yang bekerja dalam fungsi yudisial dengan institusi yang bekerja dalam legislasi yang sangat rawan atau bahkan dapat dipastikan rentan mengakarnya konflik90 baik pertentangan maupun

konflik kepentingan yang mengakibatkan peran MK menjadi peradilan politik. Dalam konteks Indonesia, kekhawatiran Gardbaum telah muncul beberapa kali, salah satunya termasuk dalam penetapan PERPPU Cipta Kerja. Oleh karena itu, menurut Tocqueville “how can courts, and judges whom serve on them, constraint governing majorities in practice?”.91 Esensi pertanyaan tersebut adalah peradilan berperan membatasi kekuasaan politik kelompok terbesar. Itu sebabnya, majority rule kerap menempatkan peradilan sebagai ancaman potensial bagi kebijakan kekuasaan negara yang dicanangkan.

Fenomena ketidaksesuaian mandat konstitusional putusan MK tersebut menunjukkan bahwa putusan MK akan selalu bergantung pada cabang kekuasaan lain sebagai addressat dari putusan MK.92 Hal ini juga secara tidak langsung menunjukkan, kendati pun MK ditempatkan dalam posisi sejajar dalam dengan cabang kekuasaan yang lain, namun dalam implementasi putusan MK, ia menunjukkan posisi yang sangat lemah di antara cabang-cabang kekuasaan negara lainnya (the least dangerous power, with no purse nor sword).93 Penetapan PERPPU oleh Presiden jelas menunjukan respon negatif terhadap putusan MK. Respon ini lah sebagai faktor utama yang menyebabkan sering terjadi diskontinuitas tidak lanjut putusan MK dengan realitas politik.94 Padahal secara fundamental, wujud hukum tidak hanya sebatas peraturan perundang-undangan yang berlaku mengikat namun menjelma juga dalam putusan-putusan pengadilan yang juga bersifat mengatur dan memaksa.95 Secara tidak langsung, fenomena tersebut telah menunjukkan putusan MK hanya sekedar macan kertas96 yang tidak memiliki daya penegakan konstitusi yang hakiki.

PERPPU Cipta Kerja memperlihatkan fenomena unik, lain yurisprudensi lain pula arah politik hukum yang hendak dituju penyelenggara negara.97 Padahal putusan MK tentang Cipta Kerja dapat diikat dalam sebuah adagium “bahwa setiap koreksi sejatinya menghasilkan revisi”.98 Putusan MK tentang pengujian UU Cipta Kerja dan PERPPU Cipta Kerja telah memperlihatkan orkertrasi kekuasaan yang tidak menghormati kedudukan dari lembaga peradilan dalam mekanisme judicial review. Secara genealogis, hal tersebut

dapat disebabkan pula oleh adanya legasi orde baru yang hingga saat ini masih memegang kendali terhadap kekuasaan politik dan ekonomi secara diam-diam,99 sebagaimana semangat ekonomistik pada UU Cipta Kerja. Institusi politik Indonesia tidak bisa menerima ketika mereka melihat adanya satu institusi baru yang dapat membatalkan produk hukum yang mereka buat.100 Hal ini menandakan sebuah kegugup dan kegagapan dari institusi pembentuk undang-undang dalam melaksanakan amanat konstitusi.101 Pengabaian putusan MK hanya akan menjadi MK sebagai institusi yang menjalankan ritual pengujian tapi gagal melimpahkan keadilan.102 Konsekuensi yang muncul adalah adanya ketakutan akan kecenderungan sejarah otoritarianisme yang akan muncul kembali dengan menggunakan instrumen PERPPU dengan tidak melibatkan proses legislasi dalam pembentukannya.103

  • 4.    Kesimpulan

Dinamika implementasi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020 tentang pengujian UU Cipta Kerja menjadi pola baru dalam hubungan MK dengan pembentuk undang-undang. Putusan pengujian formil UU Cipta Kerja sejatinya memiliki kekuatan hukum mengikat dikarenakan sifat putusan MK yang final dan mengikat secara erga omnes. Karakteristik putusan MK mengenai UU Cipta Kerja yang tergolong pada varian jenis putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) berdampak pada sifat putusan yang non-self-implementing yang mengakibatkan sebuah keharusan bagi pembentuk undang-undang untuk menindak lanjuti putusan tersebut berdasarkan mandat konstitusional yang tertuang dalam pertimbangan hukum serta amar putusan. Dalam penelitian ini juga menawarkan perkembangan teori bahwa sejatinya Putusan MK melalui karakteristik inkonstitusional bersyarat membuat Putusan MK sebagai quasi undang-undang atau undang-undang semu. Tindakan untuk tidak mentaati putusan MK merupakan bentuk dari contempt of constitution/constitution disobedience. Lebih lanjut, dalam konteks analisis implementasi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020 dalam PERPPU Cipta Kerja menunjukkan adanya ketidaksesuaian mandat konstitusional yang dimandatkan dengan implementasi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Ketidaksesuaian ini salah satunya dapat dijelaskan dalam

konteks analisa yuridis-politis dalam hubungan MK dengan pembentuk UU yang terjadi di Indonesia.

Daftar Pustaka

Buku

Albo, G., & Fanelli, C. (2015). Penghematan Melawan Demokrasi: Fase Otoriter Neoliberalisme. Jakarta: Indoprogress

Apeldoorn, A. (2017). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita

Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press

____________. (2010). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konpress

Benda, E. (2005). Pelaksanaan Keputusan Mahkamah Konstitusi di Negara-Negara Transformasi dengan Contoh Indonesia. Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung

Brewer-Carías, A. (2011). Constitutional Courts as Positive Legislators: A Comparative Law Study. Cambridge: Cambridge University Press

Butt, S. (2015). The Constitutional Court and Democracy in Indonesia. Leiden: Brill

Fallon, Jr, R.H. (2001). Implementing The Constitution. Cambridge: Harvard University

Ginsburg, T. (2003). Judicial Review in New Democracies, Constitutional Court in Asian Cases.

Cambridge: Cambridge University Press

Hamilton, A. (2008). “The Federalist Paper” dalam Maruarar Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi Yang Hidup.Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

Harahap, Y. (1997). Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan & Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti

Harman, B.K. Peranan Mahkamah Konstitusi Dalam Mewujudkan Reformasi Hukum, dalam Harun, R., Husein, Z.A.M., & Bisariyadi (eds). (2004). Menjaga Denyut Konstitusi: Reflexi satu tahun Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press

Hartono, D. dalam Tim Penyusun. (2010). Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

Hendrianto, S. (2018). Law and Politics of Constitutional Court: Indonesia and the Search for Judicial Heroes. New York: Routledge

Hirschl, R. (2014). Comparative Matters: The Renaissance of Comparative Constitutional Law. Oxford: Oxford University Press

Horowitz, D.L. (2013). Constitutional Change and Democracy in Indonesia. New York: Cambridge University Press

Huda, N. (2012). Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers

Huijbers, T. (1982). Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah. Yogyakarta: Kansius

Ifani, I., & Hasani, I. (2018). Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi 2015-2016: Mendorong Kepatuhan Lembaga Negara Pada Putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Pustaka Masyarakat

Martitah. (2013). Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Jakarta: Konstitusi Press

MD, M.M. (2013). Problematika Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Positive Legislature, dalam Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Jakarta: Konstitusi Press

Ibrahim, J. (2007). Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing

Isra, S. (2010). Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers

Kelsen, H. (1973). General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel

Kusuma, R.M.A.B. (2011). Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensial “Orde Baru”, Jakarta: FH UI

Rohdewohld, R. (1995). Public Administration in Indonesia. Melbourne: Montech Pty Ltd

Sartori, G. (1997). Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry Into Structures, Incentives, and Outcomes. New York: New York University Press

Soemantri, S. (1986). Hak Menguji Material di Indonesia. Bandung: Alumni

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2011). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta

Siahaan, M. (2005). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press

Tocqueville, A.D. (1956). Democracy in America, Specially Edited and Abridge for the Modern Reader by Richard D. Heffner. New York: A Mentor Book Published by The New American Library

Jurnal

Ali, M.M., Hilipito, M.R., & Asy’ari, A. (2015). Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Konstitusional Bersyarat Serta Memuat Norma Baru. Jurnal Konstitusi 12(3), 631-662. doi: https://doi.org/10.31078/jk12310,

Asy’ari, S., Hilipito, M.R dan Ali, M.M. (2013). Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012).       Jurnal       KonstitusI,       10(4),       675-708.       doi:

https://doi.org/10.31078/jk1046

Cahyono, M. (2022). Mengoptimalkan Tingkat Kepatuhan Pembentuk Undang-Undang Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Melalui Metode Weak-Form Review. Jurnal Rechtsvinding, 11(1), 1-17

Damian, E., & Hornick, R.N. (1972). Indonesia’s Formal Legal System: An Introduction.

American Journal of Comparative Law,    20(3),    492-530. doi:

https://doi.org/10.2307/839317

Dressel, B. (2018). Megapolitical Cases Before the Constitutional Court of Indonesia Since 2004:  An Empirical Study. Constitutional  Review,  4(2),  157-187. doi:

https://doi.org/10.31078/consrev421

Gardbaum, S. (2015). Are Strong Constitutional Courts Always a Good Thing for New Democracies? Columbia Journal of Transnational Law 53

Hakim, A.R., & Pratiwi, Y.D. (2022). Positive Legislature dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Upaya Hukum Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran    Utang.    Jurnal    Konstitusi,    19(4),    933-956.    doi:

https://doi.org/10.31078/jk1949

Indrayana, D., & Mochtar, Z.A. (2007). Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Mimbar Hukum, 19(3), 437-454. doi: https://doi.org/10.22146/jmh.19074

Kurniawan, I.G.A. (2022). Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang Cipta Kerja Dalam Perspektif Filsafat Utilitarianisme. Jurnal USM Law Review, 5(1), 282-298. doi: http://dx.doi.org/10.26623/julr.v5i1.4941

Laruffa, F. (2022). Neoliberalism, Economization and the Paradox of the New Welfare State.    European Journal    of Sociology,    63(1),    131-163.    doi:

https://doi.org/10.1017/S0003975622000169

Lumbuun, T.P. (2022). Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh DPR RI. Jurnal Legislasi Indonesia, 6(3), 77-94. doi: https://doi.org/10.54629/jli.v6i3.329

Marwan Hsb, A., & Butar Butar, H.P. (2016). Akibat hukum Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Jurnal Legislasi Indonesia, 13(4), 359-367. doi:

https://doi.org/10.54629/jli.v13i4.82

Marwan Hsb, Ali. (2016). Tindak Lanjut Lembaga Legislatif Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatalkan Ketentuan Dalam Undang-Undang. Jurnal Hukum Perancang Peraturan Perundang-Undangan, 2(1), 23-29

Maulidi, M.A. (2017). Problematika Hukum Implementasi Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi Perspektif Negara Hukum. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 24(4), 535-557. doi: https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss4.art2

MD, M.M. (2009). Rambu Pembatasan dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Hukum IUS QUAI IUSTUM, 16(4),  441-462. doi:

https://doi.org/10.20885/iustum.vol16.iss4.art1

Mubyarto. (2004). Menuju Sistem Ekonomi Pancasila: Reformasi Atau Revolusi. Jurnal Ekonomi      dan      Bisnis      Indonesia,       19(1),      16-26.       doi:

https://doi.org/10.22146/jieb.6586

Roux, T., & Siregar, F. (2016). Trajectories of Curial Power: The Rise, Fall and Partial Rehabilitation of the Indonesian Constitutional Court Australian Journal of Asian Law 16(2), 121-141. SSRN: https://ssrn.com/abstract=2745096

Satrio, A. (2016). Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization of Politics. Jurnal Konstitusi, 12(1), 117-133. doi: https://doi.org/10.31078/jk1217

Saputra, D.A. (2022). The Problem of the Constitutional Court's Decision in the Formal Test of the Job Creation Law. Journal of Law & Legal Reform, 3(4), 521-542. doi: https://doi.org/10.15294/jllr.v3i4.57699

Setiadi, W. (2013). Dukungan Politik Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Rechtsvinding, 2(3), 295-313

Setiawan, A., Antikowati dan Anggono, B.D. (2021). Kekuatan Mengikat Putusan Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi Terhadap Putusan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Oleh Mahkamah Agung. Jurnal Legislasi Indonesia, 18(1), 18-30. doi: https://doi.org/10.54629/jli.v18i1.796

Siahaan, M. (2009). Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi. Jurnal Hukum IUS   QUIA IUSTUM,    16(3),   357-379.    doi:

https://doi.org/10.20885/iustum.vol16.iss3.art3

Simanjuntak, S.H., & Tyesta A.L.W., Lita. (2022). Procedural Justice or Substantive Justice: Review of Constitutional Court Decision Number: 91/PUU/XVIII/2022. Jurnal Ilmiah        Kebijakan        Hukum,        16(2),        341-262.        doi:

http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2022.V16.341-362

Soeroso, F.L. (2014). Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 11(1), 64-84. doi: https://doi.org/10.31078/jk1114

Sonata, D.L. (2014). Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum 8(1), 15-35. doi: https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v8no1.283

Suprantio, S. (2014). Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang “Testimonium De Auditu” Dalam Peradilan Pidana Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.      Jurnal      Yudisial,      7(1),      34-52.      doi:

http://dx.doi.org/10.29123/jy.v7i1.92

Syahrizal, A. (2007). Problem Implementasi Putusan MK. Jurnal Konstitusi, 4(1), 106-125

Utomo, N.A. (2015). Dinamika Hubungan Antara Pengujian Undang-Undang dengan Pembentukan Undang-Undang. Jurnal Konstitusi, 12(4),  825-848. doi:

https://doi.org/10.31078/jk1248

Putra, A. (2021). Sifat Final Dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013.      Jurnal      Yudisial,      14(3),      291-311.      doi:

http://dx.doi.org/10.29123/jy.v14i3.425

Putra, S.R., & Sujatmiko. (2022). Mengulas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Terkait Pengujian Formil UU Cipta Kerja: Perspektif Hukum Progresif. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 22(2), 229-242. doi:

http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2022.V22.229-242

Wahyudi, R., Gaussyah, M., & Darmawan. (2018). Optimalisasi Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mercatoria, Jurnal Magister Hukum UMA, 11(2), 174-192. doi: 10.31289/mercatoria.v11i2.1740

Widayati. (2017). Problem Ketidakpatuhan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Undang-Undang. Jurnal Pembaharuan Hukum 4(1), 1-14. doi: http://dx.doi.org/10.26532/jph.v4i1.1634

Winters, J. A. (2013). Oligarchy and Democracy in Indonesia. South East Asia Program (SEAP)      Indonesia      Journal      96      (2013),      11-33.      doi:

https://doi.org/10.5728/indonesia.96.0099

Disertasi

Soeroso, F.L. (2017). Relasi Antara Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Selaku Pembentuk Undang-Undang: Studi terhadap Dinamika Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi melalui Legislasi Tahun 2004-2015, Universitas Brawijaya

Internet

Indrayana, D. LIMA Ambiguitas Putusan MK terkait Pembatalan UU Cipta Kerja. https://integritylawfirms.com/indonesia/2021/11/26/lima-ambiguitas-putusan-mk-terkait-pembatalan-uu-cipta-kerja/?lang=en (diakses pada 31 Mei 2023)

Sahbani, A. Membedah Ambiguitas Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja, https://www.hukumonline.com/berita/a/membedah-ambiguitas-putusan-uji-formil-uu-cipta-kerja-lt61a205b95ea80/?page=all (diakses pada 31 Mei 2023)

Peraturan Perundang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Nomor 216 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6554)

Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Nomor 245 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6573)

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Nomor 143 Tahun 2022, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6801)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Nomor 238 Tahun 2022, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6841)

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang

Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi 002/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Permohonan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap Pengujian Undang-Undang tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 3 Desember 2023, h. 268-294