PERTANGGUNGJAWABAN ORGAN PERSEROAN DALAM HAL PERSEROAN PERORANGAN MENGALAMI PAILIT
on
PERTANGGUNGJAWABAN ORGAN PERSEROAN DALAM HAL PERSEROAN PERORANGAN
MENGALAMI PAILIT
Yudha Noverto Karangan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: yudhanoverto@gmail.com
I Wayan Novy Purwanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: novy_purwanto@unud.ac.id
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah agar mengetahui ketentuan tentang organ pelaksana dalam Perseroan Perorangan di Indonesia serta Pertanggungjawaban organ perseroan perorangan jika perseroan pailit. Dalam penelitian ini, metodologi yang gunakan adalah hukum normatif dengan pendekatan peraturan undang-undang sebagai landasan. Pendekatan ini melibatkan pemahaman serta analisis terhadap seluruh peraturan undang-undang yang berkaitan dengan isu yang diteliti dalam penulisan jurnal ini. Hasil studi menunjukkan bahwa Perseroan Perorangan, didirikan dan dijalankan hanya oleh 1 orang, yang juga menjabat posisi direktur sekaligus merangkap sebagai pemegang saham tunggal tanpa adanya komisaris. Hal tersebut dikarenakan Perseroan Perorangan di Indonesia ini menganut sistem yang telah lama dikenal dan dianut oleh negara Anglo Saxon, yaitu disebut dengan one tier system. Selain itu, ketika Perseroan Perorangan di mohonkan pailit, maka direktur bertanggung jawab sebatas harta yang dimiliki Perseroan saja, tidak meliputi harta prbadinya. Namun, jika terbukti bahwa direktur beritikad buruk dalam menggunakan harta kekayaan Perseroan, sehingga berakibat pada tidak cukupnya harta kekayaan Perseroan untuk membayar utangnya, maka direktur harus bertanggungjawab meliputi harta pribadinya atas kepailitan Perseroan Perorangan tersebut. Selain itu, Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021, perseroan perorangan wajib menyetorkan laporan terkait kondisi keuangan perseroan setiap tahunnya. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya penyalahagunaan keuangan perseroan. Dengan begitu kepercayaan publik terhadap pengelolaan bisnis yang dijalankan oleh perseroan perorangan akan selalu terjamin. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pengaturan mengenai organ Perseroan Perorangan masih terjadi inkonsisten antara yang diatur dalam PP No. 8/2021 dengan peraturan diatasnya yakni Perppu Cipta Kerja.
Kata Kunci: Perseroan Perorangan, Organ Perseroan, Kepailitan, One Tier System, Direktur
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine the laws governing implementing organs in Indonesian individual companies and how their organs' responsibility is applied in bankruptcy. The normative law methodology with a regulatory approach is employed as the foundation of this research. In this approach, all the relevant regulations related to the topic discussed in this paper are comprehensively analyzed and understood. Based on the study results, it was found that the Individual Company in Indonesia, which is established and run by only one person, also holds the position of director and is the sole shareholder without a commissioner. This is because the Individual Company in Indonesia adopts the one-tier system, which is widely used in Anglo-Saxon countries. Moreover, the director's accountability, if the Individual Company goes bankrupt, is limited to the company's assets alone and does not include their personal assets. However, if it is proven that the director acted with malicious intent in utilizing the company's resources, leading to insufficiency in paying off its debts, the director will be held accountable for the bankruptcy of the Individual Company, including their personal assets. Furthermore, according to PP No. 8/2021, an individual company is required to report an annual financial statement. This is to prevent the misuse of company funds. By doing so, public trust in the business management of the individual company will always be maintained. However, the issue is that the regulation regarding the body of the Individual Company is still inconsistent between what is regulated in PP No. 8/2021 and the regulation above it, namely the Perppu Cipta Kerja. Key Words: Individual Company, Company Organ, Bankruptcy, One Tier System, Director
Perkembangan yang terjadi dalam hal teknologi baru-baru ini memberikan pengaruh dalam jumlah sangat besar terhadap kehidupan manusia, termasuk bagaimana hal tersebut mempengaruhi dunia bisnis dan kewirausahaan. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena kemajuan teknologi membuat akses peluang melakukan usaha menjadi lebih mudah dan cepat. Tanpa memerlukan modal yang besar dan juga tempat untuk menjalankan usaha, saat ini orang juga bisa menjalankan usaha hanya melalui media online. Bahkan dalam hal memasarkan suatu produk, pemilik usaha cukup hanya menggunakan media online seperti instagram, tiktok, website, dll, sehingga tidak memerlukan modal yang besar. Dengan kata lain, jika modal yang digunakan sedikit, maka bisnis tersebut termasuk dalam kategori UMKM. Terdapat beberapa perubahan peraturan dalam PP No. 7/2021 dengan peraturan sebelumnya dalam UU No. 20/2008. Perubahan tersebut, salah satunya mengenai usaha yang dikategorikan sebagai UMKM, yaitu dari segi modal usahanya yang tidak besar yaitu paling banyak 1 Miliar untuk Usaha Mikro, 1 Miliar - 5 Miliar untuk Usaha Kecil, dan 5 Miliar - 10 Miliar untuk Usaha Menengah.
Sejauh ini, UMKM telah terbukti memiliki peranan yang sangat penting. UMKM sangat berperan dalam meningkatnya kesejahteraan negara dalam hal banyaknya lapangan kerja yang tercipta karena kehadiran UMKM. Hal tersebut secara tidak langsung akan berdampak juga pada berkurangnya tingkat pengangguran dan juga angka kemiskinan karena memberikan sumber pendapatan bagi masyarakat indonesia. Selain itu, jika dibandingkan dengan perusahaan besar, UMKM telah menyerap tenaga kerja yang jumlahnya lebih banyak, sehingga UMKM dapat dikatakan Berperan sangat penting dalam memacu pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).1 Jika melihat data dari Kementerian Koperasi dan UKM, bisnis yang termasuk dalam kategori UMKM di Indonesia saat ini jumlahnya telah sebanyak 64,19 juta, dengan telah berkontribusi lebih besar terhadap angka pertumbuhan PDB mencapai kurang lebih 61% atau sebesar 8.573,89 triliun rupiah. Selain itu, kontribusi yang diberikan oleh Usaha dengan kategori UMKM dalam hal menyerap tenaga kerja yaitu sebanyak 97% dari total keseluruhan. Di samping itu juga, UMKM memegang peranan penting dalam menyerap investasi hingga mencapai 60,4% dari jumlah investasi secara keseluruhan.2
Bentuk usaha Perseroan Terbatas banyak dipilih dan digunakan oleh banyak orang sebagai pelaku usaha saat ini. Kegiatan berbisnis dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan perseroan terbatas, mulai dari usaha mikro hingga korporasi besar. Perseroan Terbatas sering dipilih karena merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum sehingga sebagai pendiri dan organ perseroan memiliki tanggung jawab yang terbatas. Hal inilah yang menyebabkan beberapa pelaku bisnis lebih memilih bentuk usaha yang berbadan hukum seperti PT, ketimbang badan usaha seperti Firma, usaha dagang (UD), dan CV yang dimana yang tidak berbadan hukum.3 Namun, tidak semua pelaku usaha bisa mendirikan usaha berbentuk PT seperti contohnya UMK. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa faktor seperti modal usaha yang terbatas dan
juga dari segi yang mendirikan dan menjalankan usahanya hanya sendirian. Oleh karena itu, jika melihat fakta besarnya pengaruh dari UMKM untuk memajukan pendapatan masyarakat, maka peran dari Pemerintah sangat diperlukan dengan segala upaya untuk memberikan dukungan serta kemudahan regulasi. Satu contohnya adalah dengan mengeluarkan peraturan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menunjukkan bahwa Pemerintah juga berperan penting dalam memberikan dukungan dan mempermudah regulasi. Undang-Undang Cipta Kerja memberikan perubahan atas beberapa peraturan yang sebelumnya tercantum dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Salah satunya yaitu, menambahkan bentuk badan hukum baru yang ditujukan khusus untuk usaha yang termasuk dalam kategori UMK, yaitu Perseroan Perorangan. Namun, Baru-baru ini pada tanggal 30 Desember 2022, pemerintah mengesahkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan menggantikan peraturan UU Cipta Kerja yang sebelumnya. Meskipun demikian, ketentuan mengenai Perseroan Terbatas dan Perseroan Perorangan sebagai bentuk badan hukum baru dalam Perppu Cipta Kerja masih sama seperti yang tercantum dalam UU Cipta Kerja sebelumnya.
Sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas merupakan bentuk usaha yang sudah dikenal lama di Indonesia, yang pengaturannya diatur dalam UU No. 40/2007. Pendirian Perseroan Terbatas dilakukan atas dasar perjanjian, sehingga dilakukan antara dua orang atau lebih, serta persyaratan lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Pendirian Perseroan Terbatas akan dituangkan kedalam akta notaris yang berisi perjanjian tentang hak serta kewajiban dari para pendirinya dalam mengelola dan menjalankan perseroan. Hak dan kewajiban dari para pendiri yang termuat dalam akta pendirian tersebut dikenal sebagai Anggaran Dasar perseroan. Mengenai Anggaran Dasar Perseroan diatur dalam peraturan Pasal 8 ayat (1) UU PT.4 Sejak disahkannya Perppu Cipta kerja, terdapat beberapa tambahan serta perubahan pengaturan mengenai Perseroan Terbatas, yang menggantikan pengaturan sebelumnya dalam UU PT. Salah satu perubahan tersebut, mengenai definisi PT dalam Perppu CK yang ditambahkan konsep baru yakni Perseroan Perorangan yang juga berbadan hukum. Namun, Perseroan Perorangan hanya diperuntukkan bagi usaha dengan kategori UMK. Konsep baru tersebut bertentangan dengan asas Perseroan Terbatas yang selama ini dikenal, bahwa Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian dan merupakan persekutuan modal.5 Dalam Pasal 7 UU PT, diatur bahwa “pendidirian Perseroan Terbatas dilakukan oleh minimal 2 orang dan didirikan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris.” Sedangkan, untuk Perseroan Perorangan diatur dalam Pasal 153A ayat (1) Perppu Cipta Kerja, bahwa pendirian dapat dilakukan oleh satu orang saja. Kemudian dilanjutkan dalam Ayat 2, bahwa Pendirian Perseroan Perorangan tidak diperlukan akta otentik yang dibuat oleh Notaris, cukup hanya pernyataan pendirian dalam Bahasa Indonesia. Ketentuan ini tentunya mempermudah pendirian PT bagi pelaku UMK yang menjalankan usahanya hanya sendirian dan yang memiliki keterbatasan dalam segi modal.
Ketentuan mengenai organ Perseroan Perorangan dalam Perppu Cipta Kerja masih sama dengan yang diatur dalam UU PT. Dalam kedua peraturan tersebut, diatur bahwa “organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.” Hal ini tentu akan berpotensi menimbulkan permasalahan, mengingat pendiri Perseroan Perorangan hanya ada 1 orang saja. Organ Perseroan seharusnya
dijabat oleh lebih dari 1 orang. Selain itu, mengenai kepailitan dalam konteks Perseroan Perorangan, suatu Perseroan dapat dihadapkan pada situasi dimana krediturnya mengajukan permohonan pailit terhadap Perseroan tersebut. Dalam situasi ini, penting untuk memahami konsekuensi hukum bagi pendiri perseroan dan potensi pertanggungjawabannya. Situasi pailit ini bisa saja terjadi dikarenakan adanya kepentingan pribadi dari pendiri Perseroan Perorangan. Dalam Perseroan Terbatas yang didirikan oleh minimal dua orang, ada mekanisme pengawasan dan keseimbangan kepentingan diantara para pendiri. Namun, dalam Perseroan Perorangan, tantangan yang muncul adalah bagaimana Perseroan bisa meyakinkan publik bahwa tidak ada konflik kepentingan dalam operasionalnya. Oleh karena itu, dalam jurnal penelitian ini akan diambil 2 rumusan masalah yang menjadi inti masalah, yang kemudian dilakukan analisa dan penyelesaian dari kedua permasalahan tersebut.
Dalam konteks orisinalitas, jurnal penelitian ini merupakan gagasan asli dari penulis yang dimulai dari tahapan perancangan hingga penulisan artikel. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, latar belakang penelitian ini muncul sebagai respons terhadap kemunculan entitas badan hukum baru di Indonesia, yakni Perseroan Perorangan. Akan tetapi, penulis menilai bahwa keberadaan Perseroan Perorangan akan berpotensi menimbulkan masalah baru mengenai pertanggungjawaban organ Perseroan Perorangan jika dihadapkan pada kondisi pailit, mengingat hanya ada 1 organ yang mendirikan sekaligus menjalankan perseroan. Beberapa jurnal sebelumnya telah mengulas isu yang serupa dengan penelitian ini, termasuk jurnal yang ditulis oleh Ni Nyoman Disna Triantini pada tahun 2020 yang berjudul "Tanggung Jawab Dewan Komisaris terkait Kepailitan Perseroan Terbatas" dalam Jurnal Kertha Semaya.6 Pada dasarnya, baik jurnal penelitian tersebut maupun jurnal penelitian ini sama sama membahas tentang pertanggungjawaban organ perseroan jika perseroan dihadapkan pada kondisi pailit. Akan tetapi, dalam jurnal tersebut, lebih membahas mengenai Perseroan Terbatas biasa yang selama ini sudah dikenal lama di Indonesia. Sedangkan dalam jurnal ini secara spesifik membahas entitas hukum baru yakni Perseroan Perorangan. Selain Ni Nyoman Disna Triantini, jurnal penelitian oleh Komang Gede Trisnowinoto juga membahas topik mengenai pailitnya Perseroan Terbatas melalui jurnal penelitiannya dalam Jurnal Kertha Semaya pada tahun 2019 dengan judul "Perlindungan Hukum terhadap pemegang saham Perseroan Terbatas akibat Putusan Pailit".7 Akan tetapi, dalam jurnal penelitian milik Komang Gede Trisnowinoto juga membahas mengenai Perseroan Terbatas biasa yang selama ini telah dikenal di Indonesia, dan juga pembahasannya lebih mengarah kepada perlindungan hukum bagi pemegang sahamnya. Berbeda dengan jurnal penelitian ini yang membahas mengenai pertanggungjawaban organ Perseroan dalam hal Perseroan Perorangan mengalami Pailit.
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka terdapat 2 masalah utama, yaitu
-
1. Bagaimanakah ketentuan mengenai organ perseroan pada Perseroan Perorangan di Indonesia?
-
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban organ perseroan jika Perseroan Perorangan mengalami pailit ?
Berdasarkan dua permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah secara spesifik untuk mengetahui ketentuan mengenai organ Perseroan pada Perseroan Perorangan sebagai entitas hukum baru di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana pertanggungjawaban organ Perseroan jika Perseroan Perorangan dihadapkan pada kondisi pailit.
II.Metode Penelitian
Penelitian jurnal ini menerapkan metode penulisan hukum secara normatif dengan pendekatan terhadap peraturan undang-undang. Kemudian, dilaksanakan dengan cara memahami dan menelaah semua peraturan undang-undang yang berhubungan dengan isu dari permasalahan pada penulisan ini. Selain itu, penulisan jurnal ini juga melibatkan tiga jenis bahan hukum, antara lain bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer antara lain KUHPer, UU, UU KPKPU, dan Perppu Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya. Bahan Hukum Sekunder berupa skripsi. Sedangkan Bahan Hukum Tersier berupa internet. Berikutnya, ketiga bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan (library research) merupakan suatu metode pengumpulan data melalui pencarian dan pengumpulan informasi dari berbagai sumber kepustakaan terkait dengan penulisan penelitian ini.8 Sedangkan untuk metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis kualitatif. Yuridis kualitatif ialah metode dengan pengolahan data yang diperoleh secara sistematis dan dianalisis secara kualitatif dengan tujuan untuk menemukan kesimpulan yang dapat menjawab permasalahan inti dalam penelitian ini.9
Pengertian dari Perseroan Terbatas diatur dalam peraturan Pasal 1 UU PT, yang menjelaskan bahwa “Perseroan Terbatas adalah suatu entitas hukum yang merupakan persekutuan modal, dimana pendiriannya berdasarkan pada perjanjian dan melaksanakan kegiatan usahanya dengan modal dasar yang terbagi atas saham-saham.”10 Fakta bahwa Perseroan adalah entitas hukum, membuatnya memiliki status sebagai subjek hukum yang terpisah dari pendirinya. Selain itu, Perseroan sebagai entitas hukum mengartikan bahwa Perseroan memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan hukum yang setara dengan individu. Perseroan bertindak dalam melakukan perbuaan hukum melalui wakilnya yang dimana wakil tersebut adalah organ yang ada didalam PT . Tugas dari organ Perseroan adalah untuk melaksanakan kegiatan Perseroan sejelan dengan tujuan dari perseroan yang telah dicantumkan dalam
Anggaran Dasar, serta berkewenangan untuk mewakili dan bertindak atas nama Perseroan dalam semua hubungan hukum perseroan. Dalam Ayat (1) Pasal 1 Perppu Cipta Kerja diatur bahwa “organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.” Selain itu, PT dianggap sebagai entitas hukum karena memenuhi unsur kekayaan terpisah sebagaimana yang diatur dalam Ayat (1) Pasal 31 UUPT.
Sejak disahkannya UU Cipta Kerja yang kemudian sekarang digantikan dengan Perppu Cipta Kerja oleh pemerintah, terjadi beberapa perubahan aturan mengenai Perseroan Terbatas di Indonesia. Sebelumnya, tujuan awal dibentuknya Undang-Undang Cipta Kerja adalah untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebanyak 5,7% hingga 6% dengan cara meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Dengan begitu akan berdampak pada menurunnya angka pengangguran, sekaligus menaikkan pendapatan masyarakat sehingga dapat meningkatkan daya beli konsumen serta meningkatkan produktivitas masyarakat.11 Salah satu perubahan yang diterapkan pemerintah melalui Perppu Cipta Kerja adalah dengan memperkenalkan bentuk baru PT yaitu Perseroan Perorangan. Namun, hal ini hanya berlaku untuk jenis usaha yang masuk dalam kategori UMK.12 Mengenai kategori UMK yang dimaksud adalah dari segi besaran modal yang disetorkan ketika pendirian Perseroan Perorangan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7/2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 8/2021, usaha mikro memiliki batas maksimal modal sebesar satu miliar rupiah, usaha kecil memiliki batas modal satu miliar hingga lima miliar rupiah, dan usaha menengah memiliki batas modal lima miliar hingga sepuluh miliar rupiah.
Perseroan Perorangan menjadi terobosan yang dilakukan oleh pemerintah dalam memperkuat keberadaan UMK sebagai pelaku usaha yang sangat besar perannya bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Selama ini pelaku UMK lebih banyak yang memilih Perseroan Dagang (PD) atau usaha Dagang (UD) sebagai bentuk usahanya. Padahal bentuk usaha tersebut bukanlah bentuk usaha yang berbadan hukum.13 Alasan pelaku UMK tidak memilih PT sebagai badan usaha yang merupakan badan usaha berbentuk badan hukum dikarenakan faktor mitra usaha yang harus terdapat minimal 2 orang dan faktor modal usaha yang cukup besar, sebagaimana yang diatur dalam UU PT sebagai syarat utama pendiriannya. Ditambah lagi biaya untuk pendirian PT yang lebih besar dari biaya mendirikan usaha yang berbentuk usaha perseorangan seperti UD dikarenakan harus membayar jasa notaris.14 Namun sejak diterbitkannya peraturan baru mengenai Perseroan Perorangan sebagai badan hukum yang dikhususkan bagi usaha dengan kriteria UMK, maka diharapkan akan menjadi jalan keluar permasalahan bagi para pelaku UMK.
Perseroan Perorangan sebagai badan hukum tidak bisa bertindak sendiri, sehingga perlu adanya yang mewakili dalam melakukan perbuatan hukum perseroan. Sebagaimana halnya dengan Perseroan Terbatas biasa, Perseroan Perorangan juga memiliki organ yang bertugas mewakili segala tindakan hukumnya. Kehadiran organ ini menjadi sangat penting bagi status badan hukum Perseroan Perorangan. Ketentuan
mengenai organ Perseroan Perorangan dalam Perppu Cipta Kerja, diatur sama seperti yang diatur sebelumnya dalam UU Perseroan Terbatas. Organ tersebut meliputi “Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris, dan Direksi.” Hal tersebut menimbulkan suatu permasalahan pada perseroan perorangan, mengingat perseroan perorangan didirikan dan dijalankan hanya oleh satu individu yang juga menjadi pemegang saham tunggal. Dalam PT biasa, hal tersebut tentu tidak menjadi permasalahan dikarenakan pendiriannya dilakukan oleh minimal 2 (dua) orang.
PP No. 8/2021 sebagai peraturan pelaksana dari Perppu Cipta Kerja, secara tidak langsung mengatur mengenai organ Perseroan Perorangan. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) dijelaskan bahwa “Perseroan Perorangan dibentuk melalui pernyataan pendirian yang mencakup identitas pendirinya, yang juga menjabat sebagai direktur dan pemegang saham tunggal.” Dengan demikian, hanya ada satu pemegang saham tunggal yang juga bertindak sebagai direktur dalam organ Perseroan Perorangan. Tentu hal tersebut bertentangan dengan prinsip PT biasa yang juga diatur dalam Perppu Cipta Kerja, bahwa PT dijalankan oleh Pemegang saham (RUPS), direktur, dan komisaris. 15Namun Menurut Yasonna Laoly, Perseroan Perorangan yang baru dikenal di Indonesia ini menggunakan “one tier system”, yang berarti tidak ada komisaris, hanya ada pemegang saham tunggal yang juga menjadi direktur.16 Sistem “one tier” sudah dikenal lama di negara-negara penganut sistem hukum “Anglo-Saxon”, yang dimana pada sistem “one tier” tersebut perseroan hanya dikelola oleh satu Direksi yang terdiri dari gabungan manajer senior atau “Direktur Eksekutif” dan “Direktur Independen” atau yang bekerja paruh waktu yaitu ”Non-Direktur Eksekutif.” Sementara itu, PT biasa yang telah lama dikenal di negara-negara penganut sistem hukum “Eropa Kontinental” seperti Indonesia ini menggunakan sistem “two tier”, dimana perseroan terdiri dari dua organ terpisah, yaitu Dewan Manajemen (Direksi) dan Dewan Pengawas (Komisaris).17
Namun, yang menjadi permasalahan adalah tidak dijelaskannya sistem baru yang disebut one-tier ini kedalam peraturan baru mengenai Perseroan Perorangan dalam Perppu Cipta Kerja. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakkonsistenan antara Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksana, dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 109 angka (2) Perppu Cipta Kerja mengenai organ dalam perseroan perorangan. Dalam teori hierarki hukum, ada dikenal prinsip yang disebut “lex specialis derogat legi generali”, yang memiliki arti bahwa peraturan yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang kedudukannya lebih tinggi.18 Dengan merujuk pada teori hierarki tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai Organ Perseroan Perorangan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksana, seharusnya
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang memiliki kedudukan lebih tinggi mengenai Organ Perseroan Perorangan, yaitu Perppu Cipta Kerja.
Dalam Perseroan Terbatas terkandung dua kata utama, yaitu “Perseroan” dan “Terbatas.” Penggunaan kata “Perseroan” dalam konsep ini mengacu pada saham atau sero yang digunakan sebagai modal dalam suatu Perseroan Terbatas. Sedangkan, kata “Terbatas” mengacu pada tanggungjawab dari para pemegang saham yang hanya terbatas pada besaran jumlah saham yang dimilikinya. Hal tersebut biasanya dikenal sebagai konsep “limited liability.”19 Tidak hanya pemilik saham Perseroan Terbatas saja yang memiliki tanggungjawab yang terbatas “limited liability”, prinsip ini juga berlaku untuk seluruh organ dalam Perseroan, termasuk juga Direksi dan Komisaris. Perseroan Terbatas di Indonesia juga mengenal Asas “Corporate Separate Legal Personality,” yang memiliki arti bahwa perseroan sebagai badan hukum memiliki identitas hukumnya sendiri, sehingga terpisah dari para pendirinya. Sebagai entitas hukum, Perseroan Terbatas juga memiliki harta kekayaannya sendiri yang terpisah dari kekayaan pribadi para pendirinya.20 Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU PT juga memegang prinsip yang sama, bahwa “para pemilik saham dalam Perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas kewajiban hukum akibat dari tindakan hukum yang dilakukan atas nama Perseroan.” Tanggungjawab dari para pemilik saham dibatasi hanya sebesar nilai saham yang dimilikinya, tidak lebih dari itu. Sebagai entitas hukum yang merupakan subjek hukum tersendiri, Perseroan Terbatas memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan hukum melalui wakilnya, yaitu organ yang bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas dalam perseroan. Salah satunya adalah melakukan perbuatan hukum yang berakibat timbulnya suatu kewajiban utang. Tetapi, jika perseroan tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya sebagai debitur terhadap kreditor sebagai pemberi utang, maka kreditor berhak untuk menuntut perseroan agar membayar utangnya melalui prosedur hukum yang berlaku.21
Bagi kreditur, prosedur hukum untuk menagih utang adalah dengan mengajukan gugatan pailit kepada debitur ke pengadilan niaga. Selanjutnya, dalam proses kepailitan tersebut, semua harta kekayaan milik debitur dapat disita agar digunakan untuk melunasi utangnya. Hal tersebut sangat berdampak buruk bagi debitor karena sampai harus kehilangan seluruh asetnya. Namun secara hukum, debitor masih diberi kesempatan untuk melunasi utangnya dengan cara mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).22 Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah upaya yang dapat dilakukan debitur untuk melakukan perdamaian dengan para kreditor agar tidak sampai harus dipailitkan. Dalam PKPU akan dilakukan permohonan oleh debitur kepada kreditur untuk diberikan penambahan waktu dalam membayar kewajiban utangnya, atau bisa dengan permohonan lain yang berujung kepada perdamaian antara kreditor dan
debitor. Jika dalam proses PKPU tersebut tidak tercapapainya perdamaian antara kreditor dan debitor maka akan berlaku ketentuan kepailitan bagi debitor. PKPU merupakan harapan bagi debitor yang sedang dalam keadaan “insolven” untuk berdamai dengan krediturnya. Berdamai yang dimaksud misalnya, permohonan untuk menunda pembayaran utangnya, melunasi sebagian utangnya terlebih dahulu, atau bahkan melakukan permohonan untuk merestrukturisasi utangnya.23 Apabila ternyata permohonan damai yang diajukan debitor tidak disepakati oleh kreditor , maka yang terjadi adalah saat itu juga debitor langsung dinyatakan pailit , sebagaimana ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 289 UU KPKPU.
Kepailitan adalah suatu kondisi ketika debitur tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam membayar atau melunasi tagihan utangnya yang sudah jatuh tempo kepada kreditornya. Namun, syarat utama untuk seorang debitur dapat dipailitkan adalah dengan adanya minimal dua kreditor dan sudah jatuh tempo.24 Selanjutnya, apabila suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan, maka hal tersebut akan berakibat hukum pada hilangnya kendali perseroan sebagai debitor atas seluruh kekayaan yang dimiliki perseroan. Jika suatu perseroan dinyatakan pailit, maka semua kekayaan atau aset yang dimiliki oleh perseroan tersebut akan menjadi objek sita umum. Selanjutnya terhadap objek sita umum tersebut akan dilakukan penyitaan secara keseluruhan. Hal tersebut dilakukan agar harta kekayaan PT tersebut dapat dibagikan secara adil kepada para kreditor sebagai bentuk kewajiban utang yang harus dilunasi oleh debitor. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU KPKPU, seluruh harta kekayaan dalam suatu perseroan yang dinyatakan pailit akan disita oleh kurator yang diawasi oleh Hakim Pengawas Pengadilan.
Direksi adalah salah satu organ pelaksana yang penting dalam suatu perseroan. Saat menjalankan tugas dan kewenangannya, Direksi diwajibkan mematuhi dua asas utama, yaitu asas kepercayaan yang diberikan oleh Perseroan dan asas kemampuan serta kehati-hatian dalam melakukan setiap tindakan terkait menjalankan perseroan.25 Namun, ada beberapa faktor yang membuat suatu perseroan sebagai debitor tidak mampu untuk membayar utangnya, salah satunya karena dalam mengelola dan menjalankan perseroan tidak berdasarkan pada Anggaran Dasar. Misalnya terdapat suatu kondisi dimana direksi sebagai organ perseroan beritikad buruk yang dengan sengaja memanfaatkan kondisi kesulitan likuiditas perseroan untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi. Tentunya tindakan tersebut bisa mengakibatkan perseroan menjadi “insolven” atau bangkrut, sehingga merugikan bagi perseroan. Namun, apabila kondisi tersebut memang terjadi dan telah terbukti melalui proses persidangan, maka akan diterapkan prinsip “piercing the corporate veil.” Prinsip tersebut memungkinkan hapusnya aspek tanggungjawab terbatas yang dimiliki oleh organ perseroan dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya seperti yang dijelaskan sebelumnya. Hal tersebut bertujuan agar mencegah terjadinya penyalahgunaan prinsip ”limited liability” yang diberikan kepada pemegang saham. Dihapusnya tanggungjawab terbatas bagi organ perseroan sebagaimana prinsip “piercing the corporate veil” yang diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang PT, baru bisa berlaku sepanjang dapat dibuktikan
bahwa “organ perseroan terbukti telah melakukan tindakan melawan hukum dengan menggunakan harta kekayaan perseroan tidak sebagaimana mestinya. Sehingga hal tersebut mengakibatkan kekayaan perseroan tidak mencukupi untuk membayar atau melunasi kewajiban utang-utang perseroan.”26
Perseroan Perorangan juga merupakan subjek hukum sama seperti PT biasa, sehingga dimungkinkan untuk melakukan hubungan hukum yang berujung pada timbulnya kewajiban utang dengan pihak lain, sehingga dimungkinkan juga terjadinya kepailitan. Saat ini belum adanya pengaturan khusus yang mengatur mengenai bagaimana pertanggungjawaban organ perseroan jika perseroan perorangan pailit. Namun jika dilihat dari statusnya sebagai suatu badan hukum, sama halnya dengan PT, maka dapat disimpulkan bahwa untuk saat ini akan berlaku juga ketentuan yang diatur dalam UU KPKPU. Disamping itu, mengingat bahwa Pasal 109 dalam Perppu Cipta Kerja masih merujuk kepada Undang-Undang Perseroan Terbatas, maka Undang-Undang tersebut masih menjadi acuan untuk pengaturan tentang Perseroan Perorangan, termasuk mengenai tanggung jawab direktur dalam Perseroan Perorangan yang belum ditentukan secara spesifik dalam Perppu Cipta Kerja. Tentunya hal tersebut akan menjadi suatu masalah, mengingat Perseroan Perorangan hanya didirikan dan dijalankan oleh hanya 1 (satu) orang saja sebagai organnya yaitu direktur yang juga pemilik saham tunggal. Absennya keberadaan komisaris dalam suatu perseroan perorangan membuat hilangnya emelen pengawasan dalam konsep dasar suatu perseroan.27 Ketiadaan tersebut berpotensi menimbulkan adanya tindakan penyalahgunaan prinsip tanggung jawab terbatas oleh direktur sebagai organ perseroan satu-satunya.
Ketika suatu Perseroan Perorangan di mohonkan pailit, maka seharusnya direktur bertanggung jawab sebatas harta yang dimiliki Perseroan saja, tidak meliputi harta prbadinya.28 Hal tersebut sejalan dengan Asas hukum “Corporate Separate Legal Personality”, yang telah dijelaskan sebelumnya. Asas ini membedakan personalitas dan kepribadian antara Perseroan Perorangan sebagai badan hukum, dengan pendirinya yang juga merupakan organ pelaksana sekaligus pemegang saham tunggal dari Perseroan Perorangan tersebut. Namun, seorang direktur dalam Perseroan Perorangan juga dimungkinkan untuk bertanggungjawab meliputi harta pribadinya ketika Perseroan mengalami kepailitan. Hal tersebut juga sejalan dengan prinsip “piercing the corporate veil” yang juga diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang PT. Sama halnya dengan PT biasa, prinsip tersebut baru bisa berlaku jika dapat dibuktikan bahwa organ perseroan yang sekaligus menjadi pemegang saham tunggal melakukan tindakan melawan hukum dengan memanfaatkan harta kekayaan perseroan perorangan untuk kepentingan pribadi. Hal tersebut akan berakibat pada tidak cukupnya kekayaan perseroan untuk membayar utang-utangnya.
Sebagai pendiri dan organ satu satunya dalam menjalankan Perseroan Perorangan, maka direktur sebagai yang mewakili perseroan dalam melaksanakan perbuatan hukum, harus melaksanakan kewajibannya dengan itikad baik dan menghindari konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang dimaksud yaitu menggunakan harta kekayaan perseroan demi kepentingan pribadinya. Ketika seorang direktur dalam melaksanakan tindakan kepengurusannya menimbulkan konflik kepentingan maka hal tersebut dikategorikan ke dalam tindakan itikad buruk. Oleh
karena itu, ketika terjadi pailit pada Perseroan Perorangan, maka direktur harus mempertanggungjawabkan hal tersebut secara individu, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU PT. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 8/2021 yang merupakan peraturan pelaksana dari Perppu Cipta Kerja, pada pasal 10 diatur “kewajiban Perseroan Perorangan untuk melaporkan mengenai laba rugi, posisi keuangan, serta catatan atas laporan keuangan tahun berjalan perseroan secara periodik setiap tahun.” Dengan adanya prinsip pengelolaan perseroan tersebut diharapkan bisa menghindari terjadinya konflik kepentingan dari direktur agar tetap menjaga kepercayaan publik terhadap pengelolaan bisnis yang dijalankan oleh perseroan perorangan.
Dalam ketentuan pendirian pada Perseroan Terbatas yang telah lama dikenal di Indonesia, “perseroan harus didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih” yang kemudian menempatkan posisi Direktur dan Komisaris. Namun, untuk Perseroan Perorangan hanya dapat “didirikan oleh 1 (satu) orang saja” yang dimana akan bertindak sebagai direktur serta pemegang saham tunggal, tanpa adanya komisaris. Hal tersebut dikarenakan Perseroan Perorangan yang merupakan badan hukum baru di Indonesia ini menganut “one tier system” yang telah lama dikenal dan dianut oleh negara “Anglo Saxon.” Mengenai pertanggungjawaban organ perseroan, saat ini belum ada pengaturan khusus mengenai pertanggungjawaban organ perseroan jika Perseroan Perorangan pailit, namun mengingat bahwa Pasal 109 dalam Perppu Cipta Kerja masih merujuk kepada Undang-Undang Perseroan Terbatas, maka Undang-Undang tersebut masih menjadi acuan. Oleh karena itu, ketika suatu Perseroan Perorangan di mohonkan pailit, maka direktur bertanggung jawab hanya sebatas jumlah modal yang dimilikinya saja, tidak meliputi harta prbadinya. Akan tetapi, apabila dapat dibuktikan bahwa organ perseroan telah menggunakan harta kekayaan perseroan perorangan secara melawan hukum untuk kepentingan pribadi, maka direktur akan bertanggungjawab secara pribadi atas kepailitan tersebut meliputi harta pribadinya. Selain itu, Perseroan Perorangan juga diharuskan untuk melaporkan kondisi keuangan perseroannya setiap tahun sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8/2021. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya penyalahagunaan keuangan perseroan. Dengan begitu kepercayaan publik terhadap pengelolaan bisnis yang dijalankan oleh perseroan perorangan akan selalu terjamin. Selain itu juga, mengingat adanya inkonsisten antara yang diatur dalam PP No. 8/2021 dengan peraturan diatasnya yakni Perppu Cipta Kerja mengenai sistem one-tier, maka disarankan agar pemerintah segera membuat suatu peraturan baru yang mengatur mengenai Perseroan Perorangan secara mengkhusus, termasuk mengenai ketentuan organ Perseroan Perorangan. Hal tersebut bertujuan agar menghindari adanya ketidakpastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ginting, Elyta Ras. Hukum Kepailitan Teori Kepailitan (Jakarta: Sinar Grafika, 2018). Subhan, Hadi. Hukum Kepailitan (Jakarta: Prenada Media, 2018).
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2014).
Sutedi, Adrian. Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas. Edited by Andriansyah (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015).
Jurnal :
Agastya, I Made Yoga, I Wayan Wiryawan, and Suartra Putrawan. “Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas yang Belum Berstatus Badan Hukum Dalam Melakukan Kegiatan Usaha.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 2, no. 6 (2014): 1–10.
Fahrurozi. “Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum Dengan Gagasan Pendirian Perseroan Terbatas oleh Pemegang Saham Tunggal.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 7, no. 3 (2018): 445–63.
Fandy, Arod, and Nyoman Satyayudha Dananjaya. “Hapusnya Tanggung Jawab Terbatas Pemegang Saham Perseroan Terbatas Berdasarkan Prinsip Piercing The Corporate Veil.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 3, no. 3 (2015): 1-5.
Gloria, Monica Agustina. “Kepailitan Perseroan Perorangan Dalam Undang-Undang Cipta Kerja.” Jurnal Panorama Hukum 6, no. 1 (2021): 24–31.
Harahap, Yuliana Duti, Budi Santoso, and Mujiono Hafidh Prasetyo. “Pendirian Perseroan Terbatas Perseorangan Serta Tanggung Jawab Hukum Pemegang Saham Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja.” Notarius 14, no. 2 (2021): 725–38.
Hasim, Hasanuddin. “Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia Sebagai Suatu Sistem.” Madani Legal Review 1, no. 2 (2017): 120–30.
Pangestu, M. Teguh, and Nurul Aulia. “Hukum Perseroan Terbatas dan Perkembangannya di Indonesia.” Pro Negotium Justitiae Legem 3, no. 1 (2017): 21–39.
Prabu, Alexander dkk. “Kemudahan Berusaha Dalam Cluster Omnibus Law.” Jurnal Lex Specialis 1, no. 2 (2020): 171–77.
Pratiwi, Agustina Ni Made Ayu Darma, and Putu Sekarwangi Saraswati. “Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU Mengenai PKPU Dalam Hal Debitur Pailit Dimasa Covid 19.” Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum 12, no. 1 (2021): 60–75.
Pringgar, Rizaldy Fatha and Bambang Sujatmiko. “Penelitian Kepustakaan (Library Research) Modul Pembelajaran Berbasis Augmented Reality Pada Pembelajaran Siswa,” Jurnal Information Technology and Education 5, no. 1 (2021): 317-329.
Rambing, Nicky Yitro Mario. “Syarat-Syarat Sahnya Pendirian Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia.” Lex Privatum 1, no. 2 (2013): 72–78.
Rosadi, Azkiya Kamila, and Ratna Januarita. “Implikasi Pendirian Perseroan Perorangan Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Ditinjau dari Prinsip- Prinsip Hukum Perseroan Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.” Bandung Conference Series: Law Studies 2, no. 1 (2022): 323–29.
Saptono, Agus. “Board-CEO Relationship (One Tier System-Anglo Saxon) Hubungan Dewan Komisaris-Dewan Direksi (Two Tier System Continental).” Jurnal Akuntansi Dan Sistem Teknologi Informasi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret 10, No. 1 (2014): 63-75.
Simangunsong, Rosma. “Pengaruh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia.” Wadah Ilmiah Penelitian Pengabdian Untuk Nommensen 1, no. 1 (2022): 78–84.
Soelistyo, Liem Tony Dwi, and Dipo Wahjoeono. “Problematika Hukum Proses Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap Oleh Kreditor.” Maleo Law Journal 6, no. 1 (2022): 95–104.
Sonbai, Alexander Imanuel Korassa. "Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa Prostitusi Melalui Media Online." Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 4, no. 2 (2019): 271-282.
Triantini, Ni Nyoman Disna dan I Gusti Ngurah Dharma Laksana. “Tanggung Jawab Dewan Komisaris Terkait Kepailitan Perseroan Terbatas.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 6 (2020): 954-966.
Trisnowinoto, Komang Gede, R.A. Retno Murni, dan Ni Putu Purwanti. “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Perseroan Terbatas Akibat Putusan Pailit,” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 5 (2019) ): 1-15.
Utami, Putu Devi Yustisia, and Kadek Agus Sudiarawan. “Perseroan Perorangan Pada Usaha Mikro dan Kecil: Kedudukan dan Tanggung Jawab Organ Perseroan.” Jurnal Magister Hukum Udayana 10, no. 4 (2021): 769–81.
Skripsi :
Handoko, Dwi Ruli. “Tanggung Jawab Hukum Direksi Perseroan Perorangan yang Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.” Skripsi Universitas Jember (2022).
Website :
“Upaya Pemerintah Untuk Memajukan UMKM Indonesia.” Kementrian Investasi/ BKPM, 2021.
https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/upaya-pemerintah-untuk-memajukan-umkm-indonesia, diakses pada tanggal 15 Februari 2023.
“Yasonna Laoly Sebut Pemerintah Berupaya Tingkatkan Kemudahan Berusaha bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil Lewat UU Cipta Kerja,” Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 10 November 2020, https://www.kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/yasonna-laoly-sebut-pemerintah-berupaya-tingkatkan-kemudahan-berusaha-bagi-pelaku-usaha-mikro-dan-kecil-lewat-uu-cipta-kerja, diakses pada tanggal 18 Februari 2023.
Peraturan Perundang-Undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Modal Dasar Perseroan Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan Yang Memenuhi Kriteria Untuk Usaha Mikro dan Kecil
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 9 Tahun 2023 hlm 996-1009
1009
Discussion and feedback