A PENCANTUMAN KLAUSUL BAKU BARANG YANG SUDAH DI BELI TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN DALAM PERJANJIAN STANDAR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
on
PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU BARANG
YANG SUDAH DI BELI TIDAK DAPAT
DIKEMBALIKAN DALAM PERJANJIAN STANDAR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999
Yogi Nugraha Barusu, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: Yogibarusu090201@gmail.com
Dewa Gede Rudy, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewa_rudy@unud.ac.id
ABSTRAK
Penulisan study mengkaji pencantuman klausul baku mengenai barang yang sudah di beli tidak dapat dikembalikan, dalam sebuah perjanjian standar dapat dibenarkan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Akibat Hukum yang ditimbulkan apabila pencantuman Klasula baku mengenai barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan dalam sebuah perjanjian standar. Dalam penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan pendekatan instrument hukum atau produk hukum (The Statute Approh) artinya “pendekatan yang dilakukan dengan meneliti berbagai jenis Undang-undang dan regulasi yang sesuai dengan hukum yang ditangani. Salah satunya ialah mengenai pengaturan pencantuman klausula baku dalam sebuah perjanjian standar berupa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan yang dilarang sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Mengatur perihal bahwa setiap pelaku usaha dalam menawarkan sebuah barang atau jasa yang ditunjukan kepada konsumen tidak diperbolehkan memuat atau mencantumkan klausula baku dalam sebuah dokumen atau sebuah perjanjian dalam hal ini menyatakan pengalihan tangungjawab pelaku usaha. Serta, mengatur larangan pelaku usaha dalam perihal mencantumkan klausula baku yang letaknya atau bentunya sulit terlihat, tidak dapat dibaca secara jelas, dan pengungkapannya sulit dimengerti. Sehingga dapat mengakibatkan kerugian bagi konsumen dan menimbulkan akibat hukum terhadap klausula baku yang ada dalam perjanjian standar tersebut. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 3 perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.
Kata Kunci: Klausul Baku, Barang, perjanjian
ABSTRACT
The author's study assesses that the inclusion of a standard clause regarding goods that have been purchased cannot be returned, in a standard agreement can be justified based on Law no. 8 of 1999 concerning Consumer Protection and the Legal Consequences that arise if the inclusion of a standard clause regarding goods that have been purchased cannot be returned in the standard agreement. In writing this journal, it uses normative legal research methods and approaches to legal instruments or legal products (The Statute Approach). One of them is regarding the regulation of the inclusion of standard clauses in a standard agreement in the form of non-returnable purchased goods which are prohibited by Article 18 of the Consumer Protection Act. pay attention that every business actor in offering goods or services shown to consumers is not allowed to include or include standard clauses in a document or an agreement in this case stating responsibility for the business actor. As well as, regulate the prohibition of business actors in terms of including standard clauses whose location or form is
difficult to see, cannot be read clearly, and disclosure is difficult to understand. So it can result in losses for consumers and cause legal consequences for the standard clauses in the standard agreement. So based on the provisions of Article 18 paragraph 3, the agreement can be declared null and void.
Keywords: Standard Clause, Goods, Contract
Klausula baku ialah perjanjian yang telah lama dibahas oleh ahli-ahli hukum di indonesia. Pada beberapa buku, beberapa ahli hukum telah membahas serta mengemukakan pendapat terkait definisi klausula baku.1 Misalnya, Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa “perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir semua klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan”.2
Tidak dapat di pungkiri penggunaan klausula baku sering dipergunakan pada sebuah perjanjian di kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Penerapan Klausula baku sering ditemukan dalam perjanjian jual-beli rumah, kartu kredit, perjanjian parkir, asuransi, nota pembelian dan lain sebagainya. Sebuah klausula baku lahir tidak dengan sendirinya melainkan muncul akibat permasalahn masal dan produk maupun jasa.3 Dalam pendangan pelaku usaha, klausula baku sangat netral kedudukannya dalam menjamin kepastian terhadap proses penjualan, menjamin mendapatkan standar pelayanan yang sama terhadap semua konsumen, dan juga tindakan pengembalian keputusan yang salah dengan menghilangkan disktresi dari pelaku usaha untuk bernegoisasi langsung dengan konsumen dapat dikurangi.4
Selain itu, kebanyakan konsumen menganggap bahwasannya klausula baku yang dicantumkan pada sebuah perjanjian adalah hal yang biasa saja sehingga menjadikan para pihak tersebut terikat perjanjian secara tidak langsung. Pencantuman klausula baku tersebut memberikan kedudukan kepada konsumen cenderung berat sebelah yang menjadikan hak konsumen menjadi lemah sehingga tidak memiliki kesempatan menegosiasikan hak-hak karena telah terikat dalam klausula baku tersebut dalam perjanjian standar. Mengakibatkan kesempatan konsumen hanya “Take It or Leave It”, dan tidak memiliki pilihan lainnya.
Dalam sebuah resi pembelian atau sebuah tulisan yang tertera depan kasir sebuah toko “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” adalah salah satu penerapan klausula baku yang acap kali ditemukan pada kehidupan sehari-hari. Tulisan tersebut terlihat biasa saja tetapi dapat merugikan konsumen. Sering dijadikan oleh pelaku usaha untuk mempermudah pelaku usaha menjual dan tidak
mengganti rugi jika terjadi kerusakan pada barang yang sudah di beli karna telah menuliskan kata tersebut yang menjadikan konsumen secara tidak langsung terikat ke dalam perjanjian sepihak oleh pelaku usaha, akibatnya konsumen menjadi terbiasa dengan hal tersebut, namun hal tersebut dilarang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan UU Perlindungan Konsumen).
Abdul Kadir Muhammad mengemukakan pendapat bahwasannya perjanjian standar ialah “perjanjian standar artinya tolak-ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan dan ukuran”.5 Dalam, Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan “klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajiab dipenuhi oleh konsumen".6
Klausula baku sudah menjadi hal yang sangat sering digunakan dalam sebuah perjanjian pada kegiatan berusaha, terkadang pelaku usaha sudah mempersiapkan beberapa formulir dalam sebuah perjanjian baku terhadap konsumen. Penerapan perjanjian baku yang disediakan oleh pelaku usaha untuk mempercepat dan menghemat waktu agar efesien sehingga dapat memberikan kesamarataan kepada setiap konsumen sehingga dapat perlakuan yang sama. Ketetapan waktu merupakan pertimbangan pelaku usaha mengunakan sebuah perjanjian baku, guna dapat menghemat waktu negosiasi atau tawar menawar pelaku usaha dengan konsumen.
Perjanjian baku diperbolehkan oleh hukum melalui asas kebebasan berkontrak guna mempermudah transaksi bisnis. Asas kebebasan berkontrak ialah “bebas membuat perjanjian dengan siapa saja, kapan dimana dan jenis, isi dan bentuknya seperti apa”. Asas ini mempermudah pelaku usaha untuk tidak terjadi tawar menawar dengan para konsumen dalam pembuatan perjanjian tersebut, sehingga ini tidak sesuai dengan pengunaan perjanjian. Posisi ini tidak seimbang bagi para konsumen, karena telah menitik beratkan konsumen terhadap perjanjian baku tersebut sehingga perjanjian tersebut dibuat dan disiapkan pelaku usaha tanpa melibatkan konsumen dalam pembuatan perjanjian tersebut, sehingga, dengan secara tidak langsung telah memberikan posisi yang kuat terhadap pelaku usaha dibandingkan konsumen.
Pejanjian berisi klausula atau ketentuan yang mengatur hak serta kewajiban pihak-pihak pembuat perjanjian tersebut. Namun berbeda halnya dengan pembuatan perjanjian baku oleh pelaku usaha yang dimana terkadang hal tersebut bukan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat pada perjanjian tersebut melainkan hanya memberi keuntungan bagi pelaku usaha serta memberikan kerugian bagi konsumen. Pada dasarnya sebuah klausula dalam perjanjian standar yang dibentuk pelaku usaha
berisi eksonerasi, yaitu “klausula yang mengalihkan atau pembebasan tangungjawab pelaku usaha kepada konsumen”.
“Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” kalimat yang kerap kali terdapat dalam nota belanja atau nota pembelian merupakan salah satu bentuk klausula eksonerasi dalam perjanjian. Cacat produk hingga kerusakan barang dapat menjadikan pelaku usaha lari dari tangungjawab tersebut karena telah menjadikan klausula eksonerasi sebagai pegangan kuat. Sehingga, ha katas keselamatan dalam menikmati barang jasa tidak lagi di miliki. Menerima konpensasi pengganti kecacaatan dan kerusakan kepada barang yang konsumen beli tidak mendapatkan ganti rugi dari pelaku usaha.7
Penjanjian standar yang berisi klausula baku pada kegiatan usaha diatur dalam ketentuan UU Perlindungan Konsumen. Pembentukan peraturan perundang-undang untuk menciptakan kestabilan perlindungan hukum tehadap pelaku usaha terutama kepada konsumen karena seringan dianggap berada dalam keadaan yang paling dilemahkan. UU Perlindungan Konsumen mengatur perihal kewajiban dan hak setiap konsumen dan pelaku usaha. Salah satu pencantuman klausula baku yang diatur pada UU Perlindungan konsumen dalam kegiatan berusaha terletak pada Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi “pencantuman klausula baku pada perjanjian baku atau dokumen transaksi bisnis.
Salah satu pengaturan pencantuman klausula baku yang dilarang adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen mengatur bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk perdagangan dilarang memuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha”. Kemudian dalam ayat (2) Pasal 18 ini diatur bahwasannya “pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letaknya atau bentuknya sulit terloihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengeri”. Jika terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) tersebut sebuah tindak pelanggaran maka “perjanjian baku yang memuat klausula baku tersebut menjadi batal demi hukum, hal ini sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen maka klausual baku tersebut batal demi hukum”. Sehingga seharusnya “pelaku usaha melakukan perbaikan terhadap perjanjian baku yang telah dibuatnya dengan menyesuaikan kalusula bakunya agar tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen” seperti yang tercantum pada Pasal 18 ayat (4) UU Perlindungan Konsumen.
Sehingga pengunaan perjanjian yang memiliki unsur klausula baku pada suatu barang dapat merugikan konsumen memiliki akibat hukum apabila klausula baku tersebut dicantumkan dalam perjanjian standar. Suatu klausula baku yang melanggar Pasal 18 akan dibatalkam demi hukm karena tidak menganut asas kepatutan dengan menghilangkan tangungjawab, memutarbalikan keadaan penepiun, mengatur sesuai
hal tidak jelas dan menjadikan sebuah paksaan. Sehingga menimbulkan akibat hukum apabila mencantumkan klausula baku.8
Akibat hukum terdapat apabila pada dalam perjanjian mengandung unsur klaususla baku “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” maka perjanjian tersebut melanggar Pasal 18 Ayat 1 ialah pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa dilarang mencantimkan klausula baku dan Ayat 2 ialah pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat dan dibaca sehingga menciptakan akibat hukum menjadikan ketentuan tersebut batal sesuia ketentuan Pasal 18 ayat 3 dinyatkan bahwa “setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”.
Untuk menjamin keaslian atau originalitas dari artikel yang saya tulis, maka dari itu saya menyajikan artikel yang serupa dengan harapan menjadi pembanding dalam proses penyusunan artikel saya. Artikel yang saya jadikan pembanding berjudul “Perlindungan Konsumen Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam Perjanjian” karya dari Sekararum Intan Munggaran. Hal yang mebedakan dari penulisan saya ialah artikel ini berfokus kepada perlindungan konsumen tahadap perjanjian baku yang sering kita jumpai di tempat-tempat perbenlanjaan seperti Barang yang sudah di beli tidak dapat dikembalikan, sedangkan artikel dari Sekararum Intan Manggaran berfokus pada perlindungan konsumen terhadap perjanjian antara konsumen dan Bank BNI.9 Begitu juga dengan artikel yang berjudul “Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Baku Elektronik” karya dari Hurhafni. Menjelaskan mengenai perjanjian baku elektronik, jika di Kaikan dengan artikel ini memiliki kemiripan pembehasan mengenai pelanggaran perjanjian baku sesuai dengan ketentuan UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, namun yang membedakan antara kedua artikel ini pembahasan penelitia jika artikel ini mengenai klausula baku barang yang sudah di beli tidak dapat dikembalikan sedangankan karya Hurhafni mengenai perjanjian baku elktronik.10
Berlandaskan pada pernyataan yang penulis kemukakan di dalam pendahuluan, menjadikan penulis lebih mendalaminya lebih lanjut kemudian di tuangkan melalui suatu penulisan paper ilmiah dengan judul “PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU BARANG YANG SUDAH DI BELI TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN DALAM PERJANJIAN STANDAR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999”.
-
1. Apakah pencatuman klausula baku barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan dalam perjanjian standar dapat dibenarkan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999?
-
2. Apakah akibat hukum apabila ada pencatuman klausula baku barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan dalam perjanjian standar?
Penulisan jurnal ini memiliki tujuan agar mengetahui begaimna perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pencantuman klausla baku mengenai “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan dalam perjanjian standar dapat dibenarkan berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 1999”. Selanjutnya penulis jurnal ini juga bertujuan agar bagaimana mengetahui akibat hukum apabila ada pencantuman klausula baku mengenai “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan dalam perjanjian standar”.
Dalam penulisan ini penulis mengunakan metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan karya ilmiah ini ialah penelitian hukum normative, penulis mengunakan pendekatan instrument hukum atau produk hukum (The Statute Approch) artinya “penelitian mengunakan pendekatan undang-undang, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus dan merupakan tema sentral suatupenelitian”.11 Pendekatan konsep ialah pendekatan yang mengerahkan menguasai konsep secara benar dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan konsep yang mengatur mengenai “barang yang telah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Dalam penulisan ini juga mengunakan bahan hukum yang dikemukakan ialah “bahan hukum primen dan bahan hukum sekunder, bahan hukum primer berupa peraturan produk hukum yang berkaitan dengan barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan, bahan hukum sekunder berupa buku-buku, karya ilmia yang dipublikasikan serta pendapat ahli hukum”. Teknik penulisan artikel mengunakan studi kepustakaan dengan menganalisis buku-buku yang menitikberatkan pada data-data sekunder dan hukum tertulis. Metode analisis data serta bahan hukum dilakukan secara kualitatif, yang menganalisis data-data yang bersifat deskriftif. Penelitian ini beranjak dari adanya kekaburan norma terhadap ketentuan mengenai “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”.
-
III. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1 Pencatuman Klausula Baku Barang Yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Dikembalikan Dalam Perjanjian Standar Dapat Dibenarkan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
-
Asas kebebasan berkontrak ialah salah satu landasan dalam sebuah pembuatan perjanjian, di antara kedua pihak dalam melakukan perjanjian menciptakan kesamarataan yang sama dan seimbang dalam melakukan perjanjian guna mencapai kesepakatan yang sama antara kedua belapihak.12 Tak terlepas dari kesepakatan terkadang mengindahkan asas kesimbangan asas keseimbangan diantara kedua pihak, yang dimana perjanjian itu sudah di siapkan dan di cetak dalam formulir perjanjian yang sudah dicetak kemudian disodorkan kepada pihak yang lain dengan menyediakan syarat-syarat baku kedalam perjanjin. Dengan secara tidak langsung harus disetujui dengan hampir tidak kesempatan kepada pihak yang disodorkan perjanjian tersebut melakukan negosiasi terhadap perjanjian yang disodorkan tersebut. Pernajian ini dinamakan sebuah perjanjian standar atau baku.13
Perjanjian standar juga merupakan perjanjian baku. Kata standar atau baku artinya “tolak ukur yang dipakai sebagai patokan dalam hubungan perjanjian”, sehingga perjanjian baku ialah “perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pelaku usaha”. Metode, rumusan dan ukuran adalah beberapa hal yang dibakukan pada perjanjian baku. Menurut H. Hondius mendefinisikan perjanjian standar atau baku adalah Konsep-konsep janji-janji tertulis yang di susun tanpa membedakan isinya, serta pada umumnya dituangkan dalam perjanjian-perjanjian yang tidak terbatas jumlahnya, namun sifatnya tertentu.14 Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa yang terjadi kedalam sebuah perjanjian tersebut adalah klausulanya bukan formil perjanjian tersebut.15
Klausula ialah isi atau pasal dalam suatu perjanjian. Dalam Pasal 1 huruf 10 UU Perlindungan Konsumen menegaskan bahwasannya klausula baku ialah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat wajib dipenuhi konsumen”. Menurut penjelasan pasal tesebut dapat diketahui bahwasannya salah satu pihak telah menyediakan tersebi dahulu sebiah perjanjian berisi klausula baku pada perjanjian tersebut ke dalam sebuah dokumen, formulir, nota pembelian, dan lain sebagainya. Kemudian dicepatak dan disodorkan kepada konsumen saat melakukan transaksi atau sesuda transaksi.
Pengunaan perjanjian standar yang memiliki klausula baku sering terjadi dalam tansaksi jual beli barang. Sehingga menjadikan para konsumen menjadi berat sebelah
dan meminimalisir hak konsumen Untuk melakukan tawar atau bargaining power oleh konsumen sehingga tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini menjadikan posisi yang kuat dapat menekan keinginan pihak yang lemah, sehingga menimbulan pihak yang lebih lemah tidak mendapat kesempatan untuk bernegosiasi dan hanya memilki kesempatan “take it or leave it”.16 Dengan hanya memilih “take it” atau menerima berarti telah menyetujui perjanjian yang disediakan pelaku usaha. Hal ini, karena konsumen dilemahkan dengan perjanjian baku yang terterah tersebut sehingga konsumen hanya menerima hal tersebut karena keadaan. Perjanjian ini tidak selaras dengan asas dalam kebebasan berkontrak, sebab para konsumen tidak memiliki posisi yang sama dan seimbang dalam rangka mencapai kesepakatan yang dibuat.
Perjanjian standar yang memiliki klausula baku, sering di temukan pada kegiatan jual beli sehari-hari salah satunya terdapat di dalam struk pembelian atau tertera di depan kasir sebuah toko. Hai itu, merupakan sebuah tulisan “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” terlihat biasa saja tetapi dapat merugikan konsumen. Sering dijadikan oleh pelaku usaha untuk mempermuda pelaku usaha menjual dan tidak mengganti rugi jika terjadi kerusakan pada barang yang sudah di beli karna telah menuliskan kata tersebut yang menjadikan konsumen terikat pada sebuah perjanjian yang sudah dibuat sepihak oleh pelaku usaha sehingga pihak konsumen menjadi terbiasa dengan keadaan tersebut, namun hal tersebut dilarang dalam UU Pelindungan Kosumen.17
Pada Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa “pencantuman klausula baku pada perjanjian baku atau dokumen transaksi bisnis. Salah satu pengaturan pencantuman klausula baku yang dilarang adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen mengatur bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk perdagangan dilarang memuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha”. sedangkan pada Pasal 18 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen mengatur bahwasannya “pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letaknya atau bentuknya sulit terloihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti’’. Jika dalam terdapat Pasal 18 ayat (1) dan (2) terdapat sebuah tindak pelanggaran maka, menimbulkan akibatnya yaitu “perjanjian baku yang memuat klausula baku tersebut menjadi batal demi hukum, hal ini sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen maka klausual baku tersebut batal demi hukum”. Maka dari itu berdasar pada Pasal 18 ayat (4) UU Perlindungan Konsumen seharusnya “pelaku usaha melakukan perbaikan terhadap perjanjian baku yang telah dibuatnya dengan menyesuaikan kalusula bakunya agar tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen”.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan tidak dapat dibenarkan berdasarkan UU Perlindungan Konsumen. Karena bertentangan dengan ketentuan pasal dengan ketentuan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Sehingga penjanian baku dapat memberikan banyak kerugian yang di dapatkan oleh konsumen.
-
3.2 Akibat Hukum Apabila Ada Pencatuman Klausula Baku Barang Yang Sudah
Dibeli Tidak Dapat Dikembalikan Dalam Perjanjian Standar
Menurut pasal 18 UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang merumuskan “Klausula baku yang memuat beberapa hak seperti pengalihan tangungjawab pelaku usaha, penolakan pengembalian barang atau uang yang sudah dibayar, mensyaratkan konsumen untuk tunduk pada aturan baru, perubahan dan lanjutnya yang ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, merumuskan kuasa pelaku usaha untuk melakukan tindakan sepihak terhadap barang angsuran konsumen, mengurangi manfaat/harkat kekayaan konsumen dan mengatur perihal pembuktian konsumen atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen”.
Pasal 18 UU Pelindungan Konsumen dalam Ayat (2)-nya juga mempersyaratkan agar “pencantuman klausula baku baik dari segi letak dan bentuknya tidak sulit terlihat dan dapat dibaca secara jelas serta pengungkapanya tidak slit dimengerti. Sehingga pengunaan klausula baku pada suatu barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar kembali merugikan konsumen sehingga menimbulkan akibat hukum terhadap klausula baku tersebut yang dicantumkan dalam perjanjian standar dinyatakan batal demi hukum”18 sesuai dengan ketentuan pada pasal 18 ayat 3 menyatakan bahwasannya “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”.
Pencantuman klausul baku menimbulkan akibat hukum apabila ada pencatuman klausul baku “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” kedalam sebuah perjanjian standar secara sah berdasarkan ketentuan pasal 18 ayat (3) menyatakan perjanjian tersebut “batal demi hukum”.19 Batal demi hukum mengandung arti bahwa “dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak ada suatu perikatan”. Bahwa secara sistemmatis klausul “barang yang sudah dibeli tidak dapat di dikembalikan” tidak dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 18 Perlindungan Konsuemn sehingga perjanjian tersebut secara jelas “batal demi hukum”.
Pencantuman klausula baku “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar kembali” pada perjanjian standar tidak dapat dibenarkan dengan dasar hukum ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Konsumen. Sehingga pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” dalam perjanjian standar, tidak dapat dibenarkan. Akibat hukum dalam pencantuman klausula baku “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” telah melanggar ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dan (2) sehingga dalam ayat (3) klausula baku tersebut dinyatakan “batal demi hukum”.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta. PT Raja Grafindo, 2015.
Assegaf, A.F. Penjelasan Hukum Tentang Klausula Baku, Jakarta. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2014.
Jonaedi Efendi, S. H. I., Johnny Ibrahim, S. H., & Se, M. M. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. Prenada Media. 2018.
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesian, Jakarta, 2017.
Widiarty, W.S. Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kadarluarsa. Depok. PT Komodo Books, 2016.
Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Rawamangun, Jakarta. Kencana Prenada Media Group, 2015.
JURNAL
Indah Permatasari. “Pencantuman Klausula Baku Dalam Perjanjian standar Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen” Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. (2020).
Munggaran, S. I., Sudjana, S., & Nugroho, B. D. Perlindungan Konsumen Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam Perjanjian. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, 2 No.2. (2019), 187-199
Nur, Y. H., & Carolina, R. A. klausula baku dalaM bidang PeruMahan. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, 4 No.1 (2018), 102-123
Nurhafni, N., & Bintang, S. Perlindungan Hukum Konsumen dalam Perjanjian Baku Elektronik. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 20. No.3. (2018), 473-494
Prasnowo, A. D., & Badriyah, S. M. Implementasi Asas Keseimbangan Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 8 No. 1. (2019), 61-75
Putra A.A. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Jasa Cuci Helm Yang Mengalami Kerugian Akibat Kelalaian Oleh Pelaku Usaha”. Kertha Wicara 9.No. 7 (2020), 1-6.
Rahman, A. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Serang. Jurnal Ilmu Hukum, 2 No. 1 (2018), 21-42
Ramadani, M.S. “Perlindungan Hukum Konsumen Atas Penerapan Klausula Baku”. Jurnal Yudisial 11 No. 1 (2018), 91-122
Rianti,N.K. “Tangung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Dalam Hal Terjadinya Hortweighting Ditinjau Dari Undang-Undang RI No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Jurnal Magister Hukum Udayana. Vol. 6 No. 4 (2017), 521-537
Roesli, M., Sarbini, S., & Nugroho, B. Kedudukan perjanjian baku dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, 15 No. 1(2019), 1-8.
Rohaya, N. “Pelarangan Penggunaan Klausula Baku Yang Mengandung Klausula Eksonerasi Dalam Perlindungan Konsumen”. Jurnal Hukum Replik 6. No. 1 (2018), 23-25.
Sondakh, S.C. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Klausula Baku Yang Merugikan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999”. Lex Privatum II. No. 2 (2014), 13.
Sulaiman, E. Tinjauan Terhadap Perjanjian Standar Dalam Perjanjian Kredit Perbankan. Ash-Shahabah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, 4 No.1 (2018), 28-38.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 9 Tahun 2023 hlm 1054-1064
1064
Discussion and feedback