PERJANJIAN LISAN SAH SEBAGAI BUKTI DALAM PERADILAN PERDATA
on
PERJANJIAN LISAN SAH SEBAGAI BUKTI
Immanuel Wibowo Siagian, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: immanuelwibowo2000@gmail.com
I Gede Putra Ariana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: putra.ariana@fl.unud.ac.id
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberi wawasan bag massyarakat tentang perjanjian yang ssering mereka ciptakan. Juga menjadi media untuk memberi tahu tentang perjanjian yang sah itu adalah perjanjian yang seperti apa. Terlebih memberi wawasan tentang keabsahan perjanjian lisan yang kerap digunakan dilingkungan masyarakat. Dalam penulisan ini digunakan metode penelitian hukum normatif. Yang dimana penelitian hukum Normatif ialah penelitian yang di lakukan menggunakan cara menelaah bahan yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan maupun bahan lain dari berbagai literatur yang sesuai terkait yang akan di bahas di penulisan ini. Haasilnya ditemukan bahwa perjanjian lisan sekalipun yang tidak memiliki akta tetap dikatakan sah selagi memenui unsur syarat sahnya sebuah perjanjian. Tidak hanya hanya sah, perjanjian lisan juga bisa digunakan dalam proses Peradilan Perdata sebagai alat bukti.
Kata Kunci: Perjanjian, Perjanjian Lisan, Sah, Peradilan Perdata, Alat Bukti,
ABSTRACT
The purpose of this research is to provide insight for the public about the agreements they often create. It is also a medium to inform about what a valid agreement is. Especially giving insight into the validity of verbal agreements that are often used in the community. In this writing a normative legal research method is used. Normative legal research is research conducted by examining materials derived from various laws and regulations and other materials from various appropriate literature related to what will be discussed in this writing. The results found that even oral agreements that do not have deeds are still said to be valid as long as they fulfill the elements of the valid requirements of an agreement. Not only valid, oral agreements can also be used in the Civil Court process as evidence.
Keywords: Agreement, Verbal Agreement, Valid, Civil Court, Evidence,
Istilah mengenai perjanjian sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata1 (KUH Perdata) pasal 1313 yang mengatakan bahwa persetujuan atau perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu pihak lainnya atau bahkan lebih. Istilah persetujuan sendiri merupakan permaknaan dari kata overeekomst dalam Bahasa belanda. Kata tersebut lazim diartikan juga dengan kata perjanjian. Sehingga perjanjian ataupun persetujuan dalam pasal 1313 KUH Perdata adalah sama maknanya. Menurut Subekti, suatu perjanjian addalah sebuah kejadian di mana satu pihak melakukan janji terhadap pihak lain, atau di mana beberapa pihak saling berjanji untuk melaksankan suatu hal. Hukum tentang perjanjian adalah sebuah bagian (sub - sistem) dari konsep hukum yang bersifat privat. Konsep hukum mengenai perjanjian termasuk dalam bentuk hukum yang bersifat perdata, karena hukum tentang Perjanjian itu sendiri adalah bagian dari hukum perdata (private law).
Hukum tentang perjanjian biasanya merupakan cabang/turunan (derivative) dari hukum tentang perikatan, meskipun penelitian terkadang memberi perbedaan diantara hukum perjanjian dan hukum perikatan, namun pada prinsipnya hukum di antara perikatan dan perjanjian adalah sama. Pada tataran teoritis dapat di sebut bahwa hukum mengenai perikatan berada pada konsep teoritis yang dapat disebut teori kesepakatan antar pihak, sedangkan pada level normatif terkandung dalam hukum perdata. Aturan tentang hukum perjanjian dalam KUH Perdata dapat ditemukan dalam bagian buku ketiga KUH Perdata, yang secara khusus tercantum dalam pasal 1313 KUH Perdata sampai dengan pasal 1351 KUH Perdata dan di bawah sub - judul besar Bab II " perikatan – perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau peresetujuan " . Dari peraturan-peraturan tersebut diketahui bahwa pada hakekatnya ada hukum perjanjian. Namun, diantara hukum perjanjian dan hukum perikatan kerap dianggap terpisah. Namun demikian, bukan berarti konsepnya harus berbeda, seperti yang sering terlihat pada pemikiran akademik para praktisi hukum yang mengkaji kedua aspek tersebut dalam suatu bentuk kajian, meskipun terdapat tidak banyak dari segi perbedaan. Perikatan serta perjanjian adalah dua bentuk yang memiliki beda, walaupun mengandung karakteristik yang terlihat mendekati identik/sama.
Untuk mengetahui perbedaan diantara perjanjian maupun perikatan, adalah secara umum perjanjian merupakan bentuk hubungan hukum segi dua, yang berarti bahwa pada hakekat nya disetujui atau di kehendaki para masing – masing obyek/pihak yang saling mengikatkan diri. Hal ini memiliki arti jika hak serta sebuah kewajiban bisa dipaksakan. Para pihak yang memiliki jumlah diatas dari satu atau sama dengan dua pihak atau bahkan lebih sehingga tidaklah pernyataan dari hanya satu buah pihak saja artinya belum tentu bisa melahirkan sebuah akibat hukum, sebagai contoh, perikatan yang bersifat alami tidak dapat dituntut di sidang pengadilan (hutang yang timbul karena disebabkan oleh judi) dikarenakan pemenuhan nya tidaklah bisa dipaksa. Pihak nya yang cuma memiliki jumlah tidak lebih dari satu sesehinggah hal tersebut dapat dikatakan ber segi satu serta bentuk pernyataan nya adalah sebuah pernytaan yang sepihak dan perbuatannya hanyalah sebuah perbuatan yang biasa (bukan sebuah perbuatan hukum).
Di dewasa ini banyak sekali terjadi sebuah perjanjian yang berdasarkan perkataan dari salah satu pihak dalam sebuah kontrak/perjanjian. Biasanya hal ini
-
1 Kirana Nuharta, Desak Gede Dhyanada & Indrawati, A.A Sri. “Akibat Hukum Perjanjian Nominee Terhadap Kepemilikan Tanah Hak Milik”. Journal Kertha Negara Vol. 9, No.
terjadi karena mungkin diantara kedua pihak itu memiliki hubungan spesifik seperti keluarga, teman, relasi atau lain sebagainya. Oleh karena itu sebuah perjanjian tertulis dirasa terlalu “formal”2. Tanpa disadari perbuatan inilah yang dapat mengakibatkan kerugian dikemudian harinya. Banyak orang menganggap apabila orang berjanji dengan sekedar perkataan atau ucapan, kita bisa dengan mudah mempercayainya Apalagi di era sekarang sebuah perkataan tidak hanya bisa diucapkan melalui mulut saja, tetapi banyak media untuk menyampaikannya seperti chat, email, atau banyak media elektronik lainnya yang digunakan untuk melakukan komunikasi antar individu, sehingga perjanjian lisan semakin banyak dan gampang digunakan3. Pada kehidupan sehari-hari kita banyak menggunakan perjanjian lisan pada hal kecil seperti dalam membeli disebuah toko, menggunakan jasa transpotasi, dan lain sebagainya4. Sebuah perjanjian yang sederhana seperti itu tentu tidak akan terlalu berdampak banyak pada kita. Namun dalam prosesnya di era sekarang kerap ditemukan sebuah perjanjian yang kompleks dan mengharuskan sebuah perjanjian yang formal dan legal, perjanjian lisan juga diturut sertakan. Mungkin tidak sebagai acuan utama namun dengan sebuah tambahan kecil dalam perjanjian tersebut, dirasa tidak perlu menulis ulang atau menambahkan pada perjanjian tertulis tersebut.
Tanpa disadari apabila ada sebuah pelanggaran saja apa yang tertulis dalam perjanjian tersebut baik kecil maupun besar, dapat membatalkan sebuah perjanjian dalam keseluruhan apabila tidak ada itikad baik dari pihak yang melanggar5. Sebagai gambaran apabila ada seseorang yang ingin menyewa sebuah tempat tinggal dengan pekarangan dan sebuah gudang kecil yang sudah rusak. Karena sudah rusak, pemilik merasa gudang tersebut tidak layak untuk diikutsertakan dalam kontrak karena dirasa tidak layak dan tidak akan digunakan oleh penyewa, jadi harga yang ditertera di kontrak hanya harga sewa bangunan rumah tidak dengan bangunan gudang dipekarangannya. Pemilik dan penyewa sudah menyepakati setiap hal dan sudah menulis sebuah perjanjian sewa menyewa. Namun setelah beberapa hari, penyewa merasa memerlukan gudang tersebut untuk tempat barang yang sedang tidak akan digunakan. Penyewa bertanya pada pemilik apakah mereka dapat mempergunakan gudang tersebut. Pemilik dengan ucapannya mengatakan bahwa apabila penyewa mau memperbaiki sendiri gudang tersebut, mereka boleh menggunakannya. Penyewa setuju dan mereka merenovasinya lalu menggunakannya. Seiring waktu, gudang tersebut tidak lagi menjadi tempat menyimpan barang, namun penyewa mengalih fungsikannya menjadi tempat mereka berjualan atau sebagai toko tempat mereka mencari nafkah. Pemilik melihat toko tersebut sukses lalu melihat peluang. Dia mendatangi penyewa dan mengatakan bahwa mereka tidak berhak menggunakan “bangunan” bagian itu. Penyewa tidak terima karena mereka sudah bertanya dan pemilik sudah mengizinkan. Jika mereka sudah mengaturnya didalam kontrak, tentu penyewa dapat melaporkannya ke pihak yang berwajib6Namun mereka tidak teliti dan hanya mengacu pada perkataan
pemilik. Mereka tidak terpikir untuk menambahkan bagian itu dalam perjanjian tertulis. Itu menyebabkan pemilik berhak untuk menuntut mereka karena dalam isi kontrak memang bangunan tersebut tidak disertakan. Hal serupa seperti ini kerap terjadi namun dalam bentuk yang berbeda.
Penelitian ini menggunakan jurnal ”Keabsahan Perjanjian Lisan Sebagai Alat Bukti Surat di Pengadilan Dalam Perjanjian Jual Beli Online Shop” yang ditulis oleh I Kadek Parma Astawa dan Ni Luh Gede Astariyani sebagai acuan dasar7. Namun pada jurnal tersebut hanya membahas terkait dengan ruang lingkup transaksi jual beli di online shop sementara di jurnal ini membahas perjanjian lisan secara umum.
-
1. Apakah Perjanjian Lisan sah dimata hukum?
-
2. Bagaimana sebuah Perjanjian Lisan dijadikan alat bukti dalam sebuah Peradilan Perdata?
Penulisan ini diharapkan mampu menjadi sumber ilmu pengetahuan. Terutama bagi masyarakat yang sudah terlanjur membuat perjanjian secara lisan lalu takut membawanya ke pengadilan karena sudah terlanjur takut bahwa perjanjian yang mereka buat tidak sah dan tidak memiliki kekuatan didepan hakim. Dan lagi diharapkan penulisan ini dapat menjadi salah satu sumber litelatur apabila ada yang ingin melakukan studi tentang hal yang ada kaitannya tentang hal yang dibahas di penulisan ini.
II.Metode Penelitian
Metode penelitian yang di terapkan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Yang dimana penelitian hukum Normatif ialah penelitian yang di lakukan menggunakan cara menelaah bahan yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan maupun bahan lain dari berbagai literatur yang sesuai terkait yang akan di bahas di penulisan ini.
Bisa di katakan penelitian ini meneliti memakai bahan pustaka atau data sekunder. Sebab memakai penelitian aturan normatif maka pendekatan yg pada gunakan adalah pendekatan Perundang-undangan (statue approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan Undang-Undang pada lakukan dengan menelaah semua isi Undang-Undang yang terdapat hubungannya dengan isu yang dibahas.
Salah satu implentasi dari sebuah hukum yang berperan nyata dalam kehidupan social adalah Perjanjian yang diatur dalam Hukum Perjanjian. Kata perjanjian itu sendir mula-mula berawal dari Bahasa Belanda dengan istilah overeenkomst dan dalam Bahasa inggris disebut contrat/agreement. Hukum tentang perjanjian merupakan sebuah aturan yang terbentuk karena adanya suatu obyek hukum yang ingin mengikatkan dirinya ke obyek hukum lain (antara pihak ke pihak lain). Bisa juga adanya ikatan sebuah perjanjian yang mengakibatkan lahirnya sebuah pernjanjian antara pihak satu dan lainnya untuk melakukan atau untuk tidak melakukan sebuah perbuatan tertentu.
Menurut KUH Perdata perjanjian sebagai suatu kontrak adalah perikatan yang memiliki pertanggung jawaban hukum yang mengikat pihak satu dan yang lain yang implementassinya akan berkaitan dengan hukum tentang kekayaan dari para pihak yang berhubungan dengan perjanjian tersebut. Pada dasarnya semua orang memiliki hak kebebasan untuk melakukan sebuah perikatan kontrak atau perjanjian.8 Setiap subyek dinegara hukum khususnya di Indonesia tentu memiliki hak untuk membuat suatu tindakan hukum selagi orang tersebut melakukan dan memenuhi haknya di mata hukum.9 Hal ini dapat dilihat diatur dalam KUH Perdata pada pasal 1329 “Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.”. Dalam isi naskah asli KUH Perdata pasal 1320 dirumuskan secara ekspilisit bahwa syarat sahnya perjanjian hanya bertumpu dari subyeknya saja yaitu manusia. Tidak ada aturan tentang obyek(bentuk,rupa, dsb) dari suatu perjanjian. Hal tersebut memiliki maknabahwa yang menjadi syarat sah tidaknya asebuah perjanjian, yang menjadi point utamanya adalah subyeknya (manusianya), bukan obyeknya (bentuknya). Maka dari itu dapat disimpulkan apabila orang tersebut dinyatakan cakap hukum dia berhak untuk membuat sebuah perikatan. Dalam pasal 1330 juga telah diatur kualifikasi orang yang tidak cakap hukum antara lain;
-
1. Anak yang cukup belum dewasa
-
2. Orang dibawah pengampuan
-
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
Secara Fundamental suatu perjanjian akan batal apabila salah satu pihak menolak untuk bersepakat atau mengikatkan diri. Maka dari itu diluar dari ketentuan tersebut diatas, semua orang dinilai cakap hukum untuk melakukan perjanjian apapun dan dalam bentuk apapun. Yang menjadi persoalan adalah dalam bentuk apa sebuah perjanjian hanya dinyatakan sah. Apabila mengacu pada pasal 1320 syarat adanya perjanjian hanyalah:
-
1. adanya kesepakatan
-
2. kecakapan hukum
-
3. suatu pokok persoalan tertentu
-
4. suatu sebab tidak dilarang10
Jadi yang menjadi inti utama sah tidaknya suatu perjanjian bukan dari bentuk perjanjian setelah dibuat, melainkan ketika perjanjian itu belum dibuat. Jadi tidak penting apa bentuk perjanjiannya, tapi yang harus diperhatikan adalah syarat dari perjanjian itu sendiri. Dalam perjanjian itu sendiri juga harus ada pihak yang terikat dalam perjanjian. Pihak – pihak yang dimaksud dalam perjanjian adalah obyek hukum apa saaja yang terlibat perjanjian. Pihak – pihak yang dimaksud adalah pihak yang mengadakan perjanjian serta mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, serta pihak – pihak ke tiga yang seusai aturan dalam buku ke III KUH Perdata. Bisa ditarik
keimpulan bahwa setiap pihak yang sudah memnuhi unsur sah perjanjain berhak memiliki kebebasan pada setiap perjanjian yang buat dengan bentuk, isi, dan orang yang dikehendaki.
Perjanjian pada umumnya dibuat secara tertulis. Bahkan dalam beberapa perjanjian yang “besar” dibubuhkan juga pihak ketiga sebagai saksi dibuatnya perjanjian tersebut. Tujuan dalam pembuatan akta itu tentu sebagai pembukti bahwa sebuah perjanjian tersebut adalah betul pernah dibuat. Sejatinya setiap perjanjian yang dibuat adalah sah dimata hukum. Semua perjanjian tetaplah perjanjian. Secara umum perjanjian dibagi menjadi 2 macam. Yaitu perjanjian yang disertai dengan akta otentik ataupun perjanjian bawah tangan. Walaupun dengan atau tanpa akta sebuah perjanjian tetaplah sah, namun apabila sebuah perjanian tanpa adanya akta tentu akan lebih sulit untuk dibuktikan dipengadilan dibandingkan dengan adanya akta. Secara teori, akta sebuah perjanjian tentu memiliki tujuan. Tujuan dari akta adalah sebagai dibawah ini:
-
1. Formalitas causa (fungsi formil) dimana yang berarti supaya agar penuhnya atau sempurnanya (tidaklah menjadi syarat untuk sahnya) sebuah perbuatan atau sebuah tindakan yang memiliki kekuatan hukum, tentu mengharuskan dibentuknya suatu akta atau sebuah bentuk tulisasn yang memiliki wujud atau bentuk, maksud dari akta itu sendiri adalah merupakan suatu perwujudan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum sebagai contoh dari suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil antara lain dalam Pasal 1610 BW mengenai perjanjian pemborongan, Pasal 1767 BW mengenai perjanjian hutang - piutang dengan bunga dan Pasal 1851 BW tentang sebuah perdamaian, beberapa contoh yang disebutkan diatas itu semuanya menggunakan adanya akta dibawah tangan sedangkan yang biasanya memerlukan akta - akta otentik beberapa diantaranya adalah Pasal 1171 BW tentang pemberian hipotik, Pasal 1682 BW tentang schenking, dan Pasal 1945 BW yang berisikan tentang melakukan sumpah oleh orang lain.
-
2. Probationis causa (fungsi alat bukti) ialah akta tersebut yang dimaksud di bentuk dari awal mula adanya perjanjian dengan penuh kesengajaan yang memiliki tujuan untuk sebuah langkah pembuktian di hari yang akan datang, sifatnya yang tertulis dan memiliki wujud atau fisik dari suatu perjanjian dalam bentuk fisik akta itu tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi hanyalah supaya dapat digunakan menjadi alat bukti disaat – saat tertentu.
Namun, perjanjian tanpa akta otentik tentu masih bisa dibuktikan dan bisa dijadikan sebagai bukti. Mengacu pada hukum acara di Indonesia, sebuah perjanjian tetap bisa dibuktikan apabila ada saksi ataupun bukti untuk membuktikan sebuah peristiwa dimana perjanjian itu diciptakan11. Karena setiap dalil harus disertai dengan pembuktian untuk mendapatkan kebenaran yang bersifat formil (formeel waarheid). Karena dalam setiap dalil harus disertai dengan bukti atau saksi penguat12. Dalam system peradilan di Indonesia dibutuhkan minimal 2 orang saksi dan 1 alat bukti untuk
membuktikan sebuah peristiwa. Diatur didalam pasal 164 HIR/284 RBG proses pembuktian dalam peradilan yang bisa digunakan sebagai alat bukti ada 4, yaitu:
-
1. surat
-
2. saksi
-
3. persangkaan, dan
-
4. pengakuan
Dengan perjanjian lisan tentu saksi bisa digunakan menjadi salah satu“pembukti” bahwa perjanjian itu ada. Hakim dalam suatu peradilan dalam proses memutuskan suatu perkara tentu menentukan sebuah keputusan yang berlandaskan pada beberapa alat bukti yang telah diatur dalam Undang – Undang dan dengan apa yang hakim yakini. Seperti yang sudah dibahas diatas, alat bukti yang dapat digunakan hakim adalah keterangan saksi. Saksi – saksi yang yang dihadirkan dalam muka persidangan umumnya dibagi menjadi tiga saja, yaitu yang memberatkan terdakwa (a charge) yang dalam kebiasannya dihadirkan oleh penuntut umum, lalu saksi yang dapat meringankan terdakwa (a de charge) normalnya dihadirkan oleh terdakwa atau pihak penasihat hukumnya, lalu yang ketiga adalah saksi yang tidak dan memberatkan terdakwa, tetapi keilmuannya dirasa mampu membantu hakim untuk lebih mengetahui mengenai perkara yang sedang diadilinya maka saksi tersebut dikatakan sebagai saksi ahli13. Baik dari keetiga jenis saksi diatas, tentu memiliki perannya masing–masing dalam membantu hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Dalam pembahasan dalam penenlitian ini dibahas mengenai saksi karena apabila tidak ada akta tertulis dalam sebuah perjanjian sebagai bukti yang otentik dan lebih mudah dalam pembuktiannya, tentu hanya saksi lah melalui keterangannya yang dapat menjadi kunci untuk menyatakan perjanjian itu benar pernah dibuat. Apabila pembuktian tentang adanya perjanjian dibutuhkan oleh pihak terdakwa maka saksi mengenai perjanjian tersebut digolongkan sebagai saksi peringan atau a de charge.
Kasus ini dapat terjadi apabila salah satu pihak melakukan kebohongan mengenai perjanjian yang sudah diperjanjikan antara kedua belah pihak seperti salah satu pihak seperti jika satu pihak berjanji akan memberikan Sebagian barang kepunyaannya pada pihak lainnya apabila dia tida memenuhi hutangnya pada pihak yang satunya. Ketika dia tidak membayar hutangnya dan pemilik hutang mengambil barangnya sesuai perkataan pihak satunya, dia dituduh sebagai pencuri dan pihak yang menjanjikan hal tersebut membantah pernah memiliki dan membuat perjanjian tersebut. Disinilah peran keterangan saksi sangat amat diperlukan dalam proses pembuktian dan penyelesaian dalam proses persidangan. Begitu juga sebaliknya. Baik itu saksi a charge atau a de charge tentu alat bukti yang berbentuk keterangan saksi ini bisa dan akan sangat membantu hakim dalam menangani suatu perkara. Dalam peradilan perdata sendiri mengenai saksi sendiri diatur dalam KUH Perdata dalam pasal 1895 – 1912 dimana di dalam peraturan tersebut diatur mengenai syarat ataupun seseorang dapat menjadi saksi. Syarat atau ketentuan tersebut bisa di golongkan ke dalam dua jenis saksi yaitu saksi materiil dan saksi formil. Apabila hanya ada satu tentu sulit untuk pengadilan bisa percaya akan peristiwa tersebut karena adanya asas unus testis ullus testis. Dan lagi saksi yang dihadirkan tidak boleh memiliki hubungan kerabat dengan pihak yang berperkara. Namun keterangan saksi tersebut dapat tetap dipergunakan. Karena apabila jika hakim berpendapat bahwa keterangan saksi tersebut dirasa cukup dan memiliki alasan yang jelas keterangan saksi tersebut bisa dianggap sebagai alat bukti petunjuk.
Secara fundamental walaupun hanya keterangan saksi yang berlwanan dengan asas unus testis nullus testis dan dikecualikan dari alat bukti keterangan saksi, tetapi setidaknya dapat dipertimbangkan sebgai sebuah persangkaan.14 keterangan saksi Jadi bisa disumpulkan bahwa perjanjian lisan bisa dipakai sebagai alat bukti dalam peradilan perdata walaupun tidak ada akta otentik berdasarkan kesaksian karena sah berdasarkan hukum. Tidak hanya saksi saja yang bisa dijadikan sebagai pembukti bahwa perjanjian itu ada. Seperti yang sudah diketahui bersama pada zaman sekarang ini lisan tidak hanya bisa disampaikan melalui mulut saja. Sudah ada media elektronik seperti chatting app, social media, e-commerce, dan lain sebagainya yang riwayat komunikasinya bisa diakses dan ditunjukkan kehadapan hakim di muka persidangan.15
Perjanjian lisan sah dimata hukum. Karena perjanjian yang sah selama memiliki unsur dari syarat sahnya sebuah perjanjian ada dimuat didalam pasal 1330KUH Perdata. Jadi selama perjanjian lisan dibuat berdasarkan pasal 1330 KUH Perdata. Perjanjian lisan bisa digunakan sebagai alat bukti didalam peradilan perdata. Pembuktiannya dapat diperkuat dengan saksi, atau riwayat digital apabila menggunakan media elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Pangestu, Muhammad Teguh. "Pokok-Pokok Hukum Kontrak”. Makassar: CV. Sosial Politic Genius. 2019.
Sidabalok, Janus. “Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia”. Cet. Ke-3. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2014.
JURNAL
Astawa, I Kadek Parma & Astariyani, Ni Luh Gede. “Keabsahan Perjanjian Lisan Sebagai Alat Bukti Surat di Pengadilan Dalam Perjanjian Jual Beli Online Shop”. Jurnal Kertha Negara, Vol 7. & No. 11. (2019)
Fawzi, M. Rizqa Anas, and Suantra Putrawan. “Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Online Berdasarkan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik”. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8, No. 4, (2020).
Herdiana Rinaldi, Lasyita dan Suatra Putrawan.. "Keabsahan Perjanjian Jual beli Antara Penjual dan Pembeli Dibawah Umur Melalui E-commerce” Kertha Semaya 7. (2021). DOI: https://doi.org/10.24843/KS.2021.v09.i07.p10
Iga Mawarni, Laras.. "Keabsahan Alat Bukti Keterangan Saksi A De Charge Yang Digunakan Hakim Untuk Memutus Perkara Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap (Studi Putusan Nomor310/Pid.Sus/2018/PN Png )." Jurnal Verstek 2. (2021)
Kirana Nuharta, Desak Gede Dhyanada; INDRAWATI, A.A Sri. “Akibat Hukum Perjanjian Nominee Terhadap Kepemilikan Tanah Hak Milik”. Journal Kertha Negara Vol. 9, No. 6, (2021).
Pandapotan, Joshua & Laksana, Dharma.. “Wanprestasi pada Perjanjian Jual Beli Tanah dan Rumah Antara Kedua Belah Pihak”. Jurnal Kertha Negara. 5. (2022)
Rahma, Miftahul dan Syabbul Bachri.. "Keabsahan Alat Bukti Saksi Testimonium De Auditu Pada Perkara Penetapan Ahli Waris Menurut Prespektif Hukum Acara Perdata dan Hukum Islam." Sakina: Journal Of Family Studies 6. (2022)
Sitompul, Fajar & Ariani, I Gusti Ayu Agung. "Kekuatan Mengikat Perjanjian Yang Dibuat Secara Lisan" Jurnal Kertha Semaya Vol. 2 No. 5. (2014)
Widyantari, Ni Putu Trisna, & Wirasila, Ngurah. “Pelaksanaan Ganti Kerugian Konsumen Berkaitan Dengan Ketidaksesuaian Produk Pada Jual Beli Online”. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 7, No. 8 (2019)
Wijaya, I. Gede Krisna Wahyu, And Nyoman Satyayudha Dananjaya. "Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli Online." Jurnal Kertha Semaya. 5 (2018)
ARTIKEL
Rahmani, Ronni. 18 November 2019 “Asas Kebebasan Berkontrak dan Kontrak Baku Dalam Akad Ekonomi Syariah”, Artikel Mahkamah Agung Indonesia,. https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/asas-kebebasan-berkontrak-dan-kontrak-baku-dalam-akad-ekonomi-syariah-oleh-ronni-rahmani-shi-mh-18-11. Diakses 18 Januari 2023, pukul 12.00.
Ramlan, P. G. 30 Juni 2022. “Mengenal Jenis Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata” https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pekalongan/baca-artikel/13073/Pembuktian-Dalam-Upaya-Memenangkan-Perkara-Perdata.htm. Diakses pada 18 Januari 2023, pukul 17.00.
Rokhaya, S. 11 Mei 2020. “Pembuktian Dalam Upaya Memenangkan Perkara Perdata”. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pekalongan/baca-artikel/13073/Pembuktian-Dalam-Upaya-Memenangkan-Perkara-Perdata.html Diakses pada 18 Januari 2023, pukul 19.00.
PERATURAN PERUNDANG -UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 9 Tahun 2023 hlm 1045-1053
1053
Discussion and feedback