A LEMBAGA KEPOLISIAN SEBAGAI SUB-UNSUR SISTEM PERADILAN PIDANA DAN HUBUNGANNYA DENGAN INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
on
LEMBAGA KEPOLISIAN SEBAGAI SUB-UNSUR SISTEM PERADILAN PIDANA DAN HUBUNGANNYA DENGAN INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
I Nengah Budha Mahayasa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan guna menganalisis dan mengkaji hubungan internal sub-unsur sistem peradilan pidana dengan sistem peradilan pidana terpadu, serta guna mengetahui upaya yang dapat dijalankan oleh lembaga kepolisian dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundangan-undangan dan mengambil sumber dari berbagai macam literatur seperti buku, jurnal, dan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat jelas antara lembaga kepolisian dengan sistem peradilan pidana terpadu. Hal ini disebabkan karena lembaga kepolisian merupakan langkah awal dari suatu mekanisme penanganan kasus pidana. Lembaga kepolisian sebagai lembaga negara yang berfungsi melindungi dan memberikan pengayoman memiliki kewajiban untuk menerima laporan dari masyarakat. Mengingat kewajibannya yang menjadi garda terdepan penyelesaian perkara pidana, segala permasalahan baik internal maupun eksternal instansi akan mempengaruhi kinerja instansi lainnya.
Kata Kunci: Lembaga Kepolisian, Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Sub-unsur
ABSTRACT
This study has a purpose of analyzing and examining the relationship between internal sub-elements of the criminal justice system with the integrated criminal justice system and understanding the efforts of police agency in realizing an integrated criminal justice system. This study used a normative legal research method with a statute approach and took various kinds of literature as its sources, namely books, journals, and legal instruments. The study shows that there is a transparent relationship between the police agency with the integrated criminal justice system. The reason behind it was police agency is the first step in a mechanism for handling criminal cases. Police agency as a state institution with a function of protecting and provide protection has an obligation to receive reports from the public. Considering its obligation as a forefront of solving criminal cases, both internal and external agency issues will affect the performance of other agencies.
Key Words: Police Agency, Integrated Criminal Justice System, Sub-elements
Sistem peradilan pidana diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak aturan melalui sebuah prosedur terpadu yang mencakup aktivitas penyelidikan, penuntutan, investigasi pada siding, serta aplikasi putusan hakim. Menurut Mardjono Residipoetro,1 sistem peradilan pidana artinya sistem pada suatu rakyat buat menanggulangi kejahatan. Sistem peradilan pidana adalah suatu rangkaian proses peradilan pidana dengan tujuan untuk menanggulangi kriminalitas di kalangan masyarakat. Menanggulangi dalam hal ini bukan berarti membasmi habis karena pada dasarnya membasmi habis kejahatan adalah hal yang mustahil, menanggulangi yang di maksud adalah berusaha untuk mengendalikan tingkat kriminalitas agar tetap dalam batas toleransi dalam masyarakat yang tidak akan mengganggu ketertiban umum. Oleh sebab sistem peradilan pidana adalah suatu proses hukum pidana, maka mempunyai korelasi yang erat dengan perundang-undangan pidana, baik itu aturan pidana substantif juga aturan acara pidana. Sistem peradilan pidana timbul sebagai jawaban atas permasalahan ketidakpuasan terhadap kinerja mekanisme aparat penegak hukum yang tidak optimal dalam menekan angka kriminalitas. Pendekatan sistem peradilan pidana menitik beratkan pada sinkronisasi dan koordinasi sub-unsur sistem peradilan pidana. Adapun sub-unsur sistem peradilan pidana terbagi sebagai berikut; Polisi Republik Indonesia, kejaksaan, pengadilan, Lembaga Bantuan Hukum, dan Lembaga Permasyarakatan. Dengan pendekatan ini, efisiensi lebih diutamakan dari penyelesaian suatu perkara. Dengan adanya pendekatan ini, lembaga-lembaga penegak hukum tidak lagi bekerja sendiri namun harus ada koordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya. Integrated criminal justice system merupakan bentuk sistem sosial yang unik. Dikatakan demikian karena keberadaan dari sistem peradilan pidana diperuntukkan untuk menghasilkan segala sesuatu yang bersifat tidak sejahtera dalam skala besar, dalam hal ini seperti penghilangan kemerdekaan, stigmatisasi, penghilangan harta benda, hingga mengambil hidup seseorang, dengan tujuan untuk mencapai tujuan kesejahteraan seperti rehabilitasi pelaku serta pengendalian tindak pidana.2
Sistem peradilan pidana memiliki dua fungsi, antara lain berfungsi preventif, di mana dalam sistem peradilan pidana terdapat lembaga pengawasan sosial untuk mencegah adanya tindak pidana; dan berfungsi represif, di mana sistem peradilan pidana menjadi keseluruhan Kerja sama lembaga penegak hukum untuk menyelenggarakan peradilan terhadap pelaku kejahatan. Apabila sistem peradilan pidana bisa dilaksanakan dengan konsisten, tentunya akan memberikan manfaat kepada seluruh bangsa. Manfaat yang dimaksud diantaranya seperti: terbentuknya data statistik kriminal secara terpusat yang bisa dimanfaatkan menjadi saran dalam menyusun kebijakan buat penanggulangan kejahatan; diketahuinya keberhasilan serta kegagalan sub-unsur sistem yang bisa diperuntukkan sebagai informasi bagi pemerintah pada aturan sosial; serta tentunya menyampaikan agunan kepastian hukum.
Menurut Muladi,3 sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system ialah sebuah jaringan yang memakai aturan pidana materiil, aturan pidana formil, serta aturan pelaksana pidana dengan tetap mempertimbangkan konteks sosial. Perkara harus ditangani dengan pendekatan sosial, perkara yang ditangani dengan hukum formal demi terwujudnya kepastian hukum hanya akan menimbulkan ketidakadilan di masyarakat. Muladi menegaskan bahwasanya integrated criminal justice system adalah sinkronisasi, keseragaman, dan kesamaan yang bisa dibagi menjadi kesamaan struktural, kesamaan
substansi, dan kesamaan budaya. Konsep keselarasan ini diharapkan dapat dilaksana demi terwujudnya penegakan hukum, namun demikian dalam pelaksanaannya konsep ini belum dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Terdapat banyak kejadian yang membuktikan bahwa belum adanya keselarasan dan keterpaduan sistem peradilan pidana. Salah satu contoh kasusnya, pada tahapan pembebasan bersyarat tersangka perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia David Nusa Wijaya yang tidak ada koordinasi dengan lembaga kejaksaan. Atau misalkan pada kasus Gayus H. Tambunan yang menyalahkan putusan hakim dan saling lempar masalah dan tanggung jawab antara aparat penegak hukum. Sebagaimana yang disampaikan dalam terwujudnya sistem peradilan pidana, harus terdapat sinkronisasi struktural, baik itu antara sub-unsur sistem, maupun internal dari sub-unsur sistem tersebut. Sinkronisasi dari internal sub-unsur sistem menjadi fondasi dalam sistem peradilan pidana terpadu, jika internal sub-unsur sistem peradilan pidana saja tidak ada sinkronisasi, akan sulit mewujudkan sinkronisasi struktural sistem peradilan pidana.
Pembuatan jurnal ini tidak semata mata hanya berdasarkan pemikiran saya pribadi tetapi saya juga mengambil beberapa sumber baik itu dari jurnal maupun dari buku buku yang sudah saya berikan catatan kaki. Walaupun saya disini menjadikan beberapa bahan sumber jurnal serta buku sebagai acuan kerja saya. Pembahasan mengenai topik ini juga telah dibahas dalam beberapa jurnal lain. Yang pertama, jurnal yang dibuat oleh Armuanto Hutahean dan Erlyn Indarti dengan judul “Lembaga Penyidik Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia”.4 Dalam jurnal tersebut, lebih ditekan kan kepada Polri sebagai salah satu Lembaga penyidik yang ada di Indonesia. Dimana jurnal ini menekankan mengenai peran kepolisian atau Polri sebagai bagian dalam Sistem Peradilan Pidana terkhusus dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu.
Lalu, jurnal kedua yaitu jurnal yang berjudul “KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu” yang dibuat oleh Supriyanta.5 Pada jurnal tersebut lebih berfokus pada arti serta definisi dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut. Di penelitian yang penulis buat, penulis akan menekankan pada Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut beserta hubungannya dengan pihak kepolisian dan Langkah – Langkah yang dapat pihak kepolisian lakukan dalam perwujudan Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut. Berdasarkan permasalahan ini, penulis berkeinginan untuk mengkaji lebih dalam mengenai hubungan antara sub-unsur sistem peradilan pidana dengan sistem peradilan pidana terpadu.
Berdasarkan latar belakang yang disampaikan, maka dapat ditarik rumusan masalah yaitu:
-
1. Bagaimana hubungan antara internal sub-unsur sistem peradilan pidana dengan sistem peradilan pidana terpadu? dan kedua,
-
2. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan lembaga kepolisian untuk mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu?
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengkaji hubungan internal sub-unsur sistem peradilan pidana dengan sistem peradilan pidana terpadu, dan untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh lembaga kepolisian dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penulisan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum yang terdapat dalam literatur seperti buku, tesis, undang-undang, putusan pengadilan, dan literatur perpustakaan. Penelitian ini mengkaji peraturan perundang-undangan, teori hukum serta yurisprudensi yang berhubungan dengan pokok pembahasan analisis ini. Problematika norma yang ditemukan adalah terdapat ketidakpastian dalam norma hukum yang berlaku mengaakibatkan rentan terjadi penafsiran ganda dan dapat menciptakan ketidakpastian dalam proses hukum pidana. Jenis sumber data yang digunakan adalah data pustaka yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis seperti buku, jurnal, dan peraturan perundang-undangan.
-
3 Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Hubungan Sinkronisasi Internal Lembaga Kepolisian sebagai Sub-unsur Sistem Peradilan Pidana dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu
-
Sistem peradilan pidana terpadu merupakan perwujudan penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan hukum bukan kekuasaan untuk untuk terciptanya hukum yang baik dan adil. Sistem Peradilan Pidana Terpadu juga dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan sistemik yang mengintegrasikan berbagai lembaga dan proses dalam penegakan hukum dan peradilan pidana. Tujuan dari sistem peradilan terpadu ini antara lain: Meningkatkan efisiensi dalam penanganan kasus pidana, memastikan keadilan dan perlakuan yang setara bagi semua pihak yang terlibat, mengurangi kelebihan beban kerja lembaga penegak hukum, serta mempercepat proses peradilan pidana. Sistem peradilan pidana terpadu ini telah sesuai dengan pernyataan Penjelasan UUD 1945 yang mengamanatkan untuk dibentuk suatu sistem yang dapat menjawab dan menjadi perangkat perwujudan mimpi dan harapan bangsa. Untuk terwujudnya sinkronisasi sistem pidana, dibutuhkan tiga jenis sinkronisasi, ketiga jenis sinkronisasi ini harus tetap berjalan beriringan dan tidak terlepaskan. Artinya tidak benar adanya jika hanya satu bidang saja yang berjalan dengan lain namun bidang lain tidak. Tiga jenis sinkronisasi tersebut diantaranya: Sinkronisasi di bidang substansi, sinkronisasi di bidang struktural, dan sinkronisasi di bidang kultural.6
Sinkronisasi dalam bidang substansi, artinya segala peraturan perundang-undang yang dibuat pemerintah harus sejalan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat umum. Sinkronisasi dalam bidang substansi ini dapat mencakup proses menyelaraskan undang-undang yang ada dengan peraturan yang baru atau mungkin merujuk pada koordinasi antara berbagai tingkat hukum atau antara berbagai aspek hukum. Selain itu, sinkronisasi substansi juga dapat merujuk pada koordinasi antara berbagai tingkat pemerintahan atau yurisdiksi. Misalnya, dalam sistem hukum yang terdiri dari tingkat lokal, regional, dan nasional, sinkronisasi substansial dapat melibatkan penyelarasan aturan dan peraturan di semua tingkatan untuk mencapai konsistensi dan keselarasan.
Sinkronisasi di bidang struktural, artinya di antara sub-unsur sistem harus ada kepaduan karena mereka adalah pelaku agar terciptanya suatu keadilan. Sinkronisasi struktural dalam konteks lembaga penegak hukum sering merujuk pada koordinasi dan konsistensi struktur dan fungsi antara berbagai entitas atau lembaga hukum. Dalam sistem hukum yang efektif, lembaga-lembaga ini perlu bekerja secara bersinergi untuk mencapai tujuan hukum yang ditetapkan.
Hubungan dari sinkronisasi di bidang substansi dan struktural adalah saling terkait. Jika terdapat konsistensi dalam materi (substansi), hal ini juga dapat menciptakan konsistensi dalam struktur (organisasi atau susunan). Sebaliknya, jika terdapat perubahan substansi, struktur mungkin juga perlu disesuaikan untuk menjaga keselarasan. Hubungan antara keduanya tergambar dengan adanya hal-hal yang diatur dalam bidang substansi (peraturan perundangan-undangan) akan dijalankan atau dilaksanakan oleh bidang struktural (polisi, jaksa, hakim, advokat, dan pegawai lembaga permasyarakatan). Analoginya sinkronisasi bidang struktural adalah supir, dan sinkronisasi bidang substansi adalah bus.
Yang terakhir adalah sinkronisasi dalam bidang kultural yang tentunya tidak terpisahkan dari sinkronisasi bidang lainnya. Sinkronisasi bidang kultural merupakan sinkronisasi yang berasaskan manusia, mengenai budaya yang ada di tengah masyarakat. Indonesia terdiri dari beragam suku, agama tentunya menyebabkan keragaman adat dan tradisi. Keberagaman adat ini akan menciptakan hukum adat yang berbeda-beda pula. Hukum adat yang tumbuh di tengah manusia ini harus bisa selaras dengan hukum positif yang diciptakan oleh negara, ini artinya peraturan perundang-undang yang dibuat tidak boleh mengganggu ataupun merusak hukum adat masyarakat. Mereka harus dapat hidup berdampingan dan melengkapi satu sama lain, karena bagaimana pun juga hukum adat yang tumbuh di masyarakat ini merupakan local genius, corak masyarakat, serta identitas Bangsa Indonesia.
Dalam upaya perwujudan sistem peradilan pidana terpadu, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terdapat pengaturan-pengaturan guna kerangka dasar untuk terlaksananya sistem peradilan pidana terpadu. Pengaturan tersebut dapat terbagi menjadi: hubungan terkait Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS); Hubungan Penyidik Polri dengan Penuntut Umum; Hubungan Penyidik dengan Hakim; dan Hubungan Pengadilan dan Jaksa dengan Lembaga Permasyarakatan.
Korelasi diantara Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tergambar pada beberapa pasal, diantaranya: Pasal 7 Ayat (2) yang mengamanatkan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada pelaksanaan tugasnya diawasi oleh supervisi serta skema Penyidik Polri; lalu di Pasal 107 jua tergambar sebuah koordinasi, di mana pada Ayat (1) dinyatakan bahwa guna kepentingan penyidikan, Penyidik Polri menyampaikan arahan serta bantuan yang dibutuhkan sang PPNS, lalu di Ayat (2) dijelaskan pada halnya sedang berjalan sebuah penyidikan yang sesudah itu ditemukan bukti kuat guna diajukan pada penuntu umum maka PPNS melaporkannya kepada Penyidik Polri, selanjutnya pada Ayat (3) dijelaskan pada halnya penyidikan telah selesai maka PPNS melalui Penyidik Polri menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Pada Pasal 107 ini tidak hanya tergambar adanya hubungan antara Penyidik Polri degan PPN namun juga ada kaitan atau koordinasinya dengan Penuntut Umum. Hubungan yang sama juga tergambar dalam Pasal 109 Ayat (3) yang menyampaikan apabila PPNS memberhentikan sebuah pemeriksaan dikarenakan kurang nya informasi yang kuat atau ternyata kejadian itu tidaklah tindak pidana atau diberhentikan demi hukum, maka PPNS segera menyampaikan pemberitahuan perihal itu kepada Penyidik Polri dan penuntut umum. Dari penjelasan pasal-pasal tersebut dapat dipahami bahwa guna berjalannya sebuah penyidikan yang baik maka harus ada sinkronisasi dan saling lapor antara Polri dengan PPNS.
Hubungan terkait Penyidik Polri dengan Penuntut Umum dapat tergambar melalui beberapa pasal seperti: Pasal 8 Ayat (2) di mana penyidik memberikan lampiran perkara kepada penuntut umum, kemudian Pasal 14 huruf a. di mana penuntut umum berwewenang menerima dan memeriksa lampiran perkara penyidikan dari penyidik. Dalam Pasal 110 juga tergambar sebuah sinkronisasi antara penyidik dengan penuntut umum dalam hal kaitannya dengan berkas perkara yang kurang lengkap. Selai itu hubungannya juga dapat terlihat pada Pasal 109 Ayat (1) dimana saat memulai penyidikan, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Pada Pasal 140 Ayat (2) huruf c juga mengamanatkan apabila dalam
halnya penuntut umum menghentikan penuntutan maka wajib menyampaikan surat ketetapan kepada beberapa pihak salah satunya penyidik.
Hubungan antara penyidik dengan hakim/pengadilan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tergambar pada beberapa uraian pasal, antara lain: Pasal 29 yang mengamanatkan untuk ketua pengadilan guna pemeriksaan, penahan tersangka dapat memberikan perpanjangan penahanan kepada penyidik; kemudian terkait penyitaan dan/atau penggeledahan yang diselenggarakan oleh penyidik harus mendapatkan surat perizinan khusus dari ketua pengadilan negeri setempat sesuai dengan aturan Pasal 33 Ayat (1) dan Pasal 38 Ayat (1). Masih berkaitan dengan penggeledahan tempat tinggal serta/atau penahanan, bila dilaksanakan pada kondisi yang sangat perlu serta darurat maka wajib segera memeberitahu kepada ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 Ayat (2) serta Pasal 38 Ayat (2). Pasal pasal 214 Ayat (3) serta (7) tergambar korelasi panitera dengan penyidik, dimana Ayat (3) mengamanatkan buat penyidik menyerahkan pada panitera bukti bahwa surat amar putusan sudah disampaikan pada terdakwa, serta Ayat (7) mengamanatkan panitera buat memberitahu pada penyidik perihal adanya perlawanan dari terdakwa.
Untuk dapat mengetahui hubungan Lembaga Kepolisian dengan sistem peradilan pidana terpadu, maka dibutuhkan analisis komprehensif pula terhadap Lembaga Kepolisian tersebut. Analisis komprehensif terhadap hubungan Lembaga Kepolisian dengan sistem peradilan pidana terpadu perlu melibatkan pemahaman mendalam tentang peran, tugas, dan tantangan yang dihadapi oleh lembaga kepolisian.
Lembaga Kepolisian merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam menjaga ketenteraman dan ketertiban umum. Polisi adalah perangkat negara yang berkewajiban memelihara keamanan serta ketertiban warga , menyampaikan pengayoman, serta memberikan proteksi pada rakyat. Peran dari lembaga kepolisian ini melibatkan pencegahan tindak pidana, penegakan hukum, dan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Dalam Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 perihal Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 1 angka 1 menunjukan bahwasanya Kepolisian ialah berbagai hal-tentang yang beresinambungan menggunakan kewenangan serta lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjabaran yang diberikan undang-undang, terdapat dua pengertian mengenai istilah kepolisian, yakni fungsi polis dan lembaga polisi. Mengenai fungsi polisi diterangkan lebih lanjut pada Pasal 2 yakni kewenangan kepolisian ialah salah satu fungsi pemerintahan negara pada bidang pemeliharaan keamanan serta ketertiban warga , penegakan hukum, proteksi, pengayoman, serta pelayanan pada warga. Kemudian lembaga kepolisian mengandung makna organ pemerintah yang ditetapkan menjadi suatu lembaga serta diberikan wewenang menjalankan fungsinya sesuai peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 13, dijelaskan bahwa kewajiban pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan memelihara keamanan serta ketertiban warga ; menegakkan aturan; serta memberikan proteksi, pengayoman, serta pelayanan pada warga.
Dalam menjalankan tugas pokoknya, tentu kepolisian memiliki wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 yakni mendapatkan laporan serta/atau pengaduan; menolong menuntaskan perbedaan pendapat antar warga masyarakat yang bisa mengancam ketertiban awam; menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; mengawasi peredaran yang dapat menyebabkan perpecahan atau mengancam persatuan serta kesatuan bangsa; mengeluarkan peraturan kepolisian pada lingkup kewenangan administratif kepolisian; melaksanakan investigasi spesifik menjadi bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; melakukan tindakan pertama pada daerah peristiwa; mengambil sidik jari dan identitas lainnya dan memotret seorang; mencari informasi serta barang bukti; menyelenggarakan sentra informasi Kriminal Nasional; mengeluarkan surat izin/atau surat keterangan yang dibutuhkan guna rangka pelayanan masyarakat; memberikan bantuan
keamanan dalam siding serta pelaksanaan putusan pengadilan, aktivitas instansi lain, serta aktivitas masyarakat; menerima serta menahan bukti temuan untuk sementara waktu.
Dalam perkara pidana, kepolisian menjadi pihak paling awal dalam penanganan kasus pidana. Hal ini ditandai dengan adanya tugas menerima laporan atau pengaduan, dimana kemudian laporan atau aduan yang diterima ini akan ditindak lanjuti dengan penyelidik untuk menentukan apakah laporan terkait merupakan peristiwa pidana. Setelah menerima laporan dan melakukan penyelidikan, kepolisian juga akan melakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian prosedur yang dilakukan penyidik buat meneliti serta mengumpulkan informasi guna membentuk jelas suatu tindak pidana serta menemukan tersangka. Kepolisian memegang peranan sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Kepolisian menjadi garda terdepan perwujudan sistem peradilan pidana karena segala laporan dan bentuk keluh kesah masyarakat akan disampaikan kepada kepolisian terlebih dahulu. Sebagai ujung tombak sistem peradilan pidana, tentunya kepolisian harus menjalan tugas dan wewenangnya dengan baik dan benar. Namun terkadang fakta tidak sesuai dengan realita, dimana diharapkan dapat berjalan dengan baik tapi fakta malah sebaliknya.7
Dewasa ini ditemukan sederet kasus di Kepolisian yang menjadi perwujudan lemah nya kontrol institusi. Sebut saja salah satu kasus mengenai anggota Polsek Pulogadung, Jakarta Timur, yang menyanggah laporan seorang masyarakat yang menjadi korban pencurian, hingga akhirnya menimbulkan kekecewaan di masyarakat, terbukti dengan tagar #PercumaAdaPolisi. Contoh peristiwa ini tentu akan menjadi tantangan dalam perwujudan sistem peradilan pidana terpadu yang dicita-citakan bangsa. Polisi sesuai dengan tanggungjawab yang disematkan oleh undang-undang tentu saja harus menerima laporan. Jika garda terdepan dari upaya penekanan angka kriminalitas saja sudah tidak baik, tentu akan berdampak terhadap sub-unsur lainnya. Sistem peradilan pidana adalah suatu mekanisme yang bertahap dan saling berhubungan, maka kinerja sub-unsur di belakang akan dipengaruhi oleh kinerja sub-unsur di depannya. Ada beberapa kasus internal Kepolisian lainnya, seperti kekerasan yang dilakukan unsur pimpinan tidak membuat hormat anggotanya, kasus pemerasan oknum SDM Polda Sulut. Kasus yang disajikan ini tentu saja memiliki berpotensi menghambat kinerja kepolisian. Selain itu terdapat sebuah penelitian pula yang menunjukkan menyedihkannya kinerja sub-unsur sistem peradilan pidana. Menurut riset yang dilakukan LBH Jakarta, terdapat ribuan berkas perkara yang hilang atau menggantung di tahap pra-penuntutan. Hal ini terjadi karena tidak ada Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, sedangkan keberadaan Surat Pemberitahuan Dimulai penyelidikan penting adanya karena ini akan menciptakan check and balance serta pengawasan horizontal dan koordinasi fungsional. Dalam Pasal 109 Ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwasanya ketika pemeriksaan telah dimulai, maka pemeriksa memberitahu hal tersebut kepada penuntut umum. Kejadian hilangnya berkas perkara ini menunjukkan tidak adanya sinkronisasi dalam bidang substansi dengan bidang struktural, karena dalam undang-undang sudah tercantum dengan jelas apa yang harus dilakukan, namun faktanya di lapangan tidak demikian. Kendati demikian, hilangnya berkas perkara ini juga dapat disebabkan oleh compangnya aturan yang ada. Dikatakan seperti itu karena dalam KUHAP sendiri tidak diatur mengenai kejelasan berapa lama Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan harus diberikan kepada penuntut umum.8
Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Lembaga Kepolisian memiliki perang yang sangat penting terhadap penegakan hukum. Fungsi Kepolisian dipertegas dalam Pasal
2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu untuk menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara dalam tugas penegakan hukum selain perllindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Setelah itu, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g dinyatakan bahwa polisi berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang sebelumnya didahului oleh Tindakan penyelidikan oleh penyidik.9 Pasal 16 Undang-Undang tersebut juga mendeskripsikan tugas dari Lembaga kepolisian. Adapun tugas kepolisian dalam proses hukum pidana adalah sebagai berikut:
-
1) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
-
2) Melakukan pengangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
-
3) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
-
4) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
-
5) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
-
6) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
-
7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
-
8) Mengadakan penghentian penyidikan;
-
9) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
-
10) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
-
11) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab;
-
12) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan ke penuntut umum;
Eksistensi kepolisian dalam konteks Sistem Peradilan Pidana (SPP) sudah terdefinisi dengan jelas. Hal ini dapat dilihat dalam perspektif internasional, seperti yang diungkapkan dalam laporan Kongres PBB ke-5/1975, khususnya dalam pembahasan mengenai "The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders" yang menyoroti peran yang muncul dari kepolisian dan lembaga penegak hukum lainnya. Laporan tersebut menegaskan bahwa kepolisian diakui sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana yang lebih besar yang beroperasi untuk melawan kejahatan.10
Secara teoritik menurut H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh tiga cara, yaitu : 11
-
• Atributie yaitu pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah.
-
• Delegatie yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
-
• Mandaat yaitu terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Upaya yang bisa dilakukan demi terlaksanakanya sistem peradilan pidana terpadu oleh pihak kepolisian selaku penyidik antara lain dengan membuat suatu perencanaan penyidikan. Merencanakan adalah suatu tahapan memilih apa yang ingin diperoleh di masa
yang akan tiba dan memutuskan tahapan-tahapan yang diperlukan buat menggapainya. Perencanaan penyidikan yang dimaksud adalah sebelum dilakukannya penyidikan, dibuatlah rencana penyidikan dan koordinasi. Berkaitan dengan hal ini peraturan perundang-undangan harus dibuat sebagai satu kesatuan dari seluruh proses penegakan hukum pidana. Kesatuan di sini meliputi mekanisme atau proses dari penegak hukum dan juga meliputi jiwa dan semangat untuk mewujudkan kekuasaan sub-sistem yang bebas, mandiri, dan merdeka namun tetap satu kesatuan utuh. Diperlukan kesadaran akan penanggulangan kejahatan terpadu yang berdasarkan statistik dan profil kejahatan berkaitan dengan perkembangan kejahatan. Rumusan undang-undang tidak menjadi jaminan pelaksanaan hukum acara yang baik, namun pelaksanaan yang baik yang diperbuat oleh aparat penegak hukum yang bisa merubah hukum acara yang jelek menjadi baik.
Terdapat pula upaya lainnya yang dapat dilakukan oleh Lembaga kepolisian untuk memastikan efektivitas penegakan hukum dalam penanganan permasalahan pidana di Indonesia, diantaranya:12
-
a) Kerjasama dengan Lembaga Peradilan dan Kejaksaan, membangun kerja sama yang erat dengan lembaga peradilan dan kejaksaan untuk memastikan koordinasi yang baik dalam penanganan kasus-kasus pidana.
-
b) Pemanfaatan Teknologi, dilakukan dengan mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi untuk mempercepat proses penyelidikan, analisis dan pelaporan.
-
c) Melakukan pencegahan kejahatan, hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan program-program pencegahan kejahatan dengan melibatkan masyarakat secara aktif.
-
d) Pelatihan dan Pengembangan SDM, melakukan program-program pencegahan kejahatan dengan melibatkan masyarakat secara aktif.
-
e) Keterbukaan dan akuntabilitas, dengan menjaga tingkat transparansi dalam operasi kepolisian dan memberikan informasi kepada masyarakat secara terbuka. Selain itu, juga membangun mekanisme pengawasan internal dan eksternal untuk memastikan akuntabilitas kepolisian.
-
f) Evaluasi dan perbaikan berkelanjutan, melakukan evaluasi rutin terhadap kinerja kepolisian dan mengevaluasi efektivitas strategi dan kebijakan yang diimplementasikan dan merespons umpan balik dari masyarakat serta pihak terkait untuk terus melakukan perbaikan dan peningkatan.
Tidak banyak yang dapat dilakukan lembaga kepolisian, karena sejatinya dalam undang-undang yang menjadi payung pelaksanaan operasionalnya saja masih terdapat tumpang tindih. Ini terlihat dari amanat Undang-Undang Nomor 8/1981 yang mengamanatkan bahwa penyidik ialah pejabat Polisi Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil eksklusif. Hal ini menunjukkan ketidak mandirian lembaga penyidikan sehingga berakibat pada tumpeng tindih kewenangan dalam melakukan penyidikan. Alur koordinasi terhadap dan/atau oleh penuntut umum akan terpengaruh pula. Kesemua ini tentu pada akhirnya akan menentukan hasil penyidikan karena di antara unsur-unsur yang disebutkan tadi harus ada penyatuan pemahaman terhadap hasil penyidikan.13
Sistem Peradilan Pidana Terpadu merupakan cita-cita bangsa untuk menjawab permasalahan penegakan hukum yang adil. Untuk terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu diperlukan sinkronisasi antara bidang substansi, bidang struktural , dan bidang kultural. Ketiga bidang ini diharapkan dapat berjalan beriringan, saling mendukung serta tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Secara substansi menurut peraturan perundang-undangan yang ada, sinkronisasi antar lembaga tergambar melalui pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dimana pasal-pasal di
dalamnya terdapat kerangka sistem peradilan pidana terpadu. Adapun kerangka tersebut ialah korelasi antara sub-unsur yang wajib saling berkoordinasi, korelasi tadi diantaranya ialah hubungan penyidik Polisi Republik Indonesia dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, hubungan pemeriksa dengan penuntut umum , korelasi penyidik dengan hakim, korelasi pengadilan serta jaksa dengan lembaga permasyarakatan. Untuk mewujudkan suatu sistem pidana terpadu yang dicita-cita kan Bangsa Indonesia, tidak banyak yang dapat dilakukan oleh lembaga kepolisian. Tentu koordinasi dalam internal instansi dan keluar antara instansi lain sangat dibutuhkan. Diharapkan kepolisian dapat menjaga hubungan yang baik di dalam ataupun di luar instansi. Sertasecara substansial sendiri, masih terdapat beberapa kecompangan yang bisa menjadi permasalahan untuk kemudian harinya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Muladi, Kapita Seleta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013.
Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2020.
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Perasada, 2013
Jurnal
Afrizal, Riki. “Penguatan Sistem Peradilan Pidana Melalui Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan”. Jurnal Yudisial. 13, No.3 (2020).
Hutahean, Armuanto, dan Erlyn Indarti. “Lembaga Penyidik Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia. 16, No.1 (2019).
Hendri Zulfi, Muhammad. “Upaya Kepolisian dalam Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu pada Proses Penyidikan Tindak Pidana Narkotika (Studi pada Ditresnarkoba Polda Sumbar). Swara Justisia. 4, No.1 (2020).
Kristian, dan Christine Tanujaya. “Penyelesaian Perkara Pidana Dengan Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia”, Jurnal Mimbar Justitia 1, No. 2 (2015): 598
Latukau, Fikry. "Kajian Progres Peranan Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana." Tahkim 15, no. 1 (2019).
Satyayudhananjaya, Nyoman. “Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) di Kaji dari Perspektif Sub Sistem Kepolisian”. Vyavahara Duta. IX, No.1 (2014).
Supriyanta, “KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu”. Wacana Hukum, VIII, No.1 (2009).
Waskito, Achmad Budi. “Implementasi Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Integrasi”. Jurnal Daulat Hukum, 1, No.1 (2018).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 4168)
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 7 Tahun 2023 hlm 811-821
820
Discussion and feedback