KEDUDUKAN HAK WARIS ANAK DILUAR KAWIN DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA
on
KEDUDUKAN HAK WARIS ANAK DILUAR KAWIN DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA
Noer Wahyu Adjiepradana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: noerwahyu28@gmail.com
I Dewa Ayu Dwi Mayasari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewaayudwimayasari@gmail.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian untuk mengetahui status anak hasil luar perkawinan tentang waris dalam perspektif hukum HAM. Metode penelitian ini adalah penelitian normatif melalui peraturan dan komparatifnya. Penelitian membuahkan hasil anak hasil luar kawin dalam hukum waris di Indonesia mengalami diskriminasi. Dalam hukum positif di Indonesia mengacu pada Burgerlijk Wetboek (BW) dan Undang-Undang Perkawinan sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang cukup memberikan dampak positif serta pembaharuan bagi undang-undang perkawinan di Indonesia yang menghadiahkan kesempatan bagi anak diluar kawin untuk mendapatkan hak-hak serta kewajibannya yang selama ini dianggap merugikan serta tidak memberikan keadilan bagi anak diluar kawin dalam perspektif hukum hak asasi manusia.
Kata Kunci: Hak Waris, Anak Diluar Kawin, Hukum Hak Asasi Manusia
ABSTRACT
Purpose of this study is to examine the position of extramarital offspring’s inheritance in the perspective of human rights law. This study uses normative legal research methods with a statutory and comparative approach. The results of the study show that the position of the right of inheritance of children outside of marriage in the perspective of human rights law which is considered quite discriminatory. In positive law in Indonesia refers to Burgerlijk Wetboek (BW) and Marriage Act before the issuance of Constitutional Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010 which is enough to have a positive impact and renewal of marriage laws in Indonesia that provide opportunities for children outside of marriage to obtaining rights and obligations that have been considered detrimental and do not provide justice for children outside of marriage from the perspective of human rights law.
Keywords: Rights The Heirs, Children Outside of Marriage, Human Rights Law
Dalam kehidupan manusia terdapat beberapa peristiwa yang penting, salah satunya adalah perkawinan. Hal tersebut bertujuan untuk melahirkan suatu generasi baru yang berkelanjutan. Pelaksanaan perkawinan tidak hanya sekedar untuk ikatan lahir belaka, namun manusia juga terikat secara bathin dalam proses perkawinan.1 Perkawinan sebagai pertalian lahiriah, antara pria dan wanita itu timbul sebuah hubungan hukum sebagai penanda sebagai suami istri yang bersama-sama mengikatkan diri untuk hidup, sedangkan penanda perkawinan sebagai ikatan batin adalah terjalinnya pertalian jiwa karena memiliki rasa dan kemauan yang sebagai suami istri dalam menjalani sisa hidup. Dalam hukum positif di Indonesia, perkawinan yang sah menimbulkan suatu akibat hukum, tidak hanya pria dan wanita yang melaksanakan perkawinan tapi juga pihak-pihak penting lainnya yang mempunyai kepentingan tertentu. Jika ditinjau dari Pasal 26 KUHPerdata dijelaskan bahwa undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata, dimana yang pada pokoknya ialah perkawinan hanya sah seacara hukum apabila ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam KUHPerdata terpenuhi. Perkawinan harus dituntut sah secara agama dan sah berdasarkan hukum yang mengatur tentang perkawinan, hal tersebut berguna untuk memastikan hak-hak anak yang lahir dari sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sah.
Hadirnya seorang anak dalam sebuah perkawinan juga tidak kalah pentingnya. Anak akan menjadi harapan serta modal dalam taraf peningkatan strata sosial orangtua. Negara megatur Hak Konstitusional anak sebagai manusia yaitu Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah hak mendasar yang melekat dalam diri manusia yang merupakan cerminan dari martabat manusia itu, yak wajib dijamin oleh hukum, dan dapat efektif hanya jika hukum dapat melindungi hak-hak tersebut.2 Jika dicermati terdapat 3 unsur utama dalam hak pengakuan didepan hukum, yaitu persamaan didepan hukum, bentuk perlindungan yang sama secara hukum, serta segala bentuk diskriminasi akan mendapatkan sanksi, sehingga dapat dipastikan seorang anak yang lahir maupun anak yang lahir diluar kawin berhak mendapatkan hak-hak yang tertuang didalam Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya disebut DUHAM).
Apabila dilihat dari keadaan masa kini, masih banyak orang – orang yang melaksanakan perkawinan yang sah secara agama saja tanpa sah secara yuridis, perkawinan tersebut akan berdampak nanti ketika seorang anak dari perkawinan tersebut dilahirkan. Kedudukan anak hasil perkawinan yang sah secara agama tersebut masih dapat disebut anak yang diakui menurut agama, berlaku sebaliknya anak tersebut disebut anak diluar kawin dalam hukum karena akibat perkawinan yang hanya diakui menurut agama agama tidak diakui oleh negara serta dianggap tidak ada karena tidak terdaftar pada instansi yang berwenang oleh karena itu tidak memiliki kekuatan hukum. Anak diluar kawin dalam hal ini adalah anak hasil dari hubungan tidak sah antara kedua orang tuanya. Dalam KUHPerdata belum menjelaskan secara spesifik arti secara hukum mengenai pengertian dari anak diluar kawin, namun anak diluar kawin dapat merujuk pada pengaturan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yaitu:
“anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Tidak adanya kewajiban yang timbul terhadap anak yang telah di hasilkan oleh ayahnya itu berdampak langsung terhadap perkembangan pertumbuhan anak yang
menjadi buruk baik jasmani maupun secara mental.3 Kasih sayang seharusnya didapatkan oleh setiap anak, diikuti oleh Pendidikan dari orang tuanya secara bersamaan baik secara jasmani maupun rohani untuk menjadikan seseorang yang sanggup bertanggung jawab di masa depan untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Komisi Perlindungan Anak Indoneisa (KPAI) menjelaskan jumlah anak yang tidak memiliki akta kelahiran mencapai 50 juta anak dikarenakan orang tua mereka tidak mempunyai akta perkawinan yang sah dalam hukum akibat tidak menikah ataupun kawin siri yang hanya sah secara agama.4 Berbagai labeling negative diberikan kepada keberadaan anak diluar kawin yang diposisikan secara diskriminatif seperti anak haram, anak zina, dan lain sebagainya.5 Anak yang lahir diluar perkawinan dalam stigma masyarakat dianggap sebagai anak haram, hal tersebut dapat mengganggu mental anak secara psikologis, walaupun secara hukum pada dasarnya tidak ada akibat hukum yang dimiliki oleh anak tersebut atas yang dilakukan orangtuanya, tapi persoalan akan timbul dalam jumlah banyak atas perbuatan orang tuanya tersebut, antara lain persoalan hubungan antara bapak biologis dan anaknya dan persoalan lain yang timbul jika dilihat dari segi hukum salah satunya mengenai hak warisnya.6
Setelah melakukan pengamatan dengan mengkaji penelitian mengenai hak waris anak diluar kawin, ditemukan penelitian dengan topik yang sama namun terdapat perbedaan topik permasalahan yang diangkat. Penelitian tersebut dengan judul “Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”7 yang merupakan bagian dari Jurnal Ilmiah Fenomena Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh dan penelitian yang kedua berjudul “Hak dan Kedudukan Anak Luar Nikah Dalam Pewarisan Menurut KUHPerdata”8 yang merupakan bagian dari Lex Crimen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi. Pada pembahasan jurnal serupa pada judul yang pertama membahas lebih khusus membahas hak waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta pembagian hak waris oleh anak diluar diluar kawin. Selanjutnya pada jurnal serupa dengan judul yang kedua membahas mengenai ketentuan anak luar kawin menurut KUHPerdata serta hak dan kedudukannya dalam pewarisan menurut KUHPerdata. Pada penelitian ini apabila dibandingkan dengan penelitian serupa sebelumnya, walaupun memiliki topik penelitian yang sama namun terdapat perbedaan pada permasalahan yaitu mengenai kedudukan anak luar kawin menurut hukum positif di Indonesia serta pengaturan hak waris anak luar kawin apabila ditinjau dari perspektif hukum hak asasi manusia, maka dengan demikian dibutuhkan penelitian hukum untuk mengkaji dan menuangkannya kedalam sebuah struktur karya ilmiah berupa karya tulisan jurnal dengan judul “Kedudukan Hak Waris Anak Diluar Kawin Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia”.
-
1. Bagaimana kedudukan anak hasil luar perkawinan berdasarkan hukum positif di Indonesia?
-
2. Bagaimana pengaturan hak waris anak hasil diluar perkawinan menurut hukum HAM?
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah secara spesifik untuk mengetahui kedudukan anak hasil luar perkawinan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Selain itu juga, untuk mengetahui pengaturan hak waris anak hasil luar perkawinan menurut Hukum HAM.
Metode dalam penelitian ini adalah penulisan dan penelitian hukum normatif, bertujuan untuk mencari kebenaran dengan pembuktian melalui hukum tertulis dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan serta pengetahuan.9 pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dalam penelitian ini disertai juga dengan mengkaitkan pasal-pasal dari perundang-undangan yang selaras dengan topik yang dibahas serta dengan pendekatan konseptual. Adapun bahan hukum utama yang digunakan yaitu dengan mengimplementasikan perundang-undangan kedalam penelitian. Sedangkan bahan hukum tambahan yaitu jurnal ilmiah serta literatur lainnya dengan menggunakan teknik data berdasarkan dengan metode studi kepustakaan.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Kedudukan anak hasil luar perkawinan berdasarkan hukum positif di Indonesia
-
Hak waris merupakan hak yang dimiliki oleh seorang anak yang timbul akibat hukum antara seorang anak dengan orangtuanya. Mengenai pengaturan yang diatur dalam Buku II KUHPer khususnya pengaturan tentang hak waris. Pengaturan tentang hak waris telah jelas diatur dalam KUHPer mengenai pewarisan terhadap perkawinan yang dilaksanakan sah secara hukum, selain itu juga dijelaskan hak waris terhadap anak yang lahir diluar perkawinan namun terdapat pengecualian didalamnya. Ikatan perdata yang tidak ada dengan ayah biologisnya menjadi akibat hukum terhadap anak yang lahir dari orang tua diluar nikah atau kawin, anak tersebut hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya saja seperti dalam Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 43 ayat 1 yang pada pokoknya mengatur bahwa ikatan perdata anak hasil luar perkawinan hanya dengan ibunya saja. Berdasarkan Pasal 272 BW dijelaskan bahwa anak yang dimaksud sebagai anak diluar kawin diluar kelompok anak-anak sumbang dan anak zinah melainkan anak yang tidak ada karena pria yang sedang memiliki ikatan perkawinan oleh ibu sah yang melahirkan anak tersebut.10 Anak yang sah diakui sebagai anak diluar kawin secara hukum adalah orang yang berhak menerima waris dari pewaris yang diatur dalam Pasal 280 jo. Pasal 863 KUH Perdata.
Anak hasil hubungan diluar perkawinan dalam artian sempit yang sah menjadi ahli waris salah satunya anak hasil diluar perkawinan, hal tersebut karena KUHPerdata
mengatur pengelompokan anak hasil luar kawin kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu: 1) Anak alami (anak hasil diluar perkawinan), yaitu seorang anak yang ada karena seorang ibu tetapi juga ada karena laki-laki yang tidak memiliki status perkawinan sah dengan orang lain, anak zina dan anak sumbang tidak termasuk. 2) Anak hasil perzinahan, yaitu seorang anak yang ada karena hubungan terlarang yang dilakukan antara pasangan yang tidak terikat pasangan suami istri, namun diantara mereka terdapat orang yang yang memiliki hubungan sah secara perkawinan dengan orang lain, sedangkan 3) Anak sumbang, yaitu seorang manusia yang lahir akibat hubungan yang dilarang atau tidak diperbolehkan oleh undang-undang untuk melakukan perkawinan karena hubugan sedarah yang dekat.
Dalam KUHPerdata dijelaskan bahwa anak yang dihasilkan tidak karena perkawinan hubungan keperdataannya hanya dengan ibunya, sehingga ini termasuk dalam hak pewarisan anak diluar kawin. Mengenai pembagian waris terkait anak diluar kawin dapat dilihat pada Pasal 863 KUHPerdata. Anak hasil diluar perkawinan hanya mendapat 1/3 (sepertiga) dari bagian anak sah yang termasuk kedalam waris golongan 1 apabila mewaris bersama-sama. Anak hasil diluar perkawinan umumnya memiliki persamaan dalam hak dengan anak sah yaitu terdapat hak hereditatis petitio, hak saissine dan hak yang memungkinkannya meminta perpecahan warisan. Penjabaran pengertian ketiga hak tersebut yaitu sebagai berikut:
-
a) Hak saissine berarti orang yang sudah meninggal digantikan dengan seseorang yang masih hidup.11 Pengertian lain dari hak ini yaitu pewaris yang telah meninggal akan digantikan oleh ahli waris yang akan menggantikan semua hak serta kewajiban dari pewaris. Kewajiban dan hak tersebut akan beralih secara otomatis tanpa ahli waris membutuhkan tindakan tertentu dalam peralihan tersebut.
-
b) Hak hereditatis petitio memiliki pengertian seluruh orang yang berhak mewarisi mempunyai hak untuk memperjuangkan hak warisnya dengan cara melakukan penuntutan. Penuntutan dalam hal ini menyerupai hak kepemilikan suatu benda dengan maksud penuntutan yaitu untuk memiliki satu benda warisan dengan cara menguasai yang ditujukan oleh orang yang menguasai benda tersebut.
-
c) Hak untuk menuntut pemecahan warisan yaitu hak untuk mendapatkan pembagian warisan. Pembagian warisan tersebut setiap waktu dapat untuk dituntut sehingga apabila ahli waris menuntut pembagian warisan maupun pemisahannya di hadapan majelis hakim maka ahli warisnya yang lain tidak dapat menolak tuntutan tersebut.
Persamaan hak tersebut hanyalah sampai pada persamaan tersebut saja, namun selebihnya untuk bagian mereka antara anak yang dihasilkan berdasarkan perkawinan dan tidak (sah dan tidak sah) tidaklah sama persamaan hak tersebut hanyalah sebatas pengakuan hubungan hukum antara anak dengan orangtua sehingga keluarga yang mengakuinya tidak termasuk. Bagian anak diluar kawin dalam hak waris dibagi menjadi 4 (empat) yaitu bagian anak diluar kawin apabila bersama-sama mewarisi dengan golongan I ahli waris, bagian anak hasil luar perkawinan apabila bersama-sama mewarisi dengan golongan II dan III ahli waris, bagian anak hasil luar perkawinan apabila bersama-sama mewarisi dengan golongan IV ahli waris, serta bagian anak hasil diluar perkawinan apabila menjadi satu-satunya ahli waris. Pembagian tersebut sebagai berikut:12
-
1) Bagian anak hasil luar perkawinan apabila bersama-sama mewarisi dengan golongan I ahli waris
Pada bagian ini dijelaskan apabila si pewaris telah tiada serta mempunyai keturunan diakui berdasarkan hukum maka yang diakui sebagai anak hasil luar perkawinan hanya mewaris sebatas 1/3 (sepertiga) bagian dari keseluruhan yang diterima jika menjadi anak sah. Keturunan pewaris yaitu anak legal serta suami/isteri yang masih hidup merupakan golongan I. perhitungan pembagian waris disini yaitu anak hasil luar perkawinan mendapatkan 1/3 bagian dari seharusnya seandainya jika ia anak sah.
-
2) Bagian anak hasil luar perkawinan apabila bersama mewarisi dengan golongan II dan III ahli waris
Pada bagian ini menjelaskan bahwa apabila si pewaris sama sekali tidak ada generasi penerus sah yang dimiliki namun pewaris tersebut memiliki keluarga yaitu saudara perempuan maupun laki-laki dan garis keturunan ketas serta anak hasil luar perkawinan yang diakui, maka bagian anak hasil luar perkawinan tersebut hanya dapat memiliki setengah dari keseluruhan harta milik pewaris.
-
3) Bagian anak hasil luar perkawinan apabila bersama-sama mewarisi dengan golongan IV ahli waris
Bagian ini menjelaskan bahwa apabila si pewaris tidak memiliki penerus sah yang ia tinggalkan serta keluarga sedarah namun terdapat sanak saudara yang lebih jauh yang termasuk kedalam golongan IV, maka bagian dari anak diluar kawin yaitu mewarisi 3/4 (tiga perempat) bagian dari harta warisan si pewaris. Golongan IV ahli wari yang dimaksud disini antara lain paman atau bibi dari pihak ibu atau pihak bapak serta saudara sepupu.
-
4) Bagian anak hasil luar perkawinan apabila menjadi ahli waris satu-satunya Bagian ini menjelaskan bahwa apabila golongan I, II, III, dan IV ahli waris tidak ditinggalkan oleh pewaris namun hanya memiliki anak hasil luar perkawinan menjadi ahli waris satu-satunya, maka harta warisan pewaris yang didapat oleh anak diluar kawin secara sah yaitu sepenuhnya.
Berdasarkan pembagian warisan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin dekat status anak hasil luar perkawinan dengan ahli waris yang sah maka bagian warisan bersama-sama yang didapat anak diluar kawin akan semakin kecil. Namun sebaliknya apabila semakin jauh hubungan pewaris dengan ahli waris yang sah, maka bagian harta warisan bersama-sama yang didapat oleh anak diluar kawin akan semakin besar. Hubungan pewaris dengan anak hassil luar perkawinan cenderung mendekati pewaris apabila dipadankan dengan golongan II, III, dan IV apabila anak hasil luar perkawinan tersebut diakui secara sah. Meski golongan II, III, dan IV berdasarkan hukum dikatakan sebagai orang yang berhak mewarisi, menurut peraturan di Indonesia anak hasil luar perkawinan yang telah diakui mendapatkan waris yang lebih dominan dari yang lain karena orangtua yang telah menganggapnya dikarenakan hubungan orangtua dan anak. Menurut peraturan indonesia, anak hasil luar perkawinan tidak diakui. Walaupun hak telah diperoleh oleh anak tersebut, tidak berarti berarti dalam hal pembagian waris. Hubungan keperdataan anak hasil luar perkawinan saja dengan kecuali anak luar kawin tersebut diakui. Pengecualian lainnya yaitu mengenai anak luar kawin yang dilahirkan dari perzinahan atau anak sumbang tidak mungkin memiliki hubungan yuridis antara anak diluar kawin dengan ayah kandungnya, karena berdasarkan undang-undang orang tua dari anak tersebut tidak boleh memberikan pengakuan.
Hak-hak yang diatur tentang waris anak hasil luar perkawinan dalam peraturan di Indonesia banyak menuai polemik. Pada pasal-pasal tertentu dianggap mendiskriminasi anak hasil luar perkawinan. Kedudukan anak diluar kawin dianggap lebih rendah dibanding anak sah maka bertentangan dengan hak asasi manusia. Seorang anak diluar kawin terbatas dalam hal hak mewarisi lain dengan anak sah. Seperti yang kita ketahui bahwasanya kedudukan seorang anak sama dihadapan Tuhan, tidak peduli anak itu merupakan anak hasil perkawinan ataupun anak luar kawin. Pengertian anak dalam UU HAM tertuang pada Pasal 1 angka 5. Pada pasal tersebut mencerminkan seorang anak juga merupakan manusia yang harus dipenuhi hak serta kewajibannya. Selain itu juga pada Pasal 52 ayat 1 UU HAM menjelaskan yang pada pokoknya yaitu perlindungan berhak di berikan kepada anak baik dari keluarga, orang tua, negara, bahkan orang lain. Anak haruslah dilindungi baik itu anak hasil luar perkawinan ataupun anak hasil perkawinan sebagaimana tertuang pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak. Pemerintah juga pada dasarnya sudah mengakomodir pengaturan melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) yang mengemukan mengenai dasar-dasar tentang perlindungan anak yakni kebutuhan terbaik anak, tindakan perlindungan diskriminasi, kepentingan terbaik anak, pertumbuhan hidup dan partisipasinya pun harus dihargai. Namun pada penerapannya, pengaturan-pengaturan mengenai anak diluar kawin masih banyak yang mendiskriminasi sedangkan disisi lain anak diluar kawin juga termasuk kedalam seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU HAM.
Akibat dari kelahiran anak hasil luar perkawinan tersebut, ayah dan anak yang membenihkannya tidak terdapat ikatan keluarga yang tidak diakui berdasarkan hukum sehingga berdampak pada hukum waris yang menjadi tidak berarti. Selain terdapat kerugian terhadap anak diluar kawin, disisi yang lain juga terdapat ketidakadilan bagi ibu dari anak hasil luar perkawinan tersebut. Akibat ayah tidak menganggap atau tidak melakukan perkawinan berdasarkan hukum dengan ibu dari anak tersebut, maka hubungan keperdataan hanyalah sebatas si ibu dengan anak tersebut, pihak laki-laki akan terputus keperdataannya, sedangkan disisi lain sangat diperlukannya ikatan secara hukum antar anak dan ayah untuk bisa menuntut haknya sebagaimana mestinya anak sah.13 Ketidakadilan tersebut berdampak pada pihak wanita karena harus menghidupi anak diluar kawin tersebut sendiri sehingga memungkinkan kerugian materiil dan immateriil, sedangkan disatu sisi kewajiban menghidupi seorang anak haruslah dari kedua pihak orangtua. Dapat dikatan juga bahwa peraturan tidak mempermasalahkan bahwa si ibu hamil setelah adanya perkawinan yang sah atau belum, namun poin pentingnya adalah si anak lahir setelah ikatan perkawinan antara ayah dan ibunya terbentuk dan anak tersebut diakui oleh ayah sebagai anaknya sekalipun sebenarnya si ayah bukan orang tua biologisnya.14
Usaha-usaha perlindungan mengenai hak anak hasil luar perkawinan di Indonesia tegas tertuang pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Dalam putusan itu dampak pembaruan dari peraturan tentang kawin di Indonesia. Terdapat konsep keadilan dari dikeluarkannya putusan tersebut karena adanya ikatan perdata
antara ayah biologis dan anak hasil luar perkawinan.15 Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai status anak diluar kawin cukup memberikan angin segar mengenai polemik anak diluar kawin yang dianggap cukup mendiskriminasi. Putusan tersebut cukup memberikan dampak tentang kedudukan hukum ayah apabila pengetahuan dan teknologi dapat membuktikan yang menurut hukum memiliki ikatan darah antara ayah dan anak tersebut ikatan perdata dengan si ayah termasuk. Terdapat 3 (tiga) cara yang diperbolehkan dalam KUHPerdata sebagai wadah pengakuan anak hasil luar perkawinan antara lain:16
-
1) Akta perkawinan orang tua yang digunakan sebagai pengakuan anak hasil luar perkawinan.
Dalam hal ini anak diluar kawin tersebut dibuktikan berdasarkan akta perkawinan yang dimiliki ibu dan ayahanak tersebut mengandung pengakuan anak diluar kawin tersebut yang ada sebelum adanya perkawinan yang sah sebagaimana diatur dalam undang-undang.
-
2) Akta kelahiran anak hasil luar kawin yang digunakan sebagai sarana pengakuan anak.
-
3) Akta otentik khusus yang digunakan untuk proses pengakuan anak hasil luar kawin.
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 281 KUHPerdata yang pada pokoknya menjelaskan bahwa bila waktu dilaksanakan perkawinan atau dalam akta kelahiran anak diluar kawin belum diadakan maka pengakuan dapat dibuat melalui akta otentik.17
Telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakomodir peraturan tentang kedudukan anak hasil luar perkawinan tidak mengubah pandangan negatif masyarakat tentang anak hasil luar perkawinan. Sengketa dan keributan sering terjadi karena tidak sedikit keluarga atau orang yang tidak mengakui adanya anak hasil luar perkawinan tersebut.
Anak hasil hubungan diluar perkawinan dalam artian sempit yang sah menjadi ahli waris salah satunya anak hasil diluar perkawinan, hal tersebut karena KUHPerdata mengatur pengelompokan anak hasil luar kawin kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu: anak alami (anak hasil diluar perkawinan), anak hasil perzinahan, anak sumbang. Pembagian harta warisan anak diluar kawin disebutkan bahwa semakin dekat kedudukan anak diluar kawin dengan ahli waris yang sah maka bagian harta warisan bersama-sama yang didapat anak diluar kawin akan semakin kecil. Namun sebaliknya apabila semakin jauh hubungan pewaris dengan ahli waris yang sah, maka bagian harta warisan bersama-sama yang didapat oleh anak diluar kawin akan semakin besar. Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai status anak diluar kawin cukup memberikan angin segar mengenai polemik anak diluar kawin yang dianggap cukup mendiskriminasi. Putusan tersebut cukup memberikan dampak tentang kedudukan hukum sang ayah apabila pengetahuan dan teknologi dapat membuktikan yang menurut hukum memiliki ikatan darah antara ayah dan anak tersebut sehingga ikatan perdata dengan si ayah dapat sah menurut hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistim Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Refika Aditama, 2010.
Hartanto, Andi. Hak Waris Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jakad Media Publishing, 2018.
Sulistyawati dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi. Yayasan Obor Indonesia, 2009.
Jurnal:
Angelin, Rosa, dkk. “Dilema Hak Mewaris Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Perdata.” Jurnal Hukum Magnus Opus 4 No. 2 (2021): 159-169.
Boyoh, dkk. “Kekuatan Hukum Surat Wasiat Sebagai Bukti Kepemilikan Tanah Warisan yang Sah Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” Jurnal Lex Privatum 4 No. 4 (2021): 98-108.
Fadhilah, Firyal dan Arsin Lukman. “Analisis Kedudukan Hukum Hak Waris Anak Luar Kawin Sebagai Pengganti dari Ahli Waris.” Jurnal Kemahasiswaan Hukum dan Kenotariatan 1 No. 2 (2022): 339-373.
Farahi, Ahmad. “Keadilan Bagi Anak Luar Kawin Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.” Jurnal Hukum dan Syari’ah 8 No. 2 (2016): 74-83.
Gombo, Hongko. “Hak Waris Anak Diluar Nikah Ditinjau Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Lex Privatum 2 No. 1 (2014): 156-165.
Hijawati dan Rizayusmanda. “Hak dan Kedudukan Anak Luar Nikah yang Diakui Terhadap Warisan Tanah Ditinjau dari Hukum Perdata.” Solusi 19 No. 1 (2021): 126-137.
Husni, Zainul Mu’ien, dkk. “Analisis Status Anak Luar Kawin Terhadap Orang Tuanya: Studi Komparatif Antara Hukum Positif dan Hukum Islam.” Junal Kajian Hukum Islam 1 No. 1 (2021): 1-12.
Kumoro, R. Youdhea S. “Hak dan Kedudukan Anak Luar Nikah dalam Pewarisan Menurut KUH-Perdata.” Lex Crimen 6 No. 2 (2017): 12-19.
Maramis, Friska Marselina. “Hak Mewaris Anak Diluar Perkawinan Menurut Sistem Hukum di Indonesia.” Lex Crimen 6 No. 4 (2017): 119-126.
Munawar, Akhmad. “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia.” Jurnal Al’ Adl 7 No. 13 (2015): 21-31.
Pancasilawati, Abnan, “Perlindungan Hukum Bagi Hak-Hak Keperdataan Anak Luar Kawin.” Fenomena 6 No. 2 (2014): 171-216.
Setiawan, Wijayanto. “Hak Waris Anak Luar Kawin yang Lahir dari Perkawinan Campuran Menurut KUHPerdata dan UU NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Jurnal Hukum dan Pembangunan 42 No. 2 (2012): 200-220.
Uraidi, Ali. "Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata." FENOMENA 15, No. 2 (2017): 1674-1685.
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886)
Undang-Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235)
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 10 Tahun 2023 hlm 1075-1084
1084
Discussion and feedback