JAMINAN PERLINDUNGAN ANAK KORBAN PERUNDUNGAN DALAM PERSPEKTIF

KEADILAN RESTORATIF

Crownabe Argentum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Komang Pradnyana Sudibya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Anak adalah masa depan negara dan harus diperlakukan demikian dengan dilindungi, dan dijamin haknya untuk hidup guna memastikan keberhasilannya sebagai pemimpin masa depan dan kontributor bagi masyarakat. Oleh karenanya, penelitian ini menjadi perlu untuk dibuat guna menjaga anak daripada hal-hal yang membuat masa depan anak terganggu akibat anak harus berhadapan dengan hukum. Secara alami, penyelesaian kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa dan yang dilakukan oleh anak di bawah umur ditangani dengan cara yang berbeda. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Penelitian dengan jenis normatif ini mempunyai fokus pada norma-norma dan asas-asas yang eksis di ilmu hukum untuk menjawab isu hukum yang diangkat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jaminan perlindungan yang didapatkan oleh anak korban apabila menyelesaikan suatu perkara dengan menggunakan keadilan restoratif.

Kata Kunci: Pemidanaan terhadap anak, diversi, perundungan.

ABSTRACT

Children are the future of the country and must be treated as such by protecting and guaranteeing their right to life to ensure their success as future leaders and contributors to society. Therefore, this research is necessary to be made in order to protect children from things that disrupt the child's future due to children having to deal with the law. Naturally, settlements for crimes committed by adults and those committed by minors are handled in different ways. This study uses a type of normative research using a statutory approach. Research with this normative type has a focus on norms and principles that exist in the science of law to answer the legal issues raised. The purpose of this research is to find out the guarantee of protection that is obtained by child victims when resolving a case using restorative justice.

Key Words: Juvenile's penalty, diversion, bullying

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar belakang

Ada keyakinan besar bahwa masa depan Indonesia berada di tangan anak-anaknya. Anak-anak harus menikmati perlindungan hukum yang sama dengan orang dewasa sehingga mereka dapat berkembang menjadi kontributor yang taat hukum kepada masyarakat. Di zaman sekarang, ketika anak-anak dapat meniru perilaku orang dewasa baik dalam cara positif maupun negatif, seorang anak mungkin memiliki niat untuk melakukan sesuatu.1

Anak-anak, sama seperti orang dewasa, memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku yang menyebabkan penderitaan bagi anak-anak lain, dan dalam beberapa kasus, perilaku ini bahkan dapat ditafsirkan sebagai pelanggaran hukum. Salah satu perilaku yang paling umum yang merupakan tindak pidana dan dilakukan oleh anak terhadap anak lain dikenal sebagai bullying atau bullying. Diena Haryana, Ketua Yayasan Se-jiwa, mendefinisikan bullying sebagai penggunaan kekuatan atau kekuasaan dengan maksud menyakiti suatu kelompok atau individu sedemikian rupa sehingga korban merasa trauma, tidak berdaya, dan tertekan. Dia menjelaskan definisi ini dalam istilah yang mudah dimengerti. Manifestasi bullying yang berbeda dapat dipecah menjadi tiga kategori. Kategori pertama meliputi tindakan yang bersifat fisik, seperti menampar, memukul, dan memaki. Jenis kedua adalah pelecehan verbal, yang dapat berupa hal-hal seperti mengejek, menggosip, dan memaki. Mengisolasi, mengintimidasi, atau mengabaikan orang lain adalah semua bentuk diskriminasi psikologis, seperti halnya diskriminasi terhadap mereka.2

Ada kemungkinan bahwa kasus bullying, khususnya bullying yang melibatkan kontak fisik, merupakan perilaku kriminal. Namun karena penegakan hukum Indonesia telah beranjak dari sistem retributive justice menuju ke sistem restorative justice, maka anak yang menjadi pelaku tindakan bullying tidak dapat dikenakan tindak pidana. Sebaliknya, kondisi anak korban dan pendampingan masyarakat serta aparat penegak hukum lainnya menjadi pertimbangan. Tidak hanya anak-anak yang taat hukum yang mendapatkan perlindungan ini, tetapi juga anak-anak yang melakukan kejahatan. 3 Hal ini disebabkan karena proses restorative justice merupakan upaya masyarakat luas yang diselesaikan dan dilaksanakan secara utuh.4

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, paradigma hukum peradilan pidana anak yang

berlaku telah berubah dan bergeser ke arah yang lebih manusiawi. Pengesahan undang-undang baru mendorong penyesuaian. Ketika seorang anak di bawah umur melanggar hukum, masyarakat memiliki "hak untuk menerima pembalasan," atau ius ta-lionis, dan akan memenuhi kebutuhan itu dengan memberikan hukuman yang sesuai. Pendekatan ini menggunakan paradigma hukum yang lebih tua dan bersifat mutlak. Jika seorang anak melakukan perbuatan yang melanggar hukum pidana, maka akan ada pembalasan. Metode tradisional tidak jauh berbeda dengan bagaimana kasus dewasa dan kasus pidana diselesaikan dengan menggunakan sistem peradilan. Perubahan ini merupakan langkah menuju keadilan restoratif, pendekatan hukum yang lebih welas asih. Sebagai alternatif untuk membawa kasus pidana ke pengadilan, keadilan restoratif mendorong mereka yang terlibat untuk menegosiasikan resolusi yang bekerja untuk semua orang. Format persidangan ini adalah metode alternatif untuk menyelesaikan perselisihan hukum. Karena efektivitas dan kelengkapannya, keadilan restoratif semakin banyak digunakan sebagai alternatif atau solusi terhadap kerangka hukum tradisional untuk menangani tindak pidana di banyak negara. Karena sifatnya yang menyeluruh, keadilan restoratif adalah pilihan terbaik.5

Dalam penulisan jurnal ini, peneliti memiliki beberapa kemiripan referensi dengan jurnal berjudul Mekanisme Penghentian Penyidikan Perkara Pidana Melalui Restorative Justice Ditinjau Dari Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 karya Luh Made Indryani Purnami dan Gde Made Swardhana, dengan perbedaan bahwa jurnal tersebut menitikberatkan pada proses awal restorative justice sejak tingkat penyidikan, sedangkan pada jurnal ini membahas tentang jaminan perlindungan yang belum lengkap diatur dalam UUPA.6

  • 1.2.    Rumusan masalah

  • 1.    Bagaimana penyelesaian kasus perundungan anak dalam perspektif keadilan restoratif?

  • 2.    Bagaimana jaminan perlindungan anak korban perundungan dalam perspektif keadilan restoratif?

  • 1.3.    Tujuan penulisan

Tujuan Penulis membuat jurnal ini ialah untuk menjadi pengingat bagi penegak hukum serta para pembaca agar penegakn hukum harus mengutamakan pengembalian keadaan seperti semula dengan memperhatikan korban.

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam metode penulisan dan pengkajian dalam jurnal yang berjudul “Jaminan Perlindungan Anak Korban Perundungan Dalam Perspektif Keadilan Restoratif” ini memakai suatu penelitian bahan hukum yang bersifat normatif atau yang biasa kita sebut sebagai normative legal research.7 Penelitian ini terpusat pada kajian-kajian bahan hukum sebagai norma yang ditekankan dan atau dijadikan sebagai pondasi terhadap suatu penelitian yang bersifat normatif dimana menitikberatkan pada suatu peraturan perundang-undangan ataupun ius constitutum yang tengah berlaku di dalamnya (laws in book). 8 Artinya, penelitian ini merupakan produk studi dokumen yang didasarkan pada sumber-sumber sekunder seperti literatur ilmiah, perdebatan ilmiah, dan teori-teori yurisprudensi dari berbagai ahli. Analisa yang bersifat deskriptif wajib digunakan dalam penelitia kali ini dengan tujuan untuk penguraian terhadap suatu permasalahan secara detail agar nantinya didapati sebuah konklusi yang dapat digunakan sebagai suatu jawaban terhadap suatu permasalahan tertentu.9

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Sistem hukum di dunia semakin bergerak ke arah perlindungan korban dibandingkan dengan menghukum pelaku. Hal ini biasa disebut dengan Restorative Justice atau keadilan restoratif. Keadilan Restoratif menitikberatkan ada pengembalian keadaan seperti sedia kala. Jika boleh mengambil sebuah perumpamaan dengan sebuah contoh, apabila sesorang merusak sebuah pintu, apabila menggunakan sistem Retributif, maka sang pelaku perlu membayar denda, dan Pemerintah akan mengganti pintunya, namun apabila menggunakan sistem Restoratif, maka pelaku tersebut hanya perlu mengganti pintunya tersebut. Dimulai dari revolusi sistem peradilan di Eropa Barat melalui Albert Elgash dan mulai dilaksanakan sekitar tahun 1980an di Eropa Barat. Peradilan Pidana Indonesia idealnya menggunakan sistem ini. Sebuah ketentuan baru yang penting dalam hukum Indonesia, UU no. 11 Tahun 2012, mewajibkan penerapan restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak di tanah air. Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, keadilan restoratif adalah “proses penyelesaian perkara pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian secara damai.”.

Penyelesaian suatu perkara di luar proses per-sidangan di peng-adilan merupakan suatu kebiasaan yang telah dimulai sejak lama dalam penegakan hukum di Indonesia. Hu-kum perdata telah lama mengenal adanya alter-native dispute resolution atau mediasi. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008

telah mewajibkan hakim untuk mengarahkan para pihak untuk mengadakan mediasi sebelum persidangan di pengadilan dijalankan. Perdamaian menjadi suatu hal yang wajib dilaksanakn di semua tingkatan dalam pengadilan. Namun, keadilan restoratif mengambil perspektif yang berbeda dalam menangani masalah masyarakat dengan hukum. Metode yang digunakan dalam restorative justice melibatkan pemulihan melalui pelibatan perwakilan korban serta pelaku dan didampingi keluarganya masing-masing, serta perwakilan masyarakat yang di-harapkan dapat mewakili lingkung-an di mana kejahatan yang melibatkan pelaku dilakukan.

Di bidang hukum pidana, penyelesaian perkara diluar persidangan pengadilan secara damai masih terkesan sulit untuk dipraktekan. Berbanding terbalik dengan hukum adat yang diterapkan di beberapa daerah yang mengenal institusi damai da-lam masalah pidana yang pada pokoknya selaras dengan perspektif keadilan restoratif. Apapun model penyelesaian yang akhirnya dipilih, perlu digaris bawahi bahwasannya keadilan restoratif berusaha untuk secara bersamaan memulihkan korban, pelaku, dan mas-yarakat. Maka dari itu, hakim perlu memahami konsep bersamaan dengan filosofinya. 10 Proses penyelesaian perkara dengan perspektif keadilan restoratif pada pokoknya merupakan cara untuk mengalihkan perkara dari proses pidana menuju penyelesaian diluar pidana secara musyawarah. Hal ini tentu sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia yaitu penyelesaian suatu permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai kata mufakat. Keadilan restoratif berupaya mengelola keamanan masyarakat dan mengintegrasikan kembali pelaku ke dalam masyarakat setelah konflik melalui berbagai cara, termasuk membantu korban mengatasi kerugian mereka dan meminta pertanggungjawaban pelaku atas kerugian yang mereka timbulkan. diselesaikan dengan saling menghormati. Keadilan restoratif juga berperan penting dalam menjaga ketertiban umum.

Gagasan bahwa reaksi atau tanggapan terhadap anak nakal tidak dapat efektif tanpa kerjasama dan keterlibatan masyarakat, serta pelaku dan korban, merupakan titik awal penerapan prinsip restorative justice dalam bidang peradilan anak. . Prinsip ini didasarkan pada gagasan bahwa keadilan paling baik dicapai ketika masing-masing pihak diberikan haknya dengan cara yang adil dan proporsional, ketika masing-masing pihak secara aktif terlibat dalam proses peradilan, dan ketika masing-masing pihak memperoleh manfaat yang cukup dari interaksi tersebut. para pihak dengan sistem peradilan anak. Diharapkan dengan tambahan dukungan dari lingkungan sekitar akan menghasilkan keputusan yang tidak bersifat menghukum. Hal ini akan memungkinkan permasalahan-permasalahan yang diselesaikan di luar sistem peradilan anak dapat dijadikan acuan bagi penyelesaian permasalahan yang serupa di masa yang akan datang.

  • 3.1.    Penyelesaian kasus perundungan anak dengan pendekatan keadilan restorative.

Keadilan restoratif, yang dimulai dengan mediasi antara pelaku dan korban, telah diterima secara luas sejak awal tahun 1970-an. Praktik ini berawal sebagai sarana untuk menghindari pergi ke pengadilan dan mempercepat proses penyelesaian kasus. Sebuah kasus bisa melalui sistem hukum yang memakan waktu sangat lama, dimulai dari penyelidikan awal polisi, berlanjut ke kantor kejaksaan, dan berujung pada persidangan yang bisa sampai ke Mahkamah Agung. Inilah sebabnya mengapa ada backlog kasus dalam sistem peradilan.

Akibatnya, inisiatif keadilan restoratif di luar sistem peradilan tradisional dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah ini. Masalah-masalah yang perlu diperbaiki sebagian diatasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, yang mengatur tentang sistem peradilan pidana anak. Pada tanggal 31 Juli 2014, undang-undang baru ditandatangani menjadi undang-undang yang akan mengatur sistem peradilan pidana anak. Tujuan dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ingin dicapai dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif yang menghargai anak.

Dalam kerangka ini, anak-anak diberikan perlindungan yang unik, khususnya dalam sistem peradilan pidana anak, terlepas dari peran mereka dalam sistem peradilan pidana. Mediasi diperlukan di masa lalu, tetapi tidak dalam proses pengadilan yang melibatkan hukum perdata atau pidana. Akibatnya, tujuan dari sistem peradilan anak bukanlah untuk menghukum pelaku pelanggaran anak tetapi untuk menekankan gagasan bahwa hukuman dimaksudkan untuk memulihkan viktimisasi anak. dan keturunan pelaku kepada pemerintah sebelum dilakukannya kejahatan. Ini merupakan nilai tambah bahwa tujuan sistem peradilan anak sejalan dengan tujuan masyarakat internasional. Keadilan restoratif, seperti yang didefinisikan oleh kriminolog Inggris Tony Marshall, adalah proses di mana semua pihak yang terlibat dalam suatu masalah berkumpul untuk membahas apa yang terjadi, bagaimana bereaksi terhadapnya, dan bagaimana menghadapi konsekuensinya. Dalam keadilan restoratif, setiap orang yang memiliki kepentingan dalam hasil suatu masalah bekerja sama untuk mencari tahu apa yang salah, bagaimana memperbaikinya, dan bagaimana mencegahnya terjadi lagi.11

Pasal 170, ayat 1 KUHP, pada bagian yang relevan, bahwa “setiap orang yang dengan terang-terangan dan dengan kekerasan menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”. Bagi mereka yang bertanggung jawab atas tindakan intimidasi fisik, ketentuan ini sering digunakan. Namun demikian, “diversi harus diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri”, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (Pasal 7 ayat 1).

Untuk melindungi baik pelaku dan korban anak-anak, praktik keadilan restoratif sangat penting. Berkas perkara anak dapat mencakup dokumentasi putusan diversi yang dibuat sesuai dengan prinsip keadilan restoratif. Jaksa dan hakim sama-sama harus mempertimbangkan keputusan ini ketika membuat keputusan akhir. Keluarga pelaku, korban, dan kedua keluarga secara bersama-sama semuanya berhak mengikuti program diversi, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Pembentukan Sistem Peradilan Pidana Anak. Ada banyak orang yang dapat membantu, termasuk orang tua, wali hukum, konselor komunitas, dan pekerja sosial berlisensi.

Proses penyelesaian tindak pidana anak secara diversi dapat dilakukan pada saat kasus belum masuk ataupun sudah masuk dalam persidangan di pengadilan. Pada saat kasus tersebut belum masuk ke dalam tahap persidangan di pengadilan yang berarti masih dalam proses penyidikan maka cara untuk melakukan diversi adalah sesuai dengan diskresi dari pihak kepolisian. Pihak kepolisian akan mengusulkan tawaran perdamaian kepada kedua belah pihak dengan tetap mempertimbangkan kondisi anak korban dan apabila diversi tersebut berhasil maka kasus ditutup dan tidak diteruskan kepada Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan.

Diversi juga masih dapat dilakukan apabila tahap penuntutan sudah dilakukan. Sama seperti pihak kepolisian, diversi dalam tahap penuntutan juga merupakan diskresi dari penuntut umum yang telah mengajukan tawaran perdamaian kepada anak korban dan anak pelaku setelah melihat keadaan dan kondisi serta kemauan dari anak korban dalam menyelesaikan perkara diluar pengadilan. Semasa kasus sudah bergulir ke agenda pemeriksaan anak di pengadilan, upaya diversi masih dapat dilakukan. Perlu diperhatikan bahwasannya dalam setiap upaya diversi dalam berbagai tahap, perlu menghadirkan Tenaga Layanan sosial dan norma masyarakat.

Hal ini penting dalam menentukan apakah pelaku remaja siap atau tidak untuk melakukan perubahan positif dan menerima tanggung jawab atas perilaku masa lalunya. Namun bukan berarti diversi dan restorative justice dapat menyelesaikan setiap kasus bullying. Jika seorang anak sudah berada di Lapas Anak ketika hakim memutuskan untuk mengirim mereka ke sana atas kejahatan yang mereka lakukan, petugas Lapas Anak dapat membuat kebijakan diversi untuk memindahkan anak tersebut ke lembaga sosial atau sanksi lain yang lebih konstruktif bagi mereka. masa depan. sedangkan di depan anak. Karena itu, masa depan anak terlihat lebih cerah. Anak di bawah usia tujuh (7) tahun yang melakukan tindak pidana dengan ancaman dapat dilakukan diversi berdasarkan Ayat (2) Pasal 7 UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Sementara itu, Pasal 170 KUHP memberikan hukuman penjara paling lama tujuh tahun untuk pelanggaran tertentu. Untuk tindak kekerasan yang mengakibatkan luka berat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan (9) tahun, dan untuk tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun.

Setelah diputuskan akan menyelesaiakan perkara melalui diversi, maka akan disusun suatu kesepakatan diversi yang berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat berbentuk antara lain:

  • a.    Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

  • b.    Pe-nyerah-an kembali ke-pada orang tua/Wali;

  • c.    Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bu-lan; atau

  • d.    Pelayanan masyarakat.

Jika diversi dilakukan di tingkat penyidikan, maka akan diajukan oleh Kapolres setempat. Jika diversi baru dilakukan pada tahap penuntutan, maka Kepala Kejaksaan akan menyampaikan putusan diversi. Setelah kesepakatan diversi dibuat, maka akan diserahkan langsung oleh pengawas yang bertanggung jawab di tingkat ujian. Setelah tercapai kesepakatan dan penetapan, maka surat yang memuat keputusan diversi tersebut tetap berlaku untuk jangka waktu tiga hari. Keputusan tersebut akan diumumkan kepada publik dalam waktu tiga (tiga) hari sejak diterimanya keputusan tentang diversi. Selain itu, putusan akan dikomunikasikan kepada penasihat masyarakat, penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam jangka waktu tiga (tiga) hari. Hal ini akan berpengaruh pada penyidik yang akan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika diversi dilakukan dalam tahap penyidikan, dan penuntut umum yang akan memberikan penetapan penghentian penuntutan jika diversi dilakukan. selama tahap penuntutan. Hakim juga akan diberitahukan tentang putusan yang akan mempunyai akibat. Tentunya hal ini mengikuti pedoman yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia yang diamanatkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Perihal Pemberhentian Pidana Berdasarkan Peradilan Restoratif, Tanggal 22 Juli 2020. Pada tanggal 22 Juli 2020, pemerintah menerbitkan peraturan ini.12

  • 1.2.    Jaminan perlindungan anak korban pada kasus perundungan dalam perspektif keadilan restoratif

Diversi adalah perkembangan terbaru dalam keadilan restoratif, sebuah pendekatan hukum yang menekankan pada membuat sesuatu menjadi benar kembali daripada menghukum pelanggar. Untuk mencapai keadilan yang diinginkan dan diharapkan oleh masing-masing pihak, sudah sepatutnya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan atau melalui jalur nonlitigasi sebagai jalur alternatif. 13 Korban sebagai pihak yang dirugikan maka harus dijaga baik harkat maupun martabatnya agar tidak mengalami trauma maupun merasa tertekan karena anak pelaku tidak dihukum secara formil. Oleh karena

itu hasil dari diversi harus benar-benar terlaksana dan anak korban pun harus terjamin akan hasil keputusan diversi yang didapat.

Dalam pembahasan pada rumusan masalah sebelumnya, penulis menjelaskan tentang bagaimana anak pelaku dan anak korban bersepakat melakukan penyelesaian masalah diluar pengadilan atau diversi. Langkah selanjutnya dari sebuah penyelesaian diversi adalah bagaimana membuat kehidupan anak korban dan anak pelaku kembali seperti semula dengan anak pelaku menyadari kesalahannya serta bertanggung jawab atas kesalahannya dan anak korban memaafkan sembari menunggu pulih dari keadaan sebelumnya.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 12, perjanjian diversi akan dibuat setelah diputuskan bahwa diversi akan dilakukan. Setelah beberapa waktu berlalu, kesepakatan untuk mengalihkan perkara tersebut akan diserahkan kepada hakim ketua pengadilan negeri sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk menghentikan persidangan. Sesuai dengan alinea pertama Pasal 11 Undang-Undang Pembentukan Sistem Peradilan Pidana Anak, kesepakatan untuk mengalihkan pelaku tindak pidana anak dalam bentuk rekonsiliasi, yang mungkin termasuk atau tidak termasuk kompensasi uang. Hal ini menarik karena dalam pasal yang bersifat kumulatif yang berarti, anak pelaku perundungan dapat memberikan kompensasi terhadap anak korban perundungan sekaligus membantu anak korban untuk lebih cepat pulih dari keadaannya.

Apabila berkaca dari kasus lain, maka kita akan mendapati contoh kasus diversi yang sukses dilakukan. Kasus AQJ (13), seorang anak musisi terkenal yang terlibat dalam kecelakaan di tol Jagorawi KM 8+200. Kecelakaan tersebut dipicu oleh anak AQJ yang memacu kencang kendaraan milik ayahnya yang kemudian keluar jalur sehingga terlibat kecelakaan dan menewaskan 7 (tujuh) orang pengemudi serta penumpang mobil lainnya. Singkat cerita AQJ dinyatakan bebas dengan putusan hakim yaitu dikembalikan kepada orang tuanya serta memberikan ganti rugi kepada para keluarga yang ditinggalkan berupa beasiswa pendidikan hingga bangku universitas kepada anak-anak dari korban yang meninggal akibat kecelakaan tersebut.

Selain itu dalam kesepakatan diversi yang dibuat juga menyertakan bahwa AQJ sebagai anak pelaku, menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulangi perbuatannya dikemudian hari. Hal ini merupakan contoh sukses daripada penegakan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif. Di satu sisi sang pelaku jera dengan perbuatannya dan siap untuk melakukan ganti rugi baik secara moral maupun materiil kepada keluarga para korban dan hal ini dijamin oleh penetapan dari pengadilan yang memeriksa perkara tersebut. Penetapan inilah nantinya yang dapat digunakan sebagai jaminan agar anak korban mendapatkan keadilan. Penetapan tersebut dapat dijadikan jaminan karena apabila tidak dilaksanakan, maka sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak maka proses peradilan pidana anak dapat dilanjutkan.

  • 4.    Kesimpulan

Pasal 6-8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang pada pokoknya mengutamakan diversi dan menjatuhkan pidana penjara sebagai upaya terakhir, tidak secara tegas mengatur ketentuan mengenai pemidanaan terhadap anak yang terbukti melakukan tindak pidana, dalam hal ini kasus intimidasi. Perilaku mengancam cocok di sini. 1. (perbaikan maksimal) (perbaikan maksimal). Yang dimaksud dengan "keadilan restoratif" adalah suatu pendekatan penegakan hukum yang mendorong para pihak untuk menyelesaikan perbedaan mereka secara damai di luar pengadilan. Istilah "keadilan restoratif" dapat digunakan untuk menggambarkan pandangan ini juga. Akan tetapi, diversi adalah suatu proses untuk menangani masalah hukum di luar sistem peradilan pidana konvensional. Pasal 6–14 UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur tata cara diversi bagi anak korban perkosaan. Ketika suatu perkara dialihkan, dicapai kesepakatan antara para pihak yang kemudian diubah menjadi penetapan oleh Hakim Ketua Pengadilan Negeri setempat. Oleh karena itu, kontrak dapat berfungsi sebagai jaminan untuk melindungi hak-hak anak di bawah umur yang dirugikan di pengadilan.

Daftar Pustaka

Buku:

Hadisuprapto, Paulus. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008)

Mulyadi, Lilik. Sistem Peradilan Pidana Anak, (Bandung: Alumni, 2014)

Seijiwa. Bullying Mengatasi Kekerasan Di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak, (Jakarta: Grasindo, 2008)

Jurnal ilmiah:

Bazemore, Gordon dan Mara Schiff. “Juvenile Justice Reform and Restorative justice: Building Theory and Policy from Practice”, (Oregon: Willan Publishing, 2005)

Braithwaite, John. “Restorative justice and Responsive Regulation.” (Ofxord, Oxford University Press,2002)

Darpana, I Made dan I Gede Pasek Pramana. “Majelis Desa Adat Sebagai Pasikian Desa Adat Di Bali.” Jurnal Kertha Negara, Fakultas Hukum Universitas Udayana Vol. 10, No. 3, (2022)

Fransiska Novita Eleanora “Sistem Pemidanaan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana, Jurnal Fakultas Hukum Universitas MPU Tarantular Jakarta

Gama, Kadek Liana Satwikha Gama dan I Ketut Westra. “Tanggungjawabpelaku Usaha Terhadap Maraknya Penjualan Produk Palsu Melalui Platforme-Commerce.” Jurnal Kertha Semaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana Vol. 10, No. 6, (2022)

Glery Lazuardi. “Pendekatan Restorative Justice Dalam Tindak Pelaku Penyebaran Hoaks.” Jurnal Kertha Semaya Fakultas Hukum Universitas Udayana Vol.8, No.9 (2020)

Munajah. “Ketentuan Pemidanaan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Sebelum dan Sesudah Pengaturan Keadilan Restoratif Justice di Indonesia”, Jurnal Fakultas Hukum Uniska MAAB Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Volume VIII Nomor 1 (2016)

Mccold, Paul dan Ted Wachtel, “In Pursuit of Paradigm: A Theory of Restorative Justice”, Paper ini dipresentasikan di Kongres Kriminologi Tingkat Dunia ke XIII di Rio de Janeiro, Brazil, 10-15 Agustus 2003

Pratama, Kadek Danendra dan Komang Pradnyana Sudibya, “Pemidanaan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pembunuhan, Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana Vol. 8, No. 7 (2019)

Raharjo, Agus, Mediasi Sebagai Basis Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, Mimbar Hukum Volume 20, Nomor 1, Februari 2008

Widnyana, Ida Ayu Dyah Sukmaningrum Dan Putu Devi Yustisia. “Akibat Hukum Wanprestasidebiturdalam Transaksi Elektronik Melalui Layanan Paylater pada Aplikasi shopee.” Jurnal Kertha Semaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana Vol. 10, No. 6, (2022)

Yasin, Muhammad, dkk., “Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif”, Buletin Komisi Yudisial, Vol. VI. No. 4, Januari- Februari (2012)

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 5332).

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 5 Tahun 2023 hlm 491-501

501