KEDUDUKAN KEPALA DESA ADAT DALAM MENGAJUKAN GUGATAN MEWAKILI WARGA DESA DI DALAM PENGADILAN
on
KEDUDUKAN KEPALA DESA ADAT DALAM
MENGAJUKAN GUGATAN MEWAKILI WARGA DESA DI DALAM PENGADILAN
Putu Widhi Kurniawan Mastina P, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK :
Tujuan studi ini untuk mengetahui legal standing dari kepala desa adat dalam mewaliki masyrakat dalam mengajukan gugatan class action serta menganalisis kedudukan kepala desa adat di pengadilan saat mengajukan gugatan. Metode yang digunkan dalam penelitian ini adalah normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa kepala desa adat memiliki legal standing untuk mewakili masyarakat adatnya hal ini sesuai dengan UU Desa dan Perda 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Bali, dan mengenai kedudukan kepala desa adat adalah sebagai wakil kelompok khusunya msyarakat adat yang bersangkutan hal ini sesuai dengan Perma 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Kata Kunci: Kepala Desa Adat, Gugatan, Perwakilan Kelompok, Perwakilan Class
ABSTRACT :
The purpose of this study is to determine the legal standing of the customary village head in representing the community in filing a class action lawsuit and to analyze the position of the customary village head in court when filing a lawsuit. The method used in this study is normative with a statutory and conceptual approach. The results of this study indicate that the customary village head has legal standing to represent his customary community, this is in accordance with the Village Law and Regional Regulation 4 of 2019 concerning Balinese Traditional Villages, and regarding the position of the customary village head is as a representative of the group, especially the customary community concerned, this is in accordance with Perma 1 of 2002 concerning Events for Group Representative Lawsuits.
Keywords: Village Elder, Class Action, Class Representative
Desa adat merupakan suatu entitas kelompok atau kesatuan dari masyarakat yang keberadaannya diakui dan di hormati oleh negara khusunya NKRI. Desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat diatur Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, negara melalui konstitusi mengakui dan menghormati masyarakat adat dikarenakan keberadannya sudah ada dan berkembang sebelum terbentuknya negara, yang dibuktikkan dengan adanya sistem-sistem yang dilakukan secara turun-temurun, peninggalan tertentu bahkan hingga kelembagaan dari masyarakat hukum adat tersebut.1 Desa dalam ruang lingkup NKRI merupakan salah satu kelompok yang sangat diakui dan dilindungi oleh ketentuan hukum, dan desa merupakan salah satu ciri khas negara dan salah satu sumber pendapatan dari negara, yang dapat berupa wisata desa, produksi bahan makanan, pakaian dan lainnya, selain dari hasil yang diperoleh dari adanya desa, yang lebih penting dari hal tersebut adalah mengenai sumber daya manusia dari masyarakat desa tersebut, sehingga negara selain memang harus meleastarikan, menjaga dan melestarikan desa, wajib juga untuk mengembangkan sumber daya manusia dari masing-masing desa, agar dapat membantu perkembangan dan menunjang dari pelestarian tersebut. Sehingga pembangunan desa seharusnya seimbang antara memperbaiki lingkungan desa juga memperbaiki kesejahteraan masyarakatnya, mengenai pemberdayaan masyarakat tentu akan berdampak panjang dan masif terhadap perkembangan jangka panjang dari desa yang bersangkutan.2
Berdasarkan Pasal 1 angka 43 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Pemerintahan Daerah (Selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah), yang dimaksud dengan “desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Inti dari pasal tersebut menjelaskan bahwa desa merupakan kelompok masyarakat yang terbentuk dari kesamaan budaya dan sistem kelompok tersebut.3
Desa dalam melakukan hak-hak tradisionalnya tidak dilarang oleh negara asalkan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada, khususnya UUD NRI 1945 yang menjadi landasan konstitusi negara. Desa dijalankan oleh kepala desa sebagai salah satu badan yang memiliki otonomi dalam mengatur pemerintahan dan pedoman tertentu. UU Desa menyatakan bahwa kewenangan kepala desa dalam menjalankan tugasnya dapat dibagi menjadi 15 (lima belas) poin, salah satunya adalah perwakilan desa secara hukum dan di luar hukum atau penunjukan pengacara untuk mewakilinya sesuai dengan dengan peraturan hukum. Pemerintah desa sebagai penyelenggara pemerintahan dilakukan oleh keorang kepala desa dengan dibanto oleh beberapa orang sebagai perangkat desa lainnya. Sama halnya seperti negara penyelenggaraan pemerintah desa sangat dibutuhkan untuk tetap mengayomi, memahami dan mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Tetapi pemerintahan desa tentu juga harus menyeesuaikan dengan pemerintahan pusat yang memiliki kewenangan dan tugas yang tidak bisa diputuskan oleh pemerintahan desa, dengan adanya sistem pemerintahan berupa daerah maupun desa yang walaupun tetap dipusatkan di pemerintah pusat dapat lebih mengakomodir kebutuhan
daerahnya masing-masing yang dimulai dari tingkat desa, keluharan, kecamatan, kabupaten dan provinsi dan pemerintahan pusat.4
Eksistensi masyarakat desa adat diakui dalam hukum positif Indonesia, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Selanjutnya disebut UU Desa) mengatur bahwa “desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Di dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut pastilah ada seorang pemimpin ataupun kepala dari kesatuan masyarakat hukum adat yang dimana sering disandingkan kedudukannya dengan kepala desa. Kepala desa yang untuk selanjutnya akan disebut sebagai kepala desa adat memiliki wewenang untuk mewakili desa adat baik untuk kepentingan sebagai anggota masyarakat hukum adat ataupun keseluruhan anggota masyarakat hukum adat.
Kewenangan kepala desa adat dalam mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan telah diatur didalam Pasal 26 ayat (2) huruf n UU Desa ini memberikan legitimasi bagi kepala desa adat bertindak untuk dan atas nama masyrakat desanya di dalam maupun di luar pengadilan. Ketika kepala desa adat tersebut mewakili kepentingan warga desanya dalam mengajukan gugatan di dalam pengadilan, maka kedudukan kepala desa adat tersebut merupakan representasi dari warga desa yang jumlahnya sedemikian banyak sehingga dalam mengajukan gugatan harus diwakili oleh seorang wakil kelompok.
Dengan demikian bentuk gugatan yang diajukan ke pengadilan jika kepala desa tersebut mengajukan gugatan mewakili kelompoknya atau desa adatnya tersebut adalah berupa gugatan perwakilan kelompok (class action). Hal ini mungkin saja terjadi ketika suatu kelompok masyarakat hukum adat dihadapkan kepada sebuah kasus yang berdampak bagi masing-masing masyarakat hukum adat secara privat namun dirasakan oleh sebagian besar masyarakat hukum adat sehingga dalam hal ini jumlah individu yang merasakan kerugian tersebut amatlah banyak sehingga lebih efektif jika dilakukan pengajuan gugatan perwakilan kelompok oleh kepala desa adat di lingkungan wilayah desa adat.
Kesadaran hukum masyarakat dari waktu ke waktu mengalami perkembangan, masyarakat saat kini mulai lebih mengerti dan paham mengenai aturan yang berlaku, yang paling sering dilakukan masyarakat adalah pengajuan gugatan berupa gugatan perorangan atau gugatan perwakilan kelompok (class action).5 Gugatan perwakilan kelompok mulanya dikenal pada abad ke-18 di Inggris dan kemudian mulai berkembang di berbagai negara lainnya sejak abad ke-19.6 Gugatan class action tidak perlu disebutkan satu persatu identitas dari pihak penggugat.7 Berdasarkan PERMA Nomor 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Selanjutnya PERMA 1/2002) yang dimaksud dengan “Gugatan Perwakilan Kelompok suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.” Gugatan class action dapat diartikan sebagai gugatan yang prosedurnya diwakili oleh 1 orang, sehingga dapat diartikan pula, gugatan class action sebagai gugatan perdata yang dalam hal ini sekelompok orang menunjuk satu orang sebagai wakil kelompok mewakili ratusan atau bahkan ribuan orang yang dimana mereka semua memiliki kesamaan fakta dan dasar hukum. Gugatan biasanya diajukan berkaitan dengan ganti rugi terhadap suatu akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya perbuatan.8
Perkembangannya pengajuan gugatan kelompok juga bekembang di negara Indonesia.9 Namun dalam pelaksanaanya masih sangat jarang sengketa gugatan perwakilan kelompok yang diwakili oleh seorang kepala desa adat bahkan ada beberapa kasus yang didalamnya berkaitan dengan kepentingan masyarakat kesatuan masyarakat hukum adat tetapi yang mewakili kelompok tersebut di dalam pengadilan untuk mendapatkan kembali hak-haknya adalah orang yang tidak memiliki legal standing sebagi wakil dari kelompok tersebut sehingga pada akhirnya gugatan perdata tersebut harus diputus NO atau Niet Ontvankelijke Verklaard karena mengandung cacat formil didalamnya. Menentukan wakil kelompok adalah aspek penting di dalam gugatan perwakilan kelompok karena didalamnya terdapat sejumlah kualifikasi untuk menentukan kelayakan wakil kelompok (clas representative).10
Selain itu didalam PERMA 1/2002 tidak dijelaskan dengan jelas siapa saja yang bisa memiliki kedudukan sebagai wakil kelompok. Wakil kelompok didalam PERMA tersebut hanya dijelaskan secara singkat sebagai orang yang mengajukan gugatan berdasarkan kerugian yang dialaminya dan juga sekaligus mewakili orang yang lebih banyak jumlahnya. Di dalam pengaturan tersebut tidak dijelaskan lebih mendalam terkait pihak-pihak yang berhak mewakili anggota kelompok untuk mewakili kelompok tersebut, terlebih lagi ketika sebuah kelompok tersebut memiliki seorang pemimpin seperti halnya dalam kesatuan masyarakat hukum adat.
Merujuk pada penelitian A.A Gede Oka Parwata, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, dan AA Ketut Sukranatha dengan judul “Otonomi Desa Pakraman Di Bali Setelah Keluarnya UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa” dalam penelitian ini membahas tentang otonomi dari desa adat setelah diundangkannya UU Desa serta ketentuan pengaturan tentang desa dan desa adat berdasar ketentuan UU Desa.11 Selain itu merujuk pada tulisan “I Ketut Sudantra, Tjok Istri Putra Astiti, dan I Gusti Ngurah Dharma Laksana yang berjudul Sistem peradilan adat dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali dalam JURNAL KAJIAN BALI Volume 07, Nomor 01, April 2017.12 yang membahas tentang
kompetensi peradilan adat di Bali serta membahas tentang eksistensi peradilan adat dan pengakuannya dimata hukum negara Republik Indonesia.
Maka terkait dengan kedua penelitian tersebut, penulis memiliki ide untuk membahas tentang legal standing dari kepala desa adat dalam mengajukan gugatan mewakili masyarakat desa serta kedudukan kepala desa adat dalam mengajukan gugatan mewakili warga desa di dalam pengadilan. Sehingga berdasarkan orisinalitas darp penelitian yang sudah ada, penulis lebih menganalisis terkait kedudukan kepala desa dalam pengadilan pada saat mengajukan gugatan dari masyarakatnya, sehingga penulis menentukan judul dari penelitian ini adalah “Kedudukan Kepala Desa Adat Dalam Mengajukan Gugatan Mewakili Warga Desa Di Dalam Pengadilan”
Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat ditentukan dua permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
-
1. Apakah kepala desa adat memiliki legal standing dalam mengajukan gugatan mewakili masyarakat desa adat?
-
2. Bagaimanakah kedudukan kepala desa adat di dalam pengadilan saat mengajukan gugatan?
Tujuan Penulisian penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu guna menganalisis dan mengetahui legal standing dari kepala desa adat dalam mengajukan gugatan mewakili masyarakat desa adat. Selain itu juga guna mengetahui kedudukan kepala desa adat di dalam pengadilan saat mengajukan gugatan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode normatif, yang menggunakan norma sebagai objek penelitiannya.13 Metode penelitian normatif untuk menjawab adanya kekaburan norma terhadap penentuan wakil kelompok atau (clas representative) terhadap sengketa yang timbul di dalam lingkup kesatuan masyarakat desa adat dalam memposisikan kepala desa sebagai wakil dari kelompok tersebut. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum yang digunakan merupakan sumber bahan hukum primer yaitu UU Desa, UU Pemerintahan Daerah dan bahan hukum sekunder yaitu berupa buku-buku hukum, dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan gugatan perwakilan sebagai bahan hukum sekunder.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Legal Standing Kepala Desa Adat Dalam Mengajukan Gugatan Mewakili Masyarakat Desa Adat
-
Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) merupakan gugatan yang diajukan ke pengadilan dengan mengakomodir kepentingan atau tuntutan yang sama dari suatu kelompok. Perkembangan pengajuan gugatan ini merupakan langkah awal yang bagus dari masyarakat yang sadar akan hukum dan mengerti mengenai hak-haknya sebagai warga negara. Di Indonesia khusunya mengenai gugatan perwakilan kelompok ini merupakan hal baru, sehingga masuh banyak masyarakat yang belum paham mengenai konsep gugatan ini,
dalam hal ini berupa tuntutannya, tata caranya, serta prosedurnya. Sebenarnya mengenai gugatan apapun itu, hal yang harus diketahui dan dipahami terlebih dahulu adalah mengenai legal standing, dapat dipahami/diartikan sebagai hak seseorang mengenai siapa yang berhak mengajukan gugatan tersebut dan jika dikaitkan dengan class action, itu artinya kelompok atau organisasi yang mana berhak untuk mengajukannya atau siapa yang mewakili kelompok tersebut.
Pengajuan gugatan khususnya gugatan class action dapat diartikan sebagai representative hak kelompok atau organisasi untuk meminta tuntutan atas kerugiaan tertentu yang tentunya berdiri sebagai Pihak Penggugat. Gugatan perwakilan kelompok ini meruapkan salah satu solusi untuk mengajukan gugatan terhadap kasus yang sama dan menimpa kelompok tertentu, kesamaan dapat berupa kerugian, pihak tergugatnya serta tuntunnya. Tentunya walaupun dikatakan salah satu solusi yang praktis, terdapat juga hal-hal yang harus diperhatikan sebelum mengajukan gugatan ini yaitu “1.Sejumlah besar orang Ketentuan tentang class action di berbagai negara pada umumnya mensyaratkan, bahwa jumlah orang yang mengajukan gugatan harus sedemikian banyaknya (numerous persons), sehingga apabila gugatan diajukan secara individual atau secara kumulasi akan menjadi tidak praktis lagi, 2.Kepentingan yang sama, di USA syarat adanya kesamaan kepentingan dirumuskan sebagai, adanya kesamaan permasalahan hukum dan fakta (common question of law and fact). Hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan R. 23.12 Di dalam sistem Federal Australia, syarat kesamaan kepentingan dirumuskan sebagai, dasar dari tuntutan terhadap orang yang sama, yangmuncul dari situasi-situasi (circumstances) yang sama, serupa, atau berhubungan satu dengan yang lain. Dari berbagai rumusan ketentuan tentang syarat tersebut, maka dalam pengajuan gugatan secara class action harus ada kesamaan kepentingan, 3.Wakil Kelompok terdapat wakil kelompok yang jujur dan benar-benar mewakili kepentingan kelompoknya. Dalam hal ini yang dituntut oleh wakil kelompok harus benar-benar merupakan kepentingan kelompok, bukan kepentingan wakil kelompok secara pribadi saja.”
Kekuatan pengakuan konstitusi jelas terkait dengan kesatuan masyarakat adat, yang dapat kita lihat sebagai kekuatan yang jelas dari kesatuan desa adat. Semangat untuk mengakui common unity of common law setelah reformasi memunculkan semangat untuk menguduskannya dalam konstitusi. Dalam pengertian ini, amandemen konstitusi kemudian terjadi melalui pencantuman secara eksplisit masyarakat adat sebagai pengakuan dan hak-hak mereka. Pengaturan masyarakat hukum adat dalam UUD NRI 1945 diatur Pasal 18B yang berbunyi “(1).Negara mengakui dan menghormati satuan‐satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang, (2).Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Dalam hal mengajukan gugatan keperdataan, pihak yang berhak mengajukan gugatan haruslah memiliki legal standing (kedudukan hukum) sebagai pihak-pihak yang bersengketa. Jika dalam perkara tersebut pihak yang mengajukan gugatan bukanlah pihak yang secara hukum memiliki hak untuk mengajukan gugatan maka gugatan tersebut mengandung cacat formil didalamnya. Syarat formil merupakan conditio sine qua non dalam mengajukan gugatan perwakilan kelompok. Jika merujuk kepada PERMA 1/2002, syarat formil dari gugatan perwakilan kelompok adalah yang pertama yaitu adanya kelompok (class), kedua yaitu memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum, serta yang terakhir adalah kesamaan jenis tuntutan.14 Yang membentuk terwujudnya suatu kelompok adalah terdiri dari sekian
banyaknya orang, sehingga dalam hal ini masyarakat desa adat dapat dikatagorikan sebagai kelompok atau class karena sedemikian banyaknya individu yang tergabung dalam suatu perkumpulan masyarakat desa adat. Individu yang sedemikian banyaknya tersebut kemudian muncul menjadi kelompok yang dapat diketahui atau dipastikan (ascertainable class). Dalam menakar keberadaan kelompok itu sendiri, ada dua komponen penting yang harus diperhatikan yaitu adanya kelompok dan adanya perwakilan dari kelompok tersebut.15 Kepala desa adat di dalam kesatuan masyarakat hukum adat merupakan salah satu tokoh penting yang bisa dikatakan sebagai representasi dari kesatuan masyarakat adat itu sendiri. Sebagai sorang kepala desa adat barang tentu orang tersebut memiliki hak-hak yang melebihi dari masyarakat adat lainnya. Dalam “Pasal 31 huruf g Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa adat di Bali (Perda Bali 4/2019)” yang apa intinya menjelaskan Wewenang perangkat desa untuk bertindak dan mewakili desa adat
Kepala desa adat dalam melakukan atau menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya tentu mengikuti ketentuan norma yang ada seperti UU Desa dalam Pasal 26 (1) mengatur bahwa “Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa” dijelaskan lebih lanjut dalam ayat (2) “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang yaitu a.memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, b.mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa, c.memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa, d.menetapkan Peraturan Desa, e.menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, f.membina kehidupan masyarakat Desa, g.membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa, h.membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa, i.mengembangkan sumber pendapatan Desa, j.mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa, k.mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa, l.memanfaatkan teknologi tepat guna, m.mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif, n.mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan o.melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Kedudukan seorang kepala desa adat dalam mengajukan gugatan mewakili desa dapat berupa wakil kelas dari anggota kelompoknya yang biasa disebut sebagai anggota kelas, sementara itu, adalah sekelompok besar individu yang menderita kerugian dan kepentingannya diwakili di pengadilan oleh perwakilan kelas (class representative). Ketika gugatan class action diajukan ke pengadilan, anggota kelas adalah penggugat pasif karena telah diwakili oleh anggota kelas.16 Dalam PERMA 1/2002 dijelaskan pada intinya Gugatan Perwakilan Kelompok adalah gugatan kelompok yang diwakili oleh perwakilan. Dalam hal ini, kepala desa dapat berkedudukan sebagai wakil kelompok di dalam pengadilan, sehingga dalam pelaksanaannya kepala desa adat tersebut menggunakan gugatan perwakilan kelompok dalam mengajukan gugatannya, Berdasarkan PERMA 1/2002 ada tiga hal yang menjadi kriteria dalam mengajukan gugatan perwakilan kelompok, tiga hal tersebut antara lain: “1.Numeriousity, jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif
dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan, 2.Commonality and typicality, terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara Wakil Kelompok dengan anggota kelompoknya, 3.Adequacy of Representation, Wakil Kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.”17 Wakil kelompok yang dijelaskan dalam PERMA 1/2002 hanya sebatas terkait seseorang atau beberapa orang yang menjadi wakil kelompok, dan yang paling terpenting adalah perwakilan dari kelompok tersebut harus memiliki isu atau fakta yang sama dengan anggota kelas (class members), selain itu juga, perwakilan kelompok harus mejelaskan dasar dari Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) ialah bagaimana Penggugat baik itu wakil kelompok (class representative) .18
Dalam hal mengajukan gugatan keperdataan, pihak yang berhak mengajukan gugatan haruslah memiliki legal standing (kedudukan hukum). Kepala desa adat di dalam kesatuan masyarakat hukum adat merupakan salah satu tokoh penting yang bisa dikatakan sebagai representasi dari kesatuan masyarakat adat itu sendiri. Sebagai sorang kepala desa adat barang tentu orang tersebut memiliki hak-hak yang melebihi dari masyarakat adat lainnya. Dalam Pasal 31 huruf g Perda Bali 4/2019 dijelaskan tentang wewenang prajuru desa adat berupa mewakili desa adat dalam bertindak untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan atas persetujuan paruman desa adat, dalam hal ini prajuru desa adat dalam hal ini memiliki pengertian sebagai perangkat desa atau pengurus desa adat. Sedangkan kedudukan seorang kepala desa adat dalam mengajukan gugatan perwakilan kelompok adalah sebagai wakil kelompok yang mewakili anggota kelompoknya, kedudukannya pun sama dengan menuntut hal yang sama terhadap kerugian yang ditimbulkan.
Daftar Pustaka
Buku
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum (Jakarta, Prenada Media Grup, 2016).
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung, Mandar Maju, 2003).
Harahap, M.Yahya. Hukum Acara Perdata (Jakarta, Sinar Grafika, 2017).
Jurnal
Alfianto, Fajar Dwi. “Analisis Gugatan Class Action Dalam Perkara Nomor: 14/PDT.G/2012/PN.SKY Terhadap PERMA RI Nomor 1 Tahun 2002”. Jurnal Verstek, Vol.7, No.2 (2019).
Irawati, Erni. "PENINGKATAN KAPASITAS DESA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 (Sebuah kajian tentang Otonomi Desa)." Jurnal Inovasi Penelitian 2, no. 2 (2021): 635-642.
Moch. Iqbal. “Aspek Hukum Class Action dan Citizen Law Suit Serta Perkembanggannya di Indonesia”. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.1, No.1 (2012).
Nanang Zulkarnaen, Maemunah. “Kewenangan Kepala Desa Dalam Mengangkat Dan Memberhentikan Perangkat Desa Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa”. Jurnal Civicus, Vol.6, No.1 (2018): 29.
Nur'aini, Latifah, Andriani Kartika Hapsari, and Miecko Wahyu Gunawan. "Analisis Tentang Gugatan Class Action Yang Diperiksa Dengan Acara Perdata Biasa (Studi Kasus Putusan MA Nomor: Nomor 600 K/Pdt/2010)." Verstek 1, no. 3.
Parwata, A.A. Gede Oka. el, al. “Otonomi Desa Pakraman Di Bali Setelah Keluarnya UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa”. Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana (2015).
Pontoh, Muhammad Edward. "Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Gugatan Class action". Jurnal Ilmu Hukum Legal opinion, Vol 4, No.2 (2016).
Purnama, Dewa Gede Agung Satria Yoga and Dewi, Anak Agung Istri Ari Atu. “Desa Adat Dalam Pengelolaan Tanah Adat Bali Berbasis Kebijakan Daerah”. Jurnal Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol.4, No.2 (2019).
Renggansih, Fitria Dewi. “Perbedaan Pertimbangan Hakim Dalam Menilai Kriteria Gugatan Class Action (Studi Putusan Nomor: 48/Pdt.G/2014/Pn.Skh Dan Putusan Nomor 318/Pdt.G.Classaction/2011/Pn.Jkt.Pst)”. Jurnal Verstek, Vol. 7, No. 3 (2019).
Setyati, Tia Antriyani and Hertanto, Heri. “Kriteria Wakil Kelompok (Class Representative) Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 Dalam Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)”. Jurnal Verstek, Vol. 7 No. 2 (2019): 212.
Sugiman, Sugiman. "Pemerintahan Desa." Binamulia Hukum 7, no. 1 (2018): 82-95.
Ulumiyah, Ita. "Peran pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa (studi pada Desa Sumberpasir Kecamatan Pakis Kabupaten Malang)." PhD diss., Brawijaya University, 2013.
Widiarty, Wiwik Sri. "Gugatan Class Action Dalam Hukum Perlindungan Konsumen." to-ra 1, no. 2 (2015): 89-98.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Tahun 2014/ Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5495)
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014/ Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat Di Bali
PERMA Nomor 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 1 Tahun 2023 hlm 29-37
37
Discussion and feedback