PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HILANGNYA OBJEK GADAI AKIBAT FORCE MAJEURE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PERDATA
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
HILANGNYA OBJEK GADAI AKIBAT FORCE MAJEURE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PERDATA
I Dewa Bagus Renantya Haridharma Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk dapat mengetahui serta memahami perlindungan hukum yang diberikan kepada debitur terhadap objek gadai yang hilang akibat adanya force majeur dan untuk mengetahui serta memahami penyelesaian masalah terhadap hilangnya objek gadai debitur akibat adanya force majeure. Perjanjian gadai merupakan suatu perjanjian yang meimbulkan jewajiban antara pihak kreditur dengan pihak debitur. Kreditur bertanggung jawab untuk menjaga objek gadai, sehingga apabila terjadi kerusakan atau musnahnya objek gadai tersebut maka pihak kreditur bertanggung jawab terhadap keadaan tersebut. Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata terkandng kekaburan norma karena seolah – olah pihak kreditur tidak bertanggung jawab atas hilangnya objek gadai akibat force majeur sedangkan pihak debitur tentunya mengalami kerugian atas hilangnya barang yang menjadi objek gadai tersebut. Penelitian ini dilakukan guna mengetahui bagaimana perlindungan serta penyelesaian hukum terhadap hilangnya objek gadai akibat force majeure. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dengan jenis pendekatan statue approach. Penyelesai akibat hilangnya objek gadai akibat force majeure, pihak pegadaian menempuh melalui alternative penyelesaian secara litigasi dan non litigasi. Dalam menjamin suatu kepastian hukum terhadap perlindungan debitor yaitu dengan melakukan suatu upaya penyelesaian sengketa alternative (Laternatife Dispute Resolution) yang dapat dilakukan dengan cara: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Objek Gadai, Force Majeure
Abstract
The purpose of this study is to find out and understand the legal protection provided by debtors to objects that are lost due to force majeure and to find out and understand the settlement of debtor problems due to force majeure. In the pledge agreement as an obligation for the parties. The debtor's obligation is to deliver the mortgaged goods to the creditor, while the creditor is obliged to take care of the pawned goods as well as possible. Not a few creditors eliminate the pawned goods, so the creditor must be responsible for all the pawned goods. Articles 1244 and 1245 of the Civil Code contain vague norms because it seems as if the creditor is not responsible for the purpose of the pledge due to force majeure, while the debtor must suffer losses for the loss of the pledged goods. This research was conducted to find out how the protection and legal outcomes of the object of force majeure pawning. In this study using normative legal research methods. With this kind of approach to sculpture. To settle the consequences of the object of the pawn due to force majeure, the pawnshop takes 2 (two) ways, namely litigation and non-litigation. In ensuring a certainty for the protection of debtors, namely carrying out an alternative dispute resolution (Lateratife Dispute Resolution) which can be carried out by means of: Negotiation, Mediation, Conciliation, and Arbitration.
Key Words: Legal Protection, Object of Pawn, Force Majeure
-
I. Pendahuluan
-
1.1 Latar Belakang Masalah
-
Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum. Peraturan tersebut mempunyai akibat logis bahwa standar hukum harus mengatur seluruh sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Penerapan dan penegakan norma hukum yang menjadi tantangan masa kini yang akan berdampak dan membawa perubahan. Salah satunya adalah persepsi kebutuhan uang yang semakin meningkat dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga roda perekonomian tetap berputar. Di satu sisi, ada yang memiliki uang berlebih namun tidak memiliki keterampilan untuk menanganinya, sedangkan ada yang memiliki keterampilan menjalankan usaha namun terkendala hambatan.1
Menurut Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang dialihkan oleh debitur atau orang lain kepadanya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk menuntut pelunasan barang-barang. Jika debitur tidak dapat menebus atau membayar pinjaman sampai jatuh tempo, pegadaian berwenang untuk menghapus agunan dan menyita objek gadai tersebut. Dalam hal objel gadai debitur hilang, selama masih tunduk pada syarat-syarat perjanjian, maka kreditur bertanggung jawab atas objek gadai yang hilang.
Pegadaian hadir di tengah masyarakat dengan tujuan membantu peningkatan perekonomian masyarakat dengan memberikan pinjaman uang berdasarkan hukum gadai kepada masyarakat. Pemerintah memiliki peran dalam dibidang pembangunan ekonomi dan pembangunan nasional, mempromosikan kesejahteraan orang miskin, dan membantu masyarakat luas yang membutuhkan solusi keuangan. Masyarakat memiliki lembaga keuangan non bank yang dapat dijadikan pilihan bisnis.2
Untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada konsumen dan nasabah serta mencegah terjadinya konflik, Pegadaian tunduk pada pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Rasa aman untuk mencegah terjadinya kerugian di pihak pegadaian atau konsumen, sehingga pada tahun 2016 Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan peraturan tentang industri pegadaian. Izin usaha gadai diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pegadaian3. Apabila seorang debitur menggadaikan barang-barang bergeraknya sebagai jaminan suatu utang, maka objek gadai itu tetap menjadi milik pemiliknya selama berlangsungnya perjanjian gadai. Pada hakekatnya gadai digunakan untuk menjamin suatu utang karena tidak ada yang dapat menjamin bahwa kewajiban tersebut akan dibayar sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.4
Terkadang kreditur akan meminta penyerahan barang bergerak sebagai jaminan pelunasan utang debitur untuk mengamankan piutang kreditur. Hal ini memberikan hak kepada kreditur untuk menahan barang bergerak yang
digadaikan sampai utang debitur dilunasi seluruhnya. Jaminan gadai adalah nama lain dari jaminan atas barang bergerak. Perjanjian gadai ada dan mengikat apabila terdapat perjanjian pokok, yaitu suatu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum antara utang piutang dengan jaminan barang bergerak.5
Para pihak terikat oleh syarat-syarat perjanjian gadai. Barang yang digadaikan harus diserahkan kepada kreditur oleh debitur, dan kreditur bertanggung jawab untuk menjaga objek gadai tersebut dengan sebaik-baiknya. Banyak kreditur yang merusak barang yang digadaikan, oleh karena itu kreditur harus bertanggung jawab atas kerugiannya.6 Akibat adanya kehilangan barang tersebut apabila barang gadai hilang akibat perbuatan pihak kreditur maka berdasarkan Pasal 1157 ayat (1) KUH Perdata bahwa: Si berpiutang adalah bertanggungjawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekadar itu telah terjadi kelalaiannya. Namun apabila barang gadai hilang atau lenyap karena suatu keadaan memaksa (force majeur) maka berdasarkan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdataa maka pihak kreditur tidak berkewajiban untuk menggati biaya ganti rugi terhadap barang gadai tersebut.
Dengan adanya hal tersebut maka dapat dilihat bahwa kekaburan norma terdapat dalam Pasal 1244 yang menetapkan “Jika ada alasan untuk itu si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya” dan 1245 KUHPerdata menentukan “Tidaklah biaya, rugi, dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang” adanya kekaburan norma dalam ketentuan pasal tersebut karena seolah – olah pihak kreditur tidak dibebani biaya ganti rugi karena tidak berhak mengganti kerugian tersebut akibat force majeur sedangkan pihak debitur tentunya mengalami kerugian atas hilangnya barang yang menjadi objek gadai tersebut. Pemilik barang yang digadaikan tetap berhak menuntut kembali barang yang digadaikan selama tidak lebih dari 3 (tiga) tahun, hal tersebut diatur menurut Pasal 1977 KUH Perdata, tetapi penerima gadai tetap dilindungi undang-undang sepanjang yang bersangkutan beritikad baik. Oleh karena itu, jika peminjam menggadaikan barang tersebut, selama ia melakukannya dengan itikad baik, maka perjanjian gadai yang terjadi adalah sah dan penerima gadai dilindungi undang-undang (to goeder trouw).7
Berdasarkan uraian latar diatas maka penulis hendak mengkaji dan melakukan pembasahasan terhadap permasalahan yang ada terkait dengan Perlindungan Hukum Terhadap Hilangnya Objek Gadai Akibat Force Majeure Ditinjau Dari Perspektif Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.
Penelitian ini merupakan pembaharuan terhadap isu hokum terdahulu yang ditulis oleh I Made Adi Suka Arta Nesa tentang Era New Normal: Perjanjian Gadai Mobil Secara Lisan Di Denpasar, yang mengkaji mengenai Mekanisme Perjanjian Gadai Mobil Secara Lisan Di Denpasar, Dan Mengkaji Keabsahan Perjanjian Gadai Mobil Secara Lisan Di Denpasar.8 Selanjutnya penelitian terdahulu yang ditulis oleh Amalia Yustika Febriani yang membahas tentang Tanggung Jawab Kreditor Atas Hilangnya Barang Gadai. Dalam kajian tulisan tersebut penelitian ini membahas tentang Tanggungjawab Penerima Gadai (Kreditor) Atas Hilangnya Barang Gadai. 9 Berdasarkan beberapa penelitian tersebut adapun persamaannya terdapat pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap barang gadai. Namun terdapat adanya perbedaan yaitu perlindungan hokum terhadap barang gadai yang hilang akibat adanya keadaan memaksa (force majeure) perspektif Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.
-
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap debitur atas hilangnya objek gadai akibat adanya force majeure perspektif Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ?
-
2. Bagaimanakah penyelesaian masalah terhadap hilangnya objek gadai debitur akibat adanya force majeure ?
Tujuan dibuatnya penelitian ini untuk dapat mengetahui serta memahami perlindungan hukum yang diberikan kepada debitur terhadap objek gadai yang hilang akibat adanya force majeure dan untuk mengetahui serta memahami penyelesaian masalah terhadap hilangnya objek gadai debitur akibat adanya force majeure.
Penulisan penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif berangkat dari adanya Problem Norma, yaitu adanya kekaburan norma. Menggunakan pendekatan: statute approach dengan melakukan pendalam terhadap peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia, dan menggunakan conceptual approach, serta analytical approach. Teknik penelusuran bahan hukum menggunakan teknik studi dokumen, serta analisis kajian terhadap penelitian terdahulu serta literatur – literatur hukum lainnya.10
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Hilangnya Objek Gadai Akibat Adanya Force Majeure Perspektif Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
-
Gadai diartikan juga sebagai suatu keadaan seseorang yang selanjutnya disebut dengan debitor yang menyerahkan hak kebendaanya kepada pihak kreditor dengan tujuan untuk memberoleh sejumlah uang dari pihak kreditor, dengan jaminan hak kebendaan yang diserahkan oleh debitur sebagai jaminan yang akan dibayar kembali berdasarkan perjanjian yang dibuat. Penulis akan berusaha menjelaskan perlindungan hukum terlebih dahulu ketika membahas perlindungan hukum debitur dalam hal kehilangan ataupun kerusakan terhadap objek jaminan gadai. Perlindungan hukum atau dengan kata lain berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan hukum adalah memberikan perlindungan terhadap hak-hak setiap orang yang telah dilanggar oleh orang lain. Perlindungan hak tersebut dapat diartikan sebagai perlindungan terhadap perasaan aman dari gangguan luar dan berbagai ancaman, baik fisik maupun mental.11
Menurut Pasal 1133 dan 1134 KUH Perdata, gadai merupakan pilihan pertama seorang kreditur untuk mendapatkan kembali piutangnya. Jika perjanjian pokok yang menjadi dasar pemberian gadai adalah perjanjian yang tidak mensyaratkan formalitas apapun untuk keabsahan perjanjian pokok, maka gadai dapat diberikan dengan cara yang sama, yaitu sesuai dengan aturan yang berlaku. Pegadaian harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Sebagai mana yang tercantum dalam “Pasal 1152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: Pasal 1152 Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bahwa diletakkan dengan membawa barang gadainya dibawah kekuasaan kreditur atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hak gadai hapus, apabila barangnya gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai. Apabila namun itu barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai ini atau dicuri dari padanya, maka berhaklah ia menuntutnya kembali, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1977 ayat kedua, sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang.”
Kreditur yang berperan sebagai penerima gadai memiliki kewajiban untuk dapat menjaga objek gadai yang diserahkan pihak debitur, dan apabila suatu saat terjadi kerusakan ataupun kehilangan terhadap objek gadai tersebut maka pihak debitur memiliki hak untuk menuntut pihak kreditur bertanggungjawab dengan mengganti biaya ganti rugi, namun apabila dikemudian hari rusaknya ataupun hilangnya barang gadai tersebut karena bukan akibat dari perbuatan pihak kreditur maka pihak kreditur tidak berhak mengganti biaya ganti rugi terhadap objek gadai tersebut.
Kewajiban “kreditur sebagai penerima gadai, dan kewajiban pemberi gadai selama gadai berlangsung sesuai dalam ketentuan Pasal 1157 kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : Kreditur bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekadar itu telah terjadi karena kelalaiannya. Sebaliknya debitur diwajibkan mengganti kepada kreditur segala biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan ini guna
keselamatan barang gadainya. Dalam situasi ini, kreditur diharuskan membayar pengeluaran terhadap objek gadai yang rusak atau hilang pada saat pelaksanaan perjanjian gadai dengan debitur. Perjanjian gadai memiliki hubungan timbal balik antara kreditur dengan debitur yang dimana debitur wajib memenuhi prestasinya berdasarkan perjanjian yang disepakati. Kreditur mempunyai hak menuntut untuk pelunasan piutang apabila debitur tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakatai. Hak-hak kreditur meliputi kepuasan, pembatalan, dan penggantian.”12
Namun apabila barang gadai hilang atau lenyap karena suatu keadaan memaksa (force majeur) maka berdasarkan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdataa maka pihak kreditur tidak berkewajiban untuk menggati biaya ganti rugi terhadap barang gadai tersebut. Dengan adanya hal tersebut maka dapat dilihat bahwa adanya kekaburan norma dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata karena seolah – olah pihak kreditur tidak dibebani biaya ganti rugi karena tidak berhak mengganti kerugian tersebut akibat force majeur sedangkan pihak debitur tentunya mengalami kerugian atas hilangnya barang yang menjadi objek gadai tersebut.
Dengan adanya keadaan tersebut apabila diketahui bahwa hilangnya suatu objek gadai pada pemegang objek gadai yaitu kreditur yang disebabkan oleh suatu keadaan diluar kemampuan pihak kreditur atau keadaan memaksa (force majeure) maka buku III BW telah mengatur dalam beberapa pasal yaitu bagian IV tentang ganti rugi serta tentang tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan yang diatur dalam Pasal 1244-1245 BW serta bagian VII yang menegaskan tentang musnahnya objek benda dalam Pasal 1444-1445 BW. Rumusan overmacht menurut Pasal-Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 1244 BW, menyatakan : “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggung jawabkan padanya, kesemuanya itu jika tidak ada iktikad buruk padanya. Pasal 1245 BW, menyatakan: Tidak ada penggantian biaya, rugi dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tidak disengaja, si berhutang debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karna hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Pasal 1444 BW, menyatakan: Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkanya.”
Pasal 1445 BW, menyatakan : “Jika barang yang terhutang, diluar salahnya si berhutang, musnah, tak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berhutang jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak- hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka overmatch atau force majeure dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang terjadi diluar kesalahan kreditur, sebelum pihak kreditur dinyatakan lalai dan karenanya tidak
dapat dipermasalahkan secara tidak menanggung resiko atau kerugian atas kejadian tersebut. Apabila kreditor dapat membuktikan bahwa benda gadai tersebut hilang atau dicuri bukan karena kelalaiannya atau disebabkan karena terjadi force majeure. Fource majeure ini terdapat dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata menyatakan: Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”13
Selanjutnya Pasal 1245 KUH Perdata menyatakan: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Dengan adanya Pasal tersebut dikatakan terdapat adanya kekaburan norma karena seolah – olah bila dilihat dari Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata hanya mengatur apabila debitor yang mengalami force mejeure. Maka perjanjian kredit yang telah dibakukan tersebut sudah mengatur bahwa kreditor tidak bertanggung jawab dalam kerugian yang disebabkan karena force majeure. Dapat dilihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata bahwa: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Setiap subjek hukum bebas membuat perjanjian. Perjanjian baku ini dibuat oleh subjek hukum yang berisi aturan dimana aturan tersebut belum ada dalam KUHPerdata.”
“Berdasarkan pembahasan tersebut selain dapat dilihat dari perspektif KUHPerdata, perlindungan hukum terhadap pihak debitur terhadap barang gadai juga tidak terlepas dari adanya Hukum Perlindungan Konsumen, yang dimana bahwa dalam hukum perlindungan konsumen terdapat adanya prinsip – prinsip yang dapat menjamin perlindungan terhadap pihak debitur yaitu: prinsip tanggung jawab secara langsung dan prinsip tanggung jawab produk sebagaimana diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UU Perlindungan Konsum. Dalam rangka melindungi konsumen, undang-undang ini memberikan tanggung jawab yang jelas bagi pelaku usaha, produsen, dan distributor dalam menghasilkan dan memperdagangkan produk. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian dan keamanan bagi konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh pelaku usaha tersebut. Sedangkan tanggung jawab profesional dalam UU Perlindungan Konsumen diatur dalam Bab IV tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17, dan ketentuan Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen. Dengan adanya aturan – aturan tersebut terhadap hilangnya suatu objek gadai yang disebabkan karena force majeure maka untuk dapat menjamin suatu kepastian hukum terhadap perlindungan debitor yaitu dengan melakukan suatu upaya penyelesaian sengketa alternative (Laternatife
Dispute Resolution) yang dapat dilakukan dengan cara: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.”14
Pertanggung Jawaban diatur penuh dalam Pasal 1157 KUHPerdata menyatakan: “Si berpiutang adalah bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekadar itu telah terjadi karena kelalaiannya. Sebaliknya si berutang diwajibkan mengganti kepada si berpiutang segala biaya yang berguna dan perlu yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan ini guna keselamatan barang gadainya. Dalam penjelasan pasal diatas menyatakan bahwasannya pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya barang gadai, jika tersebut merupakan kelalaian dari pemegang gadai. Bersamaannya dengan hal tersebut pemegang gadai mempunyai tanggung jawab atas pengamanan dan pemeliharaan terhadap barang jaminan tersebut”.
Barang gadai yang diserahkan ke pegadaian, barang tersebut pasti mendapatkan keamanan yang terjaga hal ini dikarenakan jika suatu saat nasabah tidak bisa untuk melusasi hutangnya maka pihak pegadaian mendapatkan hak untuk barang tersebut di lelang. Pegadaian selain haknya untuk melelang barang, pihak pegadaian juga memiliki tanggung jawab yang cukup besar untuk barang gadai tersebut. Barang jaminan yang berada di pegadaian juga begitu banyaknya. Barang jaminan yang berada di pegadaian memiliki penguasaan langsung dibawah pegadaian, jadi berdasarkan asas pegadaian haruslah menjaga pemeliharran serta keamana barang itu sendiri. 15
Apabila terdapat adanya objek gadai yang hilang maupun mengalami kerusakan akibat kelalaian pihak gadai maka telah ditegaskan dalam Pasal 6 Ayat (1) Buku Tata Pekerjaan Pegadaian mengatur.16 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) Aturan Dasar Pegadaian, menjelaskan PT. Pegadaian (Persero) bertanggung jawab atas segala kerusakan atau yang disebabkan oleh kebakaran terhadap barang gadai tersebut, namun selain itu jika barang gadai turun harga yang disebabkan karena barang tersebut tidak dirawat maka pihak pegadaian tidak mempunyai hak untuk menggantinya. Dari hal tersbut telah diatur juga terhadap besar ganti rugi yang di berikan pegadaian terhadap barang jaminan yang dimana ganti rugi tersebut hanya sebesar 125% yang telah tercantum dalam Pasal 13 ayat (3) Aturan Dasar Pegadaian Jo Pasal 6 ayat (4) Buku Tata Pekerjaan Pegadaian.17
Resiko adanya objek gadai yang rusak ataupun musnah sudah disadari oleh pihak penerima gadai yang dimana menjadi keharusan dari pihak pegadaian untuk mengganti kerugian terhadap barang gadai itu sendiri. Maka dari itu untuk mengatasi permasalahan tersebut pihak pegadaian melakukan 2 (dua) cara
penyelesaian yang dimana penyelesaian itu melalui pengadilan dan diluar pengadilan.
Penyelesian memalui non litigasi telah diatur dalam “pasal 3 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 mengenai Kekuasaan Kehakiman dapat diketahui bagi masyarakat tidak terdapat keharusan untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, tetapi para pihak dapat memilih menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan cara perdamaian atau arbitrase. Pengertian arbitrase itu senidir diatur pada Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 18 Mengacu pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU ini menjelaskan mengenai bentuk dan mekanisme hukum terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau pendapat ahli.”
Penyelesaian permasalahan melalui cara non litigasi dilakukan apabila terjadi musnahnya atau rusaknya barang gadai yang disebabkan oleh pihak penerima gadai. Penyelesaian melalui cara non litigasi lebih bertujuan menyelesaiakan dengan cara kekeluargaan yang dilakukan oleh pihak gadai dan nasabah melalui bertemu secara langsung antara dua belah pihak yang bersengketa. Adapun keuntungan yang didapat antara dua belah pihak diantaranya bagi pihak pegadaian yang bisa menyelesaikan tuntutan dari nasabah, yang dimana pihak nasabah akan merasa puas dan menemukan titik solusi dengan penyelesian secara kekeluargaan. Dengan demikian pihak nasabah bisa mendapatkan kesempatan untuk melakukan musyawarah serta dapat ikut serta dalam membicarakan besar ganti ruginya. Selain itu pihak pengadilan tetap mendapatkan citra nama yang baik di masyarakat dikarena pihak pengadilan mempunya itikad untuk mengganti kerugian terhadap barang gadai yang hilang ataupun rusak.19
Sedangkan melalui cara Litigasi yang dengan car ini dua belah pihak tidak dapat menyelesaikan dengan cara kekeluargaan atau damai yang dimana akan diselesaikan melalui pengadilan yang telah tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999 megenai Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Penyelesaian masalah melalui cara Litigasi haruslah dengan formal sesuai dengan hukum acara yang berlaku, yang dimana para pihak dihadapkan dengan saling memberikan argumennya, menunjukan barang bukti, biasanya pihak ketiga dalam penyelesian ini tidak bisa di tunjuk antara para pihak, pihak ketiga itu senidiri yaitu (Hakim) yang dimana pihak ketiga ini mempunyai keahliannya dalam mengadili serta hakim memiliki sifat yang terbuka dan tidak dapat memihak salah satu pihak, serta hakim bersifat transparan, setiap putusan
hakim didukung dengan adanya pandangan serta pertimbangan dengan putusan hakim terdahulu.20
Melakukan penyelesaian melalui pengadilan belumlah pernah terjadi dikarenakan menyelesaikan masalah melalui cara ini tidaklah mudah dilakukan yang dimana penyelasaian ini memerlukan waktu yang lama serta biayanya yang cukup besar yang menjadikan nasabah kecil atau usaha mikro dapat melakukannya.21
Biasanya menyelesaikan spermasalah melalui pihak ketiga atau melalui pengadilan dilakukan jika tidak adanya suatu titik terang yang di temukan antara dua belah pihak dalam melalui perdamaian. Tetapi sebisa mungkin penyelesaian melalui pengadilan dihindari, dikarenakan penyelesian melalui pengadilan memerlukan waktu yang lama serta bisa memberikan dampak yang tidak diinginkan oleh pegadaian itu sendiri yang mengakibatkan masyarakat mengalamu ketakutan dan hilangnya kepercayaan terhadap pegadaian, karena penilaian terhadap penyelesaian permasalahan melalui peradilan merupakan suatu aib terhadap nama baik mereka, anggapannya barang siapa yang pernah mengalami permasalahan dan menyelesaikannya di peradilan merupakan suatu Tindakan criminal yang di lakukan dama masyarkat. Maka dari itu dalam menyelesaikan permasalahan hilang atau rusaknya barang gadai dilakukan dengan cara Non Litigasi atau dengan cara perdamaian.
Perlindungan hukum atas hilangnya objek gadai pada pemegang objek gadai yaitu kreditur yang disebabkan oleh suatu keadaan diluar kemampuan pihak kreditur atau keadaan memaksa (force majeure) maka buku III BW mengaturnya secara fragmentaris (tersebar) dalam beberapa pasal yaitu bagian IV tentang penggantian biaya, rugi dan bunga karna tidak dipenuhinya suatu perikatan (Pasal 1244-1245 BW) dan bagian VII tentang musnahnya barang yang terhutang (Pasal 1444-1445 BW). Dalam perjanjian gadai apabila terjadi kerusakan ataupun hilangnya objek gadai karena kelalain pihak kreditur maka Pasal 1157 KUHPerdata dapat menjadi dasar hukum dalam menangani keadaan tersebut. Namun apabila diketahui keadaan tersebut terjadi akibat adanya keadaan memaksa atau force majeure, pihak penerima gadai tidak dapat ditutut ganti rugi terhadap hilang atau musnahnya objek gadai tersebut.
Upaya hukum terhadap hilangnya objek gadai atau barang jaminan dapat dilakukan melalui cara penyelesaian alternative secara litigasi dan non litigasi yaitu dengan lembagai penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati antara kedua belah pihak yang penyelesaian hal tersebut melalui 2 (dua) cara, daiantaranya Litigasi dan Non – Litigasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
M. Solikhul Hadi. 2013. Pegadaian Syari’ah, salemba daniyah, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2014. Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Rachmadi Usman. 2014. Hukum Jaminan keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta.
Jurnal
Ayu Dwi Lestari, Pande Made; Tjatrayasa, I Made. Hak Kreditur Atas penjualan Barang Gadai. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 4.1. (2015)
Bromm, Jezias Dhioka; Adiwati; Marwanto. Tanggung Jawab Penaksir Akibat Salah Taksir Objek Gadai Dalam Pemberian Kredit di PT. Pegadaian (Persero) Denpasar. Kertha Wiccara: Journal Ilmu Hukum 2.8 (2014).
Dermawan, I Gede Hari; Marwanto. Upaya Hukum Yang Dilakukan Kreditur Atas Hilangnya Benda Jaminan Fidusial Dalam {erjanjian Kredit Pada PT. BPR SADHU. Kertha Semaya:Journal Ilmu Hukum. (2018)
Febriani, Yustika Amalia. Tanggung Jawab Kreditor Atas Hilangnya Barang Gadai. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum 2.6 (2014)
Gusti Pati Runtung, Mauritius; Parwata; I Gusti Ngurah. Kedudukan Hk Retensi Benda Gadai Oleh PT. Pegadaian Dalam Hal Debitur Wanprestasi. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum. (2013)
Hermawan Cavalera, Arick; Surya Dharma Jaya, Ida Bagus; Dedy Priyanto, I Made. Implementasi Penguasaan Obyek Gadai (Motor) Di Lembaga Pegadaian Denpasar. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum. (2019)
Lingga Mahasaskara Suarta, Putu; Marwanto; Sri Indrawati, Anak Agung. Pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/Pojk.05/2016 Terhadap Kerusakan Barang Jaminan Debitur Yang Dikuasai Oleh Koperasi Karisma Perkasa Kabupaten Klungkung. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum. (2018)
Mirah Kartini Irawan, Anak Agung Ayu; Parikesit Widiatedja, Ign. Perlindungan Hukum Dalam Sistem Perdagangan Tanpa Warkat Terhadap Pihak Penerima Gadai. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 4.3 (2016)
Nesa, I Made Adi Suka Arta. Era New Normal: Perjanjian Gadai Mobil Secara Lisan Di Denpasar. Kertha Desa : Journal Ilmu Hukum 8.12. (2020)
Parwata, I Putu Gede; Nurmawati, Made. Akibat Hukum Perjanjian Gadai Yang Dilakukan Dengan Jaminan Barang Bergerak Bukan Hak Milik Debitur. Kertha Wicara: Jurnal Ilmu Hukum, 8.3 (2019).
Ryo Agus, S. E. T. I. A. W. A. N. Perlindungan Hukum Pemberi Gadai Terhadap Kerusakan Atau Kehilangan Barang Objek Gadai Yang Disebabkan Karena Force Majeure. Diss. Universitas Diponegoro, (2015).
Santi, Ni Putu Via Nita Ika; Priyanto, I Made Dendy. Deposito Berjangka Sebagai Jaminan Gadai Pada Bank Dalam Perjanjian Kredit. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2018).
Siallagan, Haposan. “Penerapan prinsip negara hukum di Indonesia.” Sosiohumaniora 18.2 (2016).
Suputra, Komang Indra; Kasih, Desak Putu Dewi; Purwanti, Ni Putu. Pelaksanaan Penjaminan Gadai Atas Deposito Berjangka Dalam Perjanjian Kredit Pada Pt. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Singaraja. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum. 4.2. (2018)
Peraturan Perundang – Undangan
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Kuhperdata)
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 6 Tahun 2023 hlm 695-706
706
Discussion and feedback