INSTRUMEN PENDAMPINGAN HUKUM

TERDAHAP SAKSI PADA TAHAP PENYIDIKAN:
AFIRMASI PRINSIP DUE PROCESS MODEL

Kevin Yobelyno Budiono, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gede Artha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kajian ini memiliki tujuan untuk meneliti urgensi instrumen pendampingan hukum terhadap saksi sebagai calon tersangka pada tahap penyidikan. Fokus dari tujuan studi ini ialah untuk menggali pengetahuan atas sejauh mana instrumen hukum di Indonesia dapat mengakomodir kepastian hukum dalam hal pendampingan saksi pada tahap penyidikan berkenaan dengan due process model. Kemudian juga untuk mengetahui kondisi penegakan hukum atas konsekuensi ketika instrumen pendampingan hukum tidak diberikan kepada saksi pada tahap penyidikan dari perspektif HAM. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan penggunaan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil studi menunjukkan bahwa ketentuan yang tegas dan terang mengatur tentang hak seorang saksi (calon tersangka) untuk mendapatkan pendampingan hukum pada pemeriksaan tahap penyidikan tidak termuat dalam KUHAP, padahal telah diatur dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a PerKapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia. Dari perspektif hak asasi manusia, kekosongan norma terkait hal tersebut menyebabkan konsekuensi dalam proses penegakan hukum akan rawan terjadi penyelewengan prosedur penyidik kepada subjek yang “awam” hukum dalam pemeriksaan tahap penyidikan. Pada dasarnya pendampingan hukum terhadap saksi pada proses pemeriksaan tahap penyidikan relevan dilakukan, sebab hal tersebut sejalan dengan komitmen negara Indonesia dalam UUD 1945 untuk berupaya melakukan perlindungan dan penegakan HAM secara kompleks.

Kata Kunci: Pendampingan Hukum, Due Process Model, Calon Tersangka,

ABSTRACT

This study aims to examine the urgency of legal assistance instruments for witnesses as potential suspects at the investigation stage. The focus of this study is to determine the extent to which legal instruments in Indonesia can accommodate legal certainty in terms of assisting witnesses at the investigation stage regarding the due process model. Then also to find out the condition of law enforcement on the consequences when legal assistance instruments are not given to witnesses at the investigation stage from a human rights perspective. This study uses a normative legal research method with the approaches used are the statutory approach and the conceptual approach. The results of the study show that strict and clear provisions governing the right of a witness (prospective suspect) to obtain legal assistance at the examination stage of the investigation are not contained in the Criminal Procedure Code, even though it has been regulated in Article 27 paragraph (1) letter a of the National Police Chief Regulation Number 8 of 2009 concerning Implementation of Human Rights Principles and Standards. From the perspective of human rights, the void of norms related to this causes the consequences in the law enforcement process to be prone to deviations from the investigator's procedure for subjects who are "lay" in the investigation stage. Basically, legal assistance to witnesses during the examination process at the relevant investigation stage is carried out, because this is in line with the commitment of the Indonesian state in the 1945 Constitution to strive to protect and enforce human rights in a complex manner.

Keywords: Legal Assistance, Due Process Model, Prospective Suspects

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Indonesia terasosiasi secara definitif sebagai negara hukum yang mendasarkan kehidupan berbangsa dan bernegaranya pada Pancasila. Selain itu, Pancasila juga berposisi sebagai pandangan hidup dan falsafah bangsa (philosopische groundslag) bangsa yang menjiwai segala perikehidupan masyarakat Indonesia. UUD 1945 bertindak sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada kondisi tersebut Pancasila ada pada posisi yang lebih tinggi dari konstitusi negara, yaitu yang berfungsi sebagai kaidah pokok negara (staat fundamental norm). Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pancasila berposisi sebagai sumber utama dari segala sumber hukum, kemudian menjiwai semua lini kehidupan Bangsa Indonesia. Nilai- nilai yang terkandung didalamnya diilhami sebagai norma yang mengikat secara moral kebangsaan, yang salah satunya merupakan nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan kemudian dimanifestasikan dengan pengakuan negara terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut ditandai lewat kelahiran UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau acapkali dikenal dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), KUHAP “seolah-olah” sedang ada pada puncak jaya-nya dengan kondisi disematkannya suatu aspek fundamental yang “agung”.1 Ke-agungan itu merujuk kepada pengakuan atas aspek HAM pada prosedural pidana sebagai suatu logical consequences dari asas negara hukum dengan corak demokrasi yang mendasarkan kehidupan bangsanya pada amanat Konstitusi. Pada prinsipnya Negara Kesatuan Republik Indonesia memberikan pengakuan atas hak-hak individu sebagai pribadi yang merdeka namun terukur dalam batas-batas tertentu.

Seyogyanya segala bentuk pengamalan atas HAM dalam tataran penegakan keadilan tak dapat sekalipun ditinggalkan oleh tiap-tiap warga negara, setiap aparatur ke-negara-an, dan setiap masyarakat Indonesia. Tanggung jawab atas penegakan HAM juga terkoneksi dalam konteks perlindungan hukum atas warga negara, suatu pengakuan oleh negara atas HAM akan berimplikasi pada bentuk perlindungan akan kepastian sebab dan manfaat atas penegakan HAM itu sendiri. Oleh karenanya UUD 1945 telah mengilhami untuk mengakui dan melindungi eksistensi HAM tersebut. Setelah mengalami beberapa amanden, UUD 1945 terbukti sudah mampu mengakomodir persoalan HAM secara optimal. Bahkan akan terbilang lebih optimal daripada intrumen yang terletak dalam konstitusi sebelumnya.2 Dengan begitu, seyogyanya posisi UUD 1945 sudah cukup kokoh untuk menegakkan keadilan dalam konteks perlindungan HAM. Keadilan yang substantif ibaratkan ranting ujung yang memerlukan pokok batang, dalam hal ini peranan segala pihak yang bersinggungan langsung dengan proses perwujudan keadilan dirasa akan menjadi pokok batang yang sangat menentukan terakomodirnya keadilan sosial untuk masyarakat dalam skala nasional. Sebagai negara hukum yang mengakui hak-hak individu, Indonesia secara logis dirasa perlu untuk menunjukkan konsentrasinya, tidak hanya dalam menegakkan keadilan dan kebermanfaatan, namun juga mewujudkan kepastian hukum dalam setiap proses yang bergerak di dalam sistem hukum itu sendiri.

Berkaitan dengan keadilan yang relevan dengan semangat pengakuan HAM dan cita-cita Bangsa Indonesia. Indonesia sebagai negara hukum, harus mampu menciptakan situasi penegakan hukum yang kondusif. Hinga saat ini, proses peradilan dianggap tidak dapat sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai keadilan intrinsik. Due Process of Law yang merujuk pada pengertian peradilan yang berjalan adil merupakan cita-cita yang sangat diharapkan oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia, namun dalam pelaksanaannya belum dapat diperoleh oleh pencari keadilan (justisiabellen) manapun.3 Dapat diketahui bahwa sistem penegakan hukum di Indonesia dilaksanakan saling berkaitan satu sama lain. Pada alur proses penegakan hukum, setiap subjek didalamnya memiliki kewajiban dan hak yang harus pula dipenuhi dan dijamin oleh negara. Tidak terkecuali hak dari seseorang yang sedang dalam proses hukum, bahkan sedari proses dalam tahap pra-ajudikasi. Salah satu hal dalam upaya melindungi harkat-martabat manusia terimplementasi lewat jaminan atas terpenuhinya hak tersangka pidana, sehingga peranan penegak hukum terhadap upaya perlindungan hak tersangka tersebut, juga merupakan salah satu bentuk jaminan pemenuhan atas HAM.

Perlindungan hak atas subjek-subjek yang yang sedang berurusan dalam proses penyidikan telah diakomodasi didalam KUHAP, seperti hak tersangka serta terdakwa (Pasal 50-68 KUHAP). KUHAP pada prinsipnya memberikan kesempatan pada penasahet hukum untuk melakukan pendampingan terhadap tesangka secara limitatif dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan berhak untuk hadir dan mendengarkan dalam proses pemeriksaan, ketentuan Pasal 54 KUHAP mengilhami hal tersebut dilakukan. Namun hal yang berbeda terletak pada hak seorang saksi dalam proses pemeriksaan tahap penyidikan (pra-ajudikasi), seorang dengan status saksi dalam tahap ini tidak memiliki hak yang sama seperti tersangka dalam hal pendampingan hukum, karena didalam KUHAP pendampingan hukum terhadap saksi pada tahap pemeriksaan di penyidikan tidak diatur secara tegas.

Persoalan kekosongan hukum atas hak pendampingan hukum terhadap saksi ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Pada tahap penyidikan, pada Pasal 6 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, disamping terdapat Aparatur Sipil Negara (atas instruksi UU), institusi kepolisian memegang peranan mayor dalam hal melakukan penyidikan tindak pidana. Pemahaman atas konsep dan mekanisme hukum dalam tahap penyidikan merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh instansi kepolisian terkait, tanpa pemahaman atas konsep tersebut akan mengakibatkan pemahaman konsep logika yang salah/logical fallacy yang akan menghilir pada penegakan hukum yang serampangan (Ex Falso Quo Libet).4 Di lapangan tak jarang ditemukan prosedur penyidikan (diskresi) dilakukan dalam rangka “melancarkan” proses penetapan tersangka jikalau minimal 2 alat bukti belum “terang”, atau berkenaan dengan suatu dan lain hal, maka menjadikan seseorang berstatus saksi menjadi prosedur yang seringkali digunakan penyidik dalam proses penyidikan (pra-ajudikasi). Di dalam pertimbangan hukumnya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, dikenal konsep calon tersangka, yaitu saksi yang berpotensi menjadi tersangka. Oleh karena itu, potensi perubahan status saksi menjadi tersangka adalah

sebuah hal yang sangat memungkinkan terjadi, artinya seorang saksi terdefinisi pula sebagai calon tersangka. Atas dasar hal tersebut pula maka hak seorang saksi dalam proses penyidikan harus menjadi fokus krusial.

Pelaksanaan peradilan pidana dikatakan merupakan sebuah kebijakan per-lindung-an masyarakat atau social defense police.5 Artinya penegakan hukum tersebut memiliki spirit perlindungan secara kompleks, termasuk hak-hak atas individu. Di Indonesia sendiri, criminal justice system atau sistem peradilan pidana menempati peranan penting yaitu berfungsi sebagai “gardan” penggerak penegakan hukum pidana di Indonesia secara sistematis dan terukur. Secara konseptual, Indonesia memiliki sistem peradilan pidana menganut due process model, yang secara mendasar sistem ini mengilhami terwujudnya proses hukum yang adil. Model ini menghendaki bahwa proses pidana harus dikendalikan/ diawasi oleh HAM, serta tidak melakukan penekanan pada efisiensi belaka, melainkan terkonsentrasi pada prosedur penyelesaian perkara yang sesuai.6 Hal ini menerangkan bahwa sebenarnya, model sistem peradilan pidana yang dianut Indonesia sendiri sangat menjunjung tinggi HAM dan kepastian hukum dalam upaya penegakannya. Keadaan yang dialami seorang saksi (calon tersangka) yang dengan kondisi hak atas pendampingan hukumnya pada proses penyidikan tidak diatur dalam strata hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Undang-Undang). Sejalan dengan pembicaraan mengenai due process model yang dijalankan di Indonesia, maka pendampingan hukum terhadap saksi (calon tersangka) pada tahap penyidikan merupakan suatu prosedur yang patut menjadi konsen kita semua.

Dalam rangka menjaga orisinalitas sebuah penelitian yang dilakukan, maka pada segmen ini penulis mengemukakan state of art. Penelitian ini dilakukan dalam rangka pengembangan ruang lingkup penelitian, namun dengan pembahasan yang lebih general dan konseptual. Sebuah penelitian yang berjudul “Aspek Kepastian Hukum terhadap Pendampingan Penasehat Hukum kepada Saksi dalam Pemeriksaan Tahap Penyidikan” yang ditulis oleh Reza Maruffi pada tahun 2021, memiliki kesamaan pokok bahasan yaitu terkait pendampingan hukum terhadap saksi, namun pada penelitian ini penulis akan terkonsentrasi menekankan pada urgensi adanya pendampingan terhadap saksi (calon tersangka) pada tahap penyidikan berkenaan dengan sentimen afirmatif kepada due process model sebagai sistem model yang diilhami pada sistem peradilan pidana Indonesia (meskipun belum murni sepenuhnya). Atas dasar tersebut, kemudian penulis berkerinduan untuk mengangkat persoalan tersebut pada sebuah bentuk jurnal penelitian yang berjudul “Instrumen Pendampingan Hukum terhadap Saksi pada Tahap Penyidikan: Afirmisi Prinsip Due Process Model”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yag telah disampaikan, kemudian pembahasanan dalam tulisan ini akan ditilik melalui rumusan masalah yang meliputi:

  • 1.    Bagaimana pengaturan norma hukum terkait pendampingan hukum terhadap saksi pada tahap penyidikan dan berkenaan dengan prinsip due process model?

  • 2.    Bagaimanakah pelaksanaan penegakan hukum atas konsekuensi saksi yang tidak mendapat pendampingan hukum pada tahap penyidikan ditelaah dari perspektif HAM?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Pada dasarnya penelitian jurnal ini bertujuan untuk mengkaji beberapa hal yang substansial terkait rumusan masalah diatas yang terkonsentrasi pada tujuan:

  • 1.    Mengetahui sejauh mana instrumen hukum di Indonesia dapat mengakomodir kepastian hukum dalam hal pendampingan saksi pada tahap penyidikan berkenaan dengan prinsip due process model.

  • 2.    Mengetahui pelaksanaan penegakan hukum atas konsekuensi ketika instrumen pendampingan hukum tidak diberikan kepada saksi pada tahap penyidikan dari perspektif HAM.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang diterapkan merupakan hukum normatif (penelitian terhadap kaidah). Penelitian ini secara khusus terkonsentrasi pada kekosongan norma (leemten van normen) dalam instrumen pendampingan hukum terhadap saksi pada tahap penyidikan. Penulis menemukan kekosongan hukum yang berpotensi menyebabkan persoalan praktis dalam penegakan hukum pidana (aspek kepastian dan penegakan HAM), yang kemudian atas dasar hal tersebut akan dirasa perlu menghadirkan wacana untuk menyusun penormaan konkrit dalam strata perundang-undangan sebagai suatu ius constiteundum/hukum yang tercita-citakan pada masa mendatang.7 Pendekatan yang diterapkan ialah pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang menggunakan bahan: UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, beberapa Putusan MK; dan juga menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) yang mana penulis memberikan sudut pandang secara interpretative-argumentative. Sedangkan metode analitis pada penelitian ini dilakukan dengan descriptive techniques secara sistematis yang kemudian akan menerangkan hubungan permasalahan yang diangkat berkaitan dengan due process model dalam ekosistem hukum pidana di Indonesia.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Hukum atas Perlindungan Hak atas Pendampingan Hukum terhadap Saksi pada Tahap Penyidikan di Indonesia, Berkenaan dengan Due Process Model

Pada prinsipnya, Hukum Acara Pidana melandaskan asas legalitas (the principle of legality), sama seperti hukum pidana materiil. Ketentuan yang merupakan penegasan asas legalitas pada hukum acara pidana diatur dalam ketentuan Pasal 3 KUHAP yang berbunyi “peradilan di-laku-kan menurut cara yang di-atur dalam undang-undang ini”. Diilhaminya tersebut mengandung konsekuensi bahwa ketentuan yang sifatnya formil kompetensinya tak boleh didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang stratanya ada dibawah undang-undang. Artinya, KUHAP itu sendiri selayaknya mampu mengandung kompleksitas ketentuan yang mengatur prosedur acara pidana, tanpa topangan ketentuan lain. Namun kenyataanya, sejumlah

komponen dalam hukum formil pada nyatanya justru diakomodir pengaturannya pada instrumen perundang-undangan yang stratanya ada dibawah undang-undang. Kemudian ditegaskan oleh pendapat Andi Hamzah, bahwa pada dasarnya Principle of Legality yang terasosiasi pada KUHAP merupakan tata cara atau proses yang seyogyanya dilakukan dengan mendasarkan prinsipnya pada ketentuan Undang-undang, bukan mendasarkan pada ketentuan di bawah Undang-undang.8

Dalam konteks pembahasan mengenai hak seorang saksi untuk mendapatkan pendampingan hukum dalam proses pemeriksaan tahap penyidikan (pra-ajudikasi), KUHAP hanya memuat hak pendampingan hukum atas tersangka (Pasal 52 KUHAP), dan tidak memuat ketentuan hak pendampingan hukum atas saksi. Perlindungan atas hak-hak saksi yang termaktub dalam KUHAP hanya terbatas perlindungan hak dalam proses sidang di pengadilan (proses ajudikasi). Beberapa perlindungan hak dalam proses pra-ajudikasi memang tersedia, namun secara spesifik belum memberikan hak pendampingan hukum terhadapnya. Hal tersebut dapat kemukakan secara singkat sebagai berikut:

Tabel 1. Hak-hak Saksi dalam KUHAP

Pasal 112 ayat (1)

Pasal 113

Pasal 117 ayat (1)

Pasal 118

Saksi      berhak

mendapat pemangilan   oleh

penyidik  dengan

surat pemanggilan sah disertai alasan atas  pemanggilan

tersebut.

Saksi        berhak

mendapatkan pemeriksaan     di

tempat kediamannya,   jika

didapati alasan yang wajar   dan  patut

untuk tidak dapat datang ke penyidik.

Saksi       berhak

mendapatkan kondisi       tanpa

pressure dari pihak

dan/atau   bentuk

apapun       saat

memberikan keterangannya.

Saksi        berhak

melakukan penolakan   dalam

menandatangani berita  acara  yang

memuat keterangannya dengan      disertai

alasan kuat.

Pasal 166

Pasal 177 ayat (1)

Pasal 178 ayat (1)

Pasal 229 ayat (1)

Saksi      berhak

mendapatkan pertanyaan   oleh

penuntut  umum

dan     penasehat

hukum yang tidak bersifat menjerat.

Saksi        berhak

mendapatkan penerjemah (translator) jika saksi tidak paham/ tidak mampu (not capable) Bahasa Indonesia.

Saksi       berhak

mendapatkan penerjemah (translator) jika saksi dalam keadaan tuna rugu, tuna wicara, tidak dapat menulis.

Saksi        berhak

mendapatkan kompensasi    atas

biaya    digunakan

untuk  datang  ke

persidangan  untuk

memberikan kesaksian.

Sumber: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (diolah penulis).

Pada dasarnya prinsip legalitas (principle of legality) menyediakan perlindungan terhadap masyarakat dan bertindak sebagai batas (boundaries) antara sifat lemah masyarakat dengan kekuatan tak terbatas dari kekuasaan pemerintah atau negara.9 Jika mendasarkan argumentasi pada asas legalitas yang hidup dalam hukum pidana, maka dapat disimpulkan secara tekstual KUHAP tidak memberikan hak pendampingan hukum terhadap saksi/ calon tersangka pada tahap pra-ajudikasi (penyidikan). Namun disisi lain, instrumen aturan lain yang memiliki hierarki dibawah undang-undang ternyata telah mengatur tentang hak tersebut secara mengkhusus pada

Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009, dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a tegas menyatakan bahwa “setiap petugas yang melakukan tindakan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau ter-periksa wajib: a. memberikan kesempatan terhadap saksi, tersangka atau ter-periksa untuk menghubungi dan didampingi pengacara sebelum pemeriksaan dimulai.” Dapat dilihat bahwa dalam hal ini, aparatur kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyelidik dan penyidik untuk seluruh perkara pidana (Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian) memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesempatan pada saksi untuk mendapatkan pendampingan hukum sebelum dimulainya proses pemeriksaan tahap penyidikan tersebut.

Ketika mengarah pada pembicaraan mengenai penetapan tersangka, dalam proses penyidikan pada prosedur hukum acara pidana adalah bagian paling akhir dalam proses tersebut. Agar sampai pada titik keyakinan bahwa seseorang bisa ditetapkan statusnya sebagai tersangka, seorang penyidik seyogyanya melaksanakan pemeriksaan terhadap alat bukti, seperti: surat/dokumen, keterangan saksi, keterangan ahli, serta bukti lainnya (Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981). Kemudian, berpegang atas dalil pada Pasal 183 KUHAP, secara materiil kita tidak akan menemukan prosedur pemeriksaan calon tersangka (saksi). Secara materiil, istilah ini juga tidak akan dapat ditemukan dalam KUHAP atau produk perundang-undangan lainnya. Ketika telah didapati dua alat bukti (minim) atau juga bukti permulaan cukup, seseorang akan sudah dapat di-tetap-kan sebagai tersangka (sebelum ditafsirkan pula secara limitatif oleh MK lewat putusannya). Artinya dalam beberapa kondisi dalam proses penyidikan, seorang saksi/ calon tersangka memiliki potensi kondisi yang sama dengan seorang tersangka yang seharusnya dilindungi hak-haknya berupa pendampingan hukum yang layak (properly).

Dalam konteks keadilan hukum, upaya untuk membatasi hak warga negara, menurut Mardjono, akan hanya dibolehkan jika di-benar-kan melaui due process of law oleh hukum itu sendiri.10 Pada dasarnya, unsur paling minim dari sebuah proses hukum yang adil ialah menghimpun keterangan dari tersangka dan terdakwa; adanya pendamping hukum; proses peradilan yang tidak memihak serta adil. Secara prinsip Due Process of Law sendiri merujuk pada suatu proses hukum yang berkeadilan, terasosiasi sebagai prinsip Hukum Acara Pidana di Indonesia.11 Walaupun belum murni dalam pelaksanaannya, namun prinsip due process of law yang merupakan embrio dari due process model seharusnya menjadi pedoman pelaksanaan prosedur penegakan hukum sedini mungkin (termasuk mulai dari tahap pra-ajudikasi).

Adanya perimbangan antara polisi dan jaksa dengan hak-hak tersangka memperlihatkan bahwa pada kondisi ini KUHAP mengilhami acusatoir principle yang memiliki kandungan arti bahwa seorang ter-sangka akan diperlakukan bukan sebagai objek, namun sebagai subjek yang memiliki hak. Pada Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, MK sudah mempertimbangkan bahwa “menyertakan pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di atas, adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan

minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik.”12 Penafsiran terhadap teks konstitusi dimungkinkan dilakukan oleh kelembagaan peradilan dan kelembagaan pembentuk undang-undang. Seyogyanya parlemen dan pemerintah dapat memberikan tafsiran terhadap undang-undangan agar peraturan tersebut dapat dijalankan, disisi lain kemudian kelembagaan peradilan dapat pula melakukan tafsiran terhadap suatu undang-undang untuk kemudian di-uji sah tidak-nya penormaan dalam suatu undang-undang.13

Sedangkan pada Putusan MK No. 21/PUUXII/2014, istilah calon tersangka mecuat untuk pertama kalinya. Dengan metode penafsiran gramatikal dapat diketahui bahwa frasa calon tersangka merujuk pada seorang saksi yang dalam proses pemeriksaan penyidikan berpotensi untuk berubah/ naik status menjadi tersangka. Artinya seorang saksi dalam kasus tertentu dapat dikategorikan pula sebagai calon tersangka. Dalam hal ini, tentu saja tidak semua hak tersangka dapat dipersamakan dengan hak calon tersangka, karena memang keduanya memiliki perbedaan keadaan dan kondisi di muka hukum. Namun yang menjadi penting adalah hak untuk mendapat pendampingan hukum bagi saksi/ calon tersangka. Upaya perlindungan atas hak ini menjadi hal yang patut diperhatikan, karena berkaitan dengan kondisi mental dan psikis mereka selama proses berjalan seyogyanya tidak jauh berbeda dengan yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ditambah lagi dalam praktiknya, proses penyidikan merupakan ruang-ruang tertutup dan memungkinkan adanya upaya diluar prosedur undang-undang yang dilakukan penyidik, seperti: tekanan, intimidasi fisik atau pemaksaan dalam hal pengakuan perbuatan.

Jika dilakukan perbandingan, dunia hukum pidana di Indonesia telah lama mengadopsi prinsip Miranda Rule. Prinsip ini mengandung hak seorang tersangka sebelum dilakukan pemeriksaan oleh penyidik atau instansi berwenang lainnya. Prinsip yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 1966 ini diadopsi pada Bab VI, UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.14 Secara mendasar, prinsip ini memberikan ketentuan berupa hak seorang ter-sangka guna mendapat pendampingan hukum, dan juga kewajiban penegak hukum untuk memberikan informasi dan kesempatan pada seorang tersangka untuk melaksanakan haknya (mendapatkan pendampingan hukum). Sejatinya Miranda rule secara kompleks sangat melekat pada subjek seorang tersangka, yang pada intinya memberikan hak atas pendampingan hukum yang pada kondisi tertentu juga memunculkan kewajiban negara untuk menghadirkan pendamping hukum, maka secara parsial nilai dalam prinsip ini memiliki kecenderungan membawa kebermanfaatan hukum bagi pelaksanaan hukum acara pidana, sekaligus upaya penegakan HAM (jika dimaknai hal pendampingan hukum juga merupakan hak seorang saksi sebagai calon tersangka mulai pada tahap penyidikan).

Dalam hal berjalannya prosedur penyidikan akan terjadi komunikasi yang tertendensi mempergunakan logika monolog-instrumentalis. Artinya, seseorang yang menempuh proses tersebut, akan secara sengaja diposisikan sebagai subjek yang di-reivikasi melalui proses tersebut, akibatnya proses penyidikan tersebut akan terdefinisi

sebagai proses pengumpulan bahan keterangan semata. Sehingga di lapangan, proses yang terjadi antara penyidik dengan terperiksa tendensinya adalah untuk melakukan bentuk konfirmatif terhadap pra- anggapan yang telah ada pada bahan penyidik.15 Sejalan dengan hal tersebut, posisi saksi sebagai calon tersangka yang tanpa hak atas pendampingan hukum, akan sangat dapat tereksploitasi keterangannya untuk menopang keinginan penyidik dalam proses tersebut. Sebab hal pendampingan hukum sesungguhnya merupakan suatu instrumen penegakan HAM yang walaupun pendampingan tersebut dilakukan secara pasif, namun dapat setidaknya meminimalisir penyelewengan prosedur penyidik pada subjek yang “awam” hukum dalam pemeriksaan tahap penyidikan. Berkaitan dengan urgensi pendampingan hukum terhadap saksi/ calon tersangka, praktik yang tidak sesuai dengan semangat penegakan hukum sekaligus HAM akan dengan mudah terjadi apabila dalam prosesnya hak pendampingan hukum terhadap seorang saksi/ calon tersangka tidak diatur secara spesifik dalam rumusan norma pada undang-undang.

Seyogyanya ketika negara ada pada suatu kondisi berhadapan dengan seorang yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum, maka negara yang berdasarkan atas hukum harus menempatkan dirinya pada posisi bijaksana, bukan semata-mata penghukum. Sebab sebagai negara hukum suatu keberhasilan penegakan bukan hanya terletak pada terlaksananya suatu instrumen pembalasan (pidana) namun juga pada bagaimana melakukan upaya pemulihan dengan memenuhi rasa keadilan, kepastian dan kebermanfaatan ditengah masyarakat pasca kejahatan/ perbuatan melawan hukum itu terjadi. Dan yang perlu digaris bawahi, hal tersebut tidak terkonsentrasi pada seorang tersangka saja, namun juga sama halnya pada seorang saksi yang berpotensi menjadi tersangka. Maka dari itu, dapat diindikasikan bahwa setiap negara hukum menghilirkan tujuannya menuju penciptaan kondisi sejahtera bagi rakyatnya (common good).16

Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah mengumukakan secara konkrit dalam salah satu putusannya, berupa kewajiban melakukan proses pemeriksaan calon tersangka dalam tahapan pra-ajudikasi yaitu Putusan MK No. 130/PUU XIII/2015, yang pada amar putusannya mengemukakan bahwa penyidik berkewajiban untuk melakukan pemberitahuan serta menyerahkan SPDP (Surat Perintah Di-mulainya Penyidikan) kepada kejaksaan terkait sebagai penuntut umum, pelapor/ korban,dan terlapor dengan tenggang waktu paling lambat 7 (tujuh) hari seusai dikeluarkannya sprindik (Surat Perintah Penyidikan). Dengan adanya putusan tersebut, telah terang-benderang sekiranya bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution menganggap jaminan perlindungan atas HAM dirasa penting untuk diberikan dalam bentuk kesempatan mempersiapkan pembelaan serta melakukan pembelaan sedari seseorang tersebut berstatus saksi (belum ditetapkan statusnya sebagai tersangka).

Berdasarkan pemaparan diatas, pemeriksaan saksi sebelum penetapan tersangka memiliki relevansi kompleks dari berbagai sudut pandang pertimbangan. Dari sudut pandang filosofis, penegakan hukum akan berjalan dengan relevan apabila dalam pelaksanaannya selaras dengan the soul of the nation dan prinsip moralitas yang sifatnya mondial. Lalu ketika berbicara tentang Indonesia, the soul of the nation atau jiwa bangsa

yang diilhami ialah Pancasila,17 dan salah satu silanya ialah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Menurut S. Sunarso, sebutan The Indonesian Bill of Human Right, relevan disematkan pada eksistensi keberadaan Pancasila dan UUD 1945. Adanya muatan yang menjadi cikal bakal penghormatan akan HAM yang terkandung dalam konstitusi sejatinya turut diimplementasikan dalam pelaksanaan model penegakan hukum pidana yang adil (due process model), salah satunya dengan menyediakan hak kepada saksi atas pendampingan hukum pada proses penyidikan. Pemahaman akan HAM dalam perspektif sosiokultural berbangsa dan bernegara akan merujuk pada kesadaran akan pemenuhan HAM harus terimplementasikan dengan syarat pembatasan atas hak-hak asasi manusia lain; keamanan dan ketertiban nasional maupun internasional; nilai-nilai Pancasila; moralitas serta kesejahteraan masyarakat umum.18 Melalui pemberian hak pendampingan hukum kepada seorang saksi/ calon tersangka juga merupakan suatu bentuk kristalisasi dari nilai-nilai jiwa bangsa sekaligus nilai kemanusiaan yang universal.

Dari kacamata perspektif yuridis, suatu sistem hukum akan memiliki landasan yuridis kuat dan dapat berlaku optimal, apabila pengaturan hukumnya mempunyai instrumen aturan hukum secara hierarkis. Secara kontekstual dalam kaitannya dengan pemeriksaan saksi, sumber hukum formil (KUHAP) belum mengatur tentang hak tersebut. Namun sejalan dengan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, meski tidak diputuskan secara konkrit dalam bentuk amar putusan melainkan melahirkan konsep saksi sebagai “calon tersangka” dalam pertimbangannya. Maka seyogyanya secara eksplisit konsepsi “saksi sebagai calon tersangka” harus dinterpretasikan lebih mendalam oleh pembuat undang-undang sehingga penormaannya dalam KUHAP dapat segera direalisasikan. Ketika KUHAP sudah mampu mengakomodir hal tersebut, maka niscaya konsep due process model yang mengandung spirit perlindungan HAM akan semakin utuh diresapi dalam kandung badan sistem peradilan pidana di Indonesia. Dengan begitu pula, segmen peradilan ini akan turut berkontribusi dalam realisasi dan mengafirmasi due process model yang optimal.

  • 3.2    Pelaksanaan Penegakan Hukum atas Konsekuensi Saksi yang Tidak Mendapat Pendampingan Hukum dari Perspektif HAM

Sejak abad ke-19, popularitas frasa “rechtsstaat” atau “negara hukum” dimulai muncul kepermukaan. Sedangkan pada kesempatan lainnya frasa “the rule of law” mulai dikenal bersamaan dengan kemunculan buku dari Abert van Dicey, yaitu “Introduction to the Study of the Constitution” yang diterbitkan pada tahun 1885. Dari sudut pandang dan latar belakang dan sistem hukumnya, terdapat perbedaan antara rechtsstaat dengan the rule of law, namun secara mendasar kedua konsep tersebut menghilir pada suatu “genangan” yang sama, yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Posisi HAM di kedua konsep tersebut ditempatkan pada suatu tempat yang terjaga, sehingga dalam pelaksanaannya negara dengan konsep tersebut selalu hadir untuk melindungi pemenuhan dan perlindungan akan HAM. Meskipun terdapat kesamaan tersebut, keduanya tetap konsisten dengan sistem hukumnya sendiri. Konsep “rechtsstaat” bersifat revolusioner karena kemunculannya ditandai oleh suatu perjuangan menentang paham absolutisme, sedangkan konsep “the rule of law” sifat perkembangannya adalah evolusioner. Konsep “rechtsstaat” bertumpu pada sistem

hukum kontinental yang lebih dikenal dengan civil law atau modern roman law, sedangkan konsep the rule of law pada sistem hukum yang disebut common law. Karakateristik civil law adalah administratief, sedangkan karakteristik common law adalah judicial.19

Bangsa Indonesia yang merdeka sejak 77 tahun silam, yang juga mem-branding dirinya sebagai negara hukum, secara historis telah meletakkan posisinya sebagai negara yang menghormati, mengakui, dan melindungan HAM. Hal tersebut nampak dalam pembukaan UUD NRI 1945, alinea ke-4 yang berbunyi “..Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemer- dekaan kebangsaan itu...”.20 Kalimat tersebut secara eksplisit dapat dimaknai sebagai komitmen negara Indonesia dalam upaya sekuritas dalam penegakan HAM secara mendasar. Kemudian komitmen tersebut diejawantahkan dalam batang tubuh UUD 1945 yang mengakomodir upaya perlindungan HAM melalui Bab X (Pasal 28A hingga Pasal 28J). Tidak berhenti sampai disana, komitmen tersebut ditegaskan melalui lahirnya: Keppres No. 50 Tahun 1993 yang berisi tentang Pembentukan Komnas HAM, TAP. MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan seterusnya.

Sejalan dengan pengakuan dan perlindungan HAM di Indonesia, peradilan hukum pidana yang merupakan konsekuensi otomatis sebagai negara hukum atau rechtsstaat yang dinyatakan pada Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945. Hal tersebut dikarenakan implementasi mendasar negara hukum ialah peradilan, dalam kaitan ini adalah peradilan pidana. Dewasa ini muncul berbagai sentimen negatif dari masyarakat dalam menyoroti proses pelaksanaan penegakan hukum berkaitan dengan criminal justice system. Sejumlah sentimen negatif tersebut, meliputi: peradilan yang tak jarang mmbutuhkan waktu relatif panjang, proeses yang cenderung rumit, biaya terkait yang tinggi, dan seringkali dianggap belum dapat memenuhi rasa adil dalam kacamata masyarakat luas. Rasa keadilan pada dasarnya akan sangat sukar untuk diwujudkan, karena secara konseptual keadilan wujudnya kabur (depends on subjectivity of justice), artinya keadilan absolut sangat jauh dari jamahan output peradilan. Namun dengan menggandeng upaya perlindungan HAM, suatu sistem peradilan pidana akan menghilir kepada cita-cita due process of law itu sendiri. Sedangkan seyogyanya menurut Sudikno Mertokusumo, dalam proses penegakan hukum ada tiga unsur yang patut menjadi perhatian, yang meliputi keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (reachts-sichherheit), dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).21 Merujuk pada pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap saksi sebagai calon tersangka dalam tahap penyidikan, tentu merupakan salah satu upaya mewujudkan adil itu sendiri.

Oleh karena itu kehadiran pendamping hukum dalam tahap penyidikan secara mendasar ditujukan untuk dapat melakukan controlling, dengan harapan proses pemeriksaan dapat berjalan manusiawi dan berkeadilan dengan bertumpu pada asas

presumption of innocence (pra-duga tidak ber-salah). Hal ini relevan pula dalam rangka menghindarkan proses pelaksanaan penegakan hukum dari pelanggaran HAM (seperti pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 17, dan Pasal 18 ayat (1), serta Pasal 33 dalam UU No. 39 tahun 1999). Oleh karena pendampingan hukum terhadap saksi termasuk dalam upaya perlindungan HAM, yang belum mampu diakomodir KUHAP. Ketidakmampuan undang-undang untuk mengatur seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat secara aktual yang menyebabkan terjadinya kekosongan hukum, merupakan salah satu kelemahan prinsip legalitas dalam negara hukum seperti Indonesia.22 Kekosongan norma pada KUHAP terkait hak pendampingan hukum kepada saksi pada pemeriksaan tahap penyidikan inilah yang menjadi persoalan. Sedangkan jika dibandingkan dengan hak tersangka untuk didampingi oleh penasihat hukum, KUHAP telah menempatkan hal tersebut pada Pasal 54 KUHAP dan hak tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa penyidik berkewajiban memeberikan hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP tentang penyidik yang berkewajiban menyediakan penasihat hukum bagi seorang tersangka, yang meliputi:

  • 1.    Dalam perkara yang kondisi tersangkanya di-ancam dengan pidana mati atau pidana kurungan penjara 15 (lima belas) tahun/ lebih.

  • 2.    Dalam perkara yang kondisi tersangkanya tidak dapat di-ancam pidana 5 (lima) tahun/lebih tetapi dalam kurun waktu < 15 (lima belas) tahun tidak memiliki penasihat hukum sendiri.

Secara terkhusus pada kondisi tersangka yang di-ancam dengan hukuman pidana kurungan penjara 5 (lima) tahun/ lebih, seyogyanya tersangka bukan sekadar hanya wajib diberitahukan haknya saja (Pasal 54 KUHAP jo. Pasal 114 KUHAP), tetapi terlebih dari hal tersebut tersangka seyogyanya menerima hak atas bantuan/ pendampingan hukum sedari awal proses penyidikan, seperti ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka” (berimplikasi menjadi hak penyidik menyediakan penasihat hukum). Pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP mengemukakan bahwa kewajiban untuk menunjuk penasihat hukum merupakan suatu kewajiban yang sifatnya imperatif, artinya penyidik tidak saja wajib bertindak untuk memberikan pemberitahuan atas hak tersangka tersebut, melainkan penyidik juga seyogyanya berkewajiban pula untuk menunjuk penasihat hukum guna mendampingi tersangka.23

KUHAP menekankan dalam setiap proses peradilan pidana (termasuk proses pra-ajudikasi) untuk menonjolkan watak humanis, yang merujuk pada cara teraktual yang telah Negara Indonesia anut sejak dahulu. Dalam rumusan norma KUHAP, dalam proses penegakan hukum seluruh tersangka dan terdakwa wajib perlakukan sama sebagai makhluk yang bermartabat (human being) dimana kepadanya melekat erat Hak Asasi Manusia (HAM), berbeda halnya dengan kondisi pada saat Indonesia menganut sistem dalam HIR.24 Namun dalam pada praktiknya masih banyak perilaku oknum penegak hukum yang tidak melaksanakan perlindungan atas HAM sesuai amanat

undang-undang. Sayed Muhammad berpendapat, bahwa terdapat faktor-faktor yang menyebabkan ketidakmampuan pelaksanaan upaya penegakan HAM dalam pemeriksaan tersangka, meliputi: kondisi psikis aparatur kepolisian (penyidik) yang memicu tindakan yang notabene melampaui batas toleransi sesuai undang-undang; faktor ancaman persuasif dan resiko jabatan; kemudian juga faktor kurang mampunya aparatur kepolisian (penyidik) memahami ketentuan didalam undang-undang.25 Padahal dalam tulisan Erdianto Effendi menerangkan bahwa sangat penting adanya seorang penyidik menerapkan acusatoir principle, due process principle, dan human rights principle, serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2014.26

Berkaitan dengan hal tersebut, berbicara tentang pendampingan hukum terhadap saksi/ calon tersangka memanglah belum terwujud kepastian hukum terhadapnya. Hal tersebut dikarenakan KUHAP sebagai sumber hukum pidana formil belum mengatur secara tegas hak tersebut (berbeda dengan hak tersangka yang telah diatur sedemikian rupa dalam KUHAP). Sedangkan di posisi lain, UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) mengamanatkan, “Setiap orang ber-hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”, yang dalam konteks pembahasan ini dapat dimaknai merujuk pada kualitas peradilan yang mampu menyediakan instrumen perlindungan HAM bagi masyarakat dalam setiap proses yang dilaksanakan di dalamnya. Beberapa peraturan juga turut meletakkan konsentrasi serius terhadap upaya perlindungan HAM, seperti:

  • 1.    Dalam Bab II Pasal 3 ayat (2) pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta men-dapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum.” Yang kemudian ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2).

  • 2.    Dalam Article 10 in the Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi: “Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him” atau “Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang di-jatuh-kan kepadanya.”

  • 3.    Dalam Bab II Pasal 5 huruf c pada KEPRES RI No. 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang menyatakan, “Memantau dan menyelidiki pelaksanaan hak asasi manusia serta memberikan pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan Negara mengenai pelaksanaan hak asasi manusia.”27

Berkenaan dengan hal tersebut, artinya negara sudah sangat berkomitmen penuh lewat berbagai upaya ratifikasi isntrumen hukum internasional terkait HAM, pembentukan Komnas Perlindungan HAM, dan pembentukan berbagai instrumen

perundang-undangan mengenai HAM. Oleh karena itu, urgensi pendampingan hukum sangatlah penting menjadi perhatian, karena juga berkaitan dengan upaya penegakan HAM sekaligus upaya penciptaan prosedur penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sebab ketiadaan pendampingan hukum (walaupun secara pasif) dapat menimbulkan konsekuensi yang cukup serius dalam proses pemeriksaan dalam penyidikan. Seyogyanya upaya pemberian hak pendampingan hukum terhadap saksi (calon tersangka) merupakan perwujudan dari equal protection & equal treatment of the law.28 Karena, sangatlah mungkin terjadi pelanggaran-pelanggaran prosedur dalam tahap ini, tidak hanya kepada tersangka, melainkan setiap subjek yang berurusan dengan hukum (termasuk saksi). Oleh karenanya kepastian hukum dalam perlindungan HAM melalui penormaan alam KUHAP secara konkrit merupakan suatu hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dimensi perlindungan HAM.

Selain aspek kepastian dalam upaya menegakkan hukum secara prinsip seyogyanya mampu berdaya guna atau dapat menyajikan kebermanfaatan bagi masyarakat. Sedangkan dilain sisi, masyarakat secara kompleks juga berharap akan adanya proses penegakan hukum yang output-nya mencapai suatu keadilan. Dalam segala proses penegakan hukum di seluruh dunia akan terus berkutat dengan hak asasi manusia, dan disaat bersamaan juga ada unsur represif, walaupun cara dan pelaksanaan represifitas tersebut berlainan, sentimen yang cenderung sarkastik akan terus timbul dari perspektif masyarakat terhadap berbagai upaya penegakan hukum terutama yang tertuju pada aparatur penegak hukum paling sering bersentuhan secara langsung dengan masyarakat, seperti Polisi dan aparatur ketertiban umum.29 Oleh karenanya, dalam mewujudkan penegakan hukum yang kondusif dan berkesesuaian dengan model due process, maka upaya perlindungan HAM harus dijalankan beriringan dengan upaya penegakan keadilan yang berkemanfaatan. Dimensi perlindungan HAM pada dasarnya akan menilai bahwa pendampingan hukum terhadap saksi pada proses pemeriksaan tahap penyidikan (pra-ajudikasi) adalah hal yang relevan dilakukan, sebab seorang saksi yang berpotensi naik status menjadi tersangka akan sangat rawan menjadi korban penyelewengan prosedur dan pelanggaran HAM.

  • 4.    Kesimpulan

Ketentuan yang tegas dan terang mengatur tentang hak seorang saksi (calon tersangka) untuk mendapatkan pendampingan hukum pada pemeriksaan tahap penyidikan tidak termuat dalam KUHAP, Padahal telah diatur dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a PerKapolri No. 8 Tahun 2009. Sedangkan seharusnya, KUHAP merupakan sumber hukum formil utama yang seharusnya mampu mengakomodir segala aturan yang berkaitan dengan prosedur penegakan hukum pidana di Indonesia. Hal ini mengandung arti bahwa, KUHAP belum sepenuhnya dapat mewujudkan ciri due process model yang seyogyanya telah meletakkan HAM sebagai aspek penting yang harus dilindungi dalam upaya penegakan hukum. Kenyataannya penormaan ini sangat penting, terutama pasca mencuatnya istilah saksi sebagai calon ter-sangka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Kemunculan konsep calon tersangka menandakan seorang saksi berpotensi naik status menjadi tersangka dan

dalam kondisi ketiadaan pendampingan hukum terhadapnya, konsekuensinya terhadap proses penegakan hukum adalah akan rawan terjadi penyelewengan prosedur penyidik kepada subjek yang “awam” hukum dalam pemeriksaan tahap penyidikan. Dari perspektif HAM, pada dasarnya pendampingan hukum terhadap saksi pada proses pemeriksaan tahap penyidikan relevan dilakukan, sebab hal tersebut sejalan dengan komitmen negara Indonesia dalam UUD 1945 untuk berupaya melakukan perlindungan dan penegakan HAM secara kompleks. Oleh karena itu, sudah selayaknya dilakukan penormaan tersebut pada KUHAP sebagai instrumen pokok pengaturan terhadap hukum acara pidana. Dengan terwujudnya hal tersebut, maka niscya due process model yang mengandung spirit perlindungan HAM akan semakin utuh diresapi dalam kandung badan sistem peradilan pidana di Indonesia.

Daftar Pustaka

Buku

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2020).

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normative dalam Justivikasi Teori Hukum (Jakarta, Prenada Media Group, 2017).

Hamzah, Andi dan Surachman, RM. Pre-Trial Justice Discretionary Justice dalam KUHAP Berbagai Negara (Jakarta, Sinar Grafika, 2014).

Nasution, Bahder J. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung, Mandar Maju, 2013).

Rukmini, Mien. Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi: Sebuah Bunga Rampai. (Bandung: Alumni, 2019).

Sunarso, Siswanto. Filsafat Hukum Pidana: Konsep, Dimensi dan Aplikasi. (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2015).

Jurnal

Afifah, Wiwik, and Gusrin Lessy. "Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak." DiH: Jurnal Ilmu Hukum 10, no. 20 (2014): 240031.

Aulia, M. Zulfa. "Friedrich Carl von Savigny tentang hukum: Hukum sebagai manifestasi jiwa bangsa." Undang: Jurnal Hukum 3, no. 1 (2020): 201-236.

Barama, Micheal. “Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan”, Jurnal Ilmu Hukum 3, No. 8. (2016):.8-17.

Chuasanga, Anirut, and Ong Argo Victoria. "Legal Principles Under Criminal Law in Indonesia Dan Thailand." Jurnal Daulat Hukum 2, no. 1 (2019): 131-138.

Effendi, Erdianto. "Relevansi Pemeriksaan Calon Tersangka sebelum Penetapan Tersangka." Undang: Jurnal Hukum 3, no. 2 (2020): 267-288.

Falasifah, Umi, and Sukinta Bambang Dwi Baskoro. "Tinjauan Tentang Pembaharuan Kuhap sebagai Landasan Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana di Indonesia." Diponegoro Law Journal 5, no. 3 (2016): 1-11.

Heryansyah, Despan, and Harry Setya Nugraha. "Relevansi Putusan Uji Materi oleh Mahkamah Konstitusi terhadap Sistem Checks and Balances dalam Pembentukan Undang-Undang." Undang: Jurnal Hukum 2, no. 2 (2019): 353-379.

Hutapea, Pidel Kastro, and Indra Karianga. "Prinsip Miranda Rules “The Right to Remain Silent” Dalam Perspektif Perbandingan Hukum." Media Iuris 2, no. 3 (2019): 393-406.

Jayadi, Ahkam. "Perlindungan Hukum Terhadap Saksi." El-Iqthisady: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum 2, no. 1 Juni (2020): 130-141.

Marbun, Rocky. "Pasivitas Fungsi Advokat Dalam Proses Pra-Adjudikasi: Membongkar Tindakan Komunikatif Instrumental Penyidik." Jurnal Hukum Samudra Keadilan 15, no. 1 (2020): 17-35.

Maruffi, Reza. "Aspek Kepastian Hukum terhadap Pendampingan Penasehat Hukum kepada Saksi dalam Pemeriksaan Tahap Penyidikan." Banua Law Review 3, no. 1 (2021): 10-29.

Muhlashin, Ias. "Negara Hukum, Demokrasi dan Penegakan Hukum di Indonesia." Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 8, no. 1 (2021): 87-100.

Pristiwati, Endang. "Konsekuensi yang Timbul Dari Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Materiil." Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran 13, no. 2 (2014): 110-123

Rusydi, Yudistira. "Wewenang dan Hambatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Satuan Polisi Pamong Praja dalam Pelaksanaan Upaya Paksa terhadap Pelanggaran Kasus Asusila." Pandecta Research Law Journal 9, no. 2 (2014): 230-242.

Rafsanjani, Sayed Muhammad, Iskandar A. Gani, and Mohd Din. “Terhadap Pemeriksaan Tersangka yang Dilakukan Penyidik Kaitannya dengan Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 3 (2015): 65-66.

Setyowati, Herning, and Nurul Muchiningtias. "Peran Advokat Dalam Memberikan Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia." Lex Scientia Law Review 2, no. 2 (2018): 155-168.

Siallagan,    Haposan.    "Penerapan    Prinsip    Negara    Hukum    di

Indonesia." Sosiohumaniora 18, no. 2 (2016): 122-128.

Siregar, Rahmat Efendy Al Amin. "Due Process of Law dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Kaitannya dengan Perlindungan HAM." FITRAH: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman 1, no. 1 (2016): 35-46.

Winarno, Nur Basuki. "Beberapa Permasalahan dalam Penyelidikan dan Penyidikan oleh Kepolisian." Perspektif 16, no. 2 (2011): 117-127.

Tesis

Artha, I Gede. "Formulatif Policy Remedies Independent Decision of Public Prosecutor for Perspective in The Criminal Justice System of Indonesia". PhD diss., Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (2013).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU XIII/2015

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 10 Tahun 2022 hlm 1106-1122

1122