KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DALAM PERTANIAN DI BALI
on
KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DALAM
PERTANIAN DI BALI
Oliver Ottli Harjo Suharwanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: olivercuper20@gmail.com
Komang Pradnyana Sudibya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: pradnyana_sudibya@unud.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengkaji Peraturan perundang-undangan otonomi daerah dalam hal penyelenggaraan pemerintahannya tidak terlepas dari penerapan asas pemisahan kekuasaan dan ketidaksetaraan. Metode penelitian berupa penelitian hukum normatif dengan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pembangunan pertanian dianggap oleh sebagian birokrasi dan legislator lokal sebagai bidang yang cost center yang membutuhkan investasi besar namun pengembaliannya cukup lama. Hal ini yang menyebabkan mengapa isu pentingnya pembangunan pertanian kurang menarik perhatian bagi sebagian besar pembuat kebijakan daerah. Kecenderungan umum menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah kurang berpihak pada kegiatan yang terkait dengan pembangunan pertanian terutama dalam perbaikan iklim usaha dan penyuluhan. Hal ini merupakan dampak negatif kebijakan otonomi daerah terhadap sektor pertanian. Namun dampak positif dari kebijakan otonomi daerah terlihat dari beberapa Pemerintah Daerah yang telah berhasil mengembangkan pertanian daerah dan mengimplementasikan beberapa kebijakan daerah yang tidak diterbitkan dalam Peraturan Daerah.
Kata kunci: otonomi, pertanian, kebijakan
ABSTRACT
This research aims to examine regional autonomy legislation in terms of the administration of government which cannot be separated from the application of the principles of separation of powers and inequality. The research method is normative legal research with an approach to statutory regulations. The results of this research show that Agricultural development is considered by some local bureaucracies and legislators to be a cost center field that requires large investments but the payback takes a long time. This is the reason why the issue of the importance of agricultural development does not attract the attention of most regional policy makers. The general trend shows that local government policies are less supportive of activities related to agricultural development, especially in improving the business climate and extension. This is a negative impact of regional autonomy policies on the agricultural sector. However, the positive impact of regional autonomy policies can be seen from several Regional Governments which have succeeded in developing regional agriculture and implementing several regional policies that are not published in Regional Regulations.
Key words: autonomy, agriculture, policy.
Pembangunan pertanian merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan nasional, karena Indonesia merupakan Negara agraris dimana mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Sehingga tidak mungkin mengesampingkan pembangunan pertanian dalam kebijakan pembangunan nasional bahkan harus merupakan suatu kewajiban untuk menjadikan pembangunan pertanian sebagai prioritas utama. Pada masa lalu kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia menggunakan pendekatan sentralistik atau lebih dikenal dengan istilah top down. Hal tersebut mengakibatkan pembangunan pertanian kurang berkembang karena tidak sesuai dengan potensi daerah, keinginan dan kebutuhan daerah yang menjadi sasaran utama pembangunan pertanian. Sampai pada akhirnya ada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 yang berisi kebijakan otonomi daerah dimana pemerintah memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah, khususnya kabupaten/kota untuk menyelenggarakan pembangunan dan mengurus rumah tangganya sendiri. Oleh karena itu pembangunan daerah sebagai bagian dari pembangunan nasional harus berorientasi pada proses perubahan yang terarah dan terencana, guna mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui berbagai kegiatan di semua sektor yang ada dan diperkuat dengan dukungan seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Hermanto, kebijakan pembangunan pertanian yang tepat di setiap daerah diperlukan sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat lebih dipastikan memberikan manfaat yang maksimal terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga setiap daerah tentunya harus memunculkan produk unggulan sebagai ciri khas daerah tersebut untuk pengembangan daerah serta sebagai penopang perekonomian di suatu daerah.1 Menurut Sukmawani (2015), pembangunan daerah sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki suatu daerah, maka kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah harus mengacu kepada potensi daerah yang berpeluang untuk dikembangkan, khususnya sektor pertanian.2 Berdasarkan hal tersebut maka pengembangan produk komoditas unggulan sesuai dengan potensi yang ada di suatu daerah sangatlah penting dilakukan karena merupakan sebuah strategi untuk mengembangkan perekonomian di suatu daerah.
Sebagai Negara agraris hampir di setiap daerah di Indonesia dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah sektor pertanian selalu menjadi sektor yang sangat penting. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tulang punggung pembangunan nasional dan implementasinya harus sinergis dengan pembangunan sektor lainnya. Pelaku pembangunan pertanian meliputi departemen teknis terkait, pemerintah daerah, petani, pihak swasta, masyarakat, dan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Koordinasi di antara pelaku pembangunan pertanian merupakan kerangka mendasar yang harus diwujudkan guna mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
-
1. Mengapa pedesaan bali tidak bisa hidup tanpa pertanian tradisional?
-
2. Apa saja sektor kehiduapan dan penggerak ekonomi bali?
-
3. Bagaimana usaha tani dan kepengusahaan pertanian didalam sektor pertanian?
-
4. Mengapa pajak cenderung meningkat selama periode otonomi daerah?
Penelitian bertujuan untuk melihat implikasi kebijakan otonomi daerah terhadap pengembangan pertanian di daerah. Pembahasan diarahkan pada kebijakan pembangunan pertanian di daerah, implementasi kebijakan dan dampaknya dalam pembangunan petanian daerah.
Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum dengan meneliti bahan pustaka yang ada3. Untuk pendekatan penelitian, dilakukan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan dengan melakukan kajian atas peraturan-peraturan yang berkaitan terhadap topik penelitian yang dibahas. Pada penelitian ini, digunakan bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan terkait, sedangkan pada bahan hukum sekunder, penulis menggunakan jurnal ilmiah, tesis, dan beberapa buku hukum.
Secara historis, bertani di Bali sudah jadi bagian dari budaya pedesaan tradisional. Apalagi bisa dikatakan bahwa pedesaan Bali tidak bisa hidup tanpa pertanian tradisional. Menurut penduduk pedesaan Bali dua sub sektor pertanian tidak dapat dipisahkan yaitu: budidaya padi dan peternakan (khususnya sapi Bali). Kedua jenis usaha petani dan peternakan ini biasanya dilakukan dalam skala kecil di daerah pemukiman dan dikelola dengan sistem petani kecil. Di Bali, jarang dijumpai usaha ternak sapi yang dijalankan oleh peternak pedesaan dengan lebih dari 3 kepala keluarga.
Berdasarkan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah membagikan keleluasaan untuk pemerintah daerah buat memesatkan serta menyeimbangkan aktivitas pembangunan khususnya di bidang pertanian. Keserbagunaan ini masih merupakan potensi umum tetapi sebenarnya perlu dikonfirmasi Secara geografis dan budaya pertanian tradisional (di Bali) dapat dilihat sebagai daerah yang sulit Karena kesamaan universal dalam
perencanaan pembangunan wilayah, pertanian tidak dikira satu, zona ekonomi utama Bali yang dikira sesuai buat investasi merupakan pariwisata. Oleh sebab itu, pemakaian perspektif “ekonomi pasar” bisa dimengerti bila pembentuk kebijakan pembangunan wilayah lebih memperhatikannya. pengembangan industri pariwisata serta jasa.
Dalam pidato dan opini publik DPRD beberapa waktu lalu, bisa dikatakan kalau atensi pemerintah wilayah terhadap pembangunan pertanian sangat besar. Tiap orang. Secara historis, ekologis serta sosial, warga Bali merupakan warga agraris. Tanpa pertanian, tidak hendak terdapat kehidupan warga yang berkepanjangan di Bali. Bisa dikatakan kalau pertanian senantiasa jadi atensi pemerintah daerah serta DPRD sebab mempunyai keterkaitan lintas guna yang sangat lingkungan dengan menggunakan ekologi pedesaan serta kelembagaan Bali.
-
3 kekuatan yang dengannya pertanian tradisional Bali nyaris tentu tidak hendak mati: ekologi (alam) bumi, masyarakat, dan budaya Bali (Hindu). Agroekosistem tradisional Bali mirip dengan pemakaian agroekosistem di Jawa (irigasi). Geertz menggambarkan agroekosistem tradisional di Jawa selaku campuran yang didasarkan pada kemampuan air, tanah serta (jumlah) (banyak) orang. Hal demikian sangat mirip dengan apa yang terjadi pada pertanian padi sawah (tradisional) di Bali. Istilah Subak di Bali secara umum mengacu pada pertanian tradisional yang bersendi pada pengelolaan air irigasi secara kolektif. Dapat dikatakan bahwa pertanian di Bali identik dengan Subak, yang di dalamnya bermuatan pengaturan terhadap sumber daya terestrial langka (air dan lahan) di satu sisi, dihadapkan pada kebutuhan masyarakat petani (dalam jumlah relatif besar) untuk melangsungkan kehidupannya secara bersama bersendikan inti budaya Hindu Bali (budaya Banjar) di sisi lain.
Geertz menyebutkan bahwa pada rentang abad 19-20 kemajuan ekonomi uang pada masyarakat Bali awalnya digerakkan oleh kalangan elit kerajaan yang berjiwa kewirausahaan. Kemajuan ekonomi uang di Bali dapat dikatakan sebagai hasil dari gerakan kewirausahaan voluntaristik yang “menyimpang” dari kalangan aristokrat. Pemerintah Hindia Belanda saat itu sangat tidak menghendaki berkembangnya kelas wirausaha dari kalangan aristokrat, karena hal ini akan menjadi rivalitas serius terhadap bisnis VOC di tanah Bali. Pemerintah Hindia Belanda sepertinya berhasil menanamkan nilai pada masyarakat bahwa menjadi “wirausaha” tidak menggambarkan kehormatan sosial yang tinggi. Dalam perkembangannya sektor pertanian tradisional di perdesaan mengalami defisiensi spirit kewirausahaan dan keindustrian, yang keduanya sebenarnya mempunyai fungsi sangat strategis dalam pemacuan transformasi ekonomi ke arah industrialisasi pertanian di perdesaan.
Dalam perspektif perencanaan pembangunan daerah, yang dituangkan dalam Perda APBD, sejak masa reformasi (2000-an) peran pertanian perdesaan relatif sangat kecil. Secara umum anggaran daerah (APBD) sebagian besar (75-80%) dialokasikan untuk biaya tidak langsung (misalnya: untuk gaji pegawai negeri sipil, perawatan gedung, dan listrik). Hanya sedikit (20-25%) dana APBD dialokasikan untuk belanja langsung atau belanja modal. Alokasi dari dana yang relatif sedikit ini untuk kemajuan pertanian di perdesaan juga relatif kecil, karena pertanian merupakan sektor atau urusan pilihan (PP 38/2007). Prioritas untuk pendidikan (20%; dari 20-25% APBD), kesehatan dan infrastruktur lebih diutamakan.4 Dapat dikatakan bahwa sektor pertanian sangat diunggulkan dalam slogan politik, terutama saat kampanye Pemilu atau Pemilu Kada. Hanya saja jika dilihat dari besarnya alokasi anggaran pemerintah (APBD) sektor pertanian dapat dikatakan sebagai sektor “pinggiran”.
Pertanian secara alamiah sangat dibutuhkan untuk menopang kehidupan dan kelangsungan ekosistem masyarakat Bali. Hal ini sepertinya tidak hanya berlaku pada masa lampau, melainkan juga masa sekarang dan yang akan datang. Dari hasil penggalian informasi melalui berbagai diskusi (dan wawancara dengan DPRD, aparat Bappeda, Dinas Peternakan dan Dinas Tanaman Pangan Provinsi Bali) dan observasi langsung di lapangan diperoleh gambaran adanya kesenjangan pemaknaan terhadap pertanian di perdesaan. Sebagai sektor kehidupan pertanian hampir dikatakan mutlak dibutuhkan oleh keseluruhan kehidupan dan masyarakat Bali. Namun dilihat dari segi kekuatan penggerak atau untuk pemacuan pertumbuhan ekonomi daerah, pertanian bukan merupakan sektor unggulan.
Dalam tiga dekade terakhir peran sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tidaklah signifikan, dan bahkan dari tahun ke tahun peran sektor pertanian relatif menurun. Sektor industri dan pariwisata mempunyai peran lebih besar dalam pemacuan petumbuhan ekonomi daerah.5 Dapat dikatakan bahwa dalam sektor pertanian melekat 3 aspek, yaitu: (1) sektor darurat untuk landasan kehidupan ekonomi perdesaan dan keseluruhan masyarakat Bali, (2) sektor penjaga keamanan subsistensi (khususnya pangan dari padi) bagi masyarakat perdesaan, dan (3) sektor penjaga keseimbangan ekosistem (multi fungsionalitas pertanian). Dengan semboyan Tri Hita Karana, kinerja sektor pertanian dapat dijadikan indikator kesehatan ekosistem dan sekaligus indikator kesejahteraan masyarakat perdesaan di Bali. Sistem pertanian di Bali merupakan bagian integral pengelolaan ekosistem sumber daya alam (lahan dan air) setempat. Kesadaran budaya masyarakat Bali terhadap pentingnya pelestarian sumber daya air sangatlah besar.6
Romantisme budaya (kerajinan tangan) Bali perlu ditopang oleh sektor pertanian tradisional di perdesaan. Pertanian tradisional lahir dari rahim budaya Bali. Dapat dikatakan bahwa antara budaya Bali dan pertanian tradisional ibarat sejoli yang (harus) sehidup semati. Tanpa pertanian budaya kerajinan masyarakat Bali sulit berkembang. Sektor yang banyak mendatangkan
Romantisme budaya (kerajinan tangan) Bali perlu ditopang oleh sektor pertanian tradisional di perdesaan. Pertanian tradisional lahir dari rahim budaya Bali. Dapat dikatakan bahwa antara budaya Bali dan pertanian tradisional ibarat sejoli yang (harus) sehidup semati. Tanpa pertanian budaya kerajinan masyarakat Bali sulit berkembang. Sektor yang banyak mendatangkan manfaat ekonomi uang adalah pariwisata dan industri kerajinan tangan. Kemajuan sektor pariwisata umumnya dilandaskan pada religiositas masyarakat Hindu Bali, yang dalam ekspresi material ditunjukkan oleh adanya berbagai bangunan kuil (pura) kuno yang tersebar dari pinggir laut (misalnya Pure Luhur Tanah Lot) hingga pegunungan (misalnya Pure Ulun Danu, di tengah Danau Bratang).
Masyarakat perdesaan Bali mempunyai dua muka, yaitu romantik-religius (Hindu Bali) dan rasional-teknokratik (khususnya terkait dengan sharing system dalam pengelolaan sumber daya terestrial yang terbatas). Kedua muka ini disatukan dalam bingkai solidaristik sosial yang
kuat berakar pada budaya Hindu Bali. Oleh sebab itu, dalam perencanaan pembangunan masyarakat Bali harus didekati melalui dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan romatikreligius dan rasional-teknokratik. Salah satu kelebihan yang dijumpai pada masyarakat Bali adalah adanya homogenitas budaya dan etnik yang dibangkitkan dari religiositas budaya Hindu Bali. (Beberapa etnik, seperti Trunyan dan Baliage, jumlah orang dan pengaruhnya relatif kecil). Sangat terasa bahwa masyarakat tradisional-perdesaan Bali sudah lama mempunyai rasa percaya diri yang tinggi pada kekuatan budayanya.
Suhaeti et al. menjelaskan bahwa kontribusi nyata masyarakat perdesaan terhadap keseluruhan kehidupan di Bali relatif sangat besar. Bahkan dapat dikatakan bahwa pertanian tradisional di Bali masih menunjukkan kemandirian kehidupan yang mempunyai harmoni tinggi dengan ekosistem sumber daya terestrial dan alam yang lebih luas. Jika saja perencanaan pembangunan daerah mengabaikan pendekatan rasional-teknokratik, dalam jangka pendek pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat perdesaan di bali relatif tidak berarti. Oleh sebab itu dapatlah dipahami jika hubungan antara sektor pertanian “tradisional”, industri dan pariwisata “modern” Belum bisa menggambarkan suatu kesenyawaan alami tinggi. Pertanian, industri, dan pariwisata belum menunjukkan “segi tiga” harmoni orchestra yang indah. Masing-masing seakan-akan masih berjalan sendiri tanpa panduan yang jelas.
Sejalan dengan terbukanya masyarakat Bali dari pengaruh luar, pada era 1980-an hingga 1990-an ekonomi masyarakat Bali mengalami perubahan cukup drastis, yaitu ditandai dengan mulai ditinggalkannya sektor pertanian di perdesaan. (Sektor pariwisata dan pasar industri kerajinan di perkotaan lebih menjanjikan perolehan uang tunai yang lebih banyak dan cepat). Sebagai gambaran, pada tahun 1970-an proporsi tenaga kerja pertanian mencapai 60-70 persen, dan pada tahun 2009 tinggal 35 persen. Sektor ekonomi andalan telah bergeser dari pertanian ke jasa (pariwisata) dan industri kerajinan. Proporsi kontribusi industri manufaktur dalam menopang perekonomian masyarakat Bali dapat dikatakan relatif kecil.Kemungkinan hal inilah yang menyebabkan ekonomi masyarakat Bali mudah terguncang oleh faktor eksternal.7
Dapat dikatakan perkembangan ekonomi perdesaan di Bali secara alamiah menuju ketidak-seimbangan. Hal ini ditunjukkan ketika terjadi “serangan” bom Bali, ekonomi masyarakat perdesaan Bali merosot secara drastis. (Sektor pariwisata sangat tergantung pada stabilitas keamanan). Akibat bom Bali sektor pariwisata terpukul hebat. Efek domino dari bom Bali merembet ke sektor kerajinan tangan, perhotelan, jasa transportasi, dan pemandu wisata. Jika saja industri manufaktur berbasis pertanian cukup besar perannya dalam ekonomi masyarakat bali, maka beban “bom Bali” dapat ditopang oleh dua sektor sekaligus, yaitu pertanian dan industri manufaktur. (Hingga sekarang industri manufaktur berbasis pertanian di Bali belum terlihat menggeliat secara signifikan).
Dalam perencanaan pembangunan daerah, sektor pertanian mengedepankan beberapa program khusus. Beberapa program yang dinilai mempunyai peran penting untuk pengembangan pertanian di Bali ialah: (1) Dana Penguatan Modal (DPM); (2) Agribisnis; (3) Ketahanan pangan; (4) Agropolitan, dan Jamkrida (Jaminan keamanan kredit daerah).8 Program ini dipertajam dengan Simantri (sistem pertanian terintegrasi; yang awalnya adalah Primatani). Hanya saja, penekanan program Simantri ini masih lebih banyak pada “keseimbangan alam”
(belum pada pemacuan ke arah industrialisasi pertanian di perdesaan). Program ini belum diarahkan secara khusus untuk peningkatan daya saing pertanian kolektif/komunal masyarakat Bali di perdesaan. Tampak sekali bahwa perancangan program-program ini seakan-akan tidak dikaitkan dengan kemajuan pariwisata dan industri jasa di Provinsi Bali. Kerangka transformasi ke arah industrialisasi pertanian di perdesaan tidak menjadi tujuan utama program Simantri dan program lain yang mengatasnamakan kemajuan pertanian.
Kemajuan suatu usaha umumnya dicirikan oleh perkembangan kepengusahaan dan keorganisasian usaha. Pada sektor pertanian hampir berlaku sepenuhnya bahwa usaha pertanian di perdesaan adalah usaha tani yang menghasilkan produk bahan mentah bernilai tambah rendah, dikelola secara tradisional, tidak didukung tenaga trampil, lemah permodalan finansial, tergantung pada alam, serta melekat ciri subsistensi.9 Situasi ini secara umum tidak kondusif membentuk kepengusahaan pertanian untuk menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing tinggi, yang dicirikan produk bernilai tambah tinggi, dikelola secara modern, didukung tenaga kerja profesional, kuat dalam dukungan modal finansial, tidak terlalu tergantung pada alam, serta melekat ciri komersial-industrial. Kemajuan pariwisata dapat dipandang sebagai bagian pemicu modernisasi pertanian-industrial di perdesaan Bali.
Indikasi tidak berkembangnya kepengusahaan pertanian di Bali ditunjukkan bahwa segmen perdagangan hasil pertanian umumnya tidak dikuasai petani, baik secara individual maupun kolektif. Sebagai gambaran, bahwa pasar produk pertanian domestik di Bali relatif besar.10 Hampir tidak dijumpai keorganisasian usaha di perdesaan mengalami perubahan terencana hampir dikaitkan dengan dinamika permintaan pasar terhadap produk pertanian domestik di Bali. Daerah Bali, sebagai wilayah pariwisata yang relatif maju dan tempat transit pergerakan manusia dari wilayah timur Indonesia dan barat Indonesia (dan sebaliknya), sebaiknya dipandang sebagai salah satu kekuatan politik pertanian regional kawasan timur.11 Kekuatan posisi dan ruang transit ini seharusnya dipandang sebagai kekuatan bagi para perencana untuk pengembangan kepengusahaan pertanian di Bali. Mengingat hal ini masih belum diindahkan secara berarti, maka kekuatan dinamika pasar produk pertanian di Bali tidak memberikan umpan balik (feed back) yang sangat berarti bagi peningkatan keragaan pertanian tradisional perdesaan di Bali.
Pedagang produk pertanian tradisional di Bali umumnya adalah orang lokal yang dari hari ke hari adalah bagian dari masyarakat (perdesaan) Bali. Sebagian besar pedagang hasil pertanian di Bali, khususnya ternak, adalah pengusaha individu. Mereka ini sebagian besar adalah pedagang yang mempunyai akar budaya tradisional di perdesaan. Walaupun demikian, karena tuntutan fungsional pekerjaan di bidang pemasaran ternak sapi, mereka ini mempunyai jaringan sistem pemasaran hingga lintas provinsi dan antar pulau. Kekuatan mereka ini terletak pada penguasaan modal finansial, pengetahuan tradisional tentang usaha ternak, mempunyai hubungan sosial yang hangat dan romantis dengan petani/peternak tradisional di perdesaan,
menyatu dengan jaringan pasar ternak di tingkat lokal dan interlokal, dan mempunyai jaringan pertemanan dengan pedagang ternak lintas daerah.
Hingga dewasa ini pola pemasaran hasil ternak tidak mengalami perkembangan yang berarti; dalam arti masih mengikuti pola tradisional. Sebagian besar produk ternak adalah berupa ternak hidup. Para pedagang dan peternak tidak mempunyai hubungan kontrak yang bersifat khusus dan permanen, baik dengan peternak tradisional maupun dengan pedagang luar desa. Sangat jarang pedagang ternak membangun hubungan dengan peternak melalui ikatan hutang. Hubungan antara pedagang dan peternak bersifat jual beli bebas. Ketika seorang peternak berniat menjual ternak (sapi), ketika itu pula peternak menyediakan uang untuk membelinya. Umumnya transaksi jual beli ternak dilakukan secara tunai. Mengingat sistem pemasaran ternak bersifat terbuka, sistem transaksi umumnya berlangsung seketika dan tidak meninggalkan kesan ada yang dirugikan secara ekstrim.
Perlu diketahui bahwa produk ternak yang masuk di Provinsi Bali bukan hanya dari ternak lokal, melainkan juga dari luar Bali (bahkan dari luar negeri). Pengambil kebijakan pembangunan di Bali berusaha melindungi kemurnian sapi Bali, dalam arti tidak mengijinkan ada upaya penyilangan sapi Bali dengan sapi lain (di tanah Bali). Konsumen daging sapi di perkotaan, terutama di hotel dan restoran, umumnya memperoleh pasokan dari daging import. Hingga saat ini pasar domestik Bali dan Indonesia sangat kekurangan pasokan daging dari dalam negeri.12 (Sebagai gambaran, hingga kini untuk memenuhi pasar daging sapi domestik sekitar 1 juta ekor sapi didatangkan dari Australia). Provinsi Bali termasuk daerah pengimpor hasil ternak sapi dari luar Bali.
Pola pengusahaan ternak yang bersifat sambilan dan tradisional, potensi pasar ternak sapi di Bali tidak memberikan umpan balik yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat petani ternak di perdesaan. Beberapa program pengembangan usaha ternak, baik oleh pemerintah pusat dan daerah, belum diarahkan pada pengelolaan secara terorganisir. Peningkatan skala usaha ternak, dengan demikian, hampir tidak terjadi. Jika saja, keorganisasian usaha ternak sapi di Bali dikembangkan sangatlah mungkin pemeliharaan ternak sapi Bali dijadikan bisnis inti masyarakat perdesaan. Para perancang kebijakan pembangunan pertanian di Bali, demikian juga di pusat, belum menganggap penting faktor keorganisasian usaha sebagai penggerak kemajuan usaha ekonomi ternak yang menjanjikan.13
Pada kasus usaha tani yang sudah berciri komersial murni, seperti hortikultura dan perkebunan, pengusahaannya sudah relatif maju dan mengikuti perkembangan teknologi dan tarikan pasar. Hanya saja kecepatan kemajuan pada kedua subsektor ini masih belum secepat, misalnya, perkembangan kemajuan di bidang ekonomi perkotaan yang digerakkan oleh pariwisata. Jika saja kekuatan kemajuan di sektor pariwisata dapat diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan pertanian di Bali, sangat mungkin kemajuan industri pertanian berbasis subsektor hortikultura dan perkebunan rakyat dapat lebih cepat, dan manfaat kemajuan pariwisata dapat ditransmisikan sebagai kekuatan untuk memacu perkembangan pertanian industrial di perdesaan Bali, khususnya subsektor hortikultura, perkebunan rakyat, dan peternakan.
Keuangan wilayah dikira selaku kunci utama penentu keberhasilan penerapan otonomi daerah. Hukuman untuk pemungutan serta pemakaian pajak cenderung meningkat selama periode otonomi daerah, yang meningkatkan bayaran distribusi produk pertanian, mengurangi harga yang diterima produsen, serta membatasi energi saing sistem penciptaan pertanian. daerah cuma menaikkan beban tanpa membagikan pelayanan yang bermutu, pelaksanaan Otonomi Daerah dapat menimbulkan resistensi masyarakat.
Pemerintah pusat wajib tidak berubah-ubah dalam pelaksanaan undang-undang otonomi ini, agar hasil pengelolaan cagar budaya daerah lebih dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat, sehingga masyarakat setempat lebih banyak memiliki DPA dalam pengelolaan cagar budaya daerah, dengan demikian menghasilkan usaha dalam kerangka koordinasi lintas daerah yang sistematis Transparansi pengurusan perizinan, pajak dan berbagai retribusi menjadi penting Penting bagi pemerintah untuk memberikan keamanan dan kenyamanan agar terhindar dari berbagai pajak yang merugikan agribisnis Memperbaiki regulasi, baik substansi maupun substansi. sehingga tidak ada penjelasan Pelaksanaan otonomi ganda yang berujung pada tingginya biaya dalam pertukaran pertanian, harus dilakukan dengan lebih hati-hati.
Antara tahun 1997 dan 2002, sebanyak 3.633 peraturan daerah (Perda) diterbitkan oleh pemerintah daerah. Setelah kebijakan otonomi daerah 2001, pemerintah wilayah jadi lebih liberal dalam implementasi kebijakannya.14 Tetapi, tingkat pemerintah dalam menerapkan kebijakan daerah tidak mungkin berdampak positif terhadap pembangunan pertanian. Dari 3.633 Perda tersebut, cuma 5,5% yang terpaut dengan pertanian serta sebagian dicoba dengan tujuan buat tingkatkan pendapatan daerah, semacam: pengenaan pajak pada orang dagang Susah dikatakan kalau Perda bertujuan buat meningkatkan pertanian daerah dengan merevitalisasi pertanian pertukaran.15
Pertanian tradisional adalah bagian utama dari ekologi budaya masyarakat Bali. Hampir semua kegiatan pertanian di Bali diselenggarakan di perdesaan, yang pengelolaannya sebagian besar masih berupa pertanian tradisional. Semacam ada anggapan bahwa selagi masih ada kehidupan di perdesaan, selama itu pula pertanian di Bali tumbuh dan berkembang. Kemajuan pertanian di Bali lebih banyak disebabkan oleh peran pelaku usaha setempat, dan sedikit sekali dilatar-belakangi oleh keberpihakan kebijakan dan dukungan penganggaran pemerintah daerah yang bersumber dari APBD. Belum ada upaya khusus mengkaitkan kemajuan pariwisata dengan pemacuan pertanian dan industrialisasi di Provinsi Bali. Keterbatasan perspektif para perancang kebijakan pembangunan daerah menempatkan pertanian tradisional di perdesaan Bali sebagai sektor statis yang tidak responsif terhadap investasi yang bersumber dari anggaran pemerintah (APBD). Jika saja perspektif kemajuan pertanian tradisional dipandang sebagai bagian dasar dari percepatan transformasi ke arah industrialisasi pertanian di perdesaan maka “nilai kehormatan”
pertanian tradisional di perdesaan akan mengalami peningkatan yang sangat berarti. Tatanan struktur ekonomi masyarakat Bali ke depan perlu dibangun berlandaskan pada kekuatan ekosistem, masyarakat, budaya, dan kreativitas kolektif dari seluruh elemen civil society di Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ariningsih. 2015. Dinamika Produksi dan Sumber Dinamika Produksi Komoditas Pertanian. Dalam Hermanto dkk. Panel Petan Nasional; Mobilisasi Sumber Daya Penguatan Kelembagaan Pertanian. IAARD Press. Hal: 64.
Asikin, H. Zainal dan Amiruddin. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal: 163.
Sukmawani, R., K, M. H., Sulistiyowati, L., & Perdana, T. (2015). Determining agricultural superior commodity in the district of Sukabumi through a combination method of LQ, description scoring, and competitive analysis. 3(11), 599–604.
Jurnal :
Anwas OM. 2013. “Pengaruh pendidikan formal, pelatihan dan intensitas pertemuan terhadap kompetensi penyuluh pertanian”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 19 (1) : 50-62.
Biki, M. A., Rumagit, G. A., & Ngangi, C. R. (2016). “Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian dan Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Gorontalo”. ASE (AGRI-SOSIOEKONOMI) Vol 12 Nomor 1A, 73-86.
Dayanto. Desember 2013. “Pembentukan Peraturan Daerah yang Baik Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Otonomi Daerah”, Jurnal Syariah dan Hukum Tahkim”, Volume IX, Nomor 1, hlm. 146-147.
Fortunika, S. O., Istiyanti, E., & Sriyadi. (2017). “Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara”. AGRARIS Vol 3 No. 2, 119-127
Geraldo G. P., G. H. (2015). “Peranan Sektor Pertanian di Kabupaten Minahasa Tenggara”. AGRI-SOSIOEKONOMI Vol. 11 No 1,, 59-70.
Hastuti, Proborini, “Desentralisasi Fiskal dan Stabilitas Politik dalam Kerangka Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia”, dalam Jurnal Simposium Nasional Keuangan Negara, (2018): 785-799
Hayati, M., Elfiana, & Martins. (2017). “Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Wilayah Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh”. JURNAL S. PERTANIAN 1 (3), 213-222.
Herwastoeti, “Konsep Desentralisasi Fiskal terhadap Otonomi Daerah”, dalam Jurnal Humanity, Vol 5, No. 2, (2010): 100-108
Isbah, U., & Iyan, R. Y. (2016). “Analisis Peran Sektor Pertanian dalam Perekonomian dan Kesempatan Kerja di Provinsi Riau”. JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN VII No 19, 45-54.
Iyan, R. (2014). “Analisis Komoditas Unggulan Sektor Pertanian di Wilayah Sumatera”. Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, 215-235.
Kurniawan, Dhani, “Otonomi Daerah dan Desenstralisasi Fiskal di Indonesia”, dalam Jurnal Gema Eksos, Vol 7 No. 2, (2012):129-144
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
Jurnal Kertha Negara Vol 11 No. 9 Tahun 2023 hlm 1033-1044
1044
Discussion and feedback