PERLINDUNGAN HUKUM ATAS PELANGGARAN

HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KAUM MUSLIM DI INDIA

Dewa Ayu Kila Barko Lingga, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Made Cinthya Puspita Shara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perlakuan diskriminasi terhadap kaum Muslim di India sebagai pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan hukum internasional serta untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku atas diskriminasi terhadap kaum Muslim di India. Metode penelitian dalam tulisan ilmiah ini merupakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan fakta. Berdasarkan penelitian ini, tindakan diskriminasi agama telah dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap kaum Muslim di India, berupa perlakuan pembedaan dan pengecualian penegakan dan sistem hukumnya. Tindakan diskriminasi ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia internasional berdasarkan Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) serta Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Pertanggungjawaban pidana pelaku tindakan diskriminasi ini dapat dilaksanakan di India sesuai dengan yurisdiksi pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan kewajiban negara anggota untuk menjamin perlindungan dan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban yang tercantum dalam Konvensi. Selain itu, negara anggota ICCPR dapat melakukan pengaduan terhadap India atas pelanggaran yang dilakukan terhadap ketentuan Konvensi ini. Pengaduan individu diatur dalam Optional Protocol to the ICCPR yang memberikan korban pelanggaran hak asasi manusia kewenangan untuk melakukan pengaduan secara individual, akan tetapi India tidak terikat terhadap ketentuan tersebut karena tidak meratifikasinya.

Kata kunci: Perlindungan Hukum, Diskriminasi Agama, Hak Asasi Manusia Internasional, Pertanggungjawaban Pidana.

ABSTRACT

The writing of this study aims to comprehend acts of discrimination in India against Muslims as an infringement of international human rights and to analyze the criminal responsibility of perpetrators of the discrimination against Muslims in India. The research method in this writing is the juridical normative research method and uses statute, cases, and fact approach. According to this study, India have been subjected to acts of religious discrimination by the government and law enforcement, including unfair treatment and exclusion from the legal system and enforcement. This act of discrimination is an infringement of international human rights based on Article 7 of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) and Article 20 paragraph (2) and Article 26 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Pursuant to the responsibility of State Parties to ensure the implementation and protection of the rights and obligations stipulated in the Convention, perpetrators of this act of discrimination could be held criminally liable in India under the jurisdiction of human rights violations. Additionally, ICCPR State Parties may file complaints against India for violations committed against the regulations of this Convention. Individual complaints are regulated in the Optional Protocol to the ICCPR which gives victims of human rights infringements the authority to make individual complaints, but India is not bound by this provision because it has not ratified it.

Keywords: Legal Justice, Religious Discrimination, International Human Rights, Criminal Liability.

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

India merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar, mencapai sekitar 1,2 miliar pada 2011 yang meningkat 1 juta penduduk setiap bulan pada 2020.1 India berbatasan darat di bagian Barat dengan Pakistan; di bagian Timur dengan Bangladesh dan Myanmar; di bagian Utara dengan Cina, Nepal, dan Bhutan; serta dikelilingi oleh Laut Arab di Barat Daya, Teluk Benggala di Tenggara, dan Samudra Hindia di Selatan. Negara ini juga memiliki beragam penduduk dengan agama yang bermacam-macam. Persentase penduduk pemeluk agama Hindu sebanyak 79%, yang merupakan angka persentase tertinggi. Selanjutnya, diikuti dengan penduduk beragama Islam dengan persentase 14%, yang mayoritas bertempat di Jammu dan Kashmir. Dalam kenyataannya, terdapat diskriminasi yang dialami oleh agama-agama minoritas di India, khususnya Islam. Diskriminasi ini terjadi di berbagai bidang baik politik, sosial, maupun ekonomi.2

Terdapat peraturan di negara bagian pemerintahan Bharatiya Janata Party (BJP) yaitu Uttar Pradesh, yang bertujuan untuk membatasi hubungan antar agama bernama Prohibition of Unlawful Religious Conversion Ordinance. Peraturan ini mewajibkan warga yang hendak pindah agama untuk meminta persetujuan dari pemerintah dan melarang perpindahan agama yang melawan hukum seperti dengan paksaan, penipuan, penggambaran yang salah, atau bujukan. Pelanggar dari peraturan ini dapat dihukum hingga 10 tahun penjara dan denda hingga 25,000 Rupee India. Semenjak berlakunya peraturan ini pada tahun 2020, sebanyak 86 orang ditangkap atas tuduhan pemaksaan perpindahan agama, yang mana 79 diantaranya merupakan laki-laki Muslim. Penahanan dilakukan kebanyakan pada laki-laki Muslim tanpa bukti yang jelas dan terdapat banyak kasus dimana perempuan yang dikatakan dipaksa berpindah agama berkata sebaliknya. Peraturan ini juga diberlakukan secara retroaktif, serta laporan yang masuk kebanyakan dari keluarga dan saudara perempuan yang tidak setuju pada hubungan beda agama. Negara-negara bagian lain, terutama yang dibawah pemerintahan BJP yang menargetkan Muslim, telah mengeluarkan peraturan yang serupa dengan Uttar Pradesh dan beberapa lainnya sedang mempertimbangkan penetapan peraturan ini.3

Selain itu, terdapat juga kebijakan tentang larangan penyembelihan sapi. Masyarakat Hindu memandang sapi sebagai makhluk suci, sehingga mayoritas negara bagian di India melarang penyembelihan sapi. Negara-negara bagian terutama yang berada dibawah pemerintahan BJP telah menetapkan peraturan tentang larangan penyembelihan sapi yang lebih ketat yang secara tidak proporsional merugikan komunitas minoritas.4 Hal ini mengganggu dan merugikan masyarakat yang bekerja

sebagai peternak sapi, petani, pengangkut ternak, dan pedagang daging. Kebijakan ini diikuti dengan kelompok main hakim sendiri pendukung BJP yang melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat minoritas. Terdapat setidaknya 44 orang dengan 36 orang diantaranya Muslim tewas dalam serangan dari kelompok main hakim sendiri yang terjadi pada 2015 hingga 2018. Beberapa politisi BJP justru secara terang-terangan membenarkan tindakan kekerasan tersebut dan polisi menghentikan penyelidikan, mengabaikan prosedur, menunda penuntutan, atau bahkan terlibat dalam penyerangan dan menutup-nutupi penyerang dari kelompok tersebut.

Diskriminasi ini semakin memburuk sejak pemerintahan BJP yang merupakan sebuah partai nasionalis Hindu dibawah pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi sejak tahun 2014. Pemerintah gagal memberikan perlindungan terhadap kaum Muslim dan minoritas lainnya dari tindakan kekerasan serta secara politik. Pada tahun 2019, terdapat rancangan amandemen undang-undang kewarganegaraan di India yang untuk pertama kalinya, agama menjadi dasar pemberian kewarganegaraan. Amandemen undang-undang kewarganegaraan dilakukan untuk mempermudah pembedaan imigran ilegal yang masuk ke India sejak masa kolonial. Amandemen ini melanggar hak asasi manusia (HAM) dan bersifat diskriminatif dikarenakan hanya berlaku untuk warga non-Muslim yaitu agama Jain, Parsi, Kristen, Buddha, Sikh, dan Hindu dari Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan yang pada dan/atau sebelum 31 Desember 2014 telah memasuki perbatasan India. Mereka menganggap warga non-Muslim tersebut sebagai pengungsi sedangkan warga Muslim sebagai penyusup. Sehingga, warga Muslim tidak mendapatkan perlindungan dari amandemen ini.5 Hal ini diikuti juga dengan diwajibkannya pendaftaran dan verifikasi kewarganegaraan nasional oleh pemerintah melalui National Population Register (NPR) dan National Register of Citizens (NRC), yang mana meningkatkan kekhawatiran kaum Muslim imigran yang telah lama tinggal di India tidak dapat memverifikasi kewarganegaraannya. Terutama bagi imigran yang mencari keselamatan akibat situasi di negara asalnya yang tidak menjamin kehidupan sosial yang berkemanusiaan.6 Kaum Muslim di Assam merupakan contoh pertama dari ketidakadilan penerapan peraturan kewarganegaraan ini, yang mana mereka dideportasi karena tidak dapat memberikan dokumen untuk membuktikan kewarganegaraan India karena dokumen yang hilang.7

Protes terhadap amandemen undang-undang ini telah berlangsung di beberapa kota. Dalam pelaksanaannya, tindakan kekerasan dilakukan terhadap warga yang protes oleh kelompok afiliasi BJP ataupun polisi. Pada Desember 2019, protes di Delhi diserang oleh kelompok afiliasi BJP. Polisi dalam serangan ini tidak melakukan intervensi dan justru menggunakan senjata mematikan yang berlebihan dan tidak diperlukan terhadap warga yang protes, melukai puluhan orang dan menewaskan setidaknya 30 orang. Tiga negara bagian dibawah pemerintahan BJP mengalami hal

yang sama. Polisi Delhi mengajukan tuntutan terhadap penyelenggara protes, aktivis, mahasiswa, politisi oposisi BJP, dan penduduk dengan tuduhan percobaan pembunuhan, penghasutan, perusakan properti publik, pembunuhan, promosi pemusnahan agama, dan pelanggaran lainnya. Kesamaan antara terdakwa adalah mereka telah mengkritik dan tidak setuju dengan pemerintahan BJP dan amandemen undang-undang kewarganegaraan. Diantara terdakwa juga terdapat Jamia Coordination Committee yang menimbulkan protes mahasiswa di Universitas Jamia Millia Islamia pada Januari 2020. Para mahasiswa ditembak oleh kelompok afiliasi BJP ketika protes berlangsung dan polisi tidak melakukan tindakan apapun terhadap hal tersebut. Pengadilan menyatakan bahwa polisi gagal dalam membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan pelanggaran. Dari 1.153 warga yang didakwa melakukan protes, 582 diantaranya beragama Muslim dan 571 lainnya beragama Hindu. Dalam prosesnya polisi lebih fokus menangkap dan menyelidiki tuduhan terhadap Muslim, berdasarkan keterangan para aktivis. Pihak berwenang juga menggunakan Pasal 144 India Criminal Procedure Code yang melarang pertemuan lebih dari empat orang jika ada ketakutan akan kemungkinan pelanggaran hukum dan ketertiban. Padahal maksud pasal tersebut adalah untuk diterapkan dalam keadaan darurat untuk menjaga “ketenangan publik,” tetapi pihak berwenang telah menggunakannya secara luas dan sering untuk mencegah protes, melanggar hak untuk berkumpul secara damai. Sementara itu, polisi Delhi menyatakan tidak terdapat bukti yang cukup8 terkait tuduhan kepada politisi BJP meskipun ada beberapa pengaduan dari saksi dan video politisi BJP menyarankan dilakukannya kekerasan. Kemudian, amandemen undang-undang kewarganegaraan tersebut sayangnya telah berlaku secara efektif dengan nama Citizenship Act No. 47 of 2019 sejak tanggal 10 Januari 2020.

Padahal agama menjadi asal-usul kemanusiaan dalam ciptaan yang mengilhami semua orang dengan percikan ilahi, yang memberikan hak kepada setiap individu untuk mendapatkan rasa hormat yang sama.9 Seseorang tidak perlu dibedakan atas latar belakangnya untuk berhak mendapatkan hak asasi manusia, melainkan statusnya sebagai manusia menjadi dasar atas berhaknya mereka terhadap hak-hak tersebut.10 Akan tetapi, banyak diskriminasi yang terjadi khususnya terhadap kaum Muslim minoritas di beberapa negara seperti di Myanmar, yang mana mereka menghapus etnis Rohingya yang identik dengan agama Islam dari status salah satu kewarganegaraan yang diakui di Myanmar.11 Diskriminasi terhadap kaum Muslim di India melanggar hak asasi manusia internasional yang sangat tidak sesuai dengan ketentuan seperti dalam Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) serta Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dalam hal ini, India telah

mengikatkan diri pada ICCPR dengan bentuk aksesi pada tanggal 10 April 1979.12 Sehingga, berdasarkan Pasal 2 ayat (1)(b) Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, India berkenan atas kewajiban mematuhi ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam ICCPR.

Adapun penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan ini yaitu "Diskriminasi Kaum Muslim di India Menurut Konvensi Hak Asasi Manusia"13 yang ditulis oleh R. Yahdi Ramadani yang membahas mengenai pelanggaran hak asasi manusia oleh India yang timbul akibat Amandemen Undang-Undang Kewarganegaraan 2019 terhadap pemeluk agama Islam yang diatur pada ketentuan konvensi-konvensi internasional seperti UDHR dan ICCPR. Sementara dalam penelitian ini membahas mengenai tindakan diskriminasi yang timbul dari beberapa ketentuan yanga berlaku di India terhadap kaum Muslim yang termasuk sebagai pelanggaran hak asasi manusia internasional beserta dengan solusi pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku. Berdasarkan situasi pelanggaran hak asasi manusia di India terhadap kaum Muslim, maka Penulis tertarik untuk menganalisis secara lebih konkrit mengenai pelanggaran yang terjadi dengan mengangkat judul "PERLINDUNGAN HUKUM ATAS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KAUM MUSLIM DI INDIA".

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat disimpulkan permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana perlakuan diskriminasi terhadap kaum Muslim di India dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan hukum Internasional?

  • 2.    Bagaimana kemungkinan pertanggungjawaban pidana pelaku atas diskriminasi terhadap kaum Muslim di India?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengkaji perlakuan diskriminasi terhadap kaum Muslim di India sebagai pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan hukum internasional serta untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku atas diskriminasi terhadap kaum Muslim di India.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian dalam tulisan ilmiah ini merupakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan fakta. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder dan primer. Bahan hukum primer yaitu berasal dari Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Sementara bahan hukum sekunder yaitu berasal dari buku-buku, hasil

penelitian, jurnal ilmiah, serta publikasi ilmiah lain yang bersifat relevan dengan isu hukum.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Diskriminasi terhadap Kaum Muslim di India sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia Internasional

Perilaku diskriminasi religius atau diskriminasi terhadap agama dilarang menurut Pasal 7 UDHR dan Pasal 26 ICCPR. Berdasarkan ketentuan UDHR tersebut, setiap orang memiliki hak atas perlindungan hukum yang sama serta berkedudukan sama di depan hukum tanpa diskriminasi. Begitu juga dalam ketentuan ICCPR, yang dengan lebih menjelaskan kategori diskriminasi baik jenis kelamin, ras, bahasa, warna kulit, asal kebangsaan atau sosial, properti, agama, politik atau pendapat lain, kelahiran atau status lainnya. Praktik kasus hukum Mohamed Rabbae, A.B.S and N.A. v.The Netherlands14, mempertimbangkan beberapa faktor dalam penentuan perlakuan diskriminasi agama yang menyatakan bahwa:

  • “... any distinction, exclusion, restriction or preference that has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the field of politics or economics, in social or cultural matters or any other area of social life.”

Dalam artian bahwa "... setiap pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pengutamaan yang mempunyai akibat atau tujuan untuk meniadakan atau merusak penikmatan, pelaksanaan, atau pengakuan kedudukan yang sama kebebasan fundamental, hak asasi manusia di bidang politik, ekonomi, dalam masalah sosial, budaya atau bidang kehidupan sosial lainnya.” Sehingga, perilaku diskriminasi agama dapat berupa pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pengutamaan dan harus dilakukan dengan tujuan tertentu yang merugikan korban.

Dalam kasus ini, terdapat tindakan pembedaan oleh aparat penegak hukum dalam penanganan kasus dan menerapkan ketentuan seperti dalam melakukan penangkapan dan penahanan, yang sangat bias terhadap kaum Muslim. Penerapan ketentuan mengenai larangan perpindahan agama tidak sah yang banyak menangkap dan menahan laki-laki Muslim dilakukan tanpa bukti yang jelas dan pada akhirnya harus dilepaskan karena terbukti sebaliknya. Pembedaan juga dilakukan terhadap kaum Muslim pada saat penanganan kasus baik penyelidikan tindakan kekerasan oleh kelompok pendukung BJP atas penerapan larangan penyembelihan sapi terhadap kaum Muslim maupun saat protes atas amandemen undang-undang kewarganegaraan. Polisi tidak melakukan tindakan apapun dan mengabaikan prosedur dalam kedua kasus tersebut. Selain itu terdapat juga tindakan pengecualian oleh pemerintah dalam penerapan Citizenship Act No. 47 of 2019 yang mencakup ketentuan kewarganegaraan yang mengecualikan Muslim dalam sistem verifikasi kewarganegaraannya.15 Pada dasarnya ketentuan ini tidak mengakui dan akan menghilangkan warga Muslim imigran yang masuk ke India setelah 31 Desember 2014 sebagai warga negara India. Akibat dari ketentuan ini kaum Muslim imigran yang telah lama menetap di India setelah 31 Desember 2014 hingga berlakunya undang-undang itu dapat kehilangan kewarganegaraannya. Adapun politisi BJP terkait hal ini membenarkan dan

menyarankan pelaksanaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pendungkungnya tersebut.16 Tindakan politisi BJP ini mendorong kelompok pendukungnya untuk terus melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum Muslim. Hal ini melanggar ketentuan Pasal 20 ayat (2) ICCPR, yang menyatakan bahwa setiap anjuran kebencian agama, nasional, atau ras yang merupakan hasutan untuk permusuhan atau kekerasan dan diskriminasi adalah melanggar hukum. Semua tindakan diskriminasi oleh aparat penegak hukum dan pemerintah terhadap kaum Muslim ini adalah melanggar hak asasi manusia internasional.17 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyuarakan kekhawatirannya mengenai pelanggaran hak asasi manusia di India yang 'pada dasarnya diskriminatif', khususnya terkait undang-undang kewarganegaraan.

  • 3.2.    Kemungkinan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku atas Diskriminasi terhadap Kaum Muslim di India

Pertanggungjawaban pidana atas diskriminasi terhadap kaum minoritas Muslim penting bagi korban untuk mendapatkan kepastian hukum dan keadilan atas hak yang seharusnya dilindungi. Pada Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) ICCPR, menekankan untuk semua negara anggota untuk melaksanakan tindakan yang diperlukan dalam pemberlakuan hak-hak yang termuat Konvensi ini dengan mengadopsi atau dengan tindakan lainnya, serta memberikan pemulihan (remedy) yang efektif terhadap orang yang haknya dilanggar berdasarkan Konvensi ini. Negara wajib dalam usahanya untuk memenuhi standar tertentu berdasarkan kebiasaan dan akal untuk menyelesaikan kewajiban terkait hak asasi manusia internasional atau dikenal sebagai due diligence.18 Setiap negara diwajibkan untuk melindungi dan mencegah pelanggaran hak asasi manusia, baik oleh negara maupun aktor non-negara.19 Berdasarkan ini, maka tindakan diskriminasi oleh aparat penegak hukum dan kelompok pendukung BJP dapat dimintakan pertanggungjawabannya berdasarkan hukum India. India berkewajiban untuk melaksanakan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan pelaku pelanggar hak asasi manusia dalam yurisdiksi negaranya. Selain itu juga, berkewajiban untuk menyediakan pemulihan yang cukup terhadap korbannya tersebut. Akan tetapi, pertanggungjawaban pidana yang ditegakkan dari pemerintah India dapat dilakukan dengan tidak efektif apabila dilihat dari banyaknya keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus-kasus diskriminasi yang ada.

Pada dasarnya, dalam ICCPR dimuat bahwa terdapat komite yang dibentuk untuk mengawasi pemenuhan hak-hak yang tercantum dalam ICCPR di setiap negara

anggota. Komite tersebut disebut sebagai Human Rights Committee (HRC).20 Setiap negara anggota diwajibkan untuk mengirimkan laporan secara reguler terkait dengan penerapan hak-hak dalam ICCPR, yang kemudian akan diperiksa dan diberikan saran dan rekomendasi kepada negara anggota oleh komite tersebut.21 Jika negara anggota tidak mengirimkan laporan, maka komite dapat melakukan analisa berdasarkan catatan negara dan informasi yang telah diserahkan mengenai negara anggota tersebut. Berdasarkan Pasal 41 ICCPR, HRC dapat mempertimbangkan pengaduan antar negara atas tidak ditaatinya ketentuan dalam Konvensi ini. Lebih lanjut diatur dalam Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (Optional Protocol ICCPR) bahwa HRC berkompeten dalam memeriksa pengaduan individu, baik yang berkaitan langsung atau pihak ketiga dengan persetujuan, mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh negara anggota atas Konvensi ini. Pemeriksaan atas laporan pengaduan yang diterima oleh komite hanya dapat dilakukan apabila semua upaya hukum nasional dalam penyelesaian kasus secara internal negara anggota yang bersangkutan telah dilakukan. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku apabila upaya penyelesaian kasus diulur atau ditunda secara tidak masuk akal.22 Oleh karena itu, negara anggota lain dan kaum Muslim yang menjadi korban dari diskriminasi agama di India dapat melakukan pengaduan kepada komite ini atas dasar ICCPR dan Optional Protocol ICCPR. Akan tetapi, India belum melakukan aksesi atau ratifikasi terhadap Optional Protocol ICCPR. Sehingga, individual complaints tidak dapat diterima oleh komite atas pelanggaran yang dilakukan oleh India. Akan tetapi, aksesi terhadap ICCPR oleh India tetap memberikan akses bagi negara anggota untuk melakukan pengaduan selama tidak dilakukannya reservasi oleh India. Hasil berupa pandangan dari komite terhadap pengaduan antar negara dan pengaduan individu telah banyak membantu penegakkan hak-hak dalam Konvensi baik bagi individu dengan berupa pembayaran ganti rugi, persidangan ulang dan lainnya, maupun bagi negara anggota dengan berupa upaya pemulihan. Komite ini bukanlah pengadilan internasional secara formal, namun dalam literatur hak asasi manusia telah diklaim bahwa pandangan yang diadopsi meskipun secara formal tidak mengikat, sebagian besar sebanding dengan putusan pengadilan. Pengadilan domestik dan regional telah mengacu pada pandangan yang dihasilkan oleh komite, hingga ketentuan nasional juga banyak yang diubah. Komite telah mengembangkan standar yang lebih spesifik mengenai beberapa aspek, sehingga memberikan panduan yang lebih spesifik tentang bagaimana menafsirkan dan menerapkan hak-hak ini.23

  • 4.    Kesimpulan

Tindakan diskriminasi agama telah dilakukan terhadap kaum Muslim di India oleh pemerintah serta aparat penegak hukum berupa pembedaan dalam pelaksanaan prosedur penegakan sebuah kasus dan pengecualian dalam ketentuan Citizenship Act No. 47 of 2019 yang tidak mengakui warga Muslim imigran yang masuk ke India setelah 31 Desember 2014 sebagai warga negara India. Selain itu, politisi BJP justru menyarankan dan membenarkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pendukungnya terhadap kaum Muslim minoritas di India. Diskriminasi terhadap kaum Muslim di India ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia internasional berdasarkan Pasal 7 UDHR serta Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 26 ICCPR. Pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan diskriminasi ini dapat dilaksanakan melalui ketentuan nasional India sesuai dengan yurisdiksi pelanggaran yang terjadi. Sebagai negara anggota dalam ICCPR, India berkewajiban untuk menjamin perlindungan hak-hak terlaksana dan memberikan pemulihan efektif terhadap orang yang haknya dilanggar berdasarkan Konvensi tersebut. Adapun dalam ICCPR diatur mengenai HRC yang berhak mempertimbangkan pengaduan antar negara anggota atas tidak ditaatinya ketentuan dalam Konvensi, begitu juga dengan pengaduan individu mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh negara anggota yang diatur lebih lanjut dalam Optional Protocol ICCPR. Dengan adanya persentase besar tidak efektif dilakukannya pertanggungjawaban pidana pelaku berdasarkan hukum India, maka negara anggota lain dan kaum Muslim yang menjadi korban dari diskriminasi agama di India dapat melakukan pengaduan kepada komite ini. Akan tetapi, dikarenakan India tidak meratifikasi Optional Protocol ICCPR, maka pengaduan antar negara anggota saja yang dapat dilakukan terhadap kasus ini. Pandangan yang diadopsi oleh HRC meskipun secara formal tidak mengikat, sebagian besar sebanding dengan putusan pengadilan dan telah memberikan dampak positif terhadap individu dan negara anggota yang melakukan pengaduan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Callejon, Claire, Kemileva, Kamelia, & Kirchmeier, Felix. 2019. Treaty Bodies' Individual Communication Procedures: Providing Redress and Reparation to Victims of Human Rights Violations. Switzerland: The Geneva Academy of International Humanitarian Law and Human Rights.

Green, M. Christian & Witte Jr, John. 2013. The Oxford Handbook of International Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press.

Jurnal Ilmiah

Berutu, Ali Geno, "Migrasi dan Problematika Minoritas Muslim di Asia", IMEJ: Islamic Management and Empowerment Journal,  Vol. 1, No. 2,  (2019). DOI:

https://doi.org/10.18326/imej.v1i2.230-246

Fatimah, Nur. "Respon Amnesty International Terhadap Tindakan Represif Pemerintah Terkait Penolakan Citizenship Amendment Act di India Tahun 2019", eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Vol. 10, No. 2, (2022).

Mubasirun, "Persoalan Dilematis Muslim Minoritas dan Solusinya", Epistemé, Vol. 10, No. 1, (2015). DOI: https://doi.org/10.21274/epis.2015.10.1.99-122

Munggaranti, Fadia Annasya Putri & Syam, M. Husni, "Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia Bagi Pengungsi Muslim India yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan Menurut Hukum Internasional", Prosiding Ilmu Hukum, Vol. 7, No.1, (2021). DOI: http://dx.doi.org/10.29313/.v7i1.24901

Nasution, Aulia Rosa. "Kebebasan Beragama dalam Tinjauan Hak Asasi Manusia", Jurnal Hukum Responsif, Vol. 6, No. 6, (2018).

Philip, Christanugra, "Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia Menurut Hukum Internasional", Lex Administratum, Vol. IV, No. 2, (2016).

Rakhima, Ayu Suci & Satyawati, Ni Gusti Ayu Dyah. "Gross Violation of Human Rights veiled within Xinjiang Political Reeducation Camps", Jurnal Kertha Patrika, Vol. 41, No. 1, (2019). DOI: https://doi.org/10.24843/KP.2019.v41.i01.p01

Ramadani, R. Yahdi, "Diskriminasi Kaum Muslim di India Menurut Konvensi Hak Asasi Manusia", Journal Inicio   Legis,   Vol. 1, No. 1,   (2020). DOI:

https://doi.org/10.21107/il.v1i1.8823

Siba, M. Angela Merici & Qomari'ah, Anggi Nurul, "Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Konflik Rohingya (Human Right Violations on Rohingya Conflict)", Journal of Islamic World and Politics, Vol. 2, No. 2,  (2018). DOI:

https://doi.org/10.18196/jiwp.2221

Sinaga, Thor B., "Peranan Hukum Internasional dalam Penegakan Hak Asasi Manusia", Jurnal Hukum Unsrat, Vol. I, No. 2, (2013).

Siregar, Winner Agustinus & Sakharina, Iin Karita, "Human Rights Protection Policy in Freedom Violations of Religion and Belief", Research on Humanities and Social Sciences, Vol. 9, No. 4, (2019). DOI: 10.7176/RHSS/9-4-08

Skripsi

Istiqomah, Iselda Nur, "Tinjauan Hukum Pengungsi dan Hak Asasi Manusia Internasional terhadap Diskriminasi Pengungsi Palestina di Kamp Yarmouk Suriah", Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makasar, (2016).

Trisetyo, Gustiar, "Analisis Kebijakan Citizenship Amendment Act 2019 yang melanggar Konvensi Hak Asasi Manusia Internasional", Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, (2022).

Instrumen Internasional

Universal Declaration on Human Rights

International Covenant on Civil and Political Rights

Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

Kasus Human Rights Committee

Communication No. 2124/2011, Mohamed Rabbae, A.B.S and N.A. v. The Netherlands.

Internet

Anonim, 2021, "India: Government Policies, Actions Target Minorities (Year After Delhi Violence, Bias Against Muslims Taints Investigation)", Human Rights Watch, URL: https://www.hrw.org/news/2021/02/19/india-government-policies-actions-target-minorities

CJP Team, 2018, "Cow Slaughter Prevention Laws in India: How the Law not just protects Cow

Vigilantes, but Sanctifies Lynchings", Citizens for Justices and Peace, URL: https://cjp.org.in/cow-slaughter-prevention-laws-in-india/

Hindustan Times, 2020, "No 'actionable evidence' against politicians in Delhi riots: Police", URL: https://www.hindustantimes.com/india-news/no-actionable-evidence-against-politicians-in-delhi-riots-police/story-l5JDjra4BdUS1fmYLk32FP.html

Lindsay Maizland, 2022, "India's Muslims: An Increasingly Marginalized Population",

Council          on          Foreign          Relations,          URL:

https://www.cfr.org/backgrounder/india-muslims-marginalized-population-bjp-modi

Reuters Staff, 2019, "What does India's new citizenship law mean?", Reuters, 2019, URL: https://www.reuters.com/article/us-india-citizenship-explainer-idUSKBN1YG1LY

Stephanie Kramer, 2021, "Religious Composition of India", Pew Research Center, URL: https://www.pewresearch.org/religion/2021/09/21/religious-composition-of-india/

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 7 Tahun 2022 hlm 751-761

761