PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA TERHADAP KORUPTOR DENGAN VONIS PIDANA MATI
on
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA TERHADAP KORUPTOR DENGAN VONIS PIDANA MATI
Ni Wayan Riska Anggreni, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
Gde Made Swardhana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dari studi adalah untuk mengetahui Pengaturan Hukum yang ada bagi koruptor dengan tuntutan dan vonis pidana mati di Indoneisa dan juga demi mengetahui tentang bagaimanakah Penegakan Hukum yang ada terhadap koruptor dengan vonis pidana mati di Indonesia Penelitian ini ditulis dengan penggunaan metode penelitian hukum normatif serta pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual. Hasil dari studi menampilkan bahwa Pengaturan hukum atau Dasar hukum yang membuat pengaturan mengenai Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Indonesia yakni “Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemeberantasan tindak pidana korupsi” jo “Undang-Undang Nomor 20 tanun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemeberantasan tindak pidana korupsi”, dimana Pidana mati pada Undang-Undang tersebut diatur pada pasal 2 ayat 2. Namun Penengakan hukum terhadap pidana mati Bagi Koruptor di Indonesia belum mendapat sinkronisasi yang jelas dengan Pengaturan hukumnya yang tertera dalam “pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001” tersebut. Dimana penegakan hukumnya dan pengaturannya baik dari vonis dan tuntutan yang dilakukan hakim ataupun jaksa masih belum berjalan selaras.
Kata Kunci: Pengaturan Hukum, Penegakan Hukum, Tindak Pidana Korupsi, Pidana mati
ABSTRACT
The purpose of this study is to find out the legal arrangements for corruptors with prosecution and death penalty sentences in Indonesia and also to find out how law enforcement against corruptors with prosecutions and death penalty sentences in Indonesia. (statute approach) and conceptual approach. The results of the study show that the legal arrangement or legal basis that regulates the crime of corruption in Indonesia is Law Number 31 of 1999 concerning the Eradication of criminal acts of corruption in conjunction with Law Number 20 of 2001 concerning amendments to Law Number 31 of 1999 concerning Eradication. Criminal acts of corruption, where the death penalty in the law is regulated in article 2 paragraph 2. However, law enforcement against the death penalty for corruptors in Indonesia has not received a clear synchronization with the legal arrangements stated in article 2 paragraph 2 of Law Number 20 of 2001. Where the law enforcement and its regulation, both from verdicts and demands made by judges or prosecutors, are still not in harmony.
Keyword: Law Regulation, Law Enforcement, Corruption, Death Penalty
“Negara Indonesia disebut sebagai negara hukum”. Hukum sebagai suatu strata tertinggi di dalam negara Indonesia, dimana hal tersebut terlutis dalam “Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945” Pada sebuah Negara hukum, yang memberi perintah yakni hukum. Hukum dan keadilan seyogianya beresensi universal dan harus menjamah pembangunan hukum di Indonesia tidak terkecuali pemberantasan korupsi. 1Dalam puncak konstitusi, hukum memilik makna sebagai kesatuan yang hirarkis dalam tatanan suatu norma hukum Jika hukum ditegakkan, maka Indoensiaa akan menjadi negara yang dapat dijamin keamanannya, kedamaiannya dan kesejahteraanya. sudah sepatutnya Indonesia selalu menjunjung tinggi supremasi hukum. Dalam Praktiknya masih banyaknya dijumpai pelanggaran-pelanggaran hukum di Indonesia dan juga penegakan hukumnya yang belum sejalan dengan prinsip supremasi hukum. Adapun salah satu pelanggaran hukum yang senantiasa tidak terlepas dari kehidupan bangsa dan negara kita Indonesia adalah berkaitan terhadap tindak pidana korupsi.
Salah satunya tindakan atau perbuatan mengakibatkan dampak yang sangat buruk bagi keberlangsungan suatu negara seperti terhambatnya pembangunan sebuah negara yaitu Tindak Pidana Korupsi. Dikenal sebagai istilah korupsi atau “corruption” istilah tersebut bersumber asal Bahasa latin2 “corruption” atau “corrupt” dari Bahasa Inggris, “corruption” dari Bahasa Perancis dan yang terakhir dalam Bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “coruptie”. Berdasar bahasa Belanda tersebut terlahirlah kata “korupsi” dalam Bahasa Indonesia. Makna dari korup yakni “busuk, buruk; suka menerima uang sogok (menggunakan kekuasaannya demi kepentingan indivisu dan sebagainya)”. Jadi kesimpulannya makna dari “korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti halnya penggelapan hingga penerimaan uang dan lainnya yang merugikan keuangan negara”.
Suatu tindak pidana pada masa kini yang merajalela di Indonesia dan sangat meresahkan masyarakat Indonesia adalah Korupsi, Korupsi dikenal mempunyai sisi ekonomis, namun juga mengandung sisi lain, seperti aspek jabatan, aspek kekuasaan, aspek politik, nilai demokrasi, dan aspek moral3sehingga tindak pidana korupsi dapat dikatakan suatu penyakit parah yang sangat sulit untuk disembuhkan. Bagaimana tidak dikatakan sebagi penyakit parah, apabila kasus tindak pidana korupsi selalu muncul dalam berbagai media dimana pelaku korupsi datang silih berganti4. Korupsi mampu dikatakan sebagai musuh setiap negara di dunia termasuk Negara Indonesia. Banyak sekali dampak atau akibat yang timbil dari adanya tindakan korupsi seperti halnya pada lapisan bidang kehidupan yang ada. Tindak pidana Korupsi mampu sangat memberikan dampak bahaya bagi keamanan beserta stabilitas masyarakat, bagi pembangunan sosial, pembangunan politik serta ekonomi yang mampu juga merusak
suatu nilai moralitas dan demokrasi dikarenakan perbuatan tercela tersebut lambat laun memberi suatu ancaman dengan besar bagi cita-cita rakyat Indonesia dalam menuju masyarakat yang secara adil dan makmur5 Dibutuhkan peranan dari pemerintah terkait pada pemberantasan dari tindak pidana korupsi agar nantinya tindak pidana terkait tidak semakin memberikan dampak yang buruk bagi masyrakat, pemerintahan bahkan merugikan negara. Dalam pelaksanaannya, bertambahnya jumlah kemiskinan yang ada di Indonesia sehingga tidak adanya kepercayaan dan kepatuhan, masyarakat terhadap hukum dan pemerintah.
Pada umunya pelaku korupsi adalah seseorang yang menyalahgunakan kekuasaannya dan/atau jabatan yang diduduki untuk keperluan pribadinya. Tindak Pidana ini dikategorikan sebagai “White collar crime” atau yang biasa disebut sebagai “kejahatan kerah putih”, Istilah “White Collar” tersebut dimana pelaku tindak pidana tersebut memiliki status sosial yang tinggi atau kedudukan yang terhormat yang berkaitan dengan jabatannya atau Okupasinya. Terkait dengan hal tersebut dikeluarkannya “Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” yang kemudian seiring berjalannya waktu direvisi dengan “Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001” tentang “Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” yang mana Undang- Undang terkait dimaksudkan sebagai upaya penanggulangan seluruh tindak pidana korupsi yang terdapat pad negara Indonesia. Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk menanggulangi Tindak Pidana Korupsi dikaenakan diaturnya mengenai bentuk dana jenis dari tindak pidan korupsi yang disertai dengan ancaman pidananya.
Pada Hukum Positif negara Indonesia, telah dikenal dengan suatu hukuman/ pidana mati, dimana sanksi pidan tersebut ,asih diberlakukan di Indonesia. Pada “pasal 10 BAB II KUHP” dinyatakan beragam wujud pidana diantaranya meliputi: “Pidana pokok dan pidana tambahan”. Pidana Pokok diantaranya berupa: “Pidana Mati, Pidana Penjara, Kurungan, Denda”, sedangkan Pidana tambahan diantaranyai “pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim”. Sedang pada Pidana Pokok, pada Pidana mati menempati urutan pertama dan sebagai pidan terberat dikarenkaan menyangkut nyawa. Pidana mati sangat kontroversial dari semua system pidanabaik negara dengan menganut sistem “Common Law System” maupun “Civil Law System”.
Selain yang telah teratur pada KUHP, “Ancaman Pidana Mati” juga telah teratur pada “Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Selain itu, pemberatan tindak pidana korupsi cukup ditujukan bagi perbuatan yang dilakukan seperti: “memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dikenakan pidana mati”. Pidana mati yang terdapat pada tindak pidana tersebut cukup dimaksudkan pada suatu jenis tindak pidanayang merugikan keuangan Negara, dan terkait hal itu yang menjadi alasan diterapkannya bila adanya pemberatan. Ketentuan terhadappidana mati terdapat pada “Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 2 ayat (1) dan (2)”. Adapun “state of the art” yang penggunaannya pada kegiatan penelitian tidak memiliki kebaharuan dan tidak mengandung palgiarisme
-
1. Jurnal dengan Judul “Tinjauan Yuridis tentang Penerapan Ancaman Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi” ditulis oleh Denny Latumaerissa yang dipublikasikan pada bulan Januari-Juni 2014 dalam jurnal Sasi Vol 20 No.1 jurnal
ini membahas menegenai peraturan pidana mati dalam perundang-undangan, perkembangan pemikiran terhadap eksistensi pidana mati dan membahas mengenai yang memengaruhi penerapan pidana mati dalam tindak pidana korupsi 6
-
2. Jurnal dengan Judul “Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi” dimana jurnal ini ditulis oleh Elsa R. M. Toule yang dipublikasikan pada tahun 2013 dalam jurnal “Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3”. Jurnal ini membahasa mengenai “Bagaimana Perkembangan Tindak Pidana Korupsi yang ada di Indonesia, Eksistensi Ancaman Pidana atau Hukuman Mati dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengenai Pidana Mati bagi Koruptor dalam Ius Constituendum”. 7
-
3. Jurnal dengan Judul “Penjatuhan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Keadaan Tertentu) (Death Penalty to Corruptors In A Certain Condition)”. Jurnal ini ditulis oleh: Oksidelfa Yanto, pada bulan Maret 2017 dalam “Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 14 No. 01”. Dimana jurnal ini membahas mengenai: “Indonesia sebagai Negara Hukum dengan Konsep Due process oflaw, Bagaimana Bentuk Tindak Pidana Korupsi dalam Keadaan Tertentu yang dapat dijatuhi Pidana Mati dan Hukuman Mati dan Prinsip Hak Asasi Manusia”.8
-
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersaji diatas, ditarik sebuah rumusan masalah diantaranya:
-
1. Bagaimana Pengaturan hukum terhadap koruptor dengan vonis pidana mati di Indonesia?
-
2. Bagaimana Penegakan hukum terhadap koruptor dengan vonis pidana mati di Indonesia.
-
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan peneliti dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap koruptor dengan vonis pidana mati di Indonesia serta untuk mengetahui Penegakan hukum terhadap koruptor dengan vonis pidana mati di Indonesia.
Metode Penelitian ditulis dengan mengaplikasikan penggunaan metode penelitian “hukum yuridis normatif” atau “metode penelitian kepustakaan”. Penggunaannya bertujuan mencari kebenaran menggunakan pembuktian dengan suatu hukum tertulis yakni berdasar pada peraturan perundang-undangan serta pengetahuan. Peneliti menggunakan suatu pendekatan pada penelitian berupa “pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual” yakni dengan mengaitkan pasal-pasal pada perundang-undangan sesuai terhadap topik pembahasan. Penggunaan bahan hukum pada kegiatan penelitian meliputi: “bahan
hukum primer dan sekunder”. Penggunaan metode pada penelitian berupa “library research”. Bahan hukum primer yang peneliti gunakan meliputi “peraturan perundang-undangan”, sedangkan bahan hukum sekundernya terdiri dari: “buku-buku, jurnal hukum, artikel, dan literatur atau bahan bacaan lain” terkait topik pada penelitian dengan mengaplikasikan teknik pengumpulan data berdasar pada metode studi kepustakaan, maka karenanya penelitian ini sifatnya deskriptif. Problematika norma yang terjadi dalam penelitian ini adalah kekaburan norma dikarenakan pada kasus terakhir mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh heru hidayat tidak dapat dijatuhi hukuman mati dikarenakan menurut hakim heru hidayat telah mendapatkan hukumam maksimal pada kasus sebelumnya namum dapat diketahui bahwa hukuman maksimal itu berada pada hukuman mati atau pidana mati dan tidak terdapat pula aturan hukum lain yang mengatur mengenai hal tersebut
-
3 .Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan hukum terhadap koruptor dengan tuntutan dan vonis pidana mati di Indonesia
-
Secara sitematis, Tindak Pidana Korupsi yang ada pada negara Indonesia telah meluas hingga masuk ke semua sektor baik tingkat pusat maupun daerah, oleh karenanya, tindak pidana Korupsi ini digolonkngkan sebagai “extra ordinary crime” atau yang biasa kita sebut dengan kejahatan yang bersifat luar biasa. Tindak Pidana ini harus diberantas keberadaannya. Pemberantasan mengenai tindak pidana Korupsi telah teratur pada berbagi Undnag-Undnag yang ada di Indonesia seperti halnya “UU Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” sebagaimana telah dilakukan perubahan dengan “UU No. 20 Tahun 2001” tentang “Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” (UU TIPIKOR). Kasus Korupsi dapat dimana saja dan kapan saja diperoleh di berbagai media massa yang ada sehingga tidak jarang Tindak pidana korupsi menjadi konsumsi publik, hampir tidak ada satu haripun terlewatkan tanpa adanya berita mengenai Kasus Korupsi. Maka karenanya bukan saja merugikan keuangan negara Indonesia, akan tetapi telah melanggar hak, sosial, ekonomu masyarakat dengan meluas, yang mana konsisi tersebutlah yang mendasari adanya upaya pembeantasan korupi oleh pemerintah
Dalam KUHP, Perbuatan Korupsi diatur pada pasal 413 sampai 437, adapun juga peraturan yang membuat pengaturan mengenai tindak pidana korupsi diluar dari KUHP yakni “UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Indonesia masih menganut pidana mati dalam stelsel pidananya, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah bukan penganut pandangan abolisionis atau tidak setuju terhadap hukuman mati. Apabila diinventaris semua peraturan dalam undang-undang di Indonesia, yang mengatur pidana mati sebagai ancaman dari perbuatan pidana/tindak pidana (delik),9 Adapun beberapa peraturan yang masih dipergunakan dalam hal membantu dalam pemberantasan tindak pidana korupsi pada negara Indonesia diantaranya:
-
- KUHP terdapat “delik Korupsi”
-
- “Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor
Prt/Peperpu/013/1950”
-
- “UU Np. 24 (PRP) tahun 1950” mengenai “Tindak Pidana Korupsi”
-
- “UU No. 3 tahun 1971” mengenai “Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”
-
- “Tap MPR No. XI/MPR/1998” mengenai “Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”
-
- “UU No. 28 tahun 1999” mengenai “Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”
-
- “UU No. 31 tahun 1999” mengenai “Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”
-
- “UU No. 20 tahun 2001” mengenai “Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”
-
- “UU No. 30 tahun 2002” mengenai “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”
-
- “UU No. 7 tahun 2008” mengenai “Pengesahan United Nation Convention
Against Corruption (UNCAC) 2003”
-
- “Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2000” mengenai “Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”
-
- “Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004” mengenai “Percepatan
Pemberantasan Korupsi”
-
- “UU No. 10 tahun 2015” mengenai “Penetapan Peraturan Pemerintah”
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 mengenai “Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang”
-
- “UU No. 19 Tahun 2019” Tentang “Perubahan Kedua Atas
UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”
Terdapat alasan yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang mengenai pemberantasan korupsi yaitu “bahwa dengan bergulirya orde reformasi dirasaa perlu unruk meletakkan nilai baru atas upaya pemberantasan korupsi, selanjutnya Undang-Undang yang sebelumnya yaitu UU No. 3 tahun 1971 sudah terlalu lama dan dirasa sudah tidak efekti lagi digunakan dijaman itu, kemudian lahirlah UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian di ubah menjadi UU No. 20 tahun 2001” tentang “perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi”
“UU No. 20 Tahun 2001” sebagai UU yang kelahirannya ditujukan hanya sebagai membenahi kekurangan bahkan untuk membenahi kelemahan dari UU yang sebelumnya sebagaimana telah disebutkan pada penjelasan diatas, beberapa kelemahan yang ada tersebut lalu dilakukannya revisi ke dalam UU baru. Hasil revisi kelemahan “UU No 31 tahun 1999” diantantaranya10:
-
- Ketidaksingkronan yang ada dalam perubahan KUHP tidak akan terjadi apabila dilakukan penarikan pasal dari KUHP sebagai “perbuatan korupsi dilakukan dengan cara mengambil Kembali isi dari pasal yang ada secara keseluruhan”
-
- Alasan Pengaturan mengenai pidana mati dibuat didasarkan oleh perbuatan-perbuatan korupsi atau perbuatan dengan menggunakan dana-dana sudah dialokasikan untuk kepentingan publik seperti misalnya dana tersebut digunakan untuk keadaan tertentu seperti dana untuk bencana nasional, pada saat negara dalam keadaan krisis, hingga keadaan darurat dan berbahaya lainnya
Diantara Undang-Undang yang lama dan baru dicantumkan secara tegas sebagai jembatan atas peraturan peralihan, sehingga peraturan peralihan tersebut tidak menimbulkan adanya risiko kekosongan hukum sehingga dapat sangat merugikan dalam upaya pemberantasan tindak pidana tersebut yaitu korupsi
Pidana Mati terjadi apabila adanya pemberatan tindak pidana seperti halnya tindak pidana Korupsi yang membuat negara Indoensia rugi dari segi keuangan. Pidana Mati ditentukan dalam “UU No. 31 Tahun 1999, pada Pasal 2 ayat (1) dan (2)”. “Pasal 2 ayat (1)” mengatur mengenai “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Sedangkan pada “ayat (2)” mengatur mengenai “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
Dijelaskan bahwa Tindak Pidana yang dimaksudkan dalam ayat (1) yakni “setiap orang yang dengan sengaja memperkaya dirinya sendiri, orang lain ataupun suatu korporasi dengan melawan hukum sehingga merugikan keuangan dan perekonomian negara”, sedangkan pada penjelasan ayat (2) yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”adalah apabila tindak pidana ini dilakukan pada saat negara dalam keadaan berbahaya, bencana nasional ataupun pada saat negara sedang mengalami krisi ekonomi sesuai dengan UU yang berlaku.
Penerapan pidana mati kepada koruptor tidak semata-mata bertujuan mengurangi kejahatan korupsi, namun dimaksudkan agar dapat menimbulkan pertobatan atau efek penjeraan pada pelaku dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Foucoult yang menyatakan masyarakat tidak boleh hanya berpikir tujuan pemidanaan adalah mengurangi kejahatan, namun hukuman mengacu pada kondisi sosial, sistem politik, dan kepercayaan agama; sehingga tindak hukum dapat sangat toleran atau dapat sangat keras dan kejam diarahkan pada individu atau komunitas, dan terakhir dapat membuat pertobatan atau efek jera bagi individu atau komunitas 11 Dewasa ini sanksi pidana mati telah banyak dihapuskan di berbagai belahan dunia, namun demikian terdapat pula negara-negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam sistem pemidanaannya.12
Telah dijelaskan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang “Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, dimana pengaturan mengenai pemberatan pidana mati tersebut diatur dalam pasal 2 ayat (2). Dalam prakteknya di Indonesia setelah diundangkannnya peraturan tersebut belum ada satu orang koruptor yang di vonis pidana mati hingga saat ini13, namun sebelumnya terdapat 2 kasus, dimana seorang koruptor mendapatkan pidana mati sebelum diundangkannya Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”,
Kasus Pertama, pada 9 September 1967, Seorang Menteri Urusan Bank Sentral yang merangkap sebagai Gubernur Bank Indonesua pada periode 1963-1966 dijatuhkan pidana mati, beliau bernama Jusuf Muda Dalam. Beliau dijatuhkan pidan mati di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta. Beliau dituntut atas dakwaan penyelewengan dana revolusi yang seilai lebih dari 97,000,000,000,00 (Sembilan puluh tujuh miliar rupiah) serta penyelunduoan senjata, Beliau dituntut dan divomis hukuman mati oleh hakim, namun sebelum dieksekusi mati, ia telah meninggal dunia akibat penyakit tetanus yang dialaminya14. Berikut alasan Mahkamah Agung melakukan pidana mati tehadap tersangka korupsi Jusuf Muda Dalam di putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 23 Desember 1966 yaitu:
-
1. Terdakwa Jusuf Muda Dalam yang memiliki kedudukan sebagai Menteri Bank Sentral Indonesia yang mempunyai tugas untuk menstabilkan nilai mata uang rupiah, menaikkan nilai mata uang rupiah di luar negeri namun malah membawa negara Indonesia ke Jurang kehancuran dengan membantu anasir asing diluar negeri untuk melaksanakan “wishful thinking”
-
2. Dimana Terdakwa Jusuf Muda Dalam melakukan tindak pidana tersebut dalam keadaan ekonomi negara yang sedang tidak baik-baik saja atau dapat dibilang sedikit kolaps
-
3. Dengan adanya pengintegrasian bank ini akan menjadi Baron von Rothschild yang berada di eropa yaitu Menteri Urusan Bank Sentral yang menguasai seluruh bank yang yanga ada di Indonesia, kecuali Bank Dagang Negara
-
4. Terdakwa Jusuf Muda Dalam yang saat itu sebagai Menteri Bank Sentral Indonesia seolah tidak menghiraukan keluhan dan jeritan masyarakat Indonesia, dimana pada saat itu banyak sekali masyarakata yang mengeluh tentang kesukaran hidup yang selama ini dialami akibat dari tekanan ekonomi yang kian hari bertambah berat dan terlebih lagi dengan jabatan seperti itu terdakwa memiliki kewajiban atau tuntutan profesinya untuk mengemban amanat penderitaan masyarakat
-
5. Negara dirugikan dengan Perbuatan terdawa yang telah terbuti melakukan tindak pidana korupsi hingga berates-ratus miliar rupiah, diman Indonesia sedang sedang memiliki hutang diluar negeri yang cukup besar
Kasus kedua selanjutnya datang dari Perwira Tentara Nasional Iindonesia yang juga merupakan mantan Manajer Perusahaan “Triangle Corporation”, beliau bernama Iskandar, beliau dituntut pidan atau hukuman mati dan membayar seluruh biaya
perkara yang ada oleh jaksa Mayor Mochtar yang dalam tuntutannya pada sidang Pengadilan Militer VI Ciliwangi di Bandung. Iskandar dituduh menyalahgunkaan jabatan atau kedudukannya, melakukan penualan minyak dan kopra dengan harga yang lebih tinggi dari semestinya dan juga beliau memperkaya pabrik minyak yang ada di Bandung, Cirebon dan Rangkasbitung. Akibat dari perbuatannya tersebut, Iskandar telah merugikan negara dan masyarakat pada tahun 1960-1961hingga mencapai 6,000,000,000,00 (enam miliar rupiah), selain melakukan korupsi korpa senilai 6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) yang mana harga tersebut harga pad atahun 1961 terdakwa juga dituntut melakukan mpenggelapan tekstile dan benang tenun senilai 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah). Sidang militer tersebut dipimpin oleh seorang hakim ketua bernama Overste Eddy Murthy, yang mana pada akhirnya Iskandar divonis dengan tujuh tahun penjara oleh Mahkamah Militer Tinggi Jakarta yang dilakukan pada sidang tertutu tanggal 21 Oktber 1967
Kedua Kasus tersebut terjadi sebelum diundangkan “UU No. 31 tahun 1999” tentang “pemberantasan tindak pidana korupsi”, Namun sejak diundangkannya “UU No. 30 Tahun 1999” sampai kini belum ditemukan pelaku korupsi divonis Pdana/Hukuman mati. Ketidak adanya vonis pidana/hukuman mati pada vonis hakim meski perbuatan koruptor sudah ditemukan suatu kesalahan yang perlu dipertanggungjawabkan. Belum ditemuai adanya koruptor dengan dakwaan dan ancaman pidana mati, dimana selanjutnya sebagai pijakan hakim dalam menvonis mati15.
Pada tahun 2021, seorang Presiden Komisaris “PT Trada Alam Minera” bernama “Heru Hidayat” terlibat dalam kasus korupsi “PT Asuransi Jiwasraya” dan “PT ASABRI” dengan kerugian hingga mencapai puluhan triliun rupiah. Pada Desember 2021 dalam kasus PT ASABRI Jaksa Penuntut Umum menuntut Heru Hidayat bersama dengan mantan Direktur ASABRI “Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk” merugikan negara sebesar 22,700,000,000,000,00 (22,7 triliun rupiah) dan selain Korupsi, Jaksa meyakini pula bahwa Heru Hidayat melakukan tindak pidana pencucian uang. Menurut Jaksa, perbuatan terdakwa merupakan kejahatan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang sangat pantas mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya yaitu hukuman atau pidana mati dan dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp. 12,600,000,000,000 (12,6 Triliun rupiah) . Namun pada Selasa, 18 Januari 2022 dalam persidangan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, vonis hakim terhadap Heru Hidayat berbeda dengan tuntutan Jaksa dimana Heru Hidayat telah lolos dari pidana mati dikarenkan Heru Hidayat sudah mendapatkan vonis maksimal yaitu pidana seumur hidup dalam kasus Korupsi PT Asuransi Jiwasraya, maka dalam kasus PT ASABRI, heru hidayat lolos pada pidana mati di vonis hukuman nihil. Karena berpedoman pada pasal 67 KUHP yang menyatakan “penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup hanya boleh berbarengan dengan pencabutan hak-hak tertentu dan/atau perampasan barang-barang yang telah disita sebelumnya dan/atau pengumuman keputusan hakim.” Namun dalam pasal 10 huruf a KUHP tidak terdapat hukuman nihil, yang dimaksud oleh Hakim yaitu Heru Hidayat tetap pada pidana
sebelumnya yaitu hukuman pidana sumur hidupdan dengan membayar denda yang telah ditentukan. Adapun alasan Majelis Hakim memvonis demikian yaitu: 16
-
- sejak awal, terdakwa Heru Hidayat dituntut oleh Jaksa menggunakan pasal 2 ayat 1 dengan hukuman maksimat yaitu sumur hidup, maka dari itu, sedangkan majelis hakim berpandanga/berpendapat bahwa pidana mati merujuk pada pasal 2 ayat 2 sehingga hakim tidak dapat membuktikan unsur dari pasal 2 ayat 2 dan hanya dapat membuktikan unsur dari pasal 2 ayat 1
-
- Berdasarkan bunyi pasal 2 ayat 4 yang tertuang dalam KUHAP, mengayatakan bahwa “musyawarah dalam persidangan harus berdasarkan dengan surat dakwaan dan segaka suatu hal yang terbukti di sidang dikarekan surat dakwaan/dakwaan tersebut adalah batasan dan rujukan dalam pembuktian, sehingga puusan keluar atau tidaknya berdasarkan surat dakwaan”.
-
- Pemakaian pasal 2 ayat 2 merupakan pertimbangan dari jaksa penuntut umum dalam melakukan pidana/hukuman mati dikarenakan adanya keadaan tertentu, namun majelis hakim berpendapat lain, bahwa alasan dari adanya keadaan-keadaan tertentu merupakan alasan pemberat bagi tindak pidana korupsi apabila negara Indonesia dalam keadaan berbahaya
-
- Majelis hakim juga bepandangan bahwa alasan pemberat Heru Hidayat tidak terbukti. Dikarenakan Heru Hidayat sebelumnya telah divonis atau dikenakan pidan penjara seumur hidup pada kasus tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya, maka kasus Heru Hidayat dalam PT Asabri dikategorikan oleh hakim sebagai “Concursus Realis atau Merdaadse Samenloop” yaitu perbarengan tidak pidana bukannya sebagai pengulangan tindak pidana atas kasus korupsi.
-
- Pidana seumur hidup yang dijatuhkan pada Heru Hidayat dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya dianggap sudah pidana maksimal, maka dari itu majelis hakim berpandangan bahwa dalam vonis terdakwa dalam kasus PT Asabri harus dikesampingkan dan/atau tidak diperbolehkan untuk dikenakan pidana/hukuman lainnya kecuali pencabutan hak tertentu.
-
- Majelis hakim berpedoman pada “pasal 67 KUHP” yang menyatakan bahwa “penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup hanya boleh berbarengan dengan pencabutan hak-hak tertentu dan/atau perampasan barang-barang yang telah disita sebelumnya dan/atau pengumuman keputisan hakim”
-
- Lebih dijelaskan kembali, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut terdakwa Heru Hidayat telah terbukti bersalah dalam melakukan penyelewengan dana yang ada atau dapat kita katakn telah melakukan tindak pidana korupsi, namun dikarenakan terdakwa telah dipidana penjara seumur hidup pada kasus PT Asuransi Jiwasraya dan terlebih lagi pada kasus PT Asuransi Jiwasraya dan PT ASABRI bukan merupakan pengulangan tindak pidana melainkan perbarengan tindak pidana, maka majelis hakim memvonis hukuman nihil yaitu kembali kepada pidana sebelumnya yang telah dijatuhkan yaitu pidana penjara seumur hidup.
Salah satu upaya penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pemidanaan.17 Tujuan Pemidanaan (The Aim of Punishment). Tujuan pemidanaan bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (“purposive system”atau “teleological system”) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka didalam konsep KUHP baru merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu “perlindungan masyarakat” (general prevention) dan “perlindungan/pembinaan individu” (special prevention)18Dari sekian banyaknya teori pemidanaan, terdapat beberapa teori yang dapat menjadi dasar atau alasan oleh Negara untuk menjatuhkan Pidana. Adapun Teori-Teori tersebut diantaranya:
-
a. “Teori Pembalasan /Teori Absolut”
Berdasarkan teori ini, Teori pembalasan membenarkan pemidanaan dijatuhkan karena seseorang telah melakukan suatu kejahatanatau tindak pidana. Jadi dasar pembenaran dari teori ini adalah adanya kejahatan atau tindak pidana iru tersendiri. Terhadap pelaku kejahatan/tindak pidana harus dikenakan pembalasan yang berupa pidana yang mutlak akibat dari adanya pemidaan untuk terpidana tidak dipersoalkan. Jadi, teori ini dasar penjatuhan pidananya dapat dilihat dari perbuatan yang dilakukan atau kesalahan dari si pelaku kejatanan/tindak pidana. Sejalan dengan hal itu, Hukuman dianggap sebagai “pembalasan/imbalan” (vergelding) terhadap orang/pelaku yang melakukan perbuatan tinddak pidana ini. Dikarenakan setiap kejahatan menimbulkan penderitaan bagi korban, maka terhadap orang yang memberikan atau menyebabkan penderitaan itu haruslah juga diberikan penderitaan yang setimpal. Andi Hamzah menyatakan bahwa “Teori pembalasan tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.”
-
b. “Teori Tujuan /Teori Relatif/Utilitarian/ Doeltheorieen”
Teori ini merupakan reaksi dari teori absolut, dikarenkan tujuan dari pemidanan bukan hanya sekedar pembalasan namun juga untuk menumbuhkan/mewujudkan adanya ketertiban didalam masyarakat. Teori tujuan ini membetulkan adanya pemidanaan berdasarkan pada tujuan dari adanya pemidanaan tersebut, yaitu dnegan memberikannya pencegahan dan perlindungan masyarakat agar terhindar dari terjadinya kejahatan. Perbedaan teori ini dari banyaknya teori yang ada, yang termasuk teori tujuan terletak pada caranya teori ini untuk menggapain tujuan dan penilaian terhadap kegunaan suatu pemidanaan. Maksud dari diancamnya suatu pidana dan dijatuhkannya suatu pemidaan bagi pelaku kejahatan untuk memperbaiki pelaku tersebut, teori ini berbeda dari teori pembalasan. Maka, teori ini lebih mempersoalkan akibat dari adanya pemidanaan tersebut kepada penjahat maupun kepada kepentingan masyarakat. Serta, dipertimbangkan pula pencegahan kejahatan untuk dimasa yang mendatang. Teori Relatif/tujuan ini menyandarkan hukuman pada maksud/tujuan dari adanya hukuman, yang artinya teori ini menjadi manfaat dari adanya hukuman (nut ven de straf).
Pada Teori ini telah mencakup dasar-dasar hubungan dari teori absolut dan juga relatif, teori absolut dan juga relatif yang digabungkan menjadi satu. Teori ini dasar hukumnya adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan ataupun siksaan juga terletak pada tujuan daripada hukuman itu yang menjadi dasar untuk melindung masyarakat. Jadi dapat dismpulkan bahwa, dasar teori ini yaitu penjatuhan pidana bagi pelaku kejatan/tindak pidana terletak/dilihat dari unsur pembalasan serta juga untuk memperbaiki sikap pelaku kejahatan tersebut, yang artinya dasar dari adanya pemidanaan terletak pada kejahatan dan tujuan dari pemidanaan itu. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam teori gabungan tidak hanya mempertimbangkan dari masa lampau (seperti yang ada dalam teori pembalasan) tetapi, juga harus mempertimbangkan masa yang menentang teori relatif ini yaitu “Muladi & Barda Nawawi Arief” menjelaskan, bahwa: “Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat”. Oleh karena itu banyak orang menyebut teori ini sebagai “teori tujuan /utilitarian theory”. Jadi Adapun hal yang menjadi dasar pembenar adanya suatu pidanamenurut teori ini yaitu terletak dari tujuan pidana tersebut. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang yang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan lagi melakukan kejahatan). Datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana diharuskan memberikan kepuasan, baik untuk penjahat maupun untuk masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut ketentuan mengenai pidana/hukuman mati bagi seorang koruptor pada “pasal 2 ayat (2) UU TIPIKOR” menganut teori gabungan dikarenakan ketentuannnya digunakan untuk pembalasan dan juga sebagai pencegah agar tidak terjadinya tindak pidana korupsi tersebut. Dapat dikatakan bahwa tuntutan dan vonis pidana mati belum terlaksana dengan baik dan mengenai teori dan praktik dari pemberatan tindak pidana bagi koruptor ini masih belum berjalan secara selaras dan ketiga jenis teori pemidanaan secara umum.
Namun banyaknya orang yang mengatakan bahwa hukuman Pidana Mati melanggar hak asasi manusia dikarenakan berbicara mengenai Indonesia sebagai negara hukum, maka yang kita ketahui, negara harus terus melindungi dan menjaga prinsip dari hak asasi manusia. Negara berkewajiban untuk menjaga dan melindungi rakyatnya dari perbutaan/tindakan yang melanggar dengan hukum dan hak asasi manusia, dengan demikian seharusnya tidak ada lagi pelanggaran terhadap hak asasi manusia dimanapun masyarakat atau manusia itu berada. Perbuatan yang disengaja maupun tidak yang dilakukan oleh seorang, sekelompok orang atau aparat dilakukan dengan melawan hukum, mengahangi, membatasi bahkan mencabut hak asasi dari manusia, seseorang atau kelompok akan memperoleh penyelesaian hukum yang yang adil sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan mekanisme yang berlaku
Kembali berbicara mengenai Pidana /hukuman mati, Pelaksanaan Pidana./hukuman mati bagi seorang pelaku yang melakukan kejahatan seharunya tidaklah termasuk kedalam pelanggaran hak asasi manusa mengingat pada dasarnya pelaku kejahatan tersebut yang mana dalam hal ini seorang koruptor telah menyengsarakan masyarakat csecraa perlahan dengan mengambil hak masyarakat tersebut secara tidak tepat/sah yang pada akhirnya menyebabkan masyarakat Indonesia mengalami kemiskinan, kurangnya biaya untuk menunjang kehidupan.
Banyaknya spekulasi yang menduga bahwa pidan mati/hukuman mati hanya sekedar gertakan yang akan memberikan efek jera kepada pelaku, namun pada kenyataannya tidak efektif sehingga terciptanya kesan penghentian sementara eksekusi mati (moratorium). Jika dilihat pada kenyataanya, banyak sekali terpidana mati yang tidak benr-benar dieksekusi oleh aparat, dengan berbagai macam alasan seperti grasi dari presiden, dirubah mendjadi pidana seumur hidup bahkan samai ada yang dibebaskan setelah menjalani hukuman selama beberapa tahun, dan tidak dipungkuri ada juga yang layak dijatuhi pidana mati terhadap koruptor kelas beratnamum masih diperbolehkan bebas berkeliaran bahkan hinggamenghilang tak menentu
Meskipun banyaknya perbuatan koruptor yang telah banyak merugikan keuangan negara bahkan meresahkan masyarakat Indonesia, yang mana perbuatan itu harus dipertanggungjawabkan bahkan tidak menutup kemuungkinan diberikan pidana/hukuman mati, namun tidak terdapatnya pidana/hukuman mati terhadap koruptor, menjadikan Indonesia sebagai tempat yang paling indah untuk melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Tidak jarang pidana/hukuman mati yang terdapat dalam UU TIPIKOR diabaikan keberadaanya dari sekian banyaknya putusan pengadilan terhadap Koruptor yang melakukan tindak pidana tersebut, baik dari tindak korupsi yang dapat dibilang tingkat yang rendah hingga tingkat yang tingga hingga merugikan negara, namun hakim hanya memvonis terdakwa dengan hukuman yang dapat dibilang rendah. Hingga saat ini, belum ada koruptor yang didakwa dengan adanya ancaman pidana/hukumn mati dan kemudian dijatuhkan atau divonis pidan mati tersebut. Hakim akan semakin jauh menjatuhkan pidana/hukuman mati bagi koruptor kelas berat jika tidak adanya tuntutan dari jaksa mengenai pidana tersebut, yang mana keadaan tersebut akan semakin menunjukan bahwa keadilan semakin jauh dari masyarakat. Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat seperti halnya kemiskinan dan yang menjadi penyebab utama dikarenakan para oknum penguasa yang menyalahgunkan kekuasaanya maka dari itu pidana mati dirasa perlu untuk menghentikan kejahatann pada koruptor di Indonesia
Jadi dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum terhadap koruptor dengan vonis pidana mati oleh jaksa dan hakim masih belum dioptimalkan dalam menanggulangi tindak pidana korupsi tersebut seuhingga tidak memberikan efek yang dapat membuat jera terhadap pelaku maupun terhadap orang yang akan melakukan kejahatan tersebut. Jika dikatakan bahwa pidana mati melanggar hak asasi manusia maka hal itu sangat tidak benar karena seorang koruptor dalam melakukan kejahatan tersebut melanggar hak asasi manusia, jadi dapat dikatakan bahwa pidana hukuman mati tidaklah pelanggaran hak asasi dari manusia dalam konteks saat kejahatan tersebut berupa Tindak Pidana Korupsi.
4. Kesimpulan
Secara sitematis, Tindak Pidana Korupsi yang ada di Indonesia sudah meluas hingga masuk ke semua sektor baik tingkat pusat maupun daerah, oleh karenanya, tindak pidana Korupsi ini digolonngkan sebagai “extra ordinary crime” atau yang biasa kita sebut dengan kejahatan luar biasa. Tindak Pidana ini harus diberantas keberadaannya. Tindak pidana korupsi harus diberantas keberadaannya. pemberantasan tindak pidana korupsi ini telah diatur dalam berbagai undang-undang. Pengaturan di Indonesia yang mengatur menegai Tindak pidana korupsi adalah “Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” sebagaimana yang telah diubah dengan “UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” (UU TIPIKOR).
Pemberlakuan ancaman pidana mati diatur dalam “UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” jo “UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, pada “Pasal 2 ayat (2)”. Penegakan hukum terhadap koruptor dengan vonis pidana mati oleh jaksa dan hakim masih belum dioptimalkan dalam menanggulangi tindak pidana korupsi tersebut seuhingga tidak memberikan efek yang dapat membuat jera baik terhadap pelaku maupun tehadap orang yang akan melakukan kejahatan tersebut. Jika dikatakan bahwa pidana mati melanggar hak asasi manusia maka hal itu sangat tidak benar karena seorang koruptor dalam melakukan kejahatan tersebut melanggar hak asasi manusia, jadi dapat dikatakan bahwa pidana/hukuman mati bukanlah pelanggaran hak asasi dari manusia jika berbicara dalam konteks pada saat kejahatan tersebut merupakan kejahatan korupsi yang mana kejahatan itu juga melanggar hak asasi manusia lainnya. Alasan mempertahankan pidana mati: karena berbagai produk UU telah menetapkan secara eksplisit ancaman maksimal pidana mati dalam: Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Tindak Pidana Korupsi, UU Narkotika/Psikotropika, UU Terorisme dan UU Pengadilan HAM. Membaca UUD 1945 tidak bisa sepotong-sepotong, tetapi harus secara utuh. Memang menurut pasal 28 huruf (A) UUD 1945 menyebutkan, "Hak setiap orang untuk hidup", akan tetapi jika dibaca isi Pasal 28 huruf J UUD 1945 secara eksplisit mengatakan: "kebebasan setiap orang harus dibatasi oleh UU. 19Saran yang dapat diberikan, sebaiknya antara teori dan praktek penegakan hukum agar dapat lebih sinkronisasikan terutama pada pemidaan mati pada kasus korupsi agar dapat tercapai suatu keadilan untuk seluruh masyarakt Indonesia tanpa terkecuali. Dan semoga Jaksa Penuntut Umum dan Hakim kedepannya dapat menganut prinsip dan pandangan yang sejalan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana. 2018.
Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro. 2002.
Tim Penulis Buku Pendidikan Antikorupsi. Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. (Jakarta: Sekretariat Jenderal Kemenristekdikti. 2018.
JURNAL
Anjari, Warih. “Penerapan Pidana Mati terhadap Terpidana Kasus Korupsi”. Jurnal Masalah-Masalah Hukum 49, no. 4 (2020): 432-442.
Arianto Wardani, Koko. “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Mati terhadap pelaku Tindak PIdana Korupsi di Indonesia”. Jurnal Hukum Khaira Ummah 12, no. 4 (2017): 951-958
Budi W, Prastyo. “Problem Yuridis Penerapan Sanksi Pdana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001”. Diponegoro Law Jornal 5, no 4 (2016): 1-12
Batubara, Risva Fauzi, dkk. “Kebijakan Formulasi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Jurnal Law Reform 10, no. 1 (2014): 74-83
Failin. “Sistem Pidana dan Pemidanaan di dalam Pembaharuan Hukum pidana Indonesia”. Jurnal cendekia Hukum 3, no. 1 (2017): 14-31
Hikmawati, Puteri. “Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju Keadilan Restoratif”. Jurnal Negara Hukum 7 no. 1 (2016): 71-88
Hikmah dan Soponyono, Eko. “Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berbasis Nilai Keadilan”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 1, (2019): 74-83
Latumaerissa, Denny. “Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Ancaman Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Sasi 20, no. 1 (2014): 8-18
Mahfudz, Mar’ie. “Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020: Solusi Dalam Pedoman Pemberian Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Keadaan Tertentu”. Jurnal Cendekia Hukum 7, no 2, (2022): 257-271
Tausikal, Hadi. “Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Kejaksaan”. Jurnal Justisi 6, no. 1, (2020): 11-23
Toule, Elsa. R. M. “Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Hukum Prioris 3, no. 3 (2013): 103-110
Yanto, Oksidelfa. “Penjatuhan Pidana Mati Pelaku TIndak Pidana Korupsi dalam Keadaan Tertentu (Death Penalty to Corruptors in a Certain Condition)”. Jurnal Legislasi Indonesia 14, no. 01 (2017): 49-56
ARTIKEL
Suparman, Fana F. dan Marhaenjati, Bayu. “Catatan Hari Antikorupsi Sedunia Satu Padu Kerahkan Daya Berantas Korupsi”. (2021). URL:
https://www.beritasatu.com/nasional/864647/satu-padu-kerahkan-daya-berantas-korupsi, diakses pada 26 Desember 2021
Frans Simangunsong. “Pidana Korupsi di Indonesia, Dalam seminar korupsi”. (2014).
URL: https://media.neliti.com/media/publications/170464-ID-pidana-
Kamil, Irfan. “Profil Heru Hidayat, Terdakwa Kasus Asabri yang Dituntut Hukuman Mati”. (2021).
URL: https://nasional.kompas.com/read/2021/12/07/10523761/profil-heru-hidayat-terdakwa-kasus-asabri-yang-dituntut-hukuman-mati?page=all. Diakses pada 28 Desember 2021 pukul 21.52
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 10 Tahun 2022 hlm 1030-1044
1044
Discussion and feedback