URGENSI PEMBENTUKAN BADAN PERADILAN KHUSUS PILKADA

Dati Amaliyah, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ddatiamaliyah@gmail.com

Komang Pradnyana Sudibya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: pradnyana_sudibya@unud.ac.id

ABSTRAK

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji urgensi pembentukan badan peradilan khusus pilkada saat ini serta faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pembentukan badan peradilan khusus pilkada saat ini. Dalam studi ini metode penelitian yang digunakan adalah merupakan hukum normatif dengan pendekatan Perundang-Undangan dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder serta dengan menggunakan teknik deskripsi. Hasil studi menunjukkan bahwa pembentukan badan peradilan khusus pilkada ini memanglah merupakan amanat daripada undang-undang. Akan tetapi hingga sampai dengan saat ini pembentukan badan peradilan khusus pilkada masih belum terealisasi, yang dikarenakan terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat terbentuknya lembaga tersebut. Terlebih lagi, dengan dikeluarkannya pula putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 85/PUU-XX/2022 yang secara tidak langsung menghilangkan sifat kesementaraan yang diatur dalam UU No. 8 tahun 2015 atas kewenangan Mahkamah Kontitusi dalam menangani sengketa terkait dengan perselisihan hasil pemilihan umum termasuk didalamnya sengketa atas pilkada tersebut.

Kata Kunci : Pilkada, Badan Peradilan Khusus, Sengketa, Pelanggaran

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine the urgency of establishing a special judicial body for the current election and the factors that are obstacles in the formation of a special judicial body for the current election. In this study the research method used is normative law with a statutory approach and a legal concept analysis approach using primary and secondary legal materials and using descriptive techniques. The results of the study show that the formation of a special judiciary body for regional elections is indeed a mandate rather than a law. However, until now the formation of a special election court body has not been realized, which is due to several factors that have become obstacles to the formation of this institution. What's more, with the issuance of the decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number 85/PUU-XX/2022 which indirectly eliminates the temporary nature regulated in Law no. 8 of 2015 on the authority of the Constitutional Court in handling disputes related to disputes over the general election results including disputes over the local elections.

Keywords: Regional Head Election, Special Judicial Body, Dispute, Violation

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara yang saat ini dikenal sebagai negara demokratis. Dalam memastikan terwujudnya demokrasi dalam penyelenggaraan suatu negara maka perlu dipastikan bahwa indikator-indikator daripada sebuah negara yang demokratis tersebut telah terlaksana dengan baik. salah satu diantaraya apabila dilihat dari aspek hak warga negara adalah terpenuhinya hak warga negara melalui penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung. Selain daripada itu, sebagaimana yang diketahui bahwa negara Indonesia ini merupakan negara demokrasi terbesar ketiga serta merupakan salah satu negara dengan pelaksanaan demokrasi terbesar yang ada di dunia. Hal ini tentunya tidak mengherankan mengingat negara Indonesia dalam penerapan pelaksanaan pemilihan para wakil rakyat baik dari ranah eksekutif maupun legislatif ataupun apabila dilihat dari aspek vertikal dari tataran pemilihan presiden hingga pemilihan para kepala daerah semuanya dilaksanakan secara langsung. Hal ini tentunya menjadi hal yang patut diapresiasi dalam segi pelaksanaannya terlebih lagi mengingat bahwa saat ini, negara-negara di dunia mayoritas menganggap bahwa demokrasi merupakan sebuah simbol peradaban yang modern. Oleh karenanya, akibat daripada mendunianya demokrasi tersebut menimbulkan semacam sebuah kewajiban tidak tertulis bagi negara-negara untuk melabelkan dirinya sebagai negara demokrasi dalam tataran konsep politik yang dimilikinya. 1 Secara teoritik sistem pemilihan dikenal dengan sistem pemilihan proporsional dan sistem pemilihan distrik. 2 Sistem pemilihan proporsional adalah prinsip bahwa partai-partai harus diwakili dalam sebuah parlemen atau pemerintahan,3 sedangkan sistem pemilihan distrik mengacu pada daerah pemilihan dengan kandidat yang memperoleh suara kursi terbanyak secara mayoritaslah yang ditetapkan sebagai pemenangnya.

Pelaksanaan pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung di Indonesia khususnya dalam pembahasan ini adalah pemilihan kepala daerah merupakan suatu bentuk telah diwujudkannya demokrasi itu sendiri. Akan tetapi kemudian yang menjadi persoalan adalah maraknya permasalahan yang timbul dalam setiap pelaksanaan pilkada tersebut. Pilkada yang dijalankan setiap 5 tahun sekali ini dalam prosesnya pemilihan kepala daerahnya hingga ditahap penetapan hasil pilkada tidak pernah terlepas daripada berbagai permasalahan baik dari skala kecil hingga ke skala besar yang berdampak luas.

Permasalahan dalam pilkada ini kerapkali ditimbulkan atas beberapa hal, yang apabila dilihat dari aspek prosesnya maka seringkali adanya persoalan kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam ini seringkali dilakukan dengan tujuan untuk menjatuhkan pihak lawan yakni pasangan calon lain

melalui berbagai platform baik itu media konvensional maupun media internet.4 Permasalahan yang timbul dalam proses pilkada ini tidak hanya berkenaan dengan kampanye hitam, namun yang marak terjadi pula adalah terkait dengan adanyaa politik uang (money politic). Politik uang ini merupakan praktik suap-menyuap 5 yang tentunya telah melanggar dan merusak citra pilkasa itu sendiri. Mirisnya, praktik atas politik uang ini telah menjadi sebuah kekuatan yang terselubung bahkan dianggap sebagai indikator yang sangat menentukan tidak hanya ditaraf regional bahkan juga merambat hingga global.6 Kemudian apabila dilihat dari aspek hasil pilkada, permasalahan yang kerap kali timbul adalah akibat dari adanya ketidakpuasaan ataupun ketidakterimaan pihak yang kalah atas hasil penetapan pilkada yang ada. Sehingga tidak jarang permasalahan ini memprovokasi terjadinya berbagai demonstrasi di wilayah terkait.

Atas dasar berbagai permasalahan yang timbul dan kerapkali berulang setiap adanya proses pilkada ini menyebabkan banyaknya perdebatan terkait dengan urgensi pembentukan pengadilan khusus yang menangani persoalan pilkada. Pengadilan tersebut dianggap perlu untuk menangani persoalan pilkada yang begitu banyak sehingga dapat dihimpun dalam satu atap peradilan. Hal ini selaras pula dengan yang diamanatkan melalui “UU No. 8 tahun 2015” pada ketentuan “pasal 157 ayat (1)” nya menyatakan bahwa, “Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.” Amanat UU tersebut kerap dijadikan landasan agar segera membentuk sebuah peradilan khusus pilkada sebagai wujud realisasi atas UU yang ada serta dengan harapan berbagai persoalan pilkada yang ada dapat tertangani secara jelas oleh satu ruang lingkup badan peradilan.

Akan tetapi di satu sisi, urgensi pembentukan badan peradilan khusus pilkada ini tidak selalu hanya menuai pandangan pro namun juga beriringan dengan adanya pandangan kontra. Hal ini dikarenakan masih abstraknya konsepsi pembentukan badan peradilan khusus pilkada apakah akan dibentuk di setiap wilayah ataukah menjadi lembaga yang berdiri sendiri terpusat secara nasional. Mengingat apabila kemudian kedepannya pembentukan badan peradilan khusus pilkada ini dibentuk di setiap daerah maka akan mendekatkan pada hasil putusan yang sarat akan kepentingan politik dan tidak adil.

Adapun beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai acuan dalam penulisan ini adalah diantaranya penelitian yang dilakukan oleh “Yonata Harefa, dkk dengan Judul Urgensi Pembentukan Badan Peradilan Khusus Dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Langsung” dan penelitian

yang dilakukan oleh “Ibnu Affan dengan mengangkat judul Menanti Peradilan Khusus Pilkada”. 7 Dalam penelitian yang diangkat ini yang membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian yang dibuat oleh penulis ini mengangkat permasalahan terkait dengan faktor-faktor penghambat terbentuknya badan/lembaga peradilan khusus pilkada ini yang oleh penelitian-penelitian sebelumnya tidak dibahas.

Maka dari itu, mengingat begitu banyaknya pro dan kontra atas hal tersebut dirasa perlu bagi penulis untuk mengangkat pembahasan mengenai “Urgensi Pembentukan Lembaga Peradilan Khusus Pilkada Berdasarkan Amanah Undang-Undang”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan atas uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan diantaranya adalah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimanakah urgensi pembentukan badan peradilan khusus pilkada saat ini ?

  • 2.    Faktor-faktor apakah yang menjadi hambatan dilakukannya pembentukan badan peradilan khusus pilkada saat ini ?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui urgensi pembentukan badan peradilan khusus pilkada serta faktor-faktor yang menjadi hambatan dilakukannya pembentukan badan peradilan khusus pilkada saat ini.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan sebuah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti sebuah bahan pustaka maupun data sekunder. 8 Studi ini mempergunakan pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (Statute Approach) yakni dengan menganalisis peraturan perundang-undangan serta dengan menggunakan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach).9 Dalam studi ini digunakan bahan hukum primer yang meliputi berbagai Peraturan Perundang-Undangan terkait, bahan hukum sekunder berupa literatur, karya tulis ilmiah, dan artikel, serta lain-lainnya. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan diantaranya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota

Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dalam mengumpulkan bahan hukum untuk penulisan ataupun studi ini dengan menggunakan teknik deskripsi.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Urgensi Pembentukan Badan Peradilan Khusus Pilkada Saat Ini

Berkenaan dengan pembentukan lembaga peradilan khusus pilkada bahwa memang pada ketentuan “Pasal 157 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015” telah disinggung terkait dengan hal tersebut yang mana dinyatakan melalui bunyipada ketentuan pasal tersebut bahwa :

  • (1 )  “Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan

khusus.”

  • (2 ) “Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.”

  • (3 ) “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.” Melalui ketentuan pasal di atas diketahui amanat untuk membentuk badan peradilan khusus yang menangani terkait dengan sengketa pemilihan kepala daerah ini telah tertuang dan memiliki landasan hukum sebagai dasar pembentukannya. Selain daripada itu terdapat beberapa hal yang kemudian menjadi alasan mengapa kemudian pembahasan mengenai urgensi badan peradilan khusus pilkada ini perlu untuk terus dikaji secara mendalam, yakni di antaranya adalah sebagai berikut :

  • 1.    Terdapat begitu banyak kasus pelanggaran pilkada yang terjadi baik yang bersifat administratif maupun yang bersifat pidana.

  • 2.    Tidak jarang terjadinya perbedaan pandangan antara para lembaga yang menangani terkait dengan pilkada diantaranya yakni PANWAS, Kepolisian, maupun kejaksaan dalam menangani penyelesaian terkait dengan perkara tindak pidana pilkada.

  • 3.    Belum terlaksana secara efektifnya mekanisme penanganan terhadap berbagai kasus pelanggaran pilkada yang ada pada tahap pra atau sebelum masuk ke ranah penanganan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

  • 4.    Terdapat kesan bahwa Mahkamah Konstitusi seakan menampung segala persoalan sengketa pemilihan umum yang ada termasuk dalam hal ini sengketa pilkada yang ada.

Akan tetapi sampai dengan sekarang yang menjadi persoalan adalah masih belum ada konsepsi yang jelas terkait bagaimana kemudian badan peradilan khusus yang dimaksud tersebut. Berbagai pro dan kontra serta berbagai jenis persepsi juga bermunculan dalam menanggapi pembentukan badan peradilan khusus pilkada apakah kemudian memang harus dibentuk sebuah badan baru atau cukup menyempurnakan lembaga-lembaga yang sudah ada atau mereformasi kewenangan penanganan pilkada kepada lembaga lain. Namun hingga saat ini, setelah bertahun-tahun UU tersebut dibentuk masih belum ada gambaran yang nyata bagaimana kemudian badan peradilan khusus pilkada tersebut dibuat. Pembentukan badan peradilan khusus pilkada ini tidak hanya beranjak dari adanya amanat daripada UU terkait melainkan juga sebagai tumpuan harapan agar segera terwujudnya

suatu lembaga yang dalam penyelesaian berbagai sengketa terkait pilkada baik sengketa hasil pilkada maupun non-hasil atau pelanggaran dalam proses pilkada dapat terselesaikan melalui satu lembaga terpadu yang jelas. Sehingga tidak terpisah-pisah seperti prakteknya sekarang, seperti halnya yang kita ketahui bahwa sengketa hasil pemilihan umum termasuk didalamnya sengketa hasil pilkada sesuai dengan yang tertuang dalam ketentuan “pasal 24C ayat (1) UUD 1945” menjadi kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi yang dipertegas pula pada “pasal 157 ayat (3) Undang-Undang No. 8 tahun 2015”.

Berbeda halnya ketika berbicara mengenai sengketa non hasil atau dapat dikatakan sebagai sengketa proses hasil pilkada itu sendiri yang mana menjadi ranah kewenangan daripada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sesuai dengan ketentuan “Pasal 461 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu”10, serta menjadi ranah kewenangan bagi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga yang mana seperti yang diketahui bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu dari lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki andil dalam menangani sengketa pemilu khususnya yang berkenaan dengan sengketa administrasi ataupun sengketa awal. Namun, tentunya dikecualikan untuk sengketa hasil atau sengketa akhir. Hal ini dikarenakan secara normatif sengketa hasil merupakan ranah penyelesaian sengketa yang tidak boleh disentuh oleh PTUN sebagaimana yang disebutkan didalam “Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara” yang menyatakan, “Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.”11

Maka diketahui bahwa sengketa pilkada yang berkaitan dengan sengketa hasil merupakan ranah kewenangan daripada Mahkamah Konstitusi sedangkan pelanggaran-pelanggaran yang timbul dalam proses pilkada atau disebut juga dengan sengketa non-hasil merupakan ranah kewenangan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bercabangnya proses penyelesaian dalam menghadapi adanya sengketa Pilkada tersebut memunculkan berbagai pandangan bahwa sudah sepatutnya untuk merealisasikan adanya badan peradilan khusus pilkada yang mampu mewadahi berbagai persoalan yang timbul akibat dari pelaksanaan pilkada kedepan nantinya. Terlebih lagi, akan dilaksanakannya pelaksanaan pilkada secara serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 di seluruh daerah yang ada Indonesia yang termasuk di dalamnya tingkat provinsi, kabupaten maupun kota.12

Pelaksanaan pilkada serentak ini tentunya tidak dapat dipungkiri akan banyak sekali menimbulkan berbagai persoalan nantinya baik dari tataran pra pelaksanaan pilkada hingga pada akhir penetapan hasil pilkada tersebut. Hal itu menjadi salah satu alasan yang kerapkali dikemukakan mengapa kemudian penting untuk dibentuknya badan peradilan khusus pilkada tersebut. Selain itu, kerapkali upaya hukum dalam proses pelaksanaan Pilkada yang pernah terjadi hingga saat ini masih belum selalu bahkan dapat dikatakan masih tidak dapat mencukupi rasa keadilan yang dirasakan oleh masyarakat, seperti halnya saja terdapat sebuah putusan yang baru dikeluarkan oleh pengadilan namun setelah proses Pilkada telah dilaksanakan dan berlapis-lapisnya upaya hukum Pilkada yang ada sehingga kerapkali dirasa kontraproduktif dengan proses Pilkada yang dibatasi oleh adanya jangka waktu tertentu.13

Akan tetapi mengingat hingga saat ini masih belum matangnya gambaran maupun konsepsi seperti apa peradilan khusus pilkada yang akan dibentuk tersebut serta dikorelasikan dengan sisa waktu pelaksanaan pilkada yang tidak lagi lama akan dihelat tentunya sulit kemungkinan untuk terbentuknya badan peradilan khusus pilkada tersebut di masa sekarang. Selain daripada itu, kondisi perekonomian negara yang belum dapat dikatakan stabil pasca adanya pandemi yang melumpuhkan hampir seluruh sektor perabadan yang ada, menjadi salah satu pertimbangan yang harus dianalisis secara baik bahwa untuk saat ini pembentukan peradilan khusus pilkada diperkirakan masih sulit untuk terealisasi dalam waktu dekat. Mengingat pula, dalam pembentukan sebuah badan peradilan khusus pilkada tentunya tidak saja tentang bagaimana kemudian struktural kelembagaan tersebut, namun juga yang pasti sangat dibutuhkan adalah alokasi anggaran untuk pembentukan badan peradilan khusus. Namun melihat kondisi yang ada saat ini masih kurnag memungkinkan untuk terbentuknya badan peradilan khusus tersebut. Oleh sebab itu, memaksimalkan lembaga-lembaga yang sudah ada terlebih dahulu menjadi alternatif yang sekiranya dapat dilakukan oleh pemerintah saat ini.

Terlebih lagi mengingat bahwa dengan dikeluarkannya “Putusan MK RI Nomor 85/PUU-XX/2022” yang dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa bahwa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada “Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) bertentangan dengan UUD 1945”, 14 serta tidak mempunya suatu kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu juga, dengan

diputuskannya bahwa ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan (2) menjadi inkonstitusionalitas membawa dampak atau implikasi kepada ketentuan Pasal 157 ayat (3) yang mana menyebabkan hilangnya causa kesementaraan yang diatur dalam Pasal tersebut. Sehingga akibat dari itu, memberikan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi memiliki batasan hingga hanya “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, melainkan dapat bersifat permanen.

Akan tetapi hal ini tentunya, tidak lantas menjadikan pembentukan badan atau lembaga peradilan khusus pilkada ini diartikan sebagai suatu hal yang tidak penting. Melainkan, pembahasan mengenai pembentukan badan/lembaga peradilan khusus pilkada tersebut harus tetap menjadi pembahasan yang secara terus menerus didengungkan untuk kemudian nantinya dicapai suatu bentuk badan peradilan khusus yang memang akan menangani khusus perkara pilkada. Terlepas daripada, apakah kemudian badan/lembaga peradilan khusus tersebut akan dibentuk menjadi suatu peradilan yang tidak terpisah dari Mahkamah Konstitusi atau kemudian nantinya akan dibentuk suatu badan peradilan baru dengan memangkas seluruh kewenangan pada lembaga lain yang menangani pilkada dan dipusatkan pada suatu badan peradilan saja.

  • 3.2.    Faktor-Faktor Yang Menjadi Hambatan Pembentukan Badan Peradilan Khusus Pilkada

Adapun beberapa hal yang menjadi hambatan dalam pembentukan badan peradilan khusus pilkada untuk saat ini diantaranya adalah sebagai berikut :

  • 1.    Anggaran Negara yang sangat terbatas saat ini, dikarenakan :

  • a.    Telah tersedot untuk alokasi anggaran dalam pembentukan IKN

Dalam rangka pemindahan ibu kota negara (IKN) pasti akan membutuhkan pembiayaan dalam pembangunannya. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan dalam sebuah Dialog Nasional, yang mana menyebutkan bahwa dalam rangka pembiayaan atas perencanaan pemindahan ibu kota negara (IKN) ini bersumber dari tiga buah skema yakni di antaranya adalah bersumber dari APBN, Kerja Sama yang dilakukan oleh Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), serta dengan pihak swasta (skema kerja sama pemanfaatan).15 Bahwa dengan disebutkannya APBN sebagai salah satu sumber pendanaan pembangunan IKN meskipun belum disebutkan secara pasti nominal alokasi anggaran yang akan dipusatkan untuk pembangunan IKN, akan tetapi tentu saja pembangunan IKN nantinya akan mengeluarkan dana yang tidak terbilang sedikit terlebih lagi perekonomian pasca adanya pandemi

belum dapat dikatakan stabil. Atasa dasar hal tersebut, jelas disadari bahwa saat ini, perhatian pemerintah masih terfokus pada pembangunan IKN serta pemulihan ekonomi pasca pandemi rasanya menjadi dasar landasan mengapa kemudian realisasi untuk mengkosepkan serta mewujudkan terbentuknya badan/lembaga peradilan khusus pilkada dalam rangka menyambut pilkada serentak di tahun 2024 mendatang masih cukup sulit terealisasi. Oleh karenanya, atas dasar hal tersebut salah satu alternatif yang perlu dilakukan saat ini adalah memaksimalkan lembaga peradilan yang ada untuk menghadapi pilkada 2024 mendatang.

  • b.    Negara baru bebas dari pandemi covid-19

Sebagaimana yang dilansir dari situs bbc menyebutkan bahwa Negara Indonesia mengalokasikan dana dalam penanganan pandemi ini berkisar senilai Rp 677,2 triliun dalam rangka pembiayaan untuk penanganan Covid-19. Adapun rincian daripada alokasi anggaran tersebut yakni terdiri dari Rp 87,55 triliun yang dialokasikan untuk bidang kesehatan serta sebesar Rp 589,65 triliun dialokasikan untuk pemulihan ekonomi nasional.16 Tentu melihat dari nominal yang ada bukanlah nominal yang sedikit. Oleh sebab itu, besarnya alokasi anggaran yang difokuskan untuk penanganan akibat dari adanya pademi covid-19 tersebut dirasa menjadi salah satu faktor masih sulitnya apabila saat ini usulan untuk segera membentuk lembaga peradilan khusus pilkada direalisasikan. Hal ini dikarenakan untuk saat ini bagaimanapun skala prioritas utama pemerintah masih terfokus pada penanganan pengendalian di bidang kesehatan pasca adanya pandemi yang melumpuhkan hampir seluruh sektor perekonomian negara.

  • 2.    Sarana perkantoran maupun sarana prasana pendukung lainnya belum tersedia setidak-tidaknya untuk seluruh wilayah provinsi di Indonesia

Berbicara mengenai pembentukan badan peradilan khusus pilkada ini seperti yang diketahui bahwa pilkada tentunya adalah pemilihan umum secara langsung yang akan dilaksanakan di setiap daerah, yang tentunya dalam pembentukan badan peradilan khusus tersebut setidak-tidaknya dibutuhkan diseluruh provinsi di Indonesia untuk menangani berbagai sengketa yang kemudian timbul baik sengketa hasil pilkada maupun pelanggaran-pelanggaran non-hasil atau selama proses pilkada dijalankan. Tidak hanya memandang dari aspek realisasi atas konsep badan peradilan khusus pilkada, namun beriringan dengan hal tersebut dibutuhkan sarana prasara serta bangunan nyata berupa perkantoran sebagai perwujudan atas adanya badan peradilan khusus pilkada yang tentunya tidak serta merta semudah itu dapat dilakukan dalam waktu singkat. Oleh karena itu, sarana perkantoran yang masih belum tersedia

menjadi salah satu sektor yang menjadi hambatan terwujud secara kongkritnya badan peradilan khusus pilkada ini.

  • 3.    SDM Hakim dan SDM Pegawai yang belum tersedia

Sebagaimana yang diketahui bahwa hingga saat ini dalam penanganan pilkada baik sengketa hasil maupun non-hasil ditangani oleh lembaga yang berbeda. Terdapat beberapa lembaga yang terlibat dalam penanganannya seperti apabila berbicara terkait dengan sengketa hasil maka merupakan ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi, sedangkan terkait dengan non-hasil menjadi ranag kewenangan Bawaslu dan PTUN. Oleh sebab itu, tidak mungkin apabila badan peradilan khusus pilkada tersebut dibentuk, maka mengambil hakim konstitusi ataupun hakim PTUN untuk menjadi hakim dalam badan peradilan khusus pilkada. Hal ini dikarenakan tentu diketahui bersama bahwa terdapat larangan bagi hakim untuk merangkap jabatan hal ini selaras dengan yang tertuang dalam ketentuan Pasal 17 pasal Undang-undang No. 7 Tahun 1989.17 Atas dasar hal itu, tentu disadari bahwa SDM hakim untuk memenuhi badan peradilan khusus pilkada ini masih belum tersedia begitu pula dengan SDM pegawainya. Karena bagaimanapun yang sangat perlu untuk disadari bahwa sumber daya yang terpenting untuk memastikan terselenggaranya peradilan ini ialah sdm hakim dan sdm pegawai itu sendiri.

  • 4.    Penanganan dan penyelesaian sengketa pilkada yang ditangani MK RI selama ini cukup bagus

Penanganan dan penyelesaian sengketa pilkada yang ditangani oleh Mahkamah Kontitusi dalam memutus perkara mengalami perkara yang sangat pesat. Sebagaimana yang diketahui bahwa putusan yang dikeluarkan oleh MK tidak hanya terbatas pada hasil Pilkada tingkat provinsi saja melainkan juga diranah tingkat kabupaten/kota. Selain daripada itu, apabila dilihat secara mendalam terdapat perbedaan yang dilakukan oleh MA dan MK dalam aspek putusan sengketa pilkada ini. Yang mana Mahkamah Agung lebih condong menggunakan pendekatan procedural justice. Sedangkan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi RI lebih kearah pendekatan menggunakan substancial justice yakni menitik beratkan pada aspek electoral process.

Mahkamah Konstitusi secara jelas menyatakan bahwa memiliki kewenangan dalam hal persoalan judicial process dalam memastikan bahwa pilkada yang terselenggara sejauh ini dilakukan tidak hanya sekedar menitikberatkan pada aspek kuantitas melainkan utamanya haruslah difokuskan pada tingkat kualitasnya yakni dengan melihat aspek pelanggaran yang terjadi selama proses pilkada yang berpengaruh pada angka perolehan suara yang didapatkan. Langkah yang dilakukan oleh Mahkamah Kontitusi ini menunjukkan sebuah trobosan hukum bagus yang dapat memajukan demokrasi serta berusaha untuk

menghilangkan maupun meminimalisir adanya kebiasaan praktik pelanggaran sistematis, terstruktur, serta massif (STM).

Dalam penanganannya Mahkamah Konstitusi tidak hanya MK tidak hanya melakukan penghitungan kembali atas hasil perolehan suara, melainkan juga mencoba menggali keadilan serta mengadili hasil perselisihan yang ada. Sehingga, putusan atas sengketa pilkada yang kemudian dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi menjadi bervariasi baik dari aspek penghitungan perolehan suara ulang baik sebagian ataupun secara keseluruhan hingga sampai pada pendiskualifikasian salah satu pasangan calon pilkada.18

  • 5.    Rentan terjadi konflik karena peradilan khusus pilkada berada di provinsi sehingga memudahkan peserta pilkada memobilisasi massa pendukungnya.

Badan peradilan khusus pilkada yang dengan menempatkan peradilan khusus tersebut diseluruh wilayah Indonesia setidak-tidaknya di setiap provinsi akan rentan menimbulkan adanya konflik yang massif hal ini dikarenakan dari segi jarak peradilan dengan pihak yang bersengketa cukup dekat sehingga memudahkan peserta pilkada memobilisasi    massa    pendukungnya    dalam    menyatakan

ketidakpuasannya atas hasil putusan nantinya. Yang ditakutkan adalah rentannya terjadi berbagai anarkisme yang akan berimbas pada peradilan khusus pilkada tersebut karena bagaimanapun tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat partisipasi yang cukup tinggi yang dimiliki masyarakat pada setiap pemilihan kepala daerah juga akan berdampak pada tingginya respon masyarakat terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan pilkada. Selain daripada itu, ditakutkan pula berkontribusinya kepentingan politik dalam setiap putusan terkait sengketa pilkada nantinya.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan Bahwa urgensi pembentukan badan peradilan khusus pilkada ini dilandaskan atas amanat daripada” UU No. 8 tahun 2015”. Selain daripada itu, juga dikarenakan banyaknya pelanggaran selama pelaksanaan pilkada serta banyaknya sengketa perkara atas hasil pilkada. Masih bercabangnya peradilan yang menangani berbagai perkara yang berkenaan dengan pilkada juga menjadi dasar mengapa kemudian diharapkan segera terbentuknya badan peradilan khusus pilkada. Akan tetapi dikarenakan hingga saat ini belum ada gambaran final terkait dengan badan peradilan khusus pilkada yang akan dibentuk maka sulit untuk direalisasikan peradilan khusus tersebut dalam menyambut pilkada 2024 mendatang. Serta juga mengingat telah adanya putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 yang pada intinya menyatakan bahwa sifat kesementaraan MK dalam hal menangani sengketa perselisihan pemilu termasuk didalamnya pilkada tidak lagi bersifat sementara. Selain daripadat itu, berkenaan dengan faktor-faktor yang

menjadi hambatan pembentukan badan peradilan khusus pilkada disebabkan oleh beberapa hal yakni dikarenakan anggaran negara yang sangat terbatas saat ini, sarana perkantoran maupun sarana prasana pendukung lainnya belum tersedia setidak-tidaknya untuk seluruh wilayah provinsi di Indonesia, SDM Hakim dan SDM Pegawai yang belum tersedia, penanganan dan penyelesaian sengketa pilkada yang ditangani MK RI selama ini cukup bagus serta rentan terjadi konflik karena peradilan khusus pilkada berada di provinsi sehingga memudahkan peserta pilkada memobilisasi massa pendukungnya.

  • 5.    Daftar Pustaka

BUKU

Haboddin, Muhtar. Dinamika Pilkada dan Demokrasi Lokal di Indonesia. (Malang, UB Press, 2016).

Heywood, Andrew. Politik. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014).

Sirozi, El-Manaf. Politik Uang dan Gerakan Pelemahan Demokrasi. (Surabaya, Cahya Press, 2008).

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normati : Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003).

JURNAL

Amal, Bakhrul. Kewenangan Mengadili Oleh Bawaslu Atas Sengketa Proses Pemilu Yang Diatur Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Jurnal Masalah-Masalah Hukum 48, No. 3 (2019) : 306-311

Azmi, Rama Halim Nur. Urgensi Realisasi Badan Peradilan Pilkada Untuk Menciptakan Sistem Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Yang Efektif dan Konstitusional. Jurnal Adyasta Pemilu 3, No. 2 (2020) : 183-203

Doly, Denico. Penegakan Hukum Kampanye Hitam (Black Campaign) Di Media Sosial : Pembelajaran Pemilihan Umum Presiden Tahun 2019. Jurnal Kajian 25, No. 1 (2020) : 1-18

Hadi, Fikri, Rosa Ristawati. Pemindahan Ibu Kota Indonesia dan Kekuasaan Presiden Dalam Perspektif Konstitusi. Jurnal Konstitusi 17, No. 3 (2020) : 531557

Harefa, Yonata, Haposan Siallagan, Hisar Siregar. Urgensi Pembentukan Badan Peradilan Khusus Dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Langsung. Nommensen Journal Of Legal Opinion 1, No. 1 (2020) : 139-152

Nugraha, Fajar Kuala. Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah. Jurnal Transformative 2, No. 1 (2016) :58-74

Permana, Tri Cahya Indra. Dinamika Sikap PTUN Terhadap Sengketa Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal Hukum dan Peradilan 7, No. 2 (2018) : 175-194

Prasetyo, Hafidh Mujiono. Kejahatan Politik Uang (Money Politics) Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Terhadap Konstruksi Pemerintahan. Administrative Law & Governance Journal 3, No. 3 (2020) : 464-480

Rosana, Ellya. "Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia". Jurnal TAPIs 12, No. 1 (2016) : 38-53

Sakirman. Tafsir Hukum Atas Posisi Ganda Hakim di Indonesia. Jurnal Konstitusi 14, No. 1 (2017) : 189-212

Seran, Gotfridus Goris. Konstitusionalitas dan Desain Pemilukada Langsung Serentak Nasional. Jurnal Konstitusi 16, No. 3 (2019) : 656-676

Wicaksono, Dian Agung. Inisiasi Pengadilan Khusus Pemilihan Kepala Daerah Dalam Menghadapi Keserentakan Pemilihan Gubenur, Bupati, dan Walikota Di Indonesia. Jurnal Rechtsvinding 4, No. 1 (2015) : 157-179

WEBSITE

Argawati, Utami. 2022, Kewenangan MK Menyelesaikan Sengketa Pilkada Bersifat

Permanen, URL : https://www.mkri.id/index.php?page=web.Beri ta&id=18566&menu=2, diakses tanggal 5 Oktober 2022

BBC News Indonesia. 2022, Ibu Kota Nusantara: Penggunaan APBN untuk pembangunan IKN, pakar sebut 'akan korbankan program masyarakat', URL : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-60021821, di akses tanggal 07 Oktober 2022

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O17 Nomor L82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400)

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 7 Tahun 2022 hlm 738-750

750