PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN HEWAN YANG MENGALAMI PENGANIAYAAN
on
PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN HEWAN
YANG MENGALAMI PENGANIAYAAN
Agus Ariarta, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: agusariarta2015@gmail.com
Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: diah_ratna@unud.ac.id
ABSTRAK
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji pengaturan hukum terhadap tindak pidana penganiayaan terhadap hewan serta keberlakuannya di masa yang akan datang. Studi ini menggunakan metode hukum normatif dengan didukung studi kepustakaan hukum. Hasil studi menunjukkan bahwa tindak pidana penganiayaan hewan ini termasuk kedalam kejahatan kesusilaan, serta pengaturan perlindungan hukum terhadap hewan yang mengalami penganiayaan telah diakomodir dalam beberapa undang-undang di Indonesia seperti KUHP, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dan lain-lain. Kemudian dari praktik kedepannya masih perlu ada pembaharuan di beberapa rumusan yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Selain itu peran serta dari aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat juga penting dalam rangka pemberantasan tindak pidana penganiayaan terhadap hewan ini.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Hewan, Penganiayaan
ABSTRACT
The purpose of this paper is to examine how the legal regulation of the criminal act of animal abuse and its application in the future. This study uses a normative legal method with the support of a legal literature study. The results of the study then show that the crime of animal abuse is included in an immoral crime, as well as the regulation of legal protection for animals that experience abuse have been accommodated in several laws in Indonesia. Then from future practice there still needs to be updates in several formulations that are no longer relevant to current conditions. In addition, the participation of law enforcement officers and public awareness is also important in the context of eradicating criminal acts of animal abuse.
Keywords: Legal Protection, Animals, Persecution
Indonesia merupakan negara hukum, yang bermakna dalam menjalankan pemerintahannya tentu berdasarkan atas hukum yang berlaku (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Hal tersebut juga berlaku bagi setiap perbuatan yang dilakukan oleh warga negara, juga harus dan tak boleh berlawanan dengan aturan yang berlaku. Adanya hukum ini tidak lepas dari aktivitas masyarakat karena kembali lagi, hukum merupakan suatu produk mengendalikan kelakuan setiap masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Namun tidak menutup kemungkinan, masih saja ditemukan beberapa perbuatan dari masyarakat yang bertentangan dengan hukum Indonesia. Salah satu perbuatan tersebut yakni penganiayaan terhadap hewan. Hewan mengacu pada Pasal 1 angka 3 UU No. 18 Tahun 2009 diartikan sebagai binatang atau satwa yang siklus kehidupannya berada di darat, air maupun udara, entah itu dipelihara maupun di habitat aslinya.
Penganiayaan terhadap hewan sendiri bukan merupakan suatu perkara yang asing didengar di telinga masyarakat Indonesia. Penganiayaan terhadap hewan ini bisa dilihat dari berbagai cara, seperti penyiksaan/pembunuhan terhadap hewan peliharaan maupun hewan liar di sekitar lingkungan, kemudian ada perburuan illegal terhadap satwa yang hampir punah dan harusnya dilindungi oleh negara dan masih banyak lagi. Kasus mengenai penganiayaan yang ada di Indonesia sebenarnya sudah marak terjadi, namun banyak pihak yang serasa enggan dan menutup mata terkait dengan adanya kasus-kasus mengenai penganiayaan hewan tersebut. Hal tersebut memberi bukti bahwa kasus penganiayaan terhadap hewan di Indonesia masih kurang mendapat perhatian pemerintah.
Kurangnya perlindungan terhadap hewan tersbut juga didukung oleh data dari Asia For Animal Coalition pada tahun 2021 lalu, konten penyiksaan hewan terbanyak di media sosial berasal dari Indonesia (sebanyak 1626 konten penyiksaan hewan).1 Ditambah lagi, data dari World Animal Protection menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat E terkait perlindungan hewan, serta tidak ada perkembangan baik sejak tahun 2014. Keseluruhan data tersebut tentunya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kasus-kasus penganiayaan terhadap hewan ini juga patut untuk diperhatikan. Apalagi kejahatan mengenai penganiayaan hewan ini termasuk kedalam kejahatan asusila, dimana perbuatan tersebut melanggar norma-norma dan nilai moral yang berlaku di masyarakat.
Pelaku dari kasus penganiayaan hewan ini tidak terlepas dari kalangan orang dewasa, namun anak-anak remaja juga melakukan perbuatan tidak bermoral tersebut. Mengingat bahwa negara Indonesia menjadi negara dengan konten penganiayaan hewan terbanyak di dunia melalui kanal media sosial, kita tentu tau bahwa pelakunya tidak hanya orang dewasa saja. Makhluk hidup apapun ciptaan Tuhan Yang Maha Esa juga mempunyai hak asasi mereka masing-masing. Walaupun hak asasi mereka tidak sekompleks kita sebagai umat manusia, mereka juga memiliki beberapa hak asasi seperti hak hidup, hak untuk bebas baik itu dari penyiksaan atau rasa sakit, maupun hak-hak lainnya.2 Hak tersebut termasuk ke dalam hak asasi hewan, yang diakomodir secara universal melalui Universal Declaration of Animal Rights yang dicetuskan pada tanggal 15
Oktober 1978 oleh UNESCO. Sayang hak asasi tentang hewan nyatanya belum banyak masyarakat yang mengetahui itu dan perlu digarisbawahi, hal itu bukan sebagai alasan eksistensi hak mereka ditiadakan.
Penyiksaan hewan dalam praktiknya harus diberantas, hal ini merupakan bentuk dari penegakan hukum positif di Indonesia. Walaupun terlihat sepele kasus penganiayaan terhadap hewan harus tetap diberantas dikarenakan banyak hewan yang bisa menjadi cacat ataupun mati. Sebagai jawaban atas permasalahan mengenai kasus penganiayaan terhadap hewan, negara kita sebenarnya sudah memiliki beberapa payung hukum untuk mengakomodir kasus penganiayaan terhadap hewan. Contohnya dapat kita lihat melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, dimana dalam produk hukum tersebut mengklasifikasikan penganiayaan hewan ini kedalam tindakan asusila khususnya pada pasal 302 dan pasal 406 ayat (2) KUHP. Selain itu perlindungan terhadap hewan yang mengalami penganiayaan juga diakomodir melalui UU No. 41 Tahun 2014 tentang perubahan dari UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Keberadaan aturan tersebut sebagai upaya perlindungan hewan namun sudah memiliki payung hukum, nyatanya masih kurang mampu untuk mengakomodir perlindungan terhadap hewan yang mengalami penganiayaan.3 Alasannya seperti ada beberapa peraturan yang dirasa sudah tidak efisien lagi dan perlu dilalukan pembaharuan, kemudian praktik penegakan hukumnya yang masih kurang yang berdampak pada pelaku di masyarakat tidak merasakan efek jera, serta masih banyak masyarakat yang belum tau dan paham bahwa hewan juga mempunyai hak asasi yang harus dijaga dan dijunjung tinggi.
Atas dasar penjelasan tersebut, penulis menelusuri lebih dalam mengenai pokok pembahasan yang terkait dengan perlindungan terhadap hewan yang mengalami penyiksaan atau penganiayaan. Sebagai dasar perbandingan penulis menelusuri beberapa tulisan dengan konteks pembahasan yang tidak jauh berbeda, yaitu tulisan dari Stefany Ismantara dkk, dengan mengangkat judul “Kajian Penegakan Hukum Terhadap Tindakan Penganiayaan Hewan Dan Eksploitasi Satwa Langka”. Tulisan tersebut menjelaskan pada intinya mengenai pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia terhadap pelaku penganiayaan satwa langka dan factor apa yang menjadi penghambat penegakan terhadap tindak pidana tersebut.
Berdasarkan uraian singkat topik tersebut kemudian penulis jadikan pembanding, dengan tulisan dari penulis yang akan membahas mengenai bagaimana bentuk pengaturan hukum dan sanksi yang diberikan terkait dengan kasus penganiayaan terhadap hewan dengan mengambil beberapa perbandingan pengaturan hukum dari negara lain. Lalu kemudian penulis juga membahas bagaimana hukum yang dicita-citakan dimasa yang akan datang atau ius constituendum terkait perlindungan terhadap hewan yang mengalami penganiayaan. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis merumuskan suatu tulisan ilmiah dengan judul “Pengaturan Hukum Terhadap Perlindungan Hewan yang Mengalami Penganiayaan”.
Sejalan dengan pemaparan diatas, penulis mengangkat 2 (dua) rumusan masalah yakni sebagai berikut:
-
1. Bagaimana pengaturan hukum terkait dengan perlindungan hewan yang mengalami penganiayaan?
-
2. Bagaimana keberlakuan hukum di masa yang akan datang (ius constituendum) terkait perlindungan hukum terhadap hewan yang mengalami penganiayaan?
Tujuan dibuatnya tulisan ini untuk mengkaji pengaturan hukum terkait dengan perlindungan terhadap hewan yang mengalami penganiayaan, serta bagaimana keberlakuan hukum yang dicita-citakan dimana depan (ius constituendum) perlindungan hukum terhadap hewan yang mengalami penganiayaan. Sehingga masyarakat yang belum tahu dan paham akan mengerti bahwa hewan juga mempunyai hak asasi yang harus dijaga dan dijunjung tinggi.
Penulis memilih metode penelitian hukum nomatif yang berfokus pada kajian suatu norma dalam peraturan perundang-undangan, apakah norma tersebut tidak multitafsir, ada norma yang bertentangan atau apakah tidak ada pengaturannya. Norma dalam hal penganiayaan terhadap hewan ini masih menimbulkan multitafsir. Kemudian metode yang digunakan dalam membuat tulisan ilmiah ini yakni studi kepustakaan. Pendekatan yang penulis gunakan yakni pendekatan “perundang-undangan” atau statue approach. Pendekatn ini berfokus pada menelaah aturan yang berkaitan dengan perlindungan hewan yang mengalami penganiayaan. Penulis juga menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka dalam mengkaji permasalahan penulis berupa buku-buku, jurnal ilmiah yang penulis unduh melalui internet dan beberapa tulisan lain yang berkaitan dengan topik dari penulis. Tidak hanya itu, penulis juga menggunakan norma peraturan perundang-undangan dari negara lain sebagai perbandingan untuk mengkaji permasalahan ini.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pengaturan Hukum Terkait Dengan Perlindungan Hewan Yang Mengalami Penganiayaan
-
Tingginya kasus mengenai penyiksaan atau penganiayaan terhadap hewan, membuat kita bisa mengambil spekulasi, bahwa masyarakat di Indonesia masih memandang sebelah mata mengenai hak – hak hewan serta perlindungan bagi mereka. Penganiayaan terhadap hewan atau yang dalam bahasa Belanda disebut dengan dierenmishandeling merupakan salah satu perbuatan yang sudah barangpasti melawan hukum yang berlaku di Indonesia. 4 Namun kembali lagi, kurang pahamnya sebagian masyarakat tentang pentingnya perlindungan hewan dari kasus penganiayaan, penyiksaan dan lainnya serta aparat penegak hukum yang masih memandang sebelah mata kasus penganiayaan hewan, membuat penegakannya di lapangan menjadi sangat minim terjadi. Untuk mempidana seseorang diperlukan adanya rumusan dari peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa tindakan itu dilarang oleh hukum
sesuai dengan asas legalitas.5 Penjatuhan pidana terhadap pelaku penyiksaan hewan tidak hanya berfungsi sebagai hukuman tapi juga berfungsi sebagai efek jera bagi pelaku dan teguran bagi siapapun agar tidak melakukan penyiksaan hewan.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Indonesia telah memiliki beberapa produk hukum sebagai bentuk nyata perlindungan terhadap hewan yang mengalami penyiksaan. Kita dapat melihatnya pada KUHP yang menerangkan bahwa perbuatan penyiksaan atau penganiayaan terhadap hewan ini diakomodir dalam beberapa pasal, yakni Pasal 302 dan Pasal 406 ayat (2) KUHP. Ketentuan Pasal 302 KUHP disebutkan secara ringkas oleh penulis bahwa:
-
(1) Siapapun yang berbuat sebagaimana maksud pada ketentuan ini akan diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) jika terbukti:
-
a. Tanpa tujuan atau maksud tertentu dan melampaui batas menyakiti atau melukai hewan yang dapat merugikan kesehatannya;
-
b. Tanpa tujuan atau maksud tertentu dengan melampaui batas tidak memberi makanan yang diperlukan oleh hewan tersebut yang merupakan tanggungjawabnya.
-
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan hewan sakit lebih dari 1 (satu) minggu, menderita catat atau luka-luka, atau bahkan hingga mati, pelaku diancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah;
-
(3) Jika hewan tersebut milik pelaku, maka dapat dirampas;
-
(4) Percobaan melakukan kejahatan yang bersangkutan tidak dapat dipidana.
Berdasarkan penjelasan diatas kita lihat ada dua jenis pidana, yaitu penjara dan denda. Tak hanya dalam kasus penganiayaan hewan saja, penjara seringkali juga dijatuhkan dalam beberapa perbuatan lainnya. Kemudian pidana denda merupakan pidana yang berkaitan dengan harta benda yang harus dibayarkan oleh pelaku atas tindak pidana yang ia lakukan. Ada penganiayaan ringan dan berat jika kita telaah unsur dalam Pasal 302 ini. Ayat (1) mengandung unsur penganiayaan ringan, dimana perbuatannya adalah menyakiti atau melukai dan tidak memberi makan. Kemudian perbuatan yang tergolong penganiayaan berat terdapat pada ayat (2) pasal ini, yaitu perbuatan yang tercantum pada ayat (1) menyebabkan hewan sakit lebih dari seminggu, luka-luka, cacat atau bahkan sampai menyebabkan kematian.
Terkait dengan hal tersebut agar bisa membuktikan semua unsur perbuatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 302 KUHP tersebut, maka pihak yang berwenang khususnya dalam hal ini adalah penuntut umum harus dapat membuktikan perihal sebagai berikut:
-
a. Adanya kehendak yang timbul dari pelaku untuk menimbulkan rasa sakit;
-
b. Adanya kehendak dari pelaku untuk menimbulkan luka;
-
c. Adanya kehendak dari pelaku untuk menimbulkan kerugian kesehatan pada hewan;
-
d. Pelaku tau bahwa perbuatannya itu memang dikehendaki dilakukan kepada hewan.
Salah satu saja unsur diatas tidak terpenuhi, penuntut umum tidak akan bisa untuk mendakwakan pelaku atas perbuatan penganiayaan terhadap hewan.6 Simons berpendapat bahwa dalam pembuktian perbuatan kejahatan yang dialami oleh hewan, pembuktian yang paling penting adalah kesengajaan dari pelaku apakah memang perbuatan untuk menimbulkan rasa sakit, luka maupun perbuatan lainnya itu memang dikehendaki oleh pelaku.7
Tidak hanya Pasal 302 KUHP saja yang mencantumkan perlindungan terhadap hewan yang mengalami penganiayaan. Kita dapat merujuk kembali pada rumusan Pasal 406 ayat (2) KUHP, dimana secara ringkas rumusan pasal tersebut menyatakan bahwa:
-
(1) Barangsiapa secara sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuatnya tak dapat dipakai lagi, atau menghilangkan hewan seluruh atau sebagian yang merupakan kepunyaan orang lain, diancam pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun 8 (bulan) atau pidana denda sebanyak Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah);
-
(2) Diancam pidana yang sama seperti pada ayat (1) untuk mereka yang secara sengaja dan melawan hukum membunuh, merusak, menghilangkan seluruh atau sebagiannya milik orang lain.
Rumusan tersebut setelah kita lihat, sudah jelas ancaman pidana yang dirumuskan lebih berat ketimbang rumusan dari Pasal 302 KUHP. Hal tersebut mengingat akibat yang diperbuat oleh pelaku yang bersangkutan juga berat, karena membunuh, merusakkan, membuatnya tidak dapat digunakan, menghilangkan hewan yang merupakan kepunyaan orang lain. Ayat (2) sudah merumuskan kehilangan hewan yang merupakan kepemilikan orang lain tentunya memberikan kerugian secara langsung baik materiil maupun imateriil.
Keluar dari rumusan perlindungan hukum terhadap hewan yang mengalami penganiayaan dalam KUHP, kita bisa melihat beberapa produk hukum lain yang terkait dengan perlindungan hewan yang mengalami penganiayaan. Salah satunya pada UU No. 41/2014 yang telah mengalami perubahan atas UU/18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain memberikan rumusan terkait perlindungan terhadap hewan yang menerima penganiayaan, dalam undang-undang ini juga merumuskan sanksi pidana terhadap pelaku yang bersangkutan. Rumusan terkait perlindungan tersebut dapat kita lihat pada Pasal 66A yang merumuskan bahwa:
-
(1) Siapapun dilarang untuk menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan hingga menyebabkan hewan tersebut cacat dan/atau tidak produktif;
-
(2) Siapapun mereka yang melihat atau mengetahui tindakan yang termasuk pada ayat sebelumnya wajib melapor kepada pihak yang berwenang.
Rumusan pasal tersebut mencantumkan secara jelas bahwa siapapun dilarang untuk melakukan tindakan yang menyebabkan hewan menderita, serta memberikan pedoman pula terhadap siapapun yang mengetahui atau melihat perbuatan yang menyebabkan hewan tersebut cacat dan atau/tidak produktif agar langsung melaporkan kepada aparat yang berwenang. Laporan tentang adanya suatu tindak pidana tentunya merupakan suatu keharusan bagi setiap orang, tidak hanya terlepas
dari tindak pidana penganiayaan terhadap hewan saja. Pihak berwenang pada ayat (2) tersebut tidak hanya Kepolisian saja, tetapi juga dari Pejabaat PNS yang tugas tanggungjawabnya meliputi keseluruhan yang termaktub pada Pasal 84 ayat (1) ketentuan ini. PPNS tersebut diberi tersendiri sebagai tim penyidik untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap kebenaran laporan terkait dengan penganiayaan hewan, memeriksa pihak yang masih diduga terlibat dalam tindak pidana penganiayaan hewan, mengumpulkan keterangan dan barang bukti dari setiap pihak terkait dengan tindak pidana penganiayaan hewan tersebut serta tugas lain sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) setelahnya.
Setelah merumuskan rumusan pasal terkait perlindungannya, tidak luput rumusan ketentuan pengenaan sanksi terhadap pelaku yang melanggar ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya. Kita dapat melihat rumusan Pasal 91B secara ringkas sebagai berikut:
-
(1) Barangsiapa yang berbuat seperti termaktub pada Pasal 66A ayat (1) undang-undang ini, diancam pidana kurungan dengan waktu 1 (satu) bulan paling sedikit dan 6 (enam) bulan paling lama, dan denda Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) paling sedikit dan Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) paling banyak;
-
(2) Siapapun yang tidak melaksanakan tindakan yang termaktub pada Pasal 66A ayat (2) undang-undang ini, maka diancam pidana kurungan selama 1 (satu) bulan paling sedikit dan 3 (tiga) bulan paling lama serta denda Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) paling sedikit dan Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) paling banyak.
Kedua rumusan pasal tersebut mengandung 2 (dua) ancaman pidana, yakni pidana kurungan serta pidana denda. Menariknya, sanksi tersebut tidak hanya diperuntungkan bagi pelaku saja, tetapi bagi setiap orang yang melihat atau mengetahui ada tindak pidana penganiayaan hewan, namun tidak melaporkan ke pihak berwajib yakni Kepolisian atau Pejabat Pegawaii Negeri Sipil atau PPNS. Dirumuskannya ketentuan ini tentu menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa penegakan hukum terkait dengan tindak pidana penganiayaan terhadap hewan haruslah melibatkan semua pihak dan saling bersinergi satu sama lain untuk memberantas tindak pidana penganiayaan hewan tersebut.
Perlu digarisbawahi kembali, bahwa penganiayaan terhadap hewan ini tidak hanya terjadi pada hewan yang berada disekitar kita saja (baik dipelihara maupun yang berkeliaran disekitar lingkungan). Data mengenai Indonesia sebagai negara pertama dengan penghasil konten kekerasan hewan terbanyak, juga mencakup kekerasan terhadap satwa liar dan dilindungi oleh negara. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia ini memiliki berbagai macam satwa liar yang dilindungi, dan mereka pun juga tidak lepas dari pelaku tindak pidana penganiayaan hewan.8 Atas dasar permasalahan tersebut, negara kita pun mempunyai produk hukum yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap hewan yang mengalami penganiayaan khususnya hewan yang tergolong kedalam satwa liar & dilindungi. Produk hukum tersebut yakni UU/5/1990 tentang Konservasi SDA Hayati Dan Ekosistemnya. Produk hukum tak hanya mengakomodir mengenai perlindungan satwa yang dilindungi saja, tetapi juga berlaku bagi tumbuhan. Rumusannya dapat kita lihat pada Pasal 21 ayat (2) yang secara singkat mencantumkan sebagai berikut:
-
a. Siapapun dilarang menangkap, membunuh, melukai, memelihara, mengangkut atau memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
-
b. Siapapun tidak diperbolehkan untuk menyimpan, mengangkut, memiliki atau bahkan memperjual belikan satwa dalam keadaan mati;
-
c. Setiap orang tidak diperbolehkan mengeluarkan satwa dari satu tempat ke tempat yang lainnya, baik itu didalam maupun diluar negeri;
Sebagai tindak lanjut dari rumusan pasal tersebut, kita dapat melihat sanksi yang diterima oleh pelaku pada pasal 40 ayat (2) dan ayat (4) yang secara singkat berisi sebagai berikut:
-
a. Siapapun secara sengaja melakukan pelanggaran sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 ayat (2), dipidana penjara 5 (lima) tahun paling lama dan denda Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) paling banyak;
-
b. Siapapun yang telah lalai melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada pasal 21 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan 1 (satu) tahun paling lama dan denda Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) paling banyak.
Rumusan dari UU/5/1990 mencantumkan secara jelas perlindungan terhadap hewan khususnya satwa liar dan dilindungi yang mengalami penganiayaan. Bahkan karena termasuk hewan yang dilindungi, ancaman pidananya lebih berat daripada ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Selain itu, tidak hanya UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosisemnya saja yang mengakomodir terkait perlindungan terhadap penganiayaan hewan khsusunya satwa langka. Tak lupa Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar peraturan tertinggi mengenai perlindungan sumer daya alam.9 Jadi secara singkat, pengaturan hukum terhadap hewan yang mengalami penganiayaan di Indonesia sejatinya sudah diakomodir. Namun kembali lagi yang menjadi permasalahan adalah bagaimana penegakan hukum kedepannya terkait dengan penganiayaan hewan ini.
-
3.2. Ius Consitutendum Keberlakuan Hukum Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Hewan Yang Mengalami Penganiayaan
Banyak kita temui berita-berita tentang penganiayaan terhadap hewan yang terjadi di Indonesia. Namun dalam praktiknya dilapangan, masih terdapat beberapa kendala-kendala yang terjadi demi menegakkan hukum terkait tindak pidana penganiayaan terhadap hewan. Tentunya perbuatan tersebut menyimpang dari keberlakuan hukum di Indonesia, dan kita sebagai warga negara hendaknya lebih mawas diri terkait dengan tindak pidana penganiayaan hewan ini, agar tidak selalu terulang dan menjadi permasalahan yang seakan-akan bukan merupakan masalah yang sangat penting untuk diberantas. Perlu diingat, ada 5 asas kesejahteraan hewan sebagai acuan seluruh pihak dalam memelihara, dan memperlakukan hewan, yakni sebagai berikut:
-
1. Terbebas dari perasaan lapar, haus, dan tidak cukup nutrisi;
-
2. Terlepas dari rasa sakit dan tidak nyaman;
-
3. Terbebas dari rasa takut bahkan tertekan;
-
4. Bebas dari luka, rasa sakit, dan penyakit;
-
5. Kebebasan dalam berekspresi seperti biasa.10
Upaya pemberantasan tindak pidana penganiayaan terhadap hewan ini tentunya tidak terjadi di Indonesia saja, tapi seluruh negara yang ada di dunia ikut memberantas tindak pidana ini. Mengingat banyak negara yang juga ikut menandatangani Universal Declaration of Animal Rights yang dicetuskan pada tanggal 15 Oktober 1978 oleh UNESCO. Salah satunya adalah negara Turki, salah satu negara yang juga ikut memerangi tindak pidana terhadap penganiayaan hewan dan terkenal sebagai surganya bagi para kucing.
Pengaturan hukum terkait perlindungan hewan di negara Turki, dapat kita lihat pada Animal Protection Bill Law No. 5199 yang diterima dan disahkan oleh Majelis Agung Nasional Turki pada tanggal 24 Juni 2004. Kemudian seiring berjalannya waktu dan dirasa perlu ada pembaharuan terkait dengan perlindungan hewan di negara tersebut, akhirnya undang-undang sebelumnya diamandemen menjadi Animal Protection Bill Law No. 7332 pada tanggal 14 Juli 2021. Secara garis besar, amandemen yang dilakukan pada undang-undang tersebut mencakup perihal penting terkait dengan hak asasi terhadap hewan yang dirumuskan sebagai berikut:
-
a) Siapapun yang ingin mendirikan shelter, harus mendapatkan izin dari Kementrian Pertanian dan Kehutanan;
-
b) Sirkus dilarang baik di laut maupun di darat;
-
c) Barangsiapa yang memelihara hewan (anjing atau kucing), harus mendaftarkan peliharaannya dengan sistem identifikasi yang bersifat digital;
-
d) Bagi mereka yang mengolah hewan domestik tanpa tujuan yang jelas, maka yang bersangkutan dapat diancam pidana penjara 6 (enam) bulan hingga 4 (empat) tahun;
-
e) Bagi orang yang melakukan tindak pelecehan/pemerkosaan terhadap hewan juga dipidana penjara dengan rentang waktu 6 (enam) bulan hingga 3 (tiga) tahun dan penambahan denda peradilan dibawah 100 (seratus) hari;
-
f) Bagi orang yang melakukan perbuatan kejam atau menyiksa hewan peliharaan hingga membuat hewan tersebut tersiksa, dipidana selama 6 (enam) bulan hingga 3 (tiga) penjara.11
Selain perubahan tersebut, pengaturan itu juga mencantumkan bahwa hewan tidak masuk kategori sebagai “barang komoditi”, melainkan sebagai “individu” yang juga patut mendapat perlindungan.12 Disamping itu pula, di negara Turki juga dikenal federasi yang bernama HAYTAP (Hayvan Haklari Federasyonu). Federasi ini memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa hak asasi itu milik semua makhluk hidup, termasuk dalam hal ini adalah hewan. Pemberian edukasi tersebut secara tidak langsung akan meningkatkan kesadaran mereka untuk ikut menjalankan amanat undang-undang untuk melindungi hewan dari perbuatan yang tidak diinginkan.
Kita dapat berkaca dari apa yang dilakukan oleh negara Turki untuk memberantas tindak pidana penganiayaan terhadap hewan. Sejatinya pengaturan
terkait perlindungan hewan di Indonesia sudah diberlakukan dalam beberapa produk hukum yang telah dipaparkan sebelumnya. Ambil contoh di dalam pasal 302 Kitab Undaang-Undang Hukumm Pidana, sudah jelas mengakomodir tentang perlindungan hewan. Kemudian diakomodir kembali melalui UU Peternakan dan Kesejahteraan Hewan yang mencantumkan sanksi pidana lebih berat dari KUHP, serta UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya sebagai payung hukum terhadap perlindungan hewan khususnya satwa yang mengalami perbuatan yang sama.
Namun dalam praktiknya masih banyak kendala yang terjadi dilapangan, seperti rendahnya sanksi yng diberikan sehingga tidak mampu menekan angka kasus penyiksaan terhadap hewan. Ambil contoh kasus tradisi Adu Bagong yang ada di Jawa Barat. Rendahnya sanksi yang dicantumkan dalam Pasal 302 KUHP serta kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat terkait pentingnya perlindungan hewan, berdampak pada tidak berjalannya hukum yang melindungi hewan sehingga perbuatan pidana penganiayaan terhadap hewan ini cenderung terus meningkat.13 Selain itu unsur-unsur sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya dalam kaitannya dengan pembuktian terhadap tindak pidana penganiayaan hewan juga menjadi perhatian. Pelaku harus mempertanggungjawabkan apa yang telah ia perbuat, jika memang dalam pembuktian di persidangan telah memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dari peraturan yang bersangkutan. Seorang dapat dimintakan pertanggungjawaban jika perbuatannya tersebut melawan hukum (dari sudut pandang terjadinya tindakan yang dilarang), serta tidak terkandung alasan pembenar atau dihilangkannya sifat melawan hukum terhadap perbuatan yang telah dilakukannya.14
Penegakan dari tindak pidana penganiayaan hewan ini sudah berjalan, namun belum sepenuhnya optimal. Seperti contohnya penegakan tindak pidana penganiayaan hewan dari UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, dibentuk Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) disetiap daerah sebagai perpanjangan tangan untuk menangani kasus penganiayaan hewan atau satwa liar. Catatan penting disini adalah penegakan hukum terhadap hewan domestik (khususnya anjing dan kucing) dimana kasus penganiayaan terhadap kedua hewan ini sering terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian besar ketika dilakukan investigasi terhadap kasus penganiayaan hewan, perbuatan tersebut dilakukan hanya karena iseng dan ada pula yang memang sudah merencanakan penganiayaan tersebut. Bentuk penganiayaan yang dilakukan berbagai macam, ada yang dipukuli, diadu dengan sesama hewan lain dan masih banyak lagi. Lebih buruknya lagi penganiayaan tersebut divideokan dan dijadikan konten tanpa adanya rasa kemanusiaan dari pelaku yang bersangkutan. Meskipun larangan sudah termaktub dalam beberapa produk hukum seperti KUHP dan yang lainnya, nyatanya masih banyak ditemukan kasus penganiayaan terhadap hewan dengan alasan yang tidak masuk akal.15
Menanggapi permasalahan diatas, perlu adanya pembaharuan hukum terkait dengan pengaturan perlindungan hukum terhadap hewan yang mengalami penganiayaan kedepannya. Selain menggunakan norma hukum dari negara lain sebagai perbandingan, kita juga dapat melihat pembaharuan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal pemberantasan tindak pidana penganiayaan hewan. Karena beberapa rumusan pasal dalam KUHP termasuk pasal yang terkait dengan perlindungan terhadap hewan dirasa perlu untuk dilakukan pembaharuan, maka dilakukan beberapa pembaharuan dari KUHP tersebut melalui RKUHP yang sudah disusun sejak tahun 2019. Kebijakan pembaharuan KUHP ini sebagai langkah peletak dasar bagi fondasi sistem hukum pidana di Indonesia terhadap berbagai perkebangan hukum yang terjadi, baik dari segi norma yang berlaku di masyarakat atau perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.16 Khusus mengenai perubahan dari rumusan pasal dalam RKUHP ini, dirumuskan sebagai berikut:
-
(1) Dipidana penjara 1 (satu) tahun paling lama dengan denda kategori II paling banyak, bagi siapapun yang menyakiti, melukai atau merugikan kesehatan hewan melampaui batas atau berhubungan seksual dengan hewan;
-
(2) Jikalau perbuatan yang dimaksud pada ayat pertama menyebabkan sakit lebih lama hingga melewati 7 (tujuh) hari, cacat, luka berat, atau mati, pelaku dipenjara 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan paling lama atau denda kategori III;
-
(3) Jika hewan tersebut milik pelaku, maka dapat dirampas dicarikan tempat yang lebih layak bagi hewan tersebut.
Rumusan tersebut ada di RKUHP pada pasal 341. Rancangan dari KUHP yang sedang disusun oleh pihak yang berwenang ini, memberikan harapan baru bagi penegakan hukum pidana terhadap hewan kedepannya. Rumusan tersebut memuat sanksi yang lebih berat terhadap pelaku daripada sanksi yang berlaku dalam KUHP sekarang ini. Disamping itu pula, negara kita dapat berkaca dari beberapa negara yang salah satunya sudah dijelaskan sebelumnya terkait dengan perlindungan hukum terhadap hewan yang mengalami penganiayaan. Perlu penanganan serius dari semua pihak atas perbuatan ini. Mereka yang memangku tugas sebagai penegak hukum dapat menjatuhkan supremasi hukum setimpal, agar terciptanya ketertiban kembali dalam masyarakat.
Terakhir kita ketahui bahwa penanganan terhadap kasus penganiayaan hewan masih belum massif. Perlu ada peran serta dari seluruh pihak agar pengakannya dapat berjalan sesuai dengan harapan. Selain dari perna serta seluruh pihak sanksi yang sudah dirumuskan dalam RKUHP yang tengah disusun, harapannya dapat memberikan efek yang setimpal bagi pelaku agar tidak adanya pengulangan tindak pidana dan tamparan bagi mereka yang ingin melakukan perbuatan yang sama. Penggalakkan sosialisasi kepada masyarkaat terkait dengan perlindungan hukum terhadap hewan yang mengalami penganiayaan juga merupakan hal yang patut diperhatikan. Agar nanti kedepannya masyarakat dapat memahami bahwa menjaga hewan dari tindak pidana penganiayaan itu juga merupakan hal yang mulia dan mencegah tindak pidana tak berperikemanusiaan itu terus menjadi angin lalu bagi penegak hukum maupun masyarakat nantinya.17
Pengaturan mengenai tindak pidana penganiayaan yang dialami oleh hewan di Indonesia sudah diakomodir dalam beberapa produk hukum yang ada, seperti KUHP, UU Peternakan dan Kesejahteraan Hewan, UU Konservasi SDA dan Ekosistemnya, serta produk hukum lainnya. Produk hukum tersebut memuat tidak hanya rumusan mengenai perlindungannya saja, namun juga sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku. Tetapi dari segi pelaksanaan dari norma hukum tersebut, masih terdapat beberapa faktor penghambat penegakan hukum terkait tindak pidana ini seperti kurangnya kesadaran masyarakat, tidak tegasnya aparat penegak hukum serta sanksi yang sudah tidak relevan dengan kondisi yang sekarang. Perlu adanya beberapa pembaharuan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, selain beracuan pada RKUHP yang sedang disusun, bisa juga mengacu pada norma hukum dari beberapa negara lain di dunia. Tidak hanya itu, peran serta dari aparat penegak hukum dan kesadaran dari masyarakat juga penting, demi memberantas secara bersama-sama tindak pidana terhadap hewan yang mengalami penganiayaan, karena sejatinya hewan juga mempunyai hak asasi mereka yang patut kita hargai.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Lamintang, P.A.F dan Lamintang Theo, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Jakata: Sinar Grafika, 2011).
Jurnal
Aristides, Yoshua, Agus Purnomo, dan Fx Adji Samekto. "Perlindungan Satwa Langka Di Indonesia Dari Perspektif Convention On International Trade In Endangered Species Of Flora And Fauna (CITES)." Diponegoro Law Journal 5, No. 4 (2016): 117
Abdurrahman, “Pengaturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Hewan Dalam Hukum Pidana Indonesia”, JOM Fakultas Hukum Universitas Riau 6, No. 1 (2019): 1-15
Chandra, Widya Dika, dan Pudji Astuti. "Penegakan Hukum Pasal 302 Kuhp Tentang Penganiayaan Terhadap Hewan Di Kota Surakarta." NOVUM: JURNAL HUKUM 5, No. 4 (2018): 1-7
Ismantara, Stefany, Raden Ajeng Diah Puspa Sari, Cecilia Elvira, and Jeane Netlje Sally. "Kajian Penegakan Hukum Terhadap Tindakan Penganiayaan Hewan Dan Eksploitasi Satwa Langka." Prosiding SENAPENMAS: 1189-1198
Mampow, Jonathan Toar. "Suatu Kajian Atas Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Hewan Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan." LEX ADMINISTRATUM 5, No. 2 (2017): 149-157
Maharani, Alya. "Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Hukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan Hewan Yang Menyebabkan Kematian." In National Conference on Law Studies (NCOLS) 2, No. 1, (2020): 675-686.
Prihatini, Lilik, Mustika Mega Wijaya, and Debby Novanda Romelsen. "Aspek Hukum Pidana Terhadap Penegakan Hukum Perlindungan Hewan Di Indonesia." PAKUAN LAW REVIEW 7, No. 2 (2021): 37-52
Suradnya, I. Gusti Ngurah Made, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, dan Luh Putu Suryani. "Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyelundupan Hewan Satwa." Jurnal Analogi Hukum 3, No. 2 (2021): 161-164
Wardana. Ngurah Bayu Kresna, Anak Agung. dan Ari Krisnawati, I. Gusti Ayu Agung. "Penjatuhan Hukuman Untuk Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan Hewan." Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana 5, No. 6 (2016): 1-5
Wardani, Niken Cindy Esya. "Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Hewan Domestik (Kucing Dan Anjing) Dalam Kehidupan Masyarakat Di Beberapa Negara (Indonesia–Amerika Serikat-Turki)." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu
Hukum 28, No. 3 (2022): 3550-3568
Yusandha, Merzadio, and Emmilia Rusdiana. "Penegakan Hukum Pasal 302 Ayat (1) KUHP terhadap Pertandingan Adu Bagong di Provinsi Jawa Barat." NOVUM: JURNAL HUKUM 6, No. 1 (2019): 1-6
Skripsi
Iqbal, Muhamad. "Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Hewan Dalam KUHP." Skripsi, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2020
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Sumber Lain
Universal Declaration of Animal Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Hewan Naskah Akademik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
Website
Ngerti Hukum.Id, “Menelik Perlindungan Hewan di Indonesia” diakses dari https://ngertihukum.id/menilik-perlindungan-hewan-di-indonesia/ pada tanggal 30 Maret 2022
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 12 Tahun 2022 hlm 1274-1286
1286
Discussion and feedback