KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN

PENDIDIKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DAN HAM

Dhea Pristiwanti,Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : dheapris2122@gmail.com

Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: diah_ratna@unud.ac.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bentuk perlindungan hukum terhadap para korban penyintas kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan meninjau dari dasar hukum pidana serta hukum hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia. Masyarakat Indonesia cenderung memberikan stigma negative kepada korban sehingga timbul keraguan korban untuk melapor. Penelitian ini menggunakan metode normatif dan menggunakan pendekatan perundnag-undangan serta literasi hukum lainnya. Adapun Hasil dari penelitian ini adalah korban penyintas tindak kekerasan seksual memiliki hak yang dilindungi oleh negara yang tertuang dalam UU HAM bahkan serta diperkuat dengan disahkannya UU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Namun pada praktiknya, Pelanggaran Seksual dapat terjadi kepada semua subjek tak terkecuali perempuan Di lingkungan kampus sendiri masih banyak ditemui adanya kekerasan seksual yang melibatkan antara pejabat kampus dan mahasiswa yang diakibatkan adanya relasi kuasa yang tidak setara antara keduanya (Quid pro Quo).

Kata Kunci : Kekerasan Seksual, UU PKS, UU HAM, lingkungan pendidikan, Quid pro Quo

ABSTRACT

This study aims to understand the form of legal protection for sexual violence victims in the educational environment by reviewing the basis of criminal law and human rights law that applies in Indonesia. Indonesian people tend to give negative stigma to sexual violence victims so they becomes hesitant to report the perpetrator to the authorities. This research uses a normative method with statutory approach and legal literacy. The results of this study show that the rights for survivors of sexual violence are protected by the government as stipulated in the Human Rights Law and even strengthened by the ratification of the PKS Law (Abolition of Sexual Violence Law). However in reality, sexual violations can occur to all subjects, including women. In the campus environment itself, sexual violence is often found involving campus officials and students due to unequal power relations between the two (Quid pro Quo).

Keywords : Sexual Violence, PKS Law, Human rights Law, educational environtment, Quid pro Quo

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Kekerasan merupakan satu dari banyaknya perilaku yang bertolak belakang dengan aturan hukum yang ada di Indonesia, baik itu merupakan perbuatan dengan sifat mengancam maupun perbuatan yang telah mengarah secara nyata yang berakibat pada adanya kerusakan fisik, kerusakan benda, maupun hal-hal yang dapat berakibat pada hilangnya nyawa seseorang. Kekerasan seksual bersumber dari kata sexual hardness yaitu suatu tindakan seksual yang tidak dihendaki oleh si pemeroleh, di dalamnya memuat tindakan seperti pemberian ancaman, tekanan, tidak bebas serta tidak menyenangkan. Istilah kekerasan seksual memiliki beragam penjelasan yakni terdiri dari tindak perkosaan, mutilasi seksualitas, adanya pemaksaan untuk melakukan prostitusi dan paksaan untuk aborsi (pengguguran kandungan) yang dilakukan diluar perkawinan.1 Isu kekerasan seksual ini merupakan isu yang sedang ramai menjadi topik pembicaraan di tengah masyarakat, pasalnya lonjakan kasus kekerasan seksual di Indonesia meningkat tajam setelah adanya pandemi covid-19. Mengutip dari Catatan Tahunan yang diterbitkan pada 2021 oleh Komnas Perempuan, kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan (KTP) melonjak tinggi selama pandemi covid-19 hingga menyentuh angka 299.911 kasus.2 Kekerasan seksual acap terjadi di lingkup keluarga, akademik, pekerjaan, dan bermasyarakat. Kekerasan seksual juga termasuk ke dalam kasus Hak Asasi Manusia (Human Right Abuses), hal ini dapat terjadi karena asumsi yang masih menganggap bahwa wanita adalah makhluk yang dipandang lemah dan tidak berdaya.

Jika dijabarkan lebih lanjut, Hak Asasi Manusia (HAM) yakni merupakan hak dasar yang dimiliki oleh semua orang. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 menerangkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat dan pada hakikat serta keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia, setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya. Pertimbangan huruf b UU No. 39 Tahun 1999 menjelaskan bahwa “Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan kekal, berdasarkan pernyataan tersebut disimpulkan bahwa HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.”3

Dalam tindak kejahatan kekerasan seksual mayoritas korban (penyintas) nya perempuan dengan pelakunya mayoritas laki-laki. Namun, hal ini bukan

berarti laki-laki lantas terbebas dari ancaman tindak kekerasan seksual walaupun jika dilihat secara persentase masih tergolong sangat kecil. Jika dilihat dari banyaknya kejahatan kekerasan yang melibatkan kaum perempuan didalamnya, sehingga perempuan menjadi amat rawan menjadi korban dari kejahatan dalam bidang tindak kejahatan kesusilaan.4 Kekerasan/ pelecehan seksual ini dapat berbentuk godaan secara fisik termasuk di dalamnya pandangan yang mengacu pada bagian tubuh yang vital, seperti menatap pada bagian pinggul, payudara , maupun bagian-bagian tubuh yang lainnya. 5Selain itu, godaan fisik juga dapat berupa mata yang berkedip, pandangan yang menggoda, berpelukan, berciuman, dan tindakan-tindakan lainnya.

Secara general, terjadinya tindak kekerasan seksual memiliki beberapa faktor penyebab. Menurut Michael Kaufman, faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan antara lain : hak istimewa (privilege), kekuasaan patriarki (patriarki power), dan sikap yang permisif (permissive) atau dengan kata lain adalah sifat yang memperbolehkan (permission). Patriarki power dapat dikatakan sebagai pemicu yang paling besar dalam terjadinya tindak kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini dapat terjadi karena dalam paham patriarki terjadi subordinasi yang menilai bahawa gender yang satu lebih tinggi dari yang lainnya serta adanya suatu kesenjangan kekuasaan. Laki-laki sendiri memiliki privilege berupa dominasi dalam pengambilan suatu keputusan yang akan diambil, sering kita jumpai bahwa laki-laki lah yang keputusannya dianggap paling berpengaruh dan perempuan hanya dapat mengikuti keputusan yang telah diambil, ini juga terjadi karena laki-laki dianggap memutuskan suatu keputusan berdasarkan logika yang mereka miliki tidak seperti perempuan yang keputusannya hanya dianggap berdasarkan perasaan atau kata hati saja. Selain itu, sikap permisif merupakan suatu tindakan yang wajar di kalangan masyarakat luas, ini terjadi akibat kaum perempuan dituntut untuk selalu meng-iya-kan apapun tindakan yang dilakukan oleh laki-laki terhadapnya. Hal ini tidak sejalan dengan adanya konsep pengakuan persamaan bagi kaum pria maupun wanita dalam hal mendapatkan kesempatan menjalani hidup tanpa adanya rasa takut mengalami suatu kekejaman dan pelecehan, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) “Setiap warga negara berhak untuk pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan." serta pasal 28 I ayat (2) yang berbunyi" Setiap orang memiliki hak untuk bebas dari pengaruh diskriminasi untuk alasan apa pun dan berhak atas perlindungan terhadap diskriminasi semacam itu .”

Tindak kekerasan seksual yang timbul di dalam ruang lingkup akademik terutama di lingkungan kampus dewasa ini merupakan hal yang sering kita jumpai di pemberitaan seperti di media masa, televisi, dll. Contoh deretan kasus kekerasa seksual yang terjadi di sekitar lingkugnan kampus per-tahun 2021 diantaranya: kasus pelecehan seksual oleh dosen yang dialami mahasiswi UNJ dengan cara mengirimkan chat mesum dan menggoda korban, kasus pelecehan seksual pada mahasiswi Universitas Riau saat pengerjaan atau penyelesaian tugas

akhir kuliah (skripsi), kasus kelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi UGM oleh rekan se-kampus saat sedang menjalani program Kulah Kerja Nyata atau KKN di Maluku, kasus “Kain Jarik” yang sempat menjadi perhatian publik karena pelecehan seksual dilakukan seorang mahasiswa yang memiliki ketertarikan seksual tertentu (fetish) sehingga banyak rekan sekampusnya yang menjadi korban, dan masih banyak kasus-kasus lainnya mengingat kekerasan seksual dalam lingkungan perguruan tinggi dapat digambarkan bagai fenomena Gunung Es.

Lingkungan merupakan seluruh hal yang dapat merangsang seorang individu, sehingga individu tersebut dapat turut serta di dalamnya dan dapat mempengaruhi diri individu itu sendiri.6 Sedangkan, menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pendidikan memiliki arti “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian disi, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran.” Selanjutnya, pada pasal 4 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jejang, dan jenis pendidikan tertentu.” Berdasar pada pengertian yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan jika ruang lingkup pendidikan merupakan segala sesuatu yang didalamnya mencangkup iklim, geografis, tempat tinggal, adat istiadat, serta aspek-aspek lainnya yang menjelaskan dan memberikan pengaruh pada tumbuh kembang serta budi pekerti peserta didik untuk dapat menjadi manusia yang memiliki nilai di masyarakat melalui sarana pengetahuan.

Berdasarkan data yang terdapat pada Tirto.id, kekerasan seksual telah terjadi di berbagai kampus di Indonesia, baik yang berupa kampus umum maupun kampus yang berlatarkan agama. Fakta di lapangan saat ini membuktikan bahwa di Indonesia tidak ada Perguruan Tinggi yang mempunyai data akurat berkenaan dengan jumlah kasus pencabulan serta kekerasan yang terdapat dalam Perguruan Tinggi tersebut.7 Seperti yang terdapat dalam Unwanted Advanced in Higher Education: Uncovering Sexual Harassment Experiences in Academia with Text Mining karya Amir Karami dkk yang memberikan penjelasakn bahwa tindak kekerasan seksual yang terdapat dalam lingkup akademik sering menjadi tindak kejahatan yang tersembunyi. Ini dapat terjadi akibat korban atau yang disebut sebagai penyintas enggan untuk melaporkan apa yang terjadi kepada mereka. Hal ini terjadi karena budaya ataupun kebiasaan yang terdapat pada masyarakat dapat dikatakan tidak ramah bagi para penyintas kekerasan seksual sehingga hal ini semakin menyulitkan bagi mereka yang mengalaminya. Penyintas kekerasan seksual dianggap ikut bersalah dalam musibah yang menimpa diri mereka sendiri bahkan menganggap jika turut menikmati tindakan kekerasan seksual yang telah mereka alami, sehingga menyebabkan hanya sedikit persentase dari para korban yang melaporkan kejadian yang mereka alami kepada

keluarga dan kepolisian terdekat. Faktor lain yang mengakibatkan tindak kekerasan seksual di ruang lingkup kampus ini menjadi kasus yang tidak terekspos (tersembunyi) adalah relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa di kampus, seringkali dosen memanfaatkan kondisi mahasiswa yang lemah, dosen juga memiliki kuasa dalam bentuk pembimbingan, penugasan, dan evaluasi.

Relasi kuasa ini termasuk dalam “Quid Pro Quo” atau “Pemain-Kekuasaan” dimana pelaku yang telah melakukan tindak kekerasan seksual berlindung dengan kekuasaan jabatan yang telah mereka miliki. Beberapa kasus kekerasan maupun pelecehan seksual dalam pendidikan tinggi bermoduskan pada kegiatan kegiatan yang berbau akademik, seperti perbaikan nilai dan bimbingan skripsi. Selain itu, kekerasan seksual ini juga dapat terjadi akibat adanya relasi gender dan rape culture. Relasi gender yang dimaksud disini adalah kondisi yang terjadi akibat adanya konstruksi gender patriarki dalam lingkungan masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai seorang yang pasif, submisif, dan inferior sedangkan lelaki memiliki derajat yang lebih tinggi yaitu sebagai seorang yang agresif, dominan, dan superior. Hal ini berakibat pada kerugian yang diterima oleh perempuan yang rentan menjadi objek kekerasan seksual. Mengenai studi tentang kekerasan seksual yang berada di lingkungan kampus terbagi kedalam beberapa kategori, antara lain: pengetahuan mahasiswa tentang kekerasan seksual8, efek pelecehan seksual terhadap korban9, dan perlindungan hukum korban kekerasan seksual.10

Penulisan jurnal ilmiah ini memiliki unsur kebaruan dalam penyusunannya, sehingga penulisan atau tulisan ini menjadi orisinil dan baru. Walaupun terdapat beberapa studi terdahulu yang telah mempublikasikan jurnalnya dengan topik yang sama, namun pada tulisan ini memiliki perbedaan serta kebaharuan di dalam pembahasannya. Adapun studi atau tulisan terdahulu yang menyerupai tulisan ini yaitu : Jurnal ilmiah yang dibuat oleh Ni Luh Putu Ratih Sukma Dewi, dan Sagung Putri ME. Purwani pada tahun 2021 yang terbit pada Jurnal Kerta Semaya: Jurnal Ilmu Hukum 9. No 7 dengan judul “Kebijakan Pidana Terhadap Kekerasan Seksual yang Terjadi di Dunia Pendidikan.”11yang menjelaskan tentang perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual di dunia pendidikan secara general dan urgensi pengesahan RUU PKS. Selain artikel diatas, yang dapat menjadi pembanding dalam tulisan ini adalah jurnal ilmiah uang dibuat oleh Azkia Rafida Zahra, dan I Wayan Bela Siki Layang pada tahun 2022 yang terbit pada Jurnal Kertha Desa: Jurnal Ilmu Hukum 10. No 12 dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dibawah Umur

Dalam Lingkungan Keluarga.”12 Tetapi dalam penulisan jurnal yang telah penulis tuliskan, pembahasannya akan berbeda dengan artikel ilmiah yang telah disebutkan di atas. Dalam jurnal ini akan lebih khusus dan berfokus pada peninjauan dari sudut pandang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan Hak Asasi Manusia. Tulisan ini menarik dan penting untuk dilakukan karena demi menciptakan lingkungan aman, nyaman, serta bebas dari perundungan yang mengacu pada kekerasan seksual di area sekitar kampus atau perguruan tinggi maka mahasiswa-mahasiswi serta pegawai di sekitar universitas harus juga memiliki pengetahuan yang cukup agar dapat memanfaatkan payung hukum yang ada di Indonesia untuk menangani kasus kekerasan seksual tersebut.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dilihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia?

  • 2.    Bagaimana bentuk perlindungan terhadap penyintas kekerasan seksual di lingkungan pendidikan berdasarkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari tulisan ini harapannya dapat memberikan pemahaman tentang kekerasan seksual di lingkungan Pendidikan ditinjau dari prespektif Hak Asasi Manusia. Tulisan ini juga bertujuan untuk mengerti bagaimana bentuk perlindungan terhadap penyintas kekerasan seksual berdasarkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan artikel jurnal ilmiah ini menggunakan metodologi penelitian normatif, yaitu penelitian dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Artikel jurnal ilmiah ini ditulis dengan penelitian secara normatif. Sehingga Commission Of Inquiry Law mendefinisikan bahwa hukum merupakan ketentuan yang dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam perundang-undangan atau disebut sebagai law in book atau hukum sebagai standar dari tingkah laku seseorang. Selain menggunakan pendekatan perundang-undangan, penulis juga melakukan studi dokumen dengan penelitian bahan hukum sekunder yang berupa jurnal-jurnal hukum, buku-buku hukum serta beberapa literatur lainnya yang penulis peroleh dari internet. Sedangkan, teknik dalam analisis dari artikel jurnal ilmiah ini menggunakan teknik analisis kualitatif naratif pada penelitian kualitatif bertujuan untuk menganalisis atau meneliti mengenai kumpulan deskripsi suatu peristiwa atau fenomena yang terjadi, kemudian menyajikannya dengan bentuk narasi atau cerita.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan dilihat dari Sudut Pandang HAM

A human right by definition is a universal moral right, something which all men, everywhere, at all times ought to have, something of which no one may deprived without a grave affront to justice, something which is owing to every human being simply because he (she) is human (Crinston, 1923: 36). Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diartikan bahwa Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disingkat menjadi HAM merupakan suatu yang berkarakter universal dan dimiliki oleh setiap manusia, dengan kata lain Hak Asasi Manusia merupakan nilai-nilai bersifat universal dan diakui secara universal pula.13 Universal dalam Hak Asasi Manusia juga dapat diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh semua manusia tanpa ada pembedaan dalam hal bangsa, ras, agama, maupun jenis kelamin. Oleh karena itu, manusia dan Hak Asasi Manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena sejak manusia lahir telah membawa hak-hak yang bersifat kodrat yang telah melekat di dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari J.J. Rousseau yaitu manusia akan semakin berkembang potensinya dan merasakan nilai- nilai kemanusiaan dalam suasana kebebasan alamiah. Dalam penerapannya hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (NonDerogable Rights).

Hak asasi manusia atau HAM memiliki sifat kodrati sehingga sebenarnya HAM tidak perlu adanya legitimasi yuridis untuk dapat berlaku dalam suatu sistem hukum, baik itu sistem hukum dalam lingkup nasional ataupun lingkup yang lebih luas yakni mencakup lingkup internasional. Dalam tata hukum yang ada di Indonesia, Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian undang-undang ini disebut sebagai UU HAM. Hak Asasi Manusia di Indonesia berasal dan bermuara dari falsafah bangsa Indonesia sendiri, yaitu Pancasila. HAM di Negara Indonesia sangat dihormati dan dijunjung tinggi nilai-nilainya karena hal tersebut merupakan kebebasan dasar yang dimiliki oleh seluruh manusia serta tidak akan terpisahkan dalam diri manusia tersebut. Jika dilihat dalam tata hukum internasional, maka Universal Declaration of Human Rights sebagai standar utama untuk semua manusia dan semua bangsa. Deklarasi ini bersifat anjuran secara moral namun dalam prakteknya DUHAM memiliki peranan yang besar dalam hal penyusunan suatu konversi di sebuah negara. Bukti nyata akan peran besar deklarasi ini adalah lahirnya The Vienna Declaration on Human Rights pada tahun 1933.

Jika dikaitkan pada adanya kekerasan seksual, pasal 18 dan pasal 19 pada The Vienna Declaration on Human Rights telah secara gamblang menggolongkan kekerasan yang terjadi kepada perempuan sebagai suatu tindak pelanggaran hak asasi manusia, dimana pelecehan/ kekerasan seksual termasuk ke dalam tindak kekerasan pada perempuan yang berhubungan dengan adanya ketidakadilan gender, hal ini juga ditetapkan dalam konferensi Wina pada tahun 1993 yang di dalamnya membahas mengenai hak asasi manusia. Tindak pelecehan/ kekerasan seksual ini telah mencederai nilai-nilai budaya, sosial, ekonomi serta politik yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Tindak kekerasan seksual juga telah merenggut kebebasan dan menghalangi korban/ penyintasnya dalam menikmati hak asasi mereka. Namun, data lapangan menyimpulkan bahwa banyak korban kekerasan seksual yang tidak mengetahui jika kejahatan seksual dalam artian kekerasan seksual belum mengetahui hak apa saja yang mereka miliki sebagai

masyarakat, ini menyebabkan sebagian besar korban enggan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

Adapun hak-hak yang dimaksud diatas adalah hak untuk mendapatkan bantuan berupa bantuan nyata atau dengan kata lain bantuan fisik, mendapatkan bantuan untuk menyelesaikan masalah yang korban miliki baik itu dari proses awal hingga akhir, mendapatkan penyembuhan dan pemulihan, mendapatkan hak untuk dilindungi identitasnya sebagai korban, mendapat perlindungan dari semua ancaman yang mungkin akan didapatkan oleh pelaku (baik itu ancaman verbal maupun non-verbal), korban memiliki hak untuk memperoleh kompensasi dari pelaku, korban juga memiliki hak untuk dapat menggunakan upaya hukum (rechtsmiddelen) yang dimilikinya.

Dalam dunia internasional, kekerasan/ pelecehan seksual ini termasuk pelanggaran hak asasi manusia dengan kategori berat. Hal ini dapat terjadi sebab penyintas kekerasan seksual telah direnggut harkat kemanusiaannya. Perenggutan harkat kemanusiaan masuk ke dalam pelanggaran HAM berat sesuai dengan disetujuinya Statuta Roma pada tahun 2002 yang menjelaskan bahwa ada empat macam pelanggaran HAM dengan kategori berat, yaitu kejahatan berkenaan dengan kemanusiaan, genosida (memusnahkan kelompok masyarakat tertentu), kejahatan agresi, dan kejahatan perang. Istilah kejahatan manusia muncul pertama kali dalam instrumen internasional yaitu Piagam Nuremberg.

Kejahatan manusia diklasifikasikan menjadi pembunuhan, deportasi, perbudakan, serta perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lainnya dimana hal tersebut dilakukan kepada masyarakat sipil, sebelum adanya perang maupun setelah adanya perang, penganiayaan dengan dasar politik, dan lain-lain.14

Dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi pun tak luput dari adanya tindak kekerasan seksual, ini terjadi karena kekerasan seksual dapat terjadi dimanapun dan kapanpun. Kekerasan seksual bahkan berpotensi tinggi terjadi di lingkungan pendidikan tinggi akibat adanya ketimpangan relasi antara mahasiswa dan dosen. Relasi kuasa bukan lagi tentang mengenal struktur yang ada pada dalam ruang kampus, melainkan lebih condong pada bagaimana sebuah budaya dapat mempunyai peran besar di dalam praktik tindak kekerasan seksual khususnya bagi individu atau seseorang yang dalam hal komunikasi, kepribadian, serta dalam hal emosi yang rentan.15

Hal ini tidak sejalan dengan fungsi dosen dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen “Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdian kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.” Dosen juga harus berpegang teguh pada prinsip profesionalitas yang mereka jalankan.

Berdasarkan data yang dikutip oleh Deding Ishak pada jurnal yang berjudul “PELECEHAN SEKSUAL DI INSTITUSI PENDIDIKAN: SEBUAH PERSPEKTIF KEBIJAKAN”, kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan pendidikan tinggi berasal dari staf maupun dosen yang terdiri atas 78% laki-laki, 15% perempuan, dan

sisanya adalah jenis kelamin yang tidak berhasil untuk korban ketahui. Kemudian, penelitian yang sama juga menyimpulkan bahwa perempuan sebagai gender yang menjadi minoritas memiliki risiko yang tinggi dalam menjadi korban dari kekerasan seksual. 16

Pemantauan oleh Komnas Perempuan yang telah dilakukan selama tahun 1998 hingga 2013 menghasilkan rumusan bahwa kekerasan seksual terdiri atas 15 bentuk, yaitu:17

  • 1)    Pelecehan seksual;

  • 2)    Prostitusi paksa;

  • 3)    Perkosaan;

  • 4)    Eksploitasi seksual;

  • 5)    Intimidasi seksual yang didalamnya termasuk ancaman atau percobaan perkosaan;

  • 6)    Penyiksaan secara seksual;

  • 7)    Tindakan pengendalian seksual, melibatkan penggunaan aturan yang bersifat diskriminatif dengan tujuan moralitas dan agama;

  • 8)    Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;

  • 9)    Pemaksaan melakukan perkawinan, termasuk adanya cerai gantung;

  • 10)    Pemaksaan dalam melakukan penghilangan nyawa bayi dalam kandungan atau yang sering disebut sebagai aborsi;

  • 11)    Penghukuman secara tidak manusiawi dan bernuansakan seksual;

  • 12)    Perdagangan perempuan dengan tujuan seksual;

  • 13)    Praktik tradisi dengan nuansa seksual yang dapat membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;

  • 14)    Perbudakan seksual;

  • 15)    Pemaksaan kehamilan.

Modus yang digunakan pelaku kekerasan seksual dalam menggaet korbannya cukup beragam, dimulai dengan sekedar menyapa hingga melakukan pemaksaan untuk memenuhi hawa nafsu pelaku. Selain itu, menyapa korban melalui pesan singkat, menghubungi korban lewat telepon hingga melakukan video call juga sering dilakukan oleh pelaku setelah selesai proses pembelajaran di lingkungan perguruan tinggi. Adapun terdapat modus-modus lain yang lebih berbau akademik, seperti pemberian tugas pada calon korban, perbaikan nilai, serta mengajak korban untuk dapat ikut serta terjun langsung ke lokasi dilakukannya penelitian hingga mengajak korban untuk bergabung dalam proyek akademik bersama pelaku kekerasan seksual.

Berdasarkan hasil survei di tahun 2020 dari Kemendikbud diketahui hasil yang cukup mengejutkan. Pasalnya 77% dosen di pendidikan tinggi Indonesia menyatakan pernah terjadi kekerasan maupun pelecehan seksual dalam lingkup pendidikan tinggi. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan dalam proses pembelajaran di kampus, karena kenyamanan tidak hanya diperoleh karena tersedianya fasilitas berbentuk fisik sajam namun kenyamanan juga diharapkan

tercipta jaminan rasa aman atas tindak kekerasan seksual. Atas dasar inilah Peraturan Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 dibuat agar dijadikan acuan untuk perguruan tinggi agar lebih bijak dalam penentuan kebijakan serta pengambilan tindakan tegas dalam penerapan Tridharma perguruan tinggi guna pencegahan maupun penanganan dalam kasus kekerasan seksual.18

Perguruan tinggi atau kampus seharusnya menjadi tempat bagi para mahasiswanya untuk dapat meneruskan pendidikan mereka ke bidang serta jurusan yang sesuai dengan minat mereka, namun dewasa ini kampus yang pada hakikatnya dipenuhi dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi dan berakhlak pada faktanya justru masih ada juga oknum yang bertolak belakang. Fakta yang ada di lapangan bahkan menunjukan bahwa di perguruan tinggi juga terdapat pula kekerasan yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang konkret. Salah satu diantaranya adalah kekerasan seksual. Perlahan namun pasti kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi di kampus-kampus yang ada di Indonesia muncul ke permukaan masyarakat.

  • 3.2 Perlindungan Terhadap Penyintas Kekerasan Sksual di Lingkungan Pendidikan Berdasarkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Perlindungan hukum didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk melindungi atau memberikan pertolongan kepada subjek hukum, dengan menggunakan perangkat-perangkat hukum.19

Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia meliputi dua hal, yaitu:

  • a.    Perlindungan hukum dalam bentuk preventif

Perlindungan hukum secara preventif diartikan sebagai pencegahan

  • b.    Perlindungan hukum dalam bentuk represif

Perlindungan hukum secara represif diartikan sebagai perlindungan akhr yang berupa pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang telah dilakukan

.

Perlindungan hukum untuk para penyintas kekerasan seksual menjadi hal yang sangat penting dan menjadi perhatian dalam taraf internasional. Perlu penanganan yang intens dalam kasus ini. Perlindungan hukum bagi penyintas kekerasan seksual dianggap sangat penting, sebab perlindungan hukum ini merupakan langkah pasti untuk dapat memenuhi rasa keadilan pada diri korban dan masyarakat. Namun, pembuktian untuk dapat menyatakan pelaku bersalah menjadi sangat kompleks akibat sulitnya dalam proses penyelidikan hingga penyelesaian kasusnya. Kasus penyelesaian pada tindak kekerasan seksual juga mengalami kesulitan karena faktor korban yang merasa malu sehingga korban tidak ingin kejadian yang telah menimpa mereka diketahui oleh masyarakat luas, selain itu tidak jarang juga banyak korban yang mendapatkan ancaman dari pelaku. Padahal, peran dari korban menjadi sangat penting agar kasus kekerasan seksual ini dapat teratasi, oleh sebab itu diperlukan keberanian yang besar dari korban untuk dapat melaporkannya kepada pihak penegak hukum karena dengan adanya

laporan maka kasus kekerasan seksual ini menjadi kasus yang dapat terbuka dan dapat diperiksa untuk dapat memperoleh adanya keadilan bagi korban.20

Secara umum, tindak kekerasan seksual telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Pasal 281 sampai 299 tentang Kejahatan terhadap Tindak Pidana Kesusilaan. Salah satu bunyi pasal dari yang dituliskan sebelumnya adalah Pasal 289 KUHP “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.” Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 289 KUHP telah menjelaskan bahwa pelanggaran adab dan norma yakni pencabulan merupakan tindak kekerasan seksual. Namun, peraturan ini secara spesifik belum mengatur mengenai kekerasan seksual yang berakibat pada implementasinya yang belum dapat memberikan payung hukum secara sepenuhnya kepada korban kekerasan seksual.21

Pemerintah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 pada 31 Agustus 2021 tentang PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) di Lingkungan Perguruan Tinggi dengan tujuan untuk memenuhi rasa keadilan serta langkah preventif dalam penanganan tindakan kekerasan pada lingkungan perguruan tinggi. Aturan ini bertujuan untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Pasal 10 pada peraturan ini mengatur tentang adalah kewajiban melakukan penanganan bagi tindak kekerasan seksual bagi perguruan tinggi, hal ini dapat dilakukan melalui adanya perlindungan, pemulihan korban, pengenaan sanksi berupa sanksi administrasi, dan melakukan pendampingan pada korban. Berdasarkan hal tersebut d apat ditarik kesimpulan bahwa instansi perguruan tinggi wajib untuk berperan aktif menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi secara maksimal.

Setelah menunggu pengesahan selama 10 tahun, akhirnya undang-undang yang menjadi payung hukum bagi para korban (dalam tulisan ini mahasiswa/i) yaitu Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual pada Selasa, 12 April 2022 disahkan. Undang-undang ini pertama kali diinisiasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) karena Komnas Perempuan menilai bahwa Indonesia telah mengalami darurat kekerasan seksual. Undang-undang ini bertujuan untuk pencegahan segala bentuk kekerasan seksual; penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban; penindakan terhadap pelaku tindak kekerasan seksual; serta sebagai penjamin agar terlaksananya kewajiban dan peran seluruh pihak yang terkait. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 16 memberikan pengertian dari penanganan yaitu “tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial.” Pasal 17 berisikan arti dari perlindungan dimana “Pelindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan

oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Serta, pemulihan adalah “segala bentuk usaha dalam tujuan mengembalikan kondisi menjadi normal yang meliputi kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial Korban.” yang terdapat pada pasal berikutnya.

Harapan dari direalisasikannya undang-undang ini agar terciptanya lingkungan yang lebih aman dengan berkurang atau harapannya hilangnya tindak kekerasan seksual. Dengan adanya UU PKS ini maka kekurangan yang terdapat pada status quo dapat tertutup. Status quo sendiri memiliki arti keadaan sebagaimana adanya, jika dilihat dalam makna kebahasaan latin status quo merujuk pada in statu quo res erant ante bellum, istilah ini merupakan permulaan dari istilah status quo yang sering digunakan dalam ranah hukum dan politik. Status quo dipergunakan untuk mempertahankan suatu kejadian atau keadaan yang sudah berjalan meskipun di dalamnya telah terjadi beberapa keadaan yang berubah secara nyata.

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini telah mengatur mengenai acara pidana mengenai tindak kekerasan seksual, dalam undang-undang ini juga terdapat kewajiban dan larangan bagi aparat penegak hukum dalam kasus tindak kekerasan seksual, terlebih dalam hal pendampingan korban selama proses hukum yang dilakukan oleh pendamping ahli selama kasus berlangsung. Dalam prakteknya, penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual lebih didahulukan daripada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal ini sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis, dimana peraturan yang lebih diutamakan daripada peraturan lain yang lebih general. 22

Tindak Pidana Kekerasan Seksual menurut Pasal 4 Undang-Undang TPKS dibagi atas 9 bentuk, antara lain:

  • a.  pelecehan seksual nonfisik;

  • b.  pelecehan seksual fisik;

  • c.  pemaksaan kontrasepsi;

  • d. pemaksaan sterilisasi;

  • e. pemaksaan perkawinan;

  • f.  penyiksaan seksual;

  • g.    eksploitasi seksual;

  • h.    perbudakan seksual; dan

  • i.    kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain itu, tindak pidana kekerasan seksual dapat berupa perkosaan, perbuatan cabut, persetubuhan anak, serta tindakan eksploitasi seksual terhadap anak, pemaksaan pelacuran, dan lain-lain. Kekerasan seksual dalam dihapuskan melalui Undang-Undang TPKS ini bertujuan untuk melindungi, menangani, serta memulihkan korban. Tujuan selanjutnya adalah untuk dapat melakukan penindakan kepada pelaku serta dapat terwujudnya lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. Dalam dunia pendidikan tinggi termasuk dalam kekerasan pada lingkup komunitas atau umum, kekerasan pada lingkup ini terjadi pada lingkungan bermasyarakat, rukun tetangga, lingkungan kerja, serta lembaga pendidikan atau sekolah.

Definisi korban menurut Pasal 1 angka 4 ialah “orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.” Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, korban dalam kasus tindak kekerasan seksual memiliki 3 hak yaitu hak penanganan, perlindungan, serta hak untuk mendapatkan pemulihan. Ketiga hak ini dapat dimanfaatkan bagi para korban, ini bertujuan untuk mengubah kondisi korban menjadi lebih baik, lebih bermartabat, dan lebih sejahtera. Hak-hak ini berpusat pada kebutuhan serta kepentingan yang korban miliki yang berkelanjutan, multidimensi, dan partisipatif. Sebelumnya, pada asas RUU PKS yang telah tertulis dalam Naskah Akademik, hak yang korban miliki juga sangat diperhitungkan lebih tegas menggunakan asas proses hukum yang berperspektif pada korban.23 Setelah mengkaji peraturan-peraturan yang ada di Indonesia, menerangkan bahwa aturan represif memang ada dan sudah berlaku di Indonesia. Namun menurut penulis, perlu juga adanya tinjauan kembali dari pemerintah supaya peraturan yang ada tersebut tidak takabur dan diterapkan pada seluruh instansi pendidikan di Indonesia terutama aturan-aturan yang bersifat preventif.

  • 4. Kesimpulan

HAM ialah suatu yang berkarakter universal serta dimiliki oleh setiap manusia. Jika dikaitkan pada adanya kekerasan seksual, The Vienna Declaration on Human Rights telah secara gamblang menggolongkan kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berhubungan dengan ketidakadilan gender. Tindak kekerasan seksual termasuk ke dalam pelanggaran HAM karena tindakan tersebut telah merenggut kebebasan dan menghalangi korban/ penyintasnya dalam menikmati hak asasi yang mereka miliki. Maka untuk melindungi adanya tindak kekerasan seksual termasuk kekerasan seksual dalam lingkungan pendidikan, disahkanlah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dapat menjadi payung hukum bagi korban. Dalam undang-undang ini terdapat kewajiban untuk melakukan penanganan bagi tindak kekerasan seksual bagi perguruan tinggi, hal ini dapat dilakukan melalui adanya perlindungan, pemulihan korban, pengenaan sanksi berupa sanksi administrasi, dan melakukan pendampingan pada korban. Sehingga undang-undang ini dapat berperan penting dalam terciptanya perlindungan terhadap korban tindak kekerasan seksual sehingga dapat mengubah kondisi korban menjadi lebih baik, lebih bermartabat, dan lebih sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Gorman, Gary Eugene, Peter Robert Clayton, Sydney J. Shep, and Adela Clayton. Qualitative research for the information professional: A practical handbook. Facet Publishing, 2005.

Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.

Wijaya, Andika, and Wida Peace Ananta. In Darurat Kejahatan Seksual, 59. Jakarta, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

Jurnal :

Agustanti, Rosalia Dika, . Satino, and Rildo Rafael Bonauli. “ Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Yang Mengalami Pelecehan Seksual Dalam Rangka Mewujudkan Bela Negara.” Jurnal Supremasi, 2021, 42–56.

https://doi.org/10.35457/supremasi.v11i1.1092.

Alpian, Riyan. "Perlindungan hukum pidana terhadap tindak kekerasan seksual di dalam institusi perguruan tinggi." Lex Renaissance 7, no. 1 (2022): 69-83.

Artaria, Myrtati D. "Efek Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus: Studi Preliminer." Biokultur 1, no. 1 (2012): 53-72.

Asrun, Andi Muhammad. "Hak Asasi Manusia Dalam Kerangka Negara Hukum: Catatan Perjuangan di Mahkamah Konstitusi." Jurnal Cita Hukum 4, no. 1 (2016).

Dewi, Ni Luh Putu Ratih Sukma, and Sagung Putri ME Purwani. "Kebijakan Pidana terhadap Kekerasan Seksual yang Terjadi di Dunia Pendidikan." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 9, no. 7 (2021): 1235-1248.

Huda, Muhammad Wahyu Saiful, and Rizqiya Lailatul Izza. "Quo Vadis Perlindungan Kekerasan Seksual: Urgensi RUU PKS Sebagai Perlindungan Korban Kekerasan Seksual." Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal 2, no. 2 (2022): 172-187.

Ishak, D. "Pelecehan Seksual di Institusi Pendidikan: Sebuah Perspektif Kebijakan. AKSELERASI: Jurnal Ilmiah Nasional, 2 (2), 136–144." (2020).

Khafsoh, Nur Afni, and Suhairi Suhairi. "Pemahaman Mahasiswa Terhadap Bentuk, Proses, Dan Pandangan Penanganan Kekerasan Seksual Di Kampus." Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender 20, no. 1 (2021): 61-75.

Nikmatullah, Nikmatullah. "Demi nama baik kampus vs perlindungan korban: kasus kekerasan seksual di kampus." QAWWAM 14, no. 2 (2020): 37-53.

Oslami, Achmad Fikri. "Analisis Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual." Al-Ahkam: Jurnal Syariah dan Peradilan Islam 1, no. 2 (2021): 101-119.

Rusyidi, Binahayati, Antik Bintari, and Hery Wibowo. "Pengalaman dan pengetahuan tentang pelecehan seksual: studi awal di kalangan mahasiswa perguruan tinggi (experience and knowledge on sexual harassment: a preliminary study among indonesian university students)." Share: Social Work Journal 9, no. 1 (2019): 75-85.

Sumera, Marchelya. “Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan.” Lex et Societatis 1, no. 2 (2013).

Surya, Mohamad. Psikologi Guru: Konsep Dan Aplikasinya, 34. Bandung, Jawa Barat: Alfabeta CV, 2014.

Suzanalisa. Review of Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Lex Specialis. No. 14 (2011).

Noviani, Utami Zahirah, Rifdah Arifah, Cecep, and Sahadi Humaedi. "Mengatasi dan Mencegah Tindak Kekerasan Seksual Pada Perempuan Dengan Pelatihan Asertif." Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat 5, no. 1 (2018): 4855.

Fajarini, Ulfah, and Nurul Handayani. "Human Geografi dan Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri." Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender 17, no. 1 (2021): 49-66.

Zahra, Rafida Azkia, and I Wayan Bela Siki Layang. “Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dibawah Umur Dalam Lingkungan Keluarga” Jurnal Kertha Desa 10, no. 12 (2022): 1301-1310

Peraturan Perundang-Undangan :

Bassiouni, M. Cherif. Crimes against humanity in international criminal law. Martinus Nijhoff Publishers, 1999.

Indonesia, Presiden Republik. "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional." (2006).

Indonesia. Undang - Undang No 12 Tahun 2022 Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Jakarta, Jakarta: Sekretariat Negara, 2022.

Indonesia. Undang - Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Jakarta, Indonesia: Sekretariat Negara, 1999.

Moeljatno, S. H. KUHP (Kitab undang-undang hukum pidana). Bumi Aksara, 2021. 289 Nations, United. “Beijing Declaration and the Platform for Action 1998, ‘Sexual Violence and Armed Conflict.’” www.un.org. United Nations, April 1998. http://www.un.org/womenwatch/daw/public/w2apr98.htm.

Lainnya :

Gatra, Sandro. “Lonjakan Kasus Kekerasan Seksual Selama Pandemi, Bagaimana Ruu TPKS Menjawabnya? Halaman All.” kompas.com. Kompas, March 5, 2022. https://nasional.kompas.com/read/2022/03/05/07300031/lonjakan-kasus-kekerasan-seksual-selama-pandemi-bagaimana-ruu-tpks?page=all.

Tobing, Letezia. “Mengenai Asas Lex Specialis Derogat  Legi Generalis -

Hukumonline.com/Klinik.” Hukum Online, November 30,   2012.

https://www.hukumonline.com/klinik/a/lex-spesialis-dan-lex-genralis-lt509fb7e13bd25.

Perempuan, Komnas. "Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual." Jakarta: Komnas Perempuan (2017).

Perempuan, Komnas. "Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan." Universitas Bina Nusantara (15). https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan.

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 01 Tahun 2023 hlm 1-15

15