TANGGUNG JAWAB HUKUM BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM MENANGGULANGI KONFLIK

AGRARIA DI INDONESIA

I Gusti Ayu Widya Chandra Udiyani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:[email protected]

Cokorda Dalem Dahana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:[email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengetahui tanggung jawab dari hukum pertanahan itu sendiri dan peran dari Badan Pertanahan Nasional dalam menanggulangi Konflik Agraria di indonesia dan juga agar mengetahui faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam proses penyelesaian Sengketa Agraria di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dimana dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan, buku-buku atau karya ilmiah serta kamus-kamus yang menerangkan mengenai permasalahan tersebut. Hasil studi dari penelitian ini yakni Sengketa perdata yang dimana sengketa mengenai hak dan merupakan kewenangan peradilan umum dalam penyelesaiannya. Faktor-faktor yang menghambat dalam menanganggulangi konflik agraria yang dimana agar mengetahui sejauh mana efektifitas hukum pertanahan dalam menanggulangi hal tersebut. Di Indonesia sendiri disetiap daerahnya tidak luput dengan adanya konflik agraria salah satunya di daerah Kalimatan Timur Kota Balikpapan. Niluh Eka Padma Widya selaku anggota Badan Pertanahan Nasional mengemukakan bahwa faktor penghambat dalam menanggulangi penyelesaian sengketa ini yakni tidak bukan ditimbulkan juga oleh masyarakat yang masih tabu akan peran Badan Pertanahan Nasional itu sendiri dalam menyelesaikan persoalan permasalahan tanah mereka.

Kata Kunci: Tanggung Jawab, Sengketa Tanah, Badan Pertanahan Nasional

ABSTRACT

The purpose of this study is to find out the responsibilities of the land law itself and the role of the National Land Agency in tackling Agrarian Conflicts in Indonesia and also to find out what factors are obstacles in the process of resolving Agrarian Disputes in Indonesia. The research method used in this study uses a normative legal research method which is carried out with an approach to legislation, books or scientific works and dictionaries that explain the problem. The results of the study from this research are civil disputes where disputes regarding rights and are the authority of the general court in their resolution. The inhibiting factors in dealing with agrarian conflicts are to know the extent of the effectiveness of land law in overcoming this. In Indonesia itself, each region is not spared by agrarian conflicts, one of which is in the area of East Kalimantan, the city of Balikpapan. Niluh Eka Padma Widya as a member of the National Land Agency stated that the inhibiting factor in tackling this dispute resolution was not caused by the people who were still taboo about the role of the National Land Agency itself in solving their land problems.

Key Words: Liability, Land Dispute, National Land Agency

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Tanah memiliki andil yang cukup besar terhadap kehidupan mahkluk hidup di seluruh muka bumi ini tidak hanya manusia tanah juga diperlukan untuk kebutuhan hewan maupun tumbuhan untuk berkembang biak dan juga ber ekosistem. Pada manusia tanah memiliki peranan yang penting yakni dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan primer, dan juga sarana meliputi berbagai jenis perkebunan hingga pertanian, pertambangan, dan lain-lain. Negara agraris adalah sebutan bagi negara Indonesia. Dengan demikian pemanfaatan dari tanah di Indonesia menjadi faktor utama dalam berkehidupan bermasyarakat di Indonesia. Pemanfatan tanah setya kedudukan tanah di Indonesia yang dimana terdapat di Nomor: II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.1 Para ahli memberikan pernyataannya terkait agraria Andi Hamzah, Subekti dan R Thitrosoedibio mendefinisikan bahwasannya agraria merupakan segala sesuatu yang terdapat di dalam serta di atasnya. Seperti yang terletak di KBBI yang mendefinisikan agraria merupakan segala sesuatunya seperti urusan pertanian/tanah pertanian, dan urusan pemilikan tanah2.

Berdasarkan Undang-Undang 1945 yang secara singkat menjelaskan mengenai Indonesia yang memiliki ribuan pulau dan jutaan jumlah penduduk maka sebuah negara sudah semestinya memiliki tanggungjawab atas hak maupun jaminan untuk rakyatnya dikarenakan negara Indonesia merupakan negara hukum (konstitutional). Di dalam pasal 19 UUPA yang menjelaskan mengenai kejelasan terkait kepemilikan harus dibuktikan dengan adanya sertifikat sebagai alat pembuktian akurat. Sertifikat menjadi alat pembuktian yang akurat sekaligus berfungsi sebagai keputusan hukum dan pastinya dapat dipertanggungjawabkan agar sebagai bukti otentik yang dimana pihak yang memiliki sengketa atau permasalahan bisa benar-benar menguasai secara yuridis dari tanah tersebut. Pernyataan ini dibuktikan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dalam ketentuan pasal 32 ayat (1), yakni : “sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.

Pada saat menangani kasus ataupun perselisihan mengenai pertanahan sudah semestinya menjadi tanggungjawab dari Badan pertanahan nasional sebagai badan yang menaungi masalah pertanahan tersebut. Dalam hal ini fungsi maupun peran dari Badan Pertanahan Nasional yang menaungi masalah pertanahan telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015. Selain itu, Badan Pertanahan Nasional juga tidak luput dari mengelola maupun mengembangkan administrasi pertanahan yang dimana pastinya turut andil membantu presiden dalam mengelolanya hal ini berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut dengan UU Agraria. serta tidak luput juga dari peraturan perundangan yang lainnya yang bersangkutan dengan sengketa

pertanahan, yang dimaksud dalam peraturan perundangan ini meliputi penggunaan, pemilikan tanah, pengaturan, serta penguasaan, pengukuran, penetapan hak-hak atas kepemilikan dari sebuah bidang tanah, dan pendaftaran tanah dan lain-lain yang pastinya berhubungan dengan sengketa agraria yang ada dan tentu saja berdasarkan pada kebijaksanaan yang ditetapkan oleh presiden dan ini bersifat final.3

Akan tetapi, dalam proses penyelesaian Sengketa agraria, Badan Pertanahan Nasional (BPN) bukan satu-satunya instansi yang dapat ditempuh dalam penyelesaian sengketa tanah. penyelesesaian melalui jalur pengadilan menjadi pilihan yang tepat untuk Sebagian orang yang ingin menyelesaikan sengketanya di pengadilan tentu saja bagi Sebagian orang yang memilih jalur penyelesaian ini terbilang penyelesaiannya jelas dan akurat alurnya kemana. Selain itu untuk mempermudah dalam proses penyelesaian sengketa pertanahan Dewan Perwakilan Rakyat yang sekaligus menjadi wadah untuk menampung aspirasi dari masyarakat memberikan metode dengan dibentuknya Komisi Penyelesaian Konflik Agraria atau KPKA yang dimana tugas utama dari KPKA ini adalah penyelesaian sengketa agraria dengan efektif dan mudah terlepas dari peran Badan Pertanahan Nasional yang sangat penting dalam penyelesaian sengketa pertanahan.

Salah satu pemicu timbulnya konflik pertanahan yakni tidak seimbangnya kebutuhan manusia dengan ketersedian tanah. Konflik Agraria sendiri di Indonesia terjadi hampir diseluruh wilayah terutama sejak runtuhnya rezim otoritarian tahun 1998. Salah satu contoh yakni terkait konflik agraria yakni sengketa pertanahan di sektor perkebunan sawit, yang dimana sengketa ini melibatkan perusahaan dan masyarakat yang pastinya memiliki hubungan dengan dimensi politik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang memiliki sangkut paut dengan permasalahan penguasaan lahan.

Dalam penelitian Astarya 2015 beliau mengangkat konflik agraria di daerah Kalimantan Barat yakni konflik perkebunan yang dimana permasalahannya yang ditimbulkan oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab maka dari itu terjadilah konflik. Perusahaan tidak bertanggungjawab dalam membangun perkebunan rakyat sebagai hak dari masyarakat setempat. Konflik ini terus berlangsung tanpa menemukan titik terang dalam penyelesaiannya hal ini dikarenakan ketidakmampuan negara dalam mengawal pelaksanaan dari perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus diberikan untuk masyarakar setempat.4

Selain itu berdasarkan dari laporan yang disampaikan oleh TUK Indonesia, WALHI dan ELSAM dalam siaran presnya pada tanggal 6 November 2016, didalam siaran pers tersebut menyatakan bahwa konflik yang terjadi melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dimana konflik tersebut meliputi degradasi lingkungan, konflik lahan, konflik perburuhan serta dalam skema kemitraan. Hasil dari laporan ini yakni, lemahnya penegakkan hukum

dalam memberikan hak-hak kepada masyarakat yang seharusnya perusahaan berikan, hal ini diakibatkan karena buruknya tata Kelola perkebunan yang mengakibatkan perusahaan tidak bertanggung jawab dalam tanggung jawab sosial maupun tanggung jawab lingkungan. Adapun artikel yang penulis gunakan sebagai bahan acuan dalam pembuatan jurnal ini adalah yang pertama berjudul “Konflik Agraria di Wilayah Perkebunan” yang disusun oleh Syaiful Bahari mengenai konflik agraria dalam hal perkebunan terjadi banyak di wilayah jawa dan sumatera mengingat ekspansi perkebunan swasta berpusat di wilayah tersebut namun seiring dengan hal tersebut, ternyata masih banyak terjadi konflik agraria akibat ketimpangan antara pemilik tanah dengan pihak swasta.5 Lalu jurnal yang kedua berjudul “Konflik agraria dan pelepasan tanah ulayat (Studi kasus pada masyarakat suku melayu di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat)” yang disusun oleh Abdul Mutolib mengenai konflik agraria yang menyasar hak ulayat atas tanah yang menjadi hak masyarakat adat. 6Dalam pemaparan permasalahan sengketa pertanahan di atas yang terjadi di beberapa kawasan di Indonesia yang memang harus mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah serta agar dapat melindungi hak-hak dari warga ataupun masyarakat setempat. Dengan demikian munculah permasalahan yakni bagaimanakah sebenarnya peran BPN dalam menanggulangi ataupun menyelesaikan permasalahan sengketa yang ada dan juga faktor apa saja yang menghambat efektivitas dari hukum pertanahan dalam menyelesaikan sengketa agraria.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang masalah di atas, adapun rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana tanggung jawab hukum Badan Pertanahan Nasional dalam menanggulangi konflik agraria di Indonesia?

  • 2.    Apa saja faktor-faktor yang menghambat efektivitas Hukum Pertanahan dalam menanggulangi konflik agraria di Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan artikel ini memiliki tujuan yakni agar mengetahui serta mengkaji terkait peran BPN sebagai Badan Pertanahan Nasional dalam menanggulangi konflik agraria di Indonesia. Disamping itu juga dalam penulisan artikel ini agar dapat mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat efektivitas dari hukum pertanahan dalam menanggulangi konflik agraria yang ada di Indonesia.

  • 2 .Metode Penelitian

Metode penelitian artikel ini menggunakan metode penelitian empiris, metode penelitian empiris adalah metode penelitian yang berupaya untuk melihat hukum dalam konteks nyata atau dapat dikatakan juga bagaimana hukum bekerja di masyarakat. 7Dalam penulisan artikel ini, penulis melakukan wawancara dengan Ni Luh Eka Padma Widya selaku Anggota Badan Pertanahan Nasional Wilayah Balikpapan untuk mengetahui bagaimana berjalannya UU Agraria di masyarakat khususnya dalam menanggulangi konflik agraria. Bahan hukum yang digunakan untuk menunjang penulisan artikel ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa hasil wawancara sedangkan bahan hukum sekunder berupa aturan perundang-undangan, buku, artikel, dan website.

  • 3 .Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Tanggung Jawab Badan Pertanahan Nasional Dalam Menanggulangi Konflik Agraria

Soekanto memberikan definisi dari peran itu sendiri yakni adalah peran atau yang bisa disebut dengan role dalam Bahasa inggrisnya memiliki aspek dinamis kedudukan atau status. Hak dan kewajiban setiap orang harus disesuaikan dengan kedudukannya, apabila seseorang tersebut mejalankan peranannya maka sudah dipastikan orang tersebut melaksanakan hak dan kewajibannya.8 Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh soekanto agar suatu peranan dapat dipegang sesuai harapan masyarakat maka peran tersebut harus melaksanakan hak dan kewajibannya dan ini harus dilaksanakan oleh individu maupun kelompok agar nantinya tercipta harapan masyarakat terkait peran ini.

Sudah semestinya yang memiliki Kewajiban, tugas serta kewenangan untuk menjamin kepastian hukum serta hak dan kewajiban dari masyarakat yang memiliki sengketa agraria Badan Pertanahan Nasional yang memiliki rana tersebut. Dengan demikian tersusunlah Tata Cara Penanganan sengketa pertanahan yang terletak di Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999. Dalam hal ini dijelaskan bahwa dalam perselisihan yang mengakibatkan terjadinya konflik pertanahan yakni apabila para pihak merasa dirugikan dalam hal pemanfaatan serta penggunaan dan juga penguasaan dari beberapa hak atas tanah, dengan demikian dalam penyelesaiannya maka bisa ditempuh dengan berbagai macam cara yakni dengan melalui musyawarah yang dimana melakukan kesepakatan terlebih dahulu dengan yang bersangkutan atau bisa juga menyelesaikannya dengan kekeluargaan dan tentu juga dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Badan Pertanahan Nasional, bahwa setiap sengketa tanah memiliki perbedaan pendapat salah satunya mengenai:9 1. Pemberian hak atas tanah

  • 2.    Keabsahan suatu hak, dan

  • 3.    Peralihan serta penerbitan sebagai tanda bukti dan sekaligus Pendaftaran hak atas tanah.

Dalam hal ini jika ditinjau dari segi yuridisnya dalam memperinci suatau masalah tanah yang tentu dapat disengketakan menurut Boedi Harsono, antara lain:

  • 1.    Konflik terkait batas-batas suatu bidang tanah

  • 2.    Konflik terkait luas suatu bidang tanah

  • 3.    Konflik terkait bidang mana yang disengketakan

  • 4.    Konflik terkait status tanahnya

  • 5.    Konflik terkait hak yang membebaninya

    • 6.    Konflik terkait

    • 7.    Konflik terkait

    • 8.    Konflik terkait

    • 9.    Konflik terkait

    • 10.    Konflik terkait

    • 11.    Konflik terkait

    • 12.    Konflik terkait

    • 13.    Konflik terkait

    • 14.    Konflik terkait

    • 15.    Konflik terkait


pemberian sertifikatnya pemegang haknya pembebasan tanah pemindahan haknya penunjuk lokasi pemberian haknya pengosongan tanah pembatalan haknya pemberian ganti kerugian pencabutan haknya

  • 16.    Konflik terkait alat-alat pembuktian adanya hak

Tujuan akhir dalam sengketa yakni akan ada pihak yang lebih diuntungkan dalam hal ini yakni pihak yang lebih memiliki hak dari pihak lain yang sama-sama bersengketa. Dapat disimpulkan bahwasannya dalam

penyelesaian sengketa tanah dapat dilihat berdasarkan akar dari permasalahannya yang dilaporkan dan tentunya dalam prosesnya memiliki beberapa tahap sebelum menemukan titik terang dalam penyelesaian sengketa tanah tersebut.10

Dalam menangani akibat hukum yang ditimbulkan dari perselisihan atau sengketa tanah tentu ada usaha untuk meminimalisir akan sengketa tersebut hal ini tentu terdapat di dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut Perpres No. 10 tahun 2006) yang dapat ditemukan pada pasal 3 angka 14 dan 15 yang di dalam pasal tersebut menjelaskan mengenai bahwasannya kepala BPN memiliki tugas salah satu tugasnya yakni sebagai pemeriksa sekaligus yang menangani apabila terdapat konflik pertanahan sesuai dengan daerah Badan Pertanahan Nasioanl setempat. Dalam hal ini Kepala BPN juga mengeluarkan Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007 tentang Pertunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan yang telah diiganti dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelola Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.11

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan penjelasan secara akurat serta jelas atau spesifik mengenai prosedur penyelesaian sengketa tanah pernyataan ini yakni berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960. Melainkan pada Undang-Undang tersebut lebih mengatur

mengenai hak-hak atas tanah hal ini terdapat pada pasal 4 ayat (1) dan pada pasal 16 ayat (1).12

Penyelesaian sengketa pertanahan tentu memiliki ketentuan yang mendasar dalam penyelesaiannya dan ketentuan ini sesuai dengan buku kedua yang mengatur mengenai hukum formal dan terdapat di KUHPerdata. Agar hukum formal dapat ditempuh maka wajib menggunakan hukum acara Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg). Sampai sekarang tidak ada hukum acara yang berkedudukan untuk menegakkan UUPA kendatipun Buku Kedua telah dihapus, Sehingga HIR/BRg masih tetap digunakan. HIR/BRg tentu dapat dimanfaatkan sebagai hukum acara pada penyelesaian konflik agraria karena pada hakikatnya berhubungan langsung dengan status dan juga hak.13 Sengketa perdata yakni sengketa mengenai hak dan merupakan kewenangan peradilan umum dalam penyelesaiannya. Dengan demikian kedua hal ini tidak dapat dipisahkan apalagi sampai memisahkan subjek (pemegang hak) dan objeknya (tanah) dalam penyelesaian sengketa.

Setiap penyelesaian dari sengketa pertanahan tentu menjadi tanggung jawab sekaligus Peran dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, hal ini telah sesuai dengan tata cara hukum yang berlaku di dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional. Selain itu dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 2, mengenai fungsi sekaligus tugas dari Badan Pertanahan Nasional terletak di dalam Pasal 3 yang secara singkat menjelaskan mengenai hal-hal apa saja yang menjadi wewenang dari Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana yang dijelaskan dipasal tersebut terdapat fungsi dari Badan Pertanahan Nasional yakni14 ; Badan Pertanahan Nasional berfungsi untuk menyusun sekaligus menetapkan kebijakan dibidang pertanahan tidak hanya dibidang tanah melainkan dibidang survey serta pemetaan pertanahan, dibidang penetapan hak dan juga pendaftaran tanah, dibidang redistribusi tanah, dibidang pengadaan tanah serta pengembangan pertanahan, dibidang pengendalian, serta di bidang penanganan.

Konflik agraria dapat terjadi dimana saja dan kapan saja sesuai dengan akar permasalahan yang ada. Untuk meminimalisir dan memecahkan permasalahan sengketa agraria, perlu adanya peran dari pemerintah yang dimana tugas dan peran pemerintah yakni ikut turut andil serta mengatasi dan menanggulangi kasus sengketa tersebut. Dalam hal ini Salah satu usaha pemerintah yang dapat mengurangi dan mengatasi apabila terjadinya konflik agraria yakni dibentuk dan dikeluarkannya peraturan yang mengatur akan hal tersebut. Untuk itu pemerintah mengeluarkan ketentuan baru yang mengatur mengenai Reforma Agraria yang memiliki tujuan untuk membenahi kembali komposisi penggunaan, penguasaan, dan pemilikan, yang dimana diatur di dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018.

Perselisihan yang melibatkan perseorangan yang melibatkan kelompok, serta golongan bahkan badan hukum dan organisasi, atau lembaga dan memiliki

Hasrat kecenderungan secara sosial, ekonomi, politis, budaya atau pertanahan merupakan pengertian dari konflik agraria atau sengketa pertanahan. Apabila dikaitkan dengan yuridisnya hal ini terdapat di Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai pertanahan.15

Biasanya penyelesaian dari sengketa pertanahan bisa dilakukan melalui berbagai cara, yakni :

  • (1)    Bisa menempuh jalur Pengadilan yang dimana sudah pasti penyelesaiannya secara hukum.

  • (2)    Menempuh jalur diluar pengadilan

Cara ini sangat diminati oleh sebagai kalangan masyarakat karena cara ini merupakan salah satu cara dalam penyelesaian sengketa melalui cara ini sangat cocok dengan jalur damai dimana dalam penyelesaiannya menggunakan jalur kekeluargaan, dan pastinya jauh berbeda dengan menggunakan jalur di pengadilan yang dimana terciptanya menciptakan kericuhan dalam artian tidak selarasnya atau konfrontatif. Penyelesaian diluar pengadilan menjadi salah satu jalur yang sering ditempuh dalam menyelesaikan konflik agraria. Penyelesaian sengketa yang dilakukan diluar pengadilan lebih efisien serta juga terbilang murah, dan tentu saja dengan menggunakan metode ini tidak banyak mengeluarkan biaya atau bisa dibilang ramah dikantong (hemat) dibandingkan melalui jalur pengadilan yang dimana pastinya membutuhkan banyak biaya untuk itu banyak masyarakat yang menggunakan metode penyelesaian ini.16

Apabila dalam kepemilikan tanah terdapat sengketa, maka peran Badan Pertanahan Nasional dalam menanggulangi konflik tersebut yakni ;

  • 1.    Menampung aspirasi maupun pengaduan dari masyarakat yang terlibat kasus sengketa tersebut

  • 2.    Mengumpulkan informasi yang dibutuhkan tentunya yang memiliki kaitan dengan sengketa tersebut. Dengan mengumpulkan Informasi yang ada tentunya memiliki tujuan untuk mengetahui akar dari permasalahan tersebut yakni berupa data.

  • 3.    Mengkaji data yang tersedia dengan tujuan untuk membuktikan adanya sumber permasalahan dengan akurat dan juga agar mengetahui faktor pemicu terjadinya sengketa tersebut.

  • 4.    Memberikan kepastian hukum berupa keputusan apabila terbukti terdapat cacat administrasi pada saat penerbitan sertifikat keputusan yang dimaksud adalah penyelesaian sengketa baik keputusan pembatalan sertifikat, keputusan pembatalan hak dan

  • 5.    Memberikan mediasi dan fasilitas kepada pihak yang bersengketa untuk berdiskusi mengenai keputusan ahkir dalam penyelesaian sengketa tersebut dan tentunya agar mendapatkan suatu kesepakatan diantara para pihak.

Peran dari Badan Pertanahan Nasional sangat dibutuhkan dalam penyelesaian sengketa dengan demikian para pihak yang memiliki sengketa harus mengambil tindakan sebagai berikut: 17

  • 1.    Menyetujui akan Peran dari Badan Pertanahan Nasional

Terkait penyelesaian sengketa tentu menimbulkan 2 pilihan yakni terselesaikannya sengketa tersebut atau tidak terselesaikannya sengketa tersebut. jika sengketa tersebut dinyatakan berhasil terselesaikan maka pihak yang bersengketa dapat menyetujui penyelesaiaan yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional, jika para pihak yang dinyatakan berhasil dalam menyelesaikan sengketa tersebut dengan membentuk kesepakatan maka harus ada perjanjian perdamaian untuk mengikat kedua belah pihak yang dimana nantinya agar tidak terjadi ingkar janji.

  • 2.    Menolak atas Peran Badan Pertanahan Nasional

Tidak semua para pihak mau menyelesaikan sengketa di Badan Pertanahan Nasional. Penyelesaian konflik agraria di Badan Pertanahan Nasional tidak jarang terjadi beraneka ragam permasalahan yang dijumpai pada saat terjadinya pengurusan maupun penyelesaian konflik pertanahan. Apabila sengketa yang tidak berhasil terselesaikan maka akan dilanjutkan di pengadilan yang dimana itu bukan lagi sengketa melainkan perkara. Sengketa maupun perkara jelas memiliki perbedaan sebagaimana yang telah diatur di Permen 11 Tahun 2016, Adapun syarat pengajuan gugatan di pengadilan yang perlu dilengkapi apabila dari pihak yang bersengketa ingin mengajukan gugatan sengketa pertanahan ke pengadilan dengan memuat beberapa persayaratan antara lain:

  • a.    Perlunya disertakan Identitas para pihak secara lengkap guna memenuhi syarat yang ada (penggungat dan tergugat)

  • b.    Adanya asas-asas konkret atau alasan di buatnya suatu tuntutan yang mendasari suatu gugatan.

  • c.    Adanya tuntutan yang mendasar yang bisa disebut petitum dalam hal ini penggungat mengharapkan segala sesuatunya di putuskan oleh hakim tentunya hal ini menggunakan metode penyelesaian melalui jalur pengadilan.

Dan apabila jika penyelesaian sengketa tersebut telah terselesaikan maka kemudian penyelesaiannya diberikan ke pada pengadilan karna itu sudah menjadi rana dari pengadilan tersebut dan tentunya penyelesaian ini berdasarkan Hukum Acara yang berlaku.

  • 3.2 Faktor Yang Menghambat Efektivitas Berjalannya Hukum Pertanahan Dalam Menanggulangi Konflik Agraria Di Indonesia

Faktor-faktor yang menghambat dalam menanganggulangi konflik agraria yang dimana agar mengetahui sejauh mana efektifitas hukum pertanahan dalam menanggulangi hal tersebut. Di Indonesia sendiri disetiap

daerahnya tidak luput dengan adanya konflik agraria salah satunya di daerah Kalimatan Timur kota Balikpapan. Niluh Eka Padma Widya selaku anggota Badan Pertanahan Nasional mengemukakan bahwa faktor penghambat dalam menanggulangi penyelesaian sengketa ini yakni tidak lain ditimbulkan juga oleh masyarakat yang masih tabu akan peran Badan Pertanahan Nasional itu sendiri dalam mengatasi persoalan sengketa tanah mereka.

Segala upaya penyelesaian konflik yang terjadi di daerah maupun kota pastinya pemerintah juga turut andil dalam penyelesaian sengketa tersebut terlebih lagi Badan Pertanahan Nasional. Dengan adanya faktor penghambat inilah yang mengakibatkan tidak dapat terselesaikannya secara keseluruhan penyelesaian sengketa agraria di indonesia ini. Adapun faktor penghambat penyelesaian Konflik Agraria tersebut yakni18 :

  • 1.    Premanisme

Premanisme berasal dari Bahasa belanda virjman yang berarti orang bebas, Dalam hal ini premanisme juga bisa diartikan sebagai sekumpulan orang maupun oknum yang dimana sekelompokan orang tersebut merugikan masyarakat dalam hal pertanahan yang dimana mengambil keuntungan dari pemerasan. Yang dimana premanisme disini diartikan menjadi faktor utama dalam hambatan penyelesaian sengketa. Mengapa demikian karena premanisme ini merupakan segerombolan orang yang melakukan tindak kerjahatan yang memiliki niat untuk memakai kesempatan yang ada dan melakukan tindak pidana untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan golongan nya terhadap masyarakat yang dimana tentu saja merugikan bagi masyarakat yang tertipu muslihatnya.

  • 2.    Tidak lengkapnya data.

Faktor penghambat dalam penyelesaian konflik ini tidak lain tidak bukan datang dari masyarakat itu sendiri yakni masyarakat yang bersangkutan tidak dapat memenuhi data ataupun surat-surat yang sekiranya di perlukan dalam pengurusan pembalikkan nama tanah atau yang lainnya sehingga Badan Pertanahan Nasional pun sukar untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

  • 3.    Kurangnya pemahaman

Dalam mengurus sengketa pertanahan perlunya masyarakat memahami dengan betul persoalan dari sengketa pertanahan yang ia alami. Sebagian dari masyarakat Indonesia masih tabu bahwa Badan Pertanahan Nasional memiliki peranan yang cukup penting dalam mengatasi konflik agraria yang ada dan pastinya dapat membantu dalam penyelesaian sengketa yang melalui proses mediasi untuk memudahkan masyarakat dalam penyelesaian sengketa tersebut dan tentunya proses dari penyelesaian sengketa yang menggunakan proses mediasi ini ramah di kantong dalam artian hemat biaya.

  • 4.    Kurangnya kooperatif

Kurangnya sifat kooperatif yang ditimbulkan oleh masyarakat inilah yang mengganggu ataupun menghambat proses kerja dari pihak Badan

Pertanahan Nasional dalam menanggulangi atau menyelesaikan sengketa tanah tersebut.

Berdasarkan garis besar yang ditimbulkan dalam penyelesaian sengketa di Indonesia faktor yang paling kuat dalam menghambat penyelesaian konflik tidak lain tidak bukan dari masyarakat itu sendiri. Untuk itu peran pemerintah sangat dibutuhkan salah satunya yakni memberikan sosialisasi kepada masyarakat akan berharganya surat kepemilikan hak atas tanah dan surat-surat yang sekiranya penting dalam menentukan hak otentik kepemilikan tanah.19

4. Kesimpulan

Penyelesaian sengketa dapat diselesaikan di pengadilan maupun di luar pengadilan. Sebagian masyarakat lebih memilih menyelesaikan sengketanya diluar pengadilan dikarenakan tidak memerlukan biaya yang banyak berbeda dengan penyelesaian di dalam pengadilan yang membutuhkan banyak biaya. Konflik agraria dapat terjadi dimana saja dan kapan saja sesuai dengan akar permasalahan yang ada. Untuk meminimalisir dan memecahkan permasalahan sengketa agraria, perlu adanya peran dari pemerintah yang dimana tugas dan peran pemerintah yakni ikut turut andil serta mengatasi dan menanggulangi kasus sengketa tersebut. Dalam hal ini ada berbagai penyebab yang menghambat dalam proses penyelesaian sengketa salah satu Faktor-faktor yang menghambat dalam menanganggulangi konflik agraria yang dimana agar mengetahui sejauh mana efektifitas hukum pertanahan dalam menanggulangi hal tersebut. di Indonesia sendiri disetiap daerahnya tidak luput dengan adanya konflik agraria salah satunya di daerah Kalimatan Timur Kota Balikpapan. Niluh Eka Padma Widya selaku anggota Badan Pertanahan Nasional mengemukakan bahwa faktor penghambat dalam menanggulangi penyelesaian sengketa ini yakni tidak lain tidak bukan ditimbulkan juga oleh masyarakat yang masih tabu akan peran serta fungsi dari Badan Pertanahan Nasional itu sendiri dalam mengatasi persoalan konlik agraria tersbut.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Hadi Arnowo, Waskito, Pertanahan, Agraria, dan Tata Ruang (Jakarta, Kencana, 2017) Hadiwiyono, Suharyono M, Hukum Pertanahan di Indonesia. (Malang, Inteligasi Media, 2020)

Manullang, E. Fernando M. Selayang Pandang: Sistem Hukum di Indonesia. Kencana, 2017 Ramadhani, Rahmat. Dasar-Dasar Hukum Agraria (Medan, Pustaka Prima, 2019) Santoso, Urip. Hukum Agraria (Jakarta, Kencana, 2017)

Suyanto, S. H. Metode Penelitian Hukum Pengantar Penelitian Normatif, Empiris dan Gabungan. UNIGRES PRESS, 2023.

JURNAL

Bahari, Syaiful. "Konflik Agraria di Wilayah Perkebunan: Rantai Sejarah yang Tak Berujung." Jurnal Analisis Sosial (2004).

Chadijah, Siti, Dwi Kusumo Wardhani, and Ali Imron. "Kebijakan Reforma Agraria Terhadap Lahan Pertanian Di Kabupaten Tulungagung." JCH (Jurnal Cendekia Hukum) 6, no. 1 (2020): 91-103.

Kurniati, Nia. ""    mediasi-arbitrase”    untuk penyelesaian sengketa

tanah." Sosiohumaniora 18, no. 3 (2016): 197-207.

Mutolib, Abdul, Yonariza Yonariza, Mahdi Mahdi, and R. Hanung Ismono. "Konflik agraria dan pelepasan tanah ulayat (Studi kasus pada masyarakat suku melayu di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat)." e-Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 12, no. 3 (2016).

Ningrum, Herlina Ratna Sambawa. "Analisis hukum sistem penyelesaian sengketa atas tanah berbasis keadilan." Jurnal Pembaharuan Hukum 1, no. 2 (2014): 219-227.

Pangemanan, Estevina. "Upaya penyelesaian sengketa kepemilikan hak atas tanah." Lex Privatum 1, no. 4 (2013).

Sitohang, Erita, and Tulus Siambaton. "Peran badan pertanahan nasional dalam penyelesaian sengketa kepemilikan tanah." Jurnal Hukum PATIK 10, no. 1 (2021): 61-68.

Sitohang, Erita, and Tulus Siambaton. "Peran badan pertanahan nasional dalam penyelesaian sengketa kepemilikan tanah." Jurnal Hukum PATIK 10, no. 1 (2021): 61-68.

Sulistio, M. “Politik hukum pertanahan Di Indonesia”. Jurnal Education and Development 8, No. 2 (2020): 105.

Wowor, Fingli. "Fungsi Badan Pertanahan Nasional Terhadap Penyelesaian Sengketa Tanah." Lex Privatum 2, no. 2 (2014).

KARYA TULIS

Desati, sakina ulfa, Sri Handayani, and Vegitya Ramadhani Putri. "Implementasi Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Mediasi Di Bpn Kota Palembang." PhD diss., Sriwijaya University, 2021.

Ismail, Nurhasan. "Perkembangan hukum pertanahan Indonesia: Suatu pendekatan ekonomi-politik." PhD diss., Universitas Gadjah Mada, 2006.

Prastiwi, Elizabeth. "Peranan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai pembina Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melaksanakan tugas jabatan di daerah hukumnya." PhD diss., Universitas Gadjah Mada, 2005.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 10 Tahun 2022 hlm 1007-1018

1018