EKSISTENSI LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA SEKTOR JASA KEUANGAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN

Angelin Rachelia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Putu Devi Yustisia Utami, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk menganalisis eksistensi dari Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam penyelesaian sengketa perbankan non-litigasi dan memahami kesesuaian dengan ketentuan penyelesaian sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif berdasarkan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach), melalui studi literatur, studi dokumen dan analisis peraturan terkait Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan. Hasil studi menunjukan bahwasanya berdasarkan “POJK Nomor 61/POJK.07/2020”, urgensi pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa ialah untuk terlaksananya penyelesaian sengketa yang cepat, efisien, dan memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak berdasarkan prinsip-prinsip Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sesuai dengan urgensi tersebut maka penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution) merupakan proses yang sering dilakukan dalam penyelesaian sengketa perbankan.

Kata Kunci : Sektor Jasa Keuangan, Sengketa Perbankan, Alternatif Penyelesaian Sengketa

ABSTRACT

This study aims to analyze the existence of alternative dispute resolution institution in resolving banking dispute through non-litigation method and understanding the alignment of the settlement regulation according to the primary legal materials. The method used in this paper is normative juridical through literature study, documents study referring to the statute approach. The results of the study show that according to the “Financial Services Authority Regulation no. 61/POJK.07/2020”, fast, efficient and win-win solution dispute resolution as the urgency of alternative dispute resolution institution existence. In compliance with this urgency, alternative dispute resolution is a common legal action taken in banking dispute resolution.

Keywords : Financial Services, Banking Dispute, Alternative Dispute Resolutio.

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Merujuk kepada ketentuan “Pasal 1 Angka (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tercantum pengertian dari perbankan yaitu Segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. Lebih lanjut pada angka berikutnya juga di jelaskan mengenai definisi bank dimana “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Definisi ini juga memberikan suatu kesimpulan atas fungsi perbankan dalam menghimpun dan mengatur dana masyarakat dengan tujuan meningkatkan perekonomian Indonesia yang berkelanjutan guna menjamin kesejahteraan masyarakat, sehingga saat ini stabilitas perekonomian di Indonesia dipengaruhi oleh perbankan sebagai salah satu sektor vital. Atas dasar tersebut maka perbankan sendiri mengemban peran yang cukup besar dalam keberlangsungan fungsi intermediasi (intermediation function) sebagai penghimpun dan penyalur dana, fungsi transmisi (transmission function), dan fungsi transformasi serta distribusi dalam resiko perekonomian (transformation and distribution of risk function).1

Keberadaan perbankan sendiri tidak terlepas dari keberlangsungan aktivitas perekonomian yang selalu dilakukan masyarakat sebagai bentuk dari kebutuhan. “Kenyataan bahwasanya bank memegang peranan sangat penting sebagai sumber dana dan juga perantara dalam transaksi keuangan, sehingga dibutuhkan regulasi perbankan turunan dari kebijakan moneter pemerintah dalam stabilitas perekonomian.”2 Lebih lanjut dengan berkembangnya sektor perbankan di Indonesia memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan keuangan yang lebih efisien, terjangkau, dan menjangkau masyarakat secara luas. Hal ini tentunya tidak terlepas dari perkembangan teknologi yang meningkatkan aksesibilitas layanan keuangan dari perbankan. Sebagai penghimpun dana masyarakat maka beriringan juga dengan tingginya angka resiko dan bentuk tanggung jawab yang dipegang oleh perbankan.

Sebagaimana hampir dalam keseluruhan transaksi perbankan selalui diawali dengan perjanjian yang mengikat para pihak baik pihak bank dan juga pihak nasabah, sehingga menimbulkan hubungan hukum antara keduanya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari fakta bahwasanya sektor perbankan merupakan sektor pelayanan publik yang berhubungan erat dengan masyarakat. Sektor perbankan berjalan atas dasar kepercayaan masyarakat, dimana dalam hal ini dasar utama hubungan antara nasabah dan bank berlandaskan trust atau kepercayaan, baik dalam hal penghimpun maupun penyalur dana.3 Lebih lanjut, hubungan hukum antara nasabah dan bank tentunya tidak terlepas dari sengketa dan permasalahan yang ada, yang dapat dilihat dari pengaduan maupun keluhan dari layanan perbankan yang ada. Sengketa dari nasabah dan bank bukanlah suatu permasalahan baru, dimana penyelesaian dari sengketa perbankan dianggap sulit untuk dilakukan secara cepat dan akurat, sehingga penyelesaian sengketa perlu masuk ke ranah peradilan. Hubungan hukum dari kedua belah pihak ini menyebabkan penyelesaian sengketa perbankan telah diantisipasi dengan keberadaan instrumen-instrumen hukum mendukung seperti yang telah tercantum dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UU

Perbankan Syariah, termasuk didalamnya peraturan terkait seperti “Peraturan Bank Indonesia” maupun “Peraturan Otoritas Jasa Keuangan” yang memberikan arahan dalam tata pelaksanaan transaksi perbankan di Indonesia.

Namun, apabila telah terjadi sengketa perbankan maka penyelesaian sengketa dapat diselesaikan dengan dua cara yang sah yaitu melalui proses litigasi (peradilan) maupun non-litigasi (alternative dispute resolution) melalui mediasi, ajudikasi dan arbitrase, tergantung jenis dari sengketanya. Saat ini banyak penyelesaian sengketa perbankan yang dilaksanakan di luar pengadilan melalui alternatif penyelesaian, yang memberikan kemudahan dalam penyelesaian sengketa perbankan dimana kedua belah pihak yang bersengketa sama-sama di untungkan.4 Adapun saat ini guna meningkatkan efisiensi dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui alternatif menyelesaian sengketa di Indonesia, telah terdapat lembaga independen yang memiliki fungsi penyelesaian sengketa sektor jasa keuangan termasuk sengketa perbankan. Hal ini yang akan dikaji lebih lanjut terkait dengan eksistensi dari “Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan” (Selanjutnya disebut sebagai LAPS-SJK) dalam penyelesaian sengketa perbankan, guna meningkatkan kepuasan dan kenyamanan masyarakat dalam melaksanakan transaksi perbankan melalui lembaga yang saat ini terbentuk sebagai salah satu lembaga spesifik yang menangani terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan jalur non litigasi atau alternative dispute resolution.

Adapun terdapat pembahasan sebelumnya yang relevan dengan penulisan ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Dolly Denico yang berjudul “Settlement of Banking Dispute in Indonesia” pada tahun 2013.5 Dalam penelitian ini secara komprehensif membahas terkait upaya penyelesaian sengketa perbankan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan perbankan. Penelitian ini menekankan hasil keberadaan upaya penyelesaian sengketa perbankan litigasi maupun non-litigasi serta penerapan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa dalam upaya penyelesaian sengketa perbankan. Lalu penelitian kedua dilakukan oleh Yosua Gabriel Pradipta dan Doni Budi Kharisma yang berjudul “Proses Penyelesaian Sengketa di Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)” pada tahun 2019.6 Pada penilitian ini secara spesifik menjelaskan terkait dengan proses penyelesaian sengketa perbankan melalui LAPSPI yang dilatarbelakangi oleh potensi terjadinya sengketa dalam sektor jasa keuangan terutama dalam sektor perbankan. Penelitian dilaksanakan berdasarkan analisis terhadap penyelesaian kasus perbankan paska diterbitkannya “Peraturan OJK No.61/POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan” yang dilaksanakan melalui “Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).”

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apa urgensi pembentukan LAPS-SJK serta landasan hukum terbentuknya?

  • 2.    Bagaimana eksistensi LAPS-SJK dalam penyelesaian sengketa khususnya dalam sektor perbankan serta alur penyelesaian sengketa perbankan non-litigasi melalui LAPS-SJK berdasarkan ketentuan yang berlaku?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi dari LAPS-SJK dalam menyelesaikan sengketa perbankan dan mengetahui kesesuaian dengan ketentuan penyelesaian sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, penulisan ini bertujuan agar dapat memberikan literasi hukum kepada pembaca untuk menganalisis serta mengkaji terkait upaya penyelesaian sengketa perbankan non-litigasi melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS).

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melalukan analisis terhadap norma yang berkonflik, norma kabur, atau kekosongan norma, dengan menggunakan metode pendekatan deskriptif analitis sesuai dengan UU Perbankan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Terkait. Penelitian bersifat kualitatif dimana dilakukan guna memperoleh pemahaman mendalam terkait dengan eksistensi dari LAPS-SJK dalam penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan sesuai dengan konsep, teori, realitas dan kompleksitas sosial yang ada dengan penggunaan metode pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach). Adapun sumber data penelitian didapatkan berdasarkan analisis peraturan-peraturan terkait. Teknik pengumpulan data adalah berdasarkan studi literatur dan studi dokumen terkait dengan LAPS-SJK.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Urgensi Pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan

Sektor jasa keuangan merupakan salah satu sektor perekonomian yang memegang peranan penting dalam national development. Sebagai penunjang kehidupan perekonomian masyarakat, maka dari itu kesejahteraan dan kepuasan masyarakat merupakan indikator keberhasilan dari sektor jasa keuangan. Hubungan yang timbul antara sektor jasa keuangan dengan masyarakat erat juga kaitannya dengan kredibilitas sektor jasa keuangan dalam menjamin perlindungan nasabah dalam hal ini ialah perorangan maupun badan hukum yang menggunakan layanan jasa keuangan baik itu perbankan maupun layanan keuangan non bank. Penting sekali bagi sektor jasa keuangan untuk terus menciptakan sistem keuangan yang sehat guna mencegah terjadinya bank runs, penyebaran kerugian, penyelesaian bank yang bermasalah perlu melalui proses yang tentunya membutuhkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit, terjadinya financial distress, serta ketidakstabilan sektor keuangan yang berdampak kepada kondisi makro ekonomi yang berkaitan langsung dengan transmisi kebijakan moneter.7 Kompleksitas dari layanan yang saat ini dijalankan dalam sektor perbankan pasca perkembangan teknologi juga berjalan beriringan dengan bertambah lagi ragam sengketa yang dapat terjadi antara para pihak yang bertransaksi menggunakan jasa perbankan. Penyebab dari sengketa antara nasabah dan pihak bank dapat terjadi karena beberapa alasan yaitu sebagai berikut8:

  • A.    Kurang komprehensif informasi yang diberikan bank kepada nasabah terkait dengan kegiatan transaksi yang ditawarkan;

  • B.    Tidak adanya pengertian terkait produk perbankan yang ditawarkan kepada nasabah terlebih dahulu;

  • C.    Adanya ketidakseimbangan antar nasabah dan bank;

  • D.    Tidak adanya wadah resmi yang memfasilitasi terkait penyelesaian awal sengketa perbankan antara nasabah dan bank.

Kompleksitas sektor jasa keuangan mendorong dilaksanakannya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi. Namun penyelesaian sengketa melalui pengadilan cenderung memakan waktu lama apabila dibandingkan dengan alternatif penyelesaian sengketa atau yang dikenal dengan istilah “Alternative Dispute Resolution”. Sesuai dengan ketentuan pada “Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ADR dapat diajukan melalui lembaga arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.” Adapun penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang telah diatur dalam UUAAPS ini diharapkan menjadi alternatif penyelesaian sengketa yang menguntungkan kedua pihak bersengketa, menjamin kerahasiaan dari sengketa para pihak dan juga penyelesaian sengketa yang cepat. ADR dapat diakomodir oleh lembaga penyelesaian sengketa yang telah disahkan sesuai dengan sektor terkait sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 Angka 10 UUAAPS.

Penyelesaian sengketa perbankan melalui LAPS-SJK pada dasarnya merupakan salah satu bentuk kehadiran perlindungan masyarakat secara represif. Mengingat bahwasanya UU Perbankan tidak mengatur terkait dengan perlindungan nasabah, maka pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, perlindungan terhadap nasabah bank diamanatkan kepada OJK.9 Sehingga dalam hal keberadaan LAPS-SJK, Otoritas Jasa Keuangan menuangkan pengaturannya di dalam bentuk peraturan yang semula tercantum pada “POJK Nomor 1/POJK.07/2014” yang telah digantikan dengan “POJK Nomor 61/POJK.07/2020”. Sesuai dengan POJK yang secara spesifik mengatur terkait dengan LAPS-SJK ini, tercantum bahwasanya “dalam rangka sulitnya mencapai kesepakatan antara konsumen dengan lembaga jasa keuangan dalam menyelesaikan pengaduan oleh lembaga jasa keuangan, maka terbentuklah suatu lembaga independen yang secara terkhusus menyelesaikan sengketa dalam sektor jasa keuangan dengan cepat, murah, adil dan juga efisien.” Adapun Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan didirikan atas dasar prinsip:

  •    Prinsip Aksesibilitas, dimana pemberian layanan penyelesaian sengketa dapat dengan mudah di akses oleh konsumen seluruh Indonesia.

  •    Prinsip Independensi, keberlangsungan LAPS-SJK dalam menyelesaikan sengketa sektor jasa keuangan pada dasarnya berdiri sebagai lembaga yang independen, yang tentunya tetap diawasi oleh organ pengawas untuk menjaga dan memastikan independensinya sehingga tidak tergantung dengan Lembaga Jasa Keuangan tertentu.

  •    Prinsip Keadilan, LAPS dalam penyelesaian sengketa memiliki kedudukan sebagai fasilitator yang bertugas untuk “mencari jalan tengah antara kepentingan para pihak dalam upaya diperolehnya kesepakatan dalam penyelesaian sengketa, di sisi lain ajudikator dan arbiter wajib memberikan alasan tertulis di setiap putusannya”. Dengan kata lain LAPS memiliki kewajiban dalam “pemberian alasan tertulis apabila terdapat penolakan permohonan penyelesaian sengketa dari konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan.”

  • •    Prinsip Efisiensi dan efektivitas, keberadaan LAPS-SJK yang bertujuan untuk mempermudah penyelesaian sengketa di luar pengadilan tentunya harus menerapkan prinsip efisiensi dalam penyelesaian sengketanya.

Berdasarkan keempat prinsip pembentukan dari LAPS-SJK ditinjau dari POJK terkait, pada dasarnya pembentukan LAPS didorong guna mempermudah penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non litigasi dimana dalam hal ini LAPS menjadi fasilitator dalam pelaksanaan mediasi, ajudikasi, maupun arbitrase. Dengan adanya LAPS-SJK maka masyarakat dapat dengan mudah menyelesaikan sengketa sektor jasa keuangan melalui lembaga terpercaya dan independen di luar pengadilan. Hal ini mendorong terbentuknya LAPS-SJK guna penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang terjadi antara nasabah dan sektor jasa keuangan terutama perbankan, mengingat tidak sedikit nasabah yang tidak mampu secara finansial maupun waktu untuk menyelesaikan sengketa melalui prosedur litigasi.10

  • 3.2.    Eksistensi LAPS-SJK dalam penyelesaian sengketa khususnya dalam sektor perbankan

Lembaga perbankan merupakan salah satu lembaga independen yang bergerak dalam sektor jasa keuangan. Kegiatan perbankan erat sekali hubungannya dengan masyarakat sesuai dengan fungsi intermediasi yaitu sebagai menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat yang dalam proses transaksinya disebut sebagai nasabah. Iswardono (1990) mendefinisikan fungsi dari perbankan sendiri ialah mengakumulasi dana untuk dipinjamkan kepada khalayak umum atau dalam transaksi jual beli sekuritas yang tergolong sebagai investasi finansial, berfungsi untuk memudahkan transaksi pembayaran, menjamin keamanan dari uang nasabah, dan memberikan kredit sesuai dengan kebutuhan dari nasabahnya. Fungsi perbankan ini mendorong perwujudan dari pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerintahan, pertumbuhan ekonomi, seerta stabilitas nasional ke arah peningkatan rakyat banyak.11 Adapun dalam menjalankan fungsinya, perbankan bertanggung jawab dalam memastikan kesehatan dari perbankan, keuntungan perbankan, transparansi perbankan, dan juga mengakomodir kebutuhan dari pemegang saham secara adil12. Mengkaji lebih lanjut dari fungsi serta tanggung jawab dari perbankan ini, maka hampir keseluruhan transaksi dilandasi dengan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak yang bertransaksi, dalam hal ini ialah nasabah dengan pihak bank. Dengan terciptanya hubungan yang erat antara masyarakat dan sektor jasa keuangan yang juga menimbulkan hubungan hukum antara para pihak, maka tentunya tidak terlepas juga dengan terjadinya sengketa, baik didasari oleh perbuatan melawan hukum ataupun berdasarkan wanprestasi.

Adapun munculnya sengketa dalam jangka waktu yang panjang tentunya mampu mendorong terjadinya distabilitas perekonomian baik secara mikro maupun makro. Sehingga penyelesaian sengketa perbankan perlu dilakukan secara cepat dan efektif. Secara umum, tata cara penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu melalui “jalur litigasi di pengadilan dan juga jalur non litigasi melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan”. Saat ini banyak kasus sengketa perbankan di Indonesia diselesaikan melalui jalur non

litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa karena menghemat biaya, waktu, dan juga mencari keuntungan dari kedua belah pihak yang bersengketa karena alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan berfokus kepada kesepakatan antara para pihak terutama mengutamakan keuntungan dari pihak-pihak yang bersengketa, dilaksanakan dengan cepat dan efisien. Dalam keberlangsungan perbankan pada dasarnya tidak luput dari asas demokrasi ekonomi dimana masyarakat memegang peran aktif dalam kegiatan perbankan dan di sisi lain pemerintah dalam hal ini melalui keberadaan lembaga otonom yaitu BI dan OJK yang memiliki peran penting dalam pemberian arahan dan bimbingan dalam pertumbuhan dunia perbankan guna menciptakan iklim yang sehat, melalui pengeluaran kebijakan dan pengaturan-pengaturan terkait.13 Lebih lanjut, pengaturan mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan tercantum pada “Undang-Undang tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAPS) dimana didalamnya tercantum penjelasan terkait Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai salah satu opsi penyelesaian sengketa di luar pengadilan, baik melalui pendekatan konsensus maupun tidak.”14 Terdapat beberapa pengertian dari ADR itu sendiri, salah satunya tercantum dalam Blacks Law Dictionary 15:

" Term refers to procedures setting dispute by means other than litigation; e.g. by arbitration, mediation, minitrial. Such procedures, which are usually less costly and more expeditious, are increasingly being used in commercial and labor dispute, divorcee action, inresolving motor vehicle and medical malpractice tort claims, and in otherdisoutes that would likely otherwise involve court litigation”

Dalam artian Alternative Dispute Resolution merupakan salah satu pilihan antara pihak yang bersengketa dalam sektor perbankan guna mempermudah mempercepat penyelesaian sengketa dengan mencari win-win solution dari para pihak yang bersengketa. ADR dideskripsikan sebagai prosedur yang lebih murah dan sering digunakan dalam beberapa sengketa perdata salah satunya sengketa perbankan. Sebagai salah satu contoh ADR yang juga tercantum dalam “POJK 61/POJK.07/2020 adalah prosedur mediasi dimana penyelesaian sengketa dilaksanakan dengan pihak ketiga, yang nantinya berperan untuk memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk menyelesaiakan sengketa.”16 Dalam hal penerapan masukan dari mediator, tidak terdapat kewajiban masing-masing pihak untuk mengikuti saran mediator, namun sebagai langkah dari gagalnya upaya negosiasi yang telah dilakukan oleh para pihak pada tahap sebelumnya. Pengaturan terkait penyelesaian sengketa perbankan non litigasi pada dasarnya tidak tercantum secara eksplisit dalam ketentuan UU Perbankan. Namun apabila merujuk pada “Pasal 55 ayat (2) UU No.21 Tahun 2008 maka telah diatur terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan Syariah yang diselesaikan melalui peradilan agama atau disesuaikan denga nisi akad yang telah disepakati”.17 Sehingga probabilitas dilaksanakannya ADR dalam sengketa perbangkan pada dasarnya telah tercantum dalam beberapa instrument hukum terkait.

Dengan adanya solusi penyelesaian sengketa di luar pengadilan, penyelesaian sengketa dalam sektor perbankan tentunya dapat dipermudah. LAPS-SJK juga terdapat berbagai jenis, sesuai dengan jasa keuangan yang diberikan. Sesuai dengan ketentuan “Pasal 8 Ayat 3 POJK Nomor 61/POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, diketahui bahwasanya diperlukan LAPS yang memiliki layanan penyelesaian sengketa sekurang-kurangnya dua layanan penyelesaian seperti mediasi dan arbitrase, dengan berlandaskan peraturan yang didalamnya telah meliputi layanan penyelesaian sengketa, dengan rincian terkait biaya maupun jangka waktu penyelesaian sengketa dan termasuk didalamnya eksistensi dari ketentuan benturan kepentingan dan afiliasi bagi mediator, ajudikator serta arbiter dan juga kode etik bagi mediator, ajudikator dan arbiter digunakan sebagai indikator dari LAPS yang dimuat dalam daftar LAPS yang ditetapkan oleh OJK.” Adapun pendirian dari LAPS-SJK dikoordinasikan oleh asosiasi dan/atau didirikan oleh lembaga yang memiliki fungsi “self regulatory organization”, yang dalam hal ini ialah sektor perbankan. Berdasarkan grafik pengaduan penyelesaian sengketa yang masuk ke dalam LAPS-SJK, tingkat pengaduan penyelesaian sengketa tertinggi beradi di sektor perbankan.18 Berdasarkan grafis ini diketahui bahwasanya banyak sengketa perbankan yang diselesaikan melalui pengaduan kepada LAPS-SJK dibandingkan dengan sektor perasuransian, fintech, dan pembiayaan.

Otoritas Jasa Keuangan selaku badan independen yang bertugas selaku badan pengawas serta layanan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, memberikan kewenangan kepada LAPS dalam penyelesaian sengketa antara konsumen dan LJK, dimana setiap sektor jasa keuangan memiliki satu LAPS. Penyelesaian sengketa melalui LAPS dilaksanakan juga oleh orang-orang yang ahli dan berpengalaman di bidangnya sehingga dapat menyelesaikan sengketa dengan objektif dan relevan. Sampai saat ini telah terdaftar 6 LAPS dibawah pengawasan yaitu LAPS-SJK sektor asuransi, dana pensiun, penjaminan, pasar modal, pembiayaan dan pergadaian, dan tentunya perbankan. Adapun LAPS-SJK terdaftar yang secara spesifik menyelesaikan sengketa perbankan ialah “Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia” (selanjutnya disebut LAPSPI). Eksistensi dari LAPSPI selaku LAPS dalam ranah perbankan adalah lembaga yang memberikan wadah maupun layanan penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk pihak-pihak yang bersengketa dalam sektor perbankan, dengan lebih cepat, efisien dan mendapatkan keuntungan yang setara antara para pihak yang bersengketa. Keberadaan LAPSPI selaku lembaga yang menyelesaikan sengketa perbankan di luar pengadilan merupakan bentuk layanan konsumen guna mempermudah konsumen layanan jasa perbankan dalam pengaduannya hingga penyelesaian sengketanya. 19

Lebih lanjut, Lembaga Alternatif Penyelesain Sengketa dalam upaya penyelesaian suatu sengketa tentunya akan diawali dengan permohonan penyelesaian sengketa oleh konsumen. Dalam hal ini konsumen diharapkan memenuhi dokumen-dokumen yang diperlukan dalam rangka verifikasi dokumen sengketa oleh LAPS terkait. Permohonan penyelesaian sengketa ini harus telah melalui proses pengaduan kepada lembaga jasa keuangan terkait, dan diajukan kepada LAPS apabila tidak tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian

sengketanya. Dalam hal pengaduan yang tidak mendapatkan kesepakatan ini, konsumen dan lembaga jasa keuangan berhak untuk memilih apakah sengketa diluar pengadilan ataupun melalui pengadilan.

Setelah melalui verifikasi terhadap dokumen permohonan penyelesaian sengketa, maka pihak LAPS-SJK akan memberikan konfirmasi permohonan, dan tahap selanjutnya adalah pemilihan atau penunjukan pihak ketiga baik itu mediator, arbiter, atau ajudikator sesuai dengan bentuk ADR atau Alternative Dispute Resolution yang ditentukan. ADR dalam penyelesaian sengketa dapat berupa:

  • a.    Mediasi, dimana penyelesaian sengketa secara win-win yang difasilitasi oleh mediator untu mencapai kesepakatan.

  • b.    Ajudikasi, dimana terdapat pihak ketiga yang akan memutuskan penyelesaian sengketa dalam hal ini ajudikator yang ditunjuk untuk mengambil keputusan. Terdapat 3 orang ajudikator dalam proses ajudikasi.

  • c.    Arbitrase, dimana penyelesaian sengketa yang berdasarkan perjanjian arbitrase dan diputuskan oleh pihak ketiga yaitu arbiter untuk mengambil keputusan.

Penentuan proses penyelesaian sengketa ditentukan dengan jenis sengketa dari konsumen dan juga lembaga jasa keuangan yang bersengketa. Setelah penentuan pihak ketiga maka proses akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga terjadinya kesepakatan. LAPS-SJK terkait setelahnya akan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan kesepakatan. Dalam penyelesaian sengketa ini, LAPS diharapkan terus menerapkan prinsip aksesibilitas, keadilan, independensi, efisiensi dan efektivitas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Adapun penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan (non Litigasi) di Indonesia digagas dan diakomodir oleh LAPSPI. LAPSPI dalam menyelesaikan sebuah perkara menjunjung tinggi “integritas, kemandirian serta imparsialitas para mediator, ajudikator dan arbiter sebagai pelaksana yang telah tertuang dalam Kode Etik dari mediator, ajudikator dan arbiter”. Terutama dalam penyelesaian sengketa perbankan yang lebih diminati proses penyelesaian sengketa, yang berbanding terbalik dengan sengketa dalam bidang perdata di Peradilan Umum, sedangkan untuk penyelesaian sengketa Hukum Administrasi Negara diperiksa di Peradilan Tata Usaha Negara. 20

Adapun dalam proses penyelesaian sengketa di LAPSPI didapatkan pengkategorian dari konsumen/nasabah dalam beberapa indikator seperti nasabah yang ingin menyelesaikan sengketa dibawah “Rp. 500.000.000,- atau Rp. 1.000.000.000.000,-.”Adapun terkait dengan biaya penyelesaian dari pelaksanaan ADR di LAPSPI terbagi menjadi dua jenis yaitu layanan komersial dan layanan probono, yang tentunya layanan probono diperuntukan bagi nasabah yang tuntut ganti ruginya dibawah lima ratus juta rupiah, sedangkan komersil diperuntukkan kepada nasabah dengan tuntut ganti rugi diatas itu. 21 Secara garis besar, LAPSPI memiliki alur penyelesaian sengketa dengan mengidentifikasi apakah sengketa tersebut memang dapat diselesaikan melalui LAPSPI, yang selanjutnya akan dilihat lebih lanjut apakah para pihak sebelumnya memiliki perjanjian terkait

penyelesaian sengketa atau tidak, dan apabila tidak maka akan diproses tiga layanan LAPSPI yaitu mediasi, ajudikasi maupun arbitrase.22

  • 4.    Kesimpulan

Perkembangan dalam sektor jasa keuangan yang merupakan sektor vital dalam pertumbuhan ekonomi negara, tentunya membawa dinamika baru dalam hubungan antara lembaga jasa keuangan terhadap konsumennya. Munculnya hubungan hukum antara lembaga jasa keuangan dengan konsumen menimbulkan “hak dan kewajiban” yang wajib dipenuhi oleh kedua belah pihak. Keberadaan hubungan hukum dalam aktivitas dalam sektor jasa keuangan tentunya beriringan dengan bertambahnya kemungkinan terjadinya sengketa baik yang didasari wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum. Merujuk kepada ketententuan UUAAPS, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan melalui jalur litigasi maupun non-litigasi. Dengan kompleksitas dari penyelesaian sengketa perbankan yang perlu dilaksanakan secara cepat, tepat, dan efisien, maka penyelesaian non litigasi sering sekali digunakan dalam penyelesaian sengketa sektor jasa keuangan terutama sektor perbankan. Hal ini mendorong urgensi dibutuhkannya lembaga independen yang secara spesifik menangangi sengketa di luar pengadilan, sesuai dengan tujuan dibentuknya LAPS-SJK yang tertuang dalam POJK Nomor 61/POJK.07/2020. LAPS dalam hal ini berfungsi untuk menyelesaikan sengketa secara cepat, efisien, dan tentunya kedua belah pihak mendapatkan keuntungan sesuai dengan prinsip-prinsip dari LAPS. Lebih lanjut, eksistensi dari LAPS-SJK dalam penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan memberikan kemudahan penyelesaian sengketa dimana sengketa di selesaikan di luar jalur pengadilan melalui mediasi maupun arbitrase. Dalam prosedur ini akan dicari win-win solution antar para pihak yang bersengketa sehingga sengketa bisa diselesaikan dengan cepat dan efisien. Dalam sektor jasa keuangan, LAPS-SJK terbentuk dan dinaungi oleh badan otonom yang berfungsi untuk mengawasi sektor jasa keuangan yaitu OJK, yang juga menjadi wadah pengaduan konsumen dalam sektor jasa keuangan. Keberadaan dari LAPS-SJK memberikan akses penyelesaian sengketa dengan lebih efisien. Adapun LAPS-SJK yang secara spesifik menyelesaikan sengketa dalam sektor perbankan adalah LAPSPI, dimana nasabah maupun lembaga perbankan yang mengalami sengketa dan tidak mencapai kesepakatan dapat melakukan pengajuan permohonan penyelesaian sengketa kepada LAPSPI, selaku LAPS yang secara spesifik memiliki tugas untuk pelaksanaan penyelesaian sengketa perbankan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Kamus

Campbell, Henry. 1991. Blacks Law Dictionary. West Publishing Co.

Buku

Djumhana, Muhamad. 2018. Hukum Perbankan di Indonesia . Bandung: Citra Aditya Bakti.

Fahmi, Irham. 2015. Manajemen Perbankan Konvensional & Syariah. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Sobana, H. D. 2016. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Widnyana, I Made. 2019. Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Jakarta: Fikahati

Aneska.

Jurnal

Afriana, A. 2020. "Kedudukan dan Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pihak Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia Terkait Akta yang Dibuatnya." Jurnal Poros Hukum Padjajaran Volume 1 Nomor 2.

Aminah, Starifah. 2021. "Eksistensi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia." Jurnal Poros Hukum Padjajaran Volume 2 Nomor 2: 218236.

Anwar, W. K. (2014). Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Mediasi Di Indonesia. Lex Privatum, Volume 2(No 2), 35-43.

Doly, Denico. 2013. "Settlement of Banking Dispute in Indonesia." Mimbar Hukum 25 (3): 555-566.

Hadad, Muliaman. 2016. "Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank dalam Arsitektur Perbankan Indonesia." Jakarta: National Consumer Protection Agency.

Hartantin, Sinariyanda. 2022. "Banking Dispute Settlement Through Alternative Dispute Resolution (Claims of Bank Danamon Customers)." Yuris : Journal of Court & Justice Volume 1 Nomor 1: 11-24.

Negara, Ngakan Putu Surya. 2013. "Perlindungan Nasabah Perbankan Melalui Otoritas Jasa Keuangan." Jurnal Kertha Semaya Volume 1 Nomor 11: 1-15.

Pradipta, Yosua Gabriel, and Dona Budi Kharisma. 2019. "Proses Penyelesaian Sengketa di Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)." Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi Volume 7 Nomor 2: 293-301.

Rahmah, Ramadhani Tengku. 2021. "Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) dalam Penyelesaian Sengketa Pembiayaan di Bank Syariah." Tawazun : Journal of Sharia Economic Volume 4 Nomor 1: 14-30.

Simatupang, H. Bachtiar. 2019. "Peranan Perbankan Dalam Meningkatkan Perekonomian Indonesia." Jurnal Riset Akuntansi Multiparadigma (JRAM) Volume 6 Nomor 2: 136-146.

Tamponganoy, Grace Heni. 2019. "A Legal Framework of Foreign Banking in the Indonesian Banking System." Journal of Law, Policy and Globalization Volume 85: 200-205.

Website

Admin. n.d. LAPS dalam grafik : Update Pengaduan Penyelesaian Sengketa. Accessed July 29, 2022. https://lapssjk.id/laps-dalam-grafik/.

—. n.d. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Accessed July 29,  2022.

https://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/pages/lembaga-alternatif-penyelesaian-sengketa.aspx.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor138, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 3872.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 48671.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.07/2020 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 6 Tahun 2022 hlm 627-638

638