IMPLEMENTASI PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA

KORUPSI OLEH KEJAKSAAN

Putu Bulan Prajnya Ning Swari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini adalah untuk mengkaji bagaimana mekanisme, pelaksanaan dan efektivitas prinsip restorative justice dalam penghentian penuntutan perkara korupsi oleh Kejaksaan. Metode yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normative empiris yang berfokus pada implementasi dari pelaksanaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hasil studi menunjukkan bahwa mekanisme dari implementasi prinsip restorative justice terhadap penghentian penuntutan perkara korupsi dilakukan dengan cara mempertemukan seluruh pihak yang terlibat. Hal itu juga sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui pembayaran uang pengganti dan juga melalui Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020. Namun pada praktiknya sendiri, pelaksanaan prinsip restorative justice ini tidak efektif dikarenakan pelaku terkadang tidak membayar uang pengganti tersebut dan kemudian diganti dengan pidana penjara yang tidak melebihi pidana pokok yang diterima. Sehingga tujuan dari pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu pengembalian kerugian keuangan negara masih sulit untuk diimplementasikan.

Kata Kunci: Restorative Justice, Kerugian Keuangan Negara, Korupsi

ABSTRACT

The purpose of this study is to explain the mechanism, implementation and effectiveness of the principles of restorative justice in stopping the prosecution of corruption cases by the Attorney General's Office. The method used is an empirical normative legal research method that focuses on the implementation of the Corruption Eradication Act. The results of this study show that the mechanism of implementing the principle of restorative justice towards stopping the prosecution of corruption cases is carried out by bringing together all parties involved. This has also been mandated by the Law on the Eradication of Corruption Crimes through the payment of replacement money and also through the Attorney General's Regulation No. 15 of 2020. However, in practice, the implementation of the principle of restorative justice is not effective because the perpetrators sometimes do not pay the replacement money and then replaced with imprisonment that does not exceed the principal sentence received. So the purpose of eradicating corruption, namely the return of state financial losses is still difficult to implement.

Keywords: Restorative Justice, State Financial Losses, Corruption

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Korupsi di Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), tetapi sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extraordinary crimes). Pengaturan hukum mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia khususnya, perlu dirancang secara sistematis agar dapat mencapai tujuan yang sudah dipaparkan sebelumnya. Di indonesia sendiri kita tahu bahwa lembaga yang memiliki tanggung jawab kepada pihak eksekutif ( Pemerintah) yaitu institusi Kejaksaan.

Kejaksaan merupakan penegak hukum yang berada di posisi sebagai penuntut umum dan pengacara negara. Dalam penuntutan perkara pidana dikenal adannya dua asas yang berlaku yaitu asas legalitas dan asas opurtinitas. Kedua asas tersebut berada dalam posisi yang berlawanan, di satu pihak asas legalitas menghendaki dilakukannya penuntutan terhadap semua perkara ke pengadilan, tanpa terkecuali. Sedangkan disisi lain asas opurtinitas memberikan peluang bagi Penuntut Umum untuk tidak melakukan penuntutan perkara pidana di Pengadilan. 1

Wewenang Penghentian penuntutan dapat dilakukan oleh Penuntut Umum dapat dilihat dalam pasal 140 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang menegaskan bahwa jaksa penuntut umum dapat menghentikan penuntutan dalam suatu perkara pidana. Pasal tersebut diatas menjelaskan Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan penghentian penuntutan jika terdapat kekurangan bukti atau perkara tersebut bukan termasuk dalam tindak pidana. Perkembangannya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh lembaga kejaksaan mendasarkan juga kepada keadilan restorative (restorative justice). Dalam keadilan restoratif sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tidak menghilangkan penderitaan yang dialami oleh korban sehingga dalam prakteknya, dibutuhkan alternatif lain atau pendekatan lain untuk memperbaiki sistem peradilan pidana dengan cara melakukan atau menggunakan penyelesaian non litigasi dengan pendekatan keadilan restoratif.

Adapun aturan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu UU/20/2001 tentang perubahan atas UU/31/1999 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” yang selanjutnya disebut UU Tipikor, kemudian ada UU/8/2010 tentang perubahan atas UU/15/2002 tentang Pencegahan dan Pemberantasaan Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian disebut dengan “UU TPPU”. Tujuan diberlakukannya peraturan-peraturan ini tentunya untuk melindungi aset negara. Pengembalian kerugian keuangan negara kemudian menjadi salah satu cara untuk melindungi aset negara tersebut dari tindakan korupsi.

Salah satu tujuan dasar dari pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah untuk mengembalikan kerugian negara. Namun paradigma retributif justice yang menjadi landasan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi serta pemidanaan pelaku korupsi tidak relevan dengan tujuan utama hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

Hal yang justru penting dalam semangat pemberantasan korupsi yakni pengembalian kerugian negara justru hanya menjadi pidana tambahan yang juga dapat diganti oleh pidana penjara. Artikel ini dimaksudkan untuk meneliti konsep pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi yang relevan untuk diterapkan di Indonesia sesuai dengan yang dikehendaki oleh undang-undang dengan mempertimbangkan perkembangan kehidupan bangsa dan negara dewasa ini. Kajian terfokus pada pendalaman mengelaborasi konsep restoratif justice untuk memaksimalkan

pengembalian keuangan negara dalam pemidanaan pelaku korupsi di Indonesia.2 Berangkat dari pemaparan tersebut, lahir tujuan dari kajian artikel yang akan penulis bawakan melalui judul “Implementasi Prinsip Restorative Justice dalam Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi oleh Kejaksaan”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan dari pemaparan yang penulis sampaikan, yang menjadi rumusan masalah dari tulisan penulis yakni sebagai berikut:

  • a.    Bagaimana Mekanisme dari pelaksanaan Prinsip Restorative Justice dalam Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi oleh Kejaksaan?

  • b.    Sejauh mana efektivitas dari pelaksanaan Prinsip Restorative Justice dalam Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi oleh Kejaksaan?

  • 1.3.    Tujuan

Tujuan penulisan ini yakni untuk mengkaji bagaimana mekanisme dari pelaksanaan Prinsip Restorative Justice dalam penghentian penuntutan suatu perkara yang sesuai dengan PERJA/15/2020, mengetahui dasar hukum dari prinsip restoratif serta sejauh mana efektifiktas dari Prinsip Restoratif Justice terhadap Penghentian Penuntutan Perkara oleh Kejaksaan.

  • 2.    Metode Penelitian

Karena metode penelitian merupakan hal yang penting, maka pada kesempatan ini metode yang penulis gunakan adalah metode hukum normatif deskriptif. Metode ini akan berfokus pada pendekatan masalah yang dimana bahan dan sumber hukum setelah dikumpulkan akan dianalisis sehingga menghasilkan suatu pemecahan masalah yang relevan dan sejalan dengan ketentuan yang berlaku.3 Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu jenis penelitian yang mempelajari pengaruh masyarakat terhadap hukum, sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat memengaruhi hukum.4 Dalam penelitian jenis ini akan mengkaji secara yuridis tentang Implementasi Prinsip Restorative Justice dalam Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi oleh Kejaksaan. Pendekatan penlitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Sumber bahan hukum yang diperoleh dalam materi penelitian terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Teknik pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi atau studi kepustakaan tentang aturan hukum yang berkaitan dengan Implementasi Prinsip Restorative Justice dalam Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi oleh Kejaksaan. Analisis data terdiri dari data primer dan data sekunder (Bahan hukum primer sekunder dan tersier) akan diolah dan dianalisis secara kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan tahap penelitian yang melampaui berbagai tahap berpikir kritis ilmiah, dimana penelitian dilakukan secara induktif yaitu mengungkapkan berbagai fakta atau fenomena hukum yang ada, kemudian akan dianalisis dan selanjutnya dilakukan teorisasi berdasarkan fakta tersebut.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Mekanisme Pelaksanaan Prinsip Restorative Justice dalam Penghentian

Penuntutan Perkara Korupsi Oleh Kejaksaan

Paradigma pelaksanaan prinsip restorative justice baru-baru ini sedang gencar dilaksanakan dalam penyelesaian perkara hukum di Indonesia. Restorative Justice sendiri adalah suatu cara penyelesaian perkara (khususnya pidana) diluar pengadilan dengan menggunakan cara dialog dan mediasi. 5 Dialog tersebut akan dihadiri oleh pelaku, korban serta beberapa pihak lainnya yang masih berkaitan dengan perkara yang bersangkutan. Dari dialog tersebut akan diperoleh suatu kesepakatan yang menguntungkan semua pihak baik itu korban maupun pelaku. Prinsip dari prinsip ini adalah mengembalikan keadaan seperti semula serta pengembalian pola hubungan yang bai kantar masyarakat, yang dalam hal ini adalah pelaku dengan korban.

Saat ini di Indonesia telah mulai menekankan paradigma restorative justice dalam penyelesaian perkara, khususnya perkara pidana. Tidak hanya dalam pelaksanaan nya, institusi penegak hukum di Indonesia juga sudah mulai menerbikan aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip restorative justice. Salah satu instansi yang sudah mulai menerapkan konsep ini adalah Kejaksaan. Institusi ini memiliki tanggungjawab untuk melakukan penuntutan serta menindaklanjuti putusan yang sudah inkracht. Disamping itu pula institusi Kejaksaan bersifat merdeka, yang artinya dalam menjalankan tugas tidak adanya intervensi atau pengaruh dari pihak manapun dan bertanggungjawab penuh kepada presiden.6

Berkaitan dengan kewenangan penghentian penuntutan, dalam KUHAP mengatur secara rinci bahwa dalam suatu perkara pidana, jaksa dapat melakukan penghentian penuntutan dlm perkara tersebut. “Pasal 140 ayat (2) KUHAP” merumuskan perihal tersebut, yakni:

  • (1)    “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau dalam peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan bagian dari tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum dapat menuangkan hal tersebut kedalam surat ketetapan;

  • (2)    Isi surat ktetapan tersebut diberitahukan kepada pihak tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan;

  • (3)    Turunan surat ketetapan tersebut wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga maupun penasehat hukum dari tersangka, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim;

  • (4)    Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan kembali terhadap tersangka.”

Rumusan tersebut menjabarkan bahwa penghentian penuntutan suatu perkara dapat dilakukan oleh jaksa, jika memang dalam perkara tersebut masih kekurangan alat bukti atau perkara yang bersangkutan tidak termasuk kedalam tindak pidana. Restorative Justice juga menjadi alasan penghentian penuntutan dalam perkembangannya hingga saat ini. Perkara korupsi saat ini dalam penyelesaiannya masih menggunakan keadilan retributif, yang memang berfokus pada penghukuman pelaku. Walaupun telah dijatuhkan “sanksi” terhadap pelaku, penderitaan korban akiibat korupsi tersebut masih dirasakan. Maka dirasa perlu menggunakan alternatif penyelesaian lain, yang salah satunya adalah melalui restorative justice.

Pada penjelasan sebelumnya telah dikatakan bahwa restorative justice menjadi alternatif penyelesaian perkara yang melibatkan kedua pihak untuk sama-sama membiacarakan jalan keluar yang sekiranya mumpuni untuk seluruh pihak. Penerapan konsep restorative justice ini dilakukan dalam semua tahapan, baik itu penyidikan, penuntutan maupun pada saat tahap eksekusi. Upaya yang sistematif dan komperehensif sangat diperlukan untuk pemulihan pasca terjadinya tindak pidana korupsi.7 Salah satunya dengan menerapkan “restorative justice” dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi. Penerapan tersebut dapat dilakukan dengan mekanisme musyawarah mufakat unuk mempertemukan pelaku, korban yang dalam hal ini adalah masyarakat dan negara serta pemangku kepentingan perkara pidana (yang dalam hal ini adalah Kejaksaan).8 Sehingga dari kesepakatan tersebut akan tercapai kemanfaatan yang dapat dirasakan bersama-sama tanpa memberatkan pihak manapun. Jadi tidak hanya mengandalkan hukuman bagi pelaku saja, namun juga pemulihan aset negara dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara juga dapat dilaksanakan secara maksimal.

Sebagai implementasi dan komitmen dari institusi Kejaksaan Agung sendiri telah menerbitkan “Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif” yang selanjutnya disebut PERJA/15/2020. Bukan tanpa alasan diterbitkannya peraturan tersebut, karena memang sebagai bentuk komitmen dan untuk mengembalikan kembali suatu perkara pidana ke keadaan semula. Sehingga lebih berfokus bukan kepada pembalasan kepada pelaku saja, namun juga dapat memulihkan aset yang sudah dikorupsi melalui pengembalian kerugian keuangan negara dengan cara restorative justice. Pendekatan ini diterapkan pada proses perkara tipikor yang mengakibatkan kerugian keuangan negara hingga Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Harapan kedepannya tentu pegembalian kerugian keuangan negara dapat dilakukan kembali secara maksimal melalui pendekatan keadilan restoratif, dengan tidak mengesampingkan penghukuman pidana terhadap pelaku yang bersangkutan.9

  • 3.2.    Efektivitas Pelaksanaan Prinsip Restorative Justice dalam Penghentian

    Penuntutan Perkara Korupsi oleh Kejaksaan

Keadilan restoratif atau yang bias akita kenal dengan istilah restorative justice merupakan bagian dari pedoman proses perdamaian diluar pengadilan. Tujuannya sudah barangtentu agar pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tersebut dapat mencari solusi terbaik untuk memecahkan perkara yang mereka alami dengan tidak memberatkan salah satu pihak. Konsep ini berfokus pada korban dan pelaku dan semua pihak yang terlibat, dan tidak berfokus dengan prinsip yang bersifat atau bertujuan untuk menghukum pelaku saja.10 Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pendekatan ini akan mengambil tolak ukur pada pelaku dan korban, yang sifatnya memberikan keadilan yang berimbang bagi kedua belah pihak secara adil dan bijaksana.

Secara garis besar dapat kita pahami, bahwa keadilan restoratif atau restorative justice ini mengandung beberapa prinsip yaitu sebagai berikut:

  • (1)    “Mengupayakan perdamaian yang dilaksanakan diluar pengadilan oleh pelaku maupun korban tindak pidana;

  • (2)    Memberikan kesempatan kepada pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang sudah ia perbuat;

  • (3)    Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi antara pelaku dengan korban, apabila tercapai kesepakatan dan persetujuan diantara kedua belah pihak.”

Efektifitas dari penerapan konsep restorative justice ini tidak selamanya berjalan dengan mulus dan lancar. Perlu diketahui kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana ini tidaklah sedikit, jadi harus dituntaskan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun perlu diingat sanksi pidana yang sudah dijatuhkan kepada pelaku tidak akan hilang, meskipun pengembalian kerugian keuangan neagra sudah dilakukan. Hal tersebut tegas dinyatakan dalam “UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 4 peraturan tersebut yang dimana menjelaskan bahwa:

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.

Kita dapat lihat bahwa fokus utama terhadap pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi masih belum terlihat. Hal tersebut disebabkan karena dalam rumusan tersebut masih terkadung makna retributive justice yang masih berfokus pada penghukuman pelaku. Ada jenis hukuman denda yang tecantum dalam pasal undang-undang korupsi yang diterapakan dalam perkara korupsi. Pemberian denda tersebut jika dilihat dengan situasi dan kondisi sekarang tentu nominal nya tidak akan sepadan dengan hasil perbuatan tindak pidana korupsi tersebut. Adanya restorative justice ini tentu perlu diakomodasi untuk memberikan bahan evaluasi terhadap kelemahan dari pendekatan retributive justice sebagaimana yang telah diuraikan pada Pasal 4 UU PTPK yang notabane tidak menghendaki adanya penyelesaian diluar sanksi hukum pidana.11 Dilihat dari rumusan pasal dalam UU Korupsi, jika kita melihat pada Pasal 18 ayat (1) UU PTPK, sebenarnya sudah menerapkan sedikit mengenai keadilan restoratif. Dimana pada “Pasal 18 ayat (1)” huruf b menyatakan bahwa:

Terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi

Pasal tersebut menekankan selain diancam pidana pokok, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti juga akn dijatuhkan kepada pelaku. Jika dalam waktu yang ditentukan tanggungjawab tersebut tidak diindahkan, maka terpidana akan langsung dimasukkan kedalam panjara. Perlu diketahui nominal uang pegganti tersebut setara dengan hasil dari perbuatannya dan hukuman penjara tersebut lamanya tidak lebih dari ancaman pokok dan sudah dijatuhkan pada putusan hakim sebelumnya yang sudah inkracht.12 Namun jika tidak mampu dibayar, maka harta benda dari pelaku yang bersangkutan dapat dilakukan penyitaan untuk menutupi kekurangan pembayaran uang pengganti tersebut. Masih ada potensi aset negara tidak akan kembali, karna jika nominal harta yang dimiliki masih kurang untuk melunasi tanggungjawabnya, maka

akan langsung dipenjara (dengan waktu yang tak lebih dari ancaman pidana pokok). Jadi pengembaliian kerugian negara yang dilaksanakan dengan pembayaran uang pengganti ini hanya sebagai pidana tambahan saja.

Disamping itu pula, konsep restorative justice ini berkembang dikarenakan banyak perkara yang diajukam ke pengadilan, namun tak memenuhi unsur kemanfaatan dan keadilan. Ambil contoh langsung perkara korupsi dimana ada pelaku yang karena kesalahan administrasi, ia dilaporkan ke pengadilan karena dianggap melakukan korupsi khususnya. Penegak yang dalam konteks ini adalah Kejaksaan tentu sudah memahami kondisi tersebut, dan hal itulah yang menjadi dasar PERJA No. 15 Th. 2020 diterbitkan. Dalam PERJA tersebut mengamanatkan bahwa jika tindak pidana korupsi tersebut mencapai nilai dibawah Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka perkaranya akan selesai, namun syaratnya uang hasil korupsi tersebut dikembalikan kepada negara. Dilihat dari aspek keadilan, tentu akan bertolak belakang dikarenakan pelaku tidak mendapat efek jera apapun atas perbuatannya karena sudah mengembalikan uang hasil korupsi yang ia dapatkan. Namun jika kita lihat dari aspek kemanfaatan, anggaran untuk memproses satu pelaku tindak pidana korupsi bisa melebihi nominal yang sudah disebutkan sebelumnya. Selain itu pula jangka waktu dari penanganan perkara tindak pidana korupsi dapat melebihi 6 (enam) bulan dalam satu penanganan perkara.

  • 4.    Kesimpulan

Restorative Justice sendiri merupakan suatu alternatif penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan dengan menggunakan cara dialog dan mediasi. Dialog tersebut akan dihadiri oleh pelaku, korban serta beberapa pihak lainnya yang masih berkaitan dengan perkara yang bersangkutan. Dari dialog tersebut akan diperoleh suatu kesepakatan yang menguntungkan semua pihak baik itu korban maupun pelaku. Kejaksaan sendiri telah mengeluarkan PERJA/15/2020 sebagai implementasi dari pelaksanaan restorative justice dan dalam perjalanannya pun melalui lika-liku yang panjang. Terkadang pelaksanaan dari konsep ini menjadi tidak efektif jika dilihat dari segi praktiknya. Ambil contoh jika tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan nagara dibawah angka 50 juta rupiah, maka tidak akan diproses lebih lanjut dengan syarat uang tersebut harus kembali. Disamping itu dalam UU PTPK sebenarnya sudah mengamanatkan pelaksanaan prinsip restorative justice melalui pembayaran uang pengganti. Namun itu terkadang juga tidak efektif apalagi jika pelaku tidak mampu menuntaskan tanggungjawabnya tersebut. Sekiranya perlu dipertimbangkan untuk pengembalian kerugian negara ini masuk kedalam pidana pokok. Hal tersebut dikarenakan berkaitan dengan pemberian kemungkinan ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana subsider jika pelaku tidak bisa menuntaskan pertanggungjawaban atas perbuatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ferry, Hernold. (2014) Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta: Thafa Media.

Marzuki, Peter Mahmud,(2019), Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Kencana.

Jurnal

Danang, Wahyu. (2022). Kebijakan Kejaksaan Agung RI tentang Penghapusan Tindak Pidana Korupsi Di Bawah 50 Juta Ditinjau Dari Restorative Justice, Indonesia Journal of Law and Sosial-Political Governance, 2 (1), 507-508.

Gultom, Pardomuan. (2022). Analisis Sosiologi Hukum Terhadap Kemungkinan Dapat Diterapkannya Restorative Justice dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah, 3(1), [Online]. Available: https://ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-2020-korupsi-

Hestaria, Helena. (2022). Tinjauan Yuridis Penerapan Prinsip Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Penyelamatan Keuangan Negara,” e-Journal Komunikasi Universitas Ganesha,5(3), 112.

Rida ,Ista Sitepu dan Yusona Priadi. (2019). Implementasi Restoratif Justice dalam Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Rechten: Riset Hukum Dan Hak Asasi Manusia 1(1), 1-8.

Suhariyanto, Budi. (2016). Restoratif Justice Dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara, Jurnal Rechtsvinding 5(3), 421-438.

Satria, Hariman. (2018). Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana, Jurnal Media Hukum, 25( 1), 111-123.

Supriyanto, Supanto, Hartiwiningsih (2017), Redefinisi Unsur “yang Dapat Merugikan Keuangan (Perekonomian) Negara” dalam Tindak Pidana Korupsi Amanna Gappa, Vol. 25 No. 2 September 2017

Wirjono Prodjodikoro, dalam Erwin Ubwarin, Pergeseran Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dari Pengejaran Tersangka ke Pengejaraan Uang Kerugian Negara, Vol 2 (2), h.69-82.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 2 Tahun 2023 hlm 203-210

210