KEADILAN RESTORATIF DAN PEMBATASAN

DIVERSI PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 11

TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN

PIDANA ANAK DI INDONESIA

Sagung Dinda Surya Paramitha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

Sagung Putri M.E. Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penulisan jurnal ini memiliki tujuan untuk memahami lebih dalam terkait bagaimana hubungan keadilan restoratif terhadap adanya pembatasan diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta dapat mngetahui dan menganalisis bagaimana pembatasan diversi yang terdapat dalam UUSPPA terhadap seorang anak yang melakukan RecidiveKeadilan merupakan hak dari semua orang baik anak ataupun orang dewasa. Menurut Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa semua anak itu memiliki hak atas keadilan serta perlindungan hukum selama tumbuh kembangnya yang diharapkan mampu menjauhkan mereka dari tindakan kekerasan dan diskriminasi yang bisa saja terjadi di lingkungan sekitarnya. Seorang anak ia sebuah harta yang tak ternilai bagi keluarga, masyarakat dan negara. Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau yang disebut juga sebagai UUSPPA menerapkan teori keadilam restoratif dengan upaya diversi. Diversi dan Keadilan Restoratif sudah diatur dalam UUSPPA yang lebih menekankan kepada titik perdamaian dibandingkan proses hukum secara formal untuk mencegah anak dari hukuman penjara secara khusus dan juga meningkatkan sikap sosial masyarakat terhadap tindak pidana anak.

Kata Kunci : Anak, Keadilan Restoratif, Diversi

ABSTRACT

Writing this journal has the aim to understand more deeply related to how the relationship of restorative justice to the existence of diversion restrictions in Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System and to be able to know and analyze how the diversion restrictions contained in UUSPPA against a child who commits Recidive Justice are rights of all people whether children or adults. According to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which states that all children have the right to justice and legal protection during their development which is expected to keep them away from acts of violence and discrimination that could occur in their surroundings. A child is an invaluable treasure for the family, society and country. According to Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System or what is also known as UUSPPA applies the theory of restorative justice with diversion efforts. Diversion and Restorative Justice have been regulated in the UUSPPA which places more emphasis on the point of peace than the formal legal process to specifically prevent children from being imprisoned and also to improve social attitudes towards juvenile crimes.

Keywords : child, Restorative Justice, Diversion

  • 1.    Pendahuluan

    1.1 .Latar Belakang Masalah

Keadilan merupakan satu kondisi dimana masyarakat satu sama lain mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan dan kewajibannya masing-masing. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan definisi kata “adil” sebagai hal yang berpegang pada kebenaran. Keadilan merupakan hal yang senantiasa dijadikan topik utama dalam setiap penyelesaian masalah yang berhubungan dengan penegak hukum.1 Sedangkan dari segi etika, kata “adil” yang berarti memberikan apa yang manjadi hak kepada seseorang ataupun yang terdapat dalam komunitas itu. Sehingga dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa terdapat sebuah keadilan yang bersifat perseorangan atau indivual dan ada yang bersifat kelompok atau komuniter. Keadilan akan dibenturkan dengan keraguan dan ketidakadilan, bahwa sesungguhnya keadilan tidak akan berdaya tanpa ketidakadilan dan keraguan.2 Ada 3 peristiwa yang menyebabkan kontribusi seseorang bisa seimbang. Poin pertama terdapat kekuatan social dan legal dengan cara mendesak dan membentuk istilah ‘hukum’, selanjutnya lahirnya produk hukum yang memuat struktur didalamnya, serta yang terakhir adanya hasil atau dampak dari keluarnya suatu produk hukum terhadap seseorang diluar sana. Dalam hukum pidana terdapat istilah pemidanaan yang berarti suatu tindakan terhadap seorang pelaku kejahatan, yang dimana pemidanaan ditujukan agar pelaku kejahatan tersebut tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Dalam pemidanaan memiliki beberapa pandangan. Pandangan yang pertama mengenai pemidanaan adalah proses pemidanaan yang berdasarkan pada teori retributif yang dimana tujuan pemidanaan dalam teori ini adalah balas dendam. Seorang pelaku kejahatan pidana harus dihukum yang setimpal dengan tindakan pidananya. Pandangan yang kedua yaitu alirutilitarianisme yang memperhitungkan kegunaan dari hukuman itu sendiri. Pemidanaan dalam pandangan ini harus meninjau factor yang terdapat pada masyarakat secara luas. Pandangan ini memiliki teori relatif yang bertujuan membina pelaku kejahatan agar dapat berinteraksi kembali ke dalam masyarakat.

Pandangan pemidanaan yang kedua tersebut terdapat dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Indonesia. Sebelum terdapat Undanng-Undang SPPA, pengaturan anak dapat dilihat melalui UU No. 3/1997 tentang Pengaidilan Anak. Namun dalam pengaturan tersebut hanya memuat perihal yang taka jauh berbeda dengan yang tercantum dalam KUHAP. UU Pengadilan Anak masih berfokus dengan keadilan retributive.3 Di sisi lain dalam UUSPPA

melalui ketentuan umum yang ada tersebut sudah berdasarkan pada aliran pemidanaan yang bertujuan agar dapat memberikan manfaat dan keikut sertaan aspek masyarakat yang bertujuan untuk memberikan struktur sosial yang baru bagi seseorang yang mengalami peristiwa pidana tersebut.4

Seorang anak merupakan harta bagi keluarga, masyarakat maupun bangsa. Termaktub pada Pasal 28 konsitutsi Negara kita pada ayat (2) bahwa “setiap anak berhak untuk mendapatkan keadilan serta perlindungan hukum dalam tumbuh kembang anak yang terbebas dari kekerasan.” Di Indonesia sendiri tindak pidana yang pelakunya adalah seorang anak masih sangat masif. Kondisi tersebut didukung berdasarkan survey tahun 2015 yang menerangkan, banyaknya anak yang berbuat tindakan melanggar hukum sejumlah 2.993 orang. Hal tersebut memberikan gambaran terhadap kasus tindakan melanggar hukum dimana pelakunya adalah seoranga anak cukup banyak dan ditambah dari data tersebut, yang ditemukan beberapa anak yang melakukan tindak pidana tersebut memiliki rentan usia diatas 10 tahun.

Negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan terkhusus kepada seorang anak yang berhadapan langsung dengan hukum. Hal ini diwujudkan dengan adanya UUSPPA dalam memberikan perlindungan terhadap ABH. UUSPPA sendiri menggunakan teori keadilan restoratif dengan upaya diversi. Namun upaya diversi tersebut tidak semata-mata dapat diberikan. Terdapat beberapa syarat dalam melaksanakan diversi tersebut sehingga menimbulkan pembatasan diversi terhadap anak.

Berdasarkan hal tersebut terdapat beberapa permasalahan yang sangat menarik untuk dituangkan menjadi sebuah tulisan jurnal untuk memahami lebih lanjut terkait hubungan keadilan restoratif terhadap adanya pembatasan diversi dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan dituangkan dalam sebuah tulisan jurnal dengan judul “Keadilan Restoratif Dan Pembatasan Diversi Pada Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”. Judul tersebut dituangkan dalam penulisan jurnal karena topik tersebut sedang ramai diperbincangkan dimasyarakat, penulisan jurnal ini juga didukung dari berbagai sumber yaitu jurnal – jurnal, peraturan perundang – undangan, buku – buku dan media elektronik lainnya dari berbagai pihak, sehingga keaslian dari penulisan jurnal ini dapat dipertanggung jawabkan.

Untuk menimimalisir plagiarisme serta menunjukan orisinalitas jurnal ini maka jika dibandingkan dengan jurnal – jurnal yang sudah ada, jurnal ini memiliki kesamaan dari segi topik yaitu membahas mengenai keadilan restoatif dan pembatasan divesi yang tentunya memiliki focus pembahasan yang berbeda. Pada tahun 2019 Ahmad Faizal Azhar mengkaji mengenai “Penerapan

Konsep Keadilan Restoratif (restorative justice) Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”5. Jurnal tersebut memiliki fokus topik pembahasan mengenai aturan yang jelas mengenai Keadilan Restoratif pada sistem peradilan pidana di Indonesia. Pada tahun 2016 Ulang Mangun Sosiawan mengkaji mengenai “Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud Perlindungan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”6. Jurnal tersebut memiliki fokus topik pembahsan mengenai perspektif keadilan restoratif sebagai bentuk perlindungan terhadap seorang anak yang berhadapan dengan hukum.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah hubungan keadilan restoratif terhadap adanya pembatasan diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

  • 2.    Bagaimanakah pembatasan diversi yang terdapat dalam UUSPPA terhadap seorang anak yang melakukan Recidive?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari adanya penelitian ini harapan penulis nantinya agar pembaca dapat memahami bagaimana hubungan adanya Keadilan Restoratif dengan Pembatasan Diversi yang tercantum pada UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu penelitian ini ditulis untuk nantinya diharapkan pembaca dapat mengetahui bagaimana diberlakukannya pembatasan diversi yang ada dalam UUSPPPA terhadap seorang anak yang melakukan Recidive.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode normatif deskriptif dalam penelitian ini. Metode ini dilakukan dengan cara mengkaji data sekunder serta proses untuk mendapatkan aturan hukum serta doktrin – doktrin hukum untuk mendapatkan jawaban terkait rumusan masalah yang ada, Penelitian ini juga mempergunakan modul seperti buku, jurnal serta artikel untuk mendukung hasil pembahasan penulis dalam penelitian ini. Penulisan jurnal ini juga menggunakan beberapa jenis pendekatan yaitu pendekatan kasus ( case approach) serta pendekatan undang – undangan (statute approach) yang konteksnya dilakukan dengan cara menelaah undang – undang yang berkaitan dengan isu hukum yang dibahas dalam penulisan jurnal ini.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1 . Hubungan Keadilan Restoratif Terhadap Adanya Pembatasan Diversi Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Hukum selama ini hanya dipahami sebagai aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukkum tersebut dengan persoalan yang harus ditangani.7 Adanya konsep keadilan restorative dan upaya diversi ini dibahas lebih rinci dalam UU SPPA. Pada undang-undang sebelumnya yaitu UU Pengadilan Anak, tidak terdapat kedua konsep keadilan tersebut. Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi korban dan pelaku8.Undang-undang tersebut masih menerapkan prinsip retributif atau pembalasan. Dimana prinsip tersebut berfokus pada pemberian hukuman kepada pelaku yang melakukan tindak pidana. Namun dengan berlakunya UUSPPA yang menggantikan UU Pengadilan Anak sebelumnya mengutamakan bagaimana cara untuk membentuk atau membina pelaku tindak pidana agar mampu diterima kembali ditengah-tengah masyarakat.

Ada beberapa kategori anak yang tercantum dalam SPPA. Pertama ada anak sebagai korban, kemudian sebagai saksi dan terakhir anak yang bermasalah/berhadapan dengan hukum atau disingkat ABH. Kategori ABH sudah tentu berhadapan dengan hukum dimana biasanya pelakunya adalah anak-anak yang berusia 12-18 tahun serta belum menikah. Berdasarkan survey tahun 2009 ditemukan fakta bahwa total kasus perkara anak sebanyak 932. Sehingga tujuan dari adanya sistem peradilan anak ini diharapkan mampu untuk membentuk sistem peradilan yang lebih mengedepankan kepada hak-hak anak maupaun kewajiban hukum terhadap seorang anak yang menjadi pelaku.

Keadilan restoratif dalam UU SPPA sebagai pengganti dari keadilan retributive sebelumnya. Keadilan restoratif merupakan pemulihan hubungan baik antara pelaku kejahatan dengan korban kejahatan, sehingga hubungan antara pelaku kejahatan dengan korban kejahatan sudah tidak ada dendam lagi. Sedangkan keadilan retributif adalah orientasi keadilan ditujukan kepada pelanggar dan semata – mata karena pelanggaran hukumannya yang ditujukan untuk membalas perbuatan kejahatan yang telah dilakukan pelaku. Sederhananya, konsep keadilan restoratif ini penyelesaian perkaraya melibatkan kedua pihak tanpa harus menggunakan cara pembalasan. Menurut Toni Marshal keadilan restoratif adalah cara penyelesaian permasalahan pidana dimana semua pihak saling mencari jalan keluar untuk menangani permasalah tersebut.

Konsep keadilan restoratif sendiri tidak jauh berbeda dan bahkan memiliki beberapa kesamaan dengan pelaksanaan mediasi penal di Indonesia.9

Ada perbedaan antara keadilan restoratif dan mediasi penal memiliki sebuah perbedaan yaitu dimana keadilan restoratif dijalankan bersama dengan penegak hukum yang bersangkutan. Berbeda dengan mediasi penal yang bisa langsung dilaksanakan oleh kedua pihak yang berperkara tanpa ada campur tangan pihak lain. Pasal 1 angka 6 Undang-Unndang SPPA mengamantkan “Keadilan restoratif nantinya dalam menyelesaikan perkara tindak pidana ikut melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”. Kemudian termaktub pada pasal 7 ayat (1) UU SPPA, dalam setiap tahapan penyelesaian perkara, harus mengedepankan upaya diversi. Upaya diversi merupakan suatu upaya penyelesaian perkara yang awalnya dilaksanakan sesuai prosedur peradilan pidana pada umumnya, kemudian dialihkan diluar penyelesaian peradilan pidana. Sederhanannya, diversi ini sebagai implementasi dari keadilan restoratif sebagaimana tertuang pada UU SPPA. Selanjutnya pada UUSPPA pasal 7 ayat (2) juga menyebutkan bahwa “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

  • a.    Di ancan dengan pidana penjara dibawah 7 tahun; dan

  • b.    Bukan merupakan pengulangan tindak pidana”

Berlandaskan pada pasal diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat syarat mengenai adanya pembatasan diversi, yang dimana kewajiban dari diversi itu sendiri hanya diperuntungkan bagi pelaku anak yang diancam hukuman penjara dibawah 7 (tujuh) tahun. Jadi jika perkara anak tersebut diancam dengan pidana diatasnya atau tindakannya merupakan pengulangan tindak pidana, maka upaya diversi ini tidak berlaku. Hal ini menyebabkan diskriminasi dalam kasus pidana dengan ancaman 7 tahun penjara serta kurang optimalnya upaya diversi yang dilakukan. Batasan tersebut tentu akan menimbulkan ketidakseimbangan, khususnya kepada pelaku anak yang diancam hukuman penjara diatas 7 (tujuh) tahun atau recidive. Perlu perbaikan yang lebih khusus dan luas terhadap anak yang termasuk dalam klasifikasi tersebut agar tidak ada lagi kejadian yang melibatkan anak sebagai pelaku. Perbaikan tersebut tentu harus melibatkan pihak yang terkait, salah satunya adalah ahli anak, agar nantinya dapat dilakukan secara baik dan berkelanjutan.

Upaya diversi yang dilakukan harus tetap terikat pada persetujuan beberapa pihak. Rumusan pasal 9 ayat (2) telah jelas menerangkan “Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk: a. tindak pidana yang berupa

pelanggaran; b. tindak pidana ringan; c. tindak pidana tanpa korban; atau d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.” Dilaksanakannya diversi atau tidak dalam suatu perkara, tetap bergantung kepada para pihak yang berperkara. Namun dari sana kita mengetahui secara jelas, bahwa kebijakan diversi dalam UU SPPA merupakan kebijakan yang bersifat terbatas.10

Berdasarkan amanat pasal 7 ayat (2) Undanng-Undang SPPA disebutkan adanya pembatasan dalam pelaksanaan diversi untuk pelaku anak. Tentunya hal tersebut tidak selaras dengan tujuan yang menjadi dasar upaya penyelesain perkara tindak pidana anak. Seorang anak memiliki hak yang sama pada saat melaksanakan proses penyelesain perkara pidana anak. Upaya diversi seharusnya merupakan hak dari setiap anak dan tidak perlu adanya pembatasan karena setiap anak sudah semestinya mendapatkan peluang untuk dapat membenah diri agar mampu bertanggung jawab atas hal yang mereka lakukan. Selain itu juga adanya ketentuan-ketentuan dalam melaksanaan diversi dianggap tidak satu jalan dengan tujuan dari pelaksanaan diversi itu sendiri. Adanya batasan seperti yang sudah dijelaskan diatas, memberikan makna bahwa pelaksanaan konsep keadilan restoratif yang terdapat dalam UUSPPA tidak selaras dengan apa yang dicita-citakan. 11

Seorang anak memang belum dewasa dan tidak begitu memahami perbuatan mana yang baik dan tidak baik untuk dilakukan, serta keberadaan hukum yang mengatur kedua hal tersebut. Semua pihak baik itu orang tua, keluarga, masyarakat maupun negara berkewajiban penuh untuk memberikan pemahaman tentang mana perbuatan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan agar nantinya tidak ada kelalaian yang disebabkan oleh pihak-pihak tersebut. Artinya jika ada perbuatan salah yang dilakukan oleh anak, bukan murni merupakan kesalahannya, melainkan para pihak yang disebutkan diatas juga mutlak untuk bertanggungjawab. Orang terdekat anak seperti orang tua berperan penting dalam mendampingi sang anak yang menjalani perkara. Upaya diversi seharusnya tidak terbatas pada klasifikasi-klasifikasi tertentu saja, melainkan kepada seluruh perkara-perkara anak. Kembali lagi, setiap anak punya kesempatan dan hak yang sama untuk dapat diperlakukan sama dihadapan hukum termasuk juga dalam melaksanakan proses penyelesain perkaranya.12

  • 3.2    Pembatasan Diversi Yang Terdapat Dalam UUSPPPA Terhadap Seorang

    Anak Yang Melakukan Recidive

Pasal 28B ayat (2) konstitusi kita sudah tegas merumuskan bahwa “Setiap anak berhak mendapatkan keadilan serta perlindungan hukum dalam tumbuh kembang anak yang terbebas dari kekerasan dan diskriminasi.” Anak maupun orang dewasa mendapatkan perlindungan atas segala hak yang dimiliki, dikarenakan setiap individu terlahir dengan merdeka dan sama-sama memiliki hak dan sejajar dalam martabatnya. Kemudian konstitusi kita jelas merumuskan pada Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan “Indonesia adalah Negara hukum”. Artinya semua bentuk aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok didasarkan pada ketentuan hukum peraturan yang berlaku di kehidupan kita.

Adanya Konvensi Hak Anak di Indonesia sendiri adalah untuk membuktikan perlindungan anak serta menegakan hak anak di Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Hak Anak. Pada 5 September 1990 Presiden Suharto telah mengesahkan Hak Anak sebagai aturan hukum positif meratifikasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990

Anak yang sedang dalam proses pencarian jati dirinya rentan terhadap perbuatan yang dilakukan dipengaruhi oleh mentalitas mereka sehingga tak jarang mereka belum mengetahui apakah perbuatan yang mereka lakukan termasuk hal baik atau buruk. Salah satu penyebab anak melakukan tindakan yang menyimpang dari hukum yang berlaku karena factor dari luar lingkungan mereka. Seorang anak yang menjadi pelaku dari sebuah tindak pidana harus lah bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan. Namun pemberian sanksi hukum terhadap anak yang melakukan perbuatan harus lebih dicermati apakah sanksi hukum tersebut sudah sesuai dengan tujuan terbaik untuk anak tersebut. Salah satu bentuk antisipasi dan penyelesaian terhadap tindakan yang menyimpang dari anak yang bersangkutan yakni diberlakukannya UU SPPA. UU SPPA sendiri mengenal istilah diversi yang memiliki arti sebagai perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Batasan yang ada dalam pelaskanaan diversi itu, mengartikan bahwa anak tersebut memerlukan penyelesaian yang lebih komprehensif. Prinsip recidive yaitu pemberatan hukum kepada pelaku nyatanya tidak memberi hasil yang maksimal, sehingga pelaku tersebut kembali mengulangi lagi perbuatannya. Pidana dapat diberikan kepada pelaku anak yang perbuatannya masuk klasifikasi pidana berat dan recidive, dimana hal tersebut dapat mengcancam keselamatan bagi masyarakat. 13Recidive terjadi ketika seseorang yang melakukan perbuatan pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, kemudian melakukan suatu perbuatan pidana lagi yang sama atau dianggap sama oleh undang – undang dalam waktu tertentu.

  • 13 Mita Dwijayanti.Diversi Terhadap Recidive Anak. Universitas Airlangga. Volume 12 Nomor 2 2017.

Masih ditemukannya pengulangan tindak pidana walaupun sudah mendapatkan upaya diversi sebelumnya, memberikan makna bahwa upaya diversi belum memberikan hasil positif dalam praktiknya. Pelaksanaan diversi dengan ini tidak dapat mempengaruhi perubahan sikap dan perilaku. Kasus seorang anak yang melakukan tindak pidana secara pengulangan memerlukan rehabilitas terhadap anak tersebut. Namun jika badan sosial tidak berhasil untuk mengubah sikap anak sehingga memerlukan jalan keluar lain seperti hukuman penjara/kurungan. Pasal 81 ayat (2) UU SPPA menegaskan lama waktu ancaman pidana penjara terhadap pelaku anak yakni ½ dari ancaman pidana penjara maksimal pada umumnya. Anak yang melaksanakan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati, akan dijatuhi pidana kurungan maksimal 10 (sepuluh) tahun. Jika pelaku anak tersebut berusia 8-12 tahun maka alternatif lain dapat diberlakukan, seperti pengembalian kepada orang tua, dialihkan ke lembaga sosial untuk dibina dan lain-lain. Untuk pelaku anak dengan retang usia 12-18 tahun dapat dijatuhi pidana dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam UU SPPA

Mediasi penal merupakan salah satu contoh penyelesaian perkara sebagai bentuk pelaksanaan upaya diversi bagi pelaku anak yang termasuk kedalam Recidive. Cara tersebut dilakukan diluar pengadilan dan digunakan pada tahapan awal disaat anak berkeinginan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pelaksanaan mediasi penal ini didampingi oleh pihak terkait seperti orang tua pelaku dan korban serta dipandu mediator dalam forum tersebut Penyelesain tindak pidana anak melalui tahap diversi tidak selamanya berhasil dilakukan. Tidak menutup kemungkinan pengulangan tindak pidana terjadi lagi setelah proses diversi dilakukan. Sehingga anak yang tergolong recidive lebih baik tetap diselesaikan melalui pengadilan.

  • 4.    Kesimpulan

Teori keadilan restoratif yang ada pada UU SPPA merupakan pengganti dari teori keadilan retributif. Dalam UUSPPA sendiri mempertegas teori restoratif tersebut dengan adanya upaya diversi didalamnya yang merupakan sebuah pelaksanaan penyelesaian perkara diluar pengadilan. Sehingga diharapkan adanya UUSPPA yang menggantikan Undang-Undaang Pengadilan Anak yang lama, agar nantinya keadilan restoratif ini dapat berlaku secara massif kedepannya. UUSPPA tidak selamanya berjalan dengan baik, dalam UUSPPA sendiri masih banyak ditemukan beberapa kekurangan dalam hal menerapkan diversi. Diversi dikatakan sebagai hal wajib dalam menerapkan teori keadilan restoratif. Pasal 7 ayat (2) mengandung batasan dalam pelaksanaan upaya diversi tersebut dimana upaya ini hanya berlaku terhadap pelaku anak yang diancam pidana dibawah 7 (tujuh) tahun. Selain itu juga upaya diversi tidak wajib untuk dilaksanakan, namun hanya sebagai kewajiban agar para pihak tetap menggunakan upaya tersebut. Penyelesaian yang lebih komprehensif perlu dilakukan terhadap pembatasan anak yang melakukan pengulangan tindak pidana. Adanya kemungkinan pengulangan tindak pidana

dapat terjadi setelah upaya diversi, memperlihatkan bahwa belum adanya hasil positif terhadap upaya tersebut. Artinya adalah upaya diversi belum memberikan pengaruh signifikan terhadap pelaku anak, sehingga masih banyak yang harus di perbaiki dalam sistem penggunaan diversi agar keadilan restoratif tetap berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Yasin, dkk.,. Januari- Februari 2012. Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif, Buletin Komisi Yudisial,.

Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk. 2003. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia. Indonesia, : UNICEF.

Sagung Putri M.E Purwani, SH.,MH. 2020. Kebijakan Penegarakan Hukum Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup Berbasis Nilai Keadilan Restoratif Di Indonesia . Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Suparmono, Gatot. 2000. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta, : Djambatan,.

Tridiatno, Yoachim Agus. 2015. Keadilan Restoratif. Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka.

Jurnal

Akbar, Muhammad Fatahillah. (2021). keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidanasebagai perwujudan nilai-nilai pancasila, Jurnal ET PAX,Volume 37 Nomor 1,

Azhar, Ahmad Faizal. "Penerapan konsep keadilan restoratif (restorative justice) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia." Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam 4, no. 2 (2019): 134-143.

Arianto, Henry. (2010). “Hukum Responsif dan Penegakan Hukum Di Indonesia”. Lex Jurnal Vol 07. No 02

Dewantary, Zenny Rezania. n.d. "“Keadilan Restoratif dan Pembatasan Diversi pada Undang-Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak." Volume 2 Nomor 2.

Dwisvimiar, Inge. (2011). “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum”. Jurnal Dinamika Hukum Vol 11 Nomor 3

Dwijayanti, Mita. 2017. "Diversi Terhadap Recidive Anak." Rechtidee, Vol. 12, No. 2.

Hambali, Azwad Rachmat. (2019). "Penerapan Diversi terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana,." jurnal ilmiah kebijakan , Vol 13, No 1 .

Neiska Aranafta Nurain, Subekti. Agustus 2021. "Kesesuaian Syarat Diversi Dengan Konsep Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak." Recidive Volume 10 No. 2.

Rachma, Zeha Dwanty El. Februrari 2021. "pembatasan diversi terhadap anak yang melakukan recidive ." Mimbar Keadilan Volume 14 Nomor 1.

Sosiawan, Ulang Mangun. "Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud Perlindungan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (perspective of

Restorative Justice as a Children Protection Against the Law)." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 16, no. 4 (2017): 425-438

Susanto, Anthon F. (2010). “Keraguan Dan Ketidakadilan Hukum (sebuah pembacaan dekonstruktif)”. Jurnal Keadilan Sosial.

Syahputra, Eko. (2021). “Penerapan Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Masa Yang Akan Datang”. Lex Lata Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Vol 03. No 2

Perundang-Undangan

Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 9 Tahun 2022 hlm 949-959

959