Implikasi Hukum Terhadap Produsen Ditinjau Dari Segi Indikasi Geografis

Ni Komang Putu Sri Darmayanti, fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ayu Putu Laksmi Danyathi, fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pendaftaran indikasi geografis (IG) sejumlah produk unggulan sebagai hak kekayaan intelektual, dan untuk mengetahui implikasi hukum indikasi geografis setelah berlakunya undang-undang hak cipta karya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku baik di Indonesia. Penelitian ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian kepustakaan. Dengan hasil penelitian untuk proses sertifikasi Indikasi geografis (IG), Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi geografis. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang Pendaftaran Produk atau Barang yang memiliki karakteristik tertentu sehingga memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai Indikasi geografis (IG). Dilihat dari perubahan substantif pasal antara UU Merek dan Indikasi geografis dengan UU Cipta Kerja, menurut penulis, tidak ada indikasi adanya regulasi yang merugikan kepentingan umum terkait perubahan aturan merek karena perubahannya cenderung untuk memudahkan masyarakat yang ingin mengajukan pendaftaran merek usahanya.

Kata Kunci : Implikasi Hukum, Indikasi geografis, UU Cipta Kerja

ABSTRACT

The purpose of this research is to determine the process of registering geographical indications (GI) or a number of superior products as intellectual property rights, and to find out the legal implications of geographical indications after the enactment of the work copyright law. This research uses normative legal research methods, namely research that refers to the laws and regulations that apply well in Indonesia. This research can also be said as library research. With the results of research for the certification process for Geographical Indications (GI), the Government of the Republic of Indonesia has issued Government Regulation (PP) Number 51 of 2007 concerning Geographical Indications. The Government Regulation regulates the Registration of Products or Goods that have certain characteristics so that they are eligible to be registered as Geographical Indications (GI). Judging from the substantive changes in the article between the Trademark Law and Geographical Indications and the Job Creation Act, according to the author, there is no indication of a regulation that is detrimental to the public interest regarding changes to the trademark rules because the changes tend to make it easier for people who want to apply for registration of their business marks.

Keywords: Legal Implications, Geographical Indications, Job Creation Law

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, budaya teritorial berperan sebagai pemersatu berbagai daerah sehingga menjadi besar dan bermanfaat bagi tegaknya budaya masyarakat negara Indonesia. Warisan sosial keluarga adalah arus kas paling penting di negara ini untuk mendorong pertemuan manusia lainnya di planet ini. Salah satu sumber penting warisan sosial silsilah negara adalah kain ikat. Wawasan yang dekat ini disinggung sebagai ciri dari kelimpahan peradaban dan adat istiadat negara dengan mencerminkan kepribadian publik. Dipercaya bahwa lilitan tenun ikat harus dijaga, dijaga, dibuat dan digunakan serta dimajukan secara ekonomis. Pemanfaatan kekayaan warisan sosial ikat yang melimpah dapat berdampak baik pada perekonomian daerah setempat dan membawa nilai penawaran keuangan ke daerah setempat.

Langkah Pemerintah untuk menggarap perekonomian Indonesia, khususnya di daerah, adalah dengan melaksanakan kemerdekaan wilayah. Dengan memberikan kemampuan adaptasi lokal untuk menetapkan strategi yang berbeda, khususnya oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Melalui kemerdekaan wilayah, sehingga diharapkan di era persaingan provinsi bahkan dunia saat ini tiap daerah bisa benar-benar memaksimalkan potensinya untuk dapat senantiasa berkembang, bertahan serta mampu bersaing. Implikasinya, hal ini menyiratkan bahwa peningkatan keuangan suatu daerah lebih dikoordinasikan ke arah metodologi yang terletak pada peningkatan aset lingkungan yang merupakan elemen endogen lokal secara ideal dan maksimal.

Pengamanan yang sah untuk berbagai jenis barang yang menggambarkan Indikasi Geografis (IG) di Indonesia mesti memiliki opsi untuk menjawab kesulitan dunia (pertukaran global), khususnya dengan memberikan standar hukum yang memadai untuk memberikan jaminan yang sah terhadap barang lokal yang di ekspor. Regulasi terkait IG tersebut melindungi secara hukum terhadap para pemegang hak agar dapat merespon langsung atas pelanggaran yang terjadi.1

Untuk menjaga persaingan usaha yang sehat, adil, melindungi pengusaha mikro menengah/kecil, melindungi konsumen dan melindungi industri lokal tentu peran IG dan merek sangat dibutuhkan. Itu semua juga tak lepas atas pengaruh globalisasi terhadap segala aspek kehidupan manusia seperti finansial dan sosial, yang semakin memberdayakan kecepatan perputaran uang daerah.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan pembangunan dunia, tidak dapat dipungkiri akan terjadi pergeseran nilai. Dari satu sisi, kualitas-kualitas baru belum berkembang, sementara kualitas-kualitas lama telah menjadi kabur dan termakan oleh modernisasi. Hal ini akan memunculkan individu-individu yang akan kehilangan kepribadian, pegangan, dan arahnya untuk hidup di kancah publik. Sejauh keterkaitan dengan sumber daya sosial yang diklaim oleh penduduk yang mempengaruhi pengakuan terhadap wilayah lokal yang lebih luas, realitas mereka perlu terus digarap dengan digarap, dijaga, dan diciptakan, dengan alasan ada kualitas mendasar yang harus dirasakan oleh generasi masa depan.

Dalam kerangka HKI Indonesia, IG penting untuk regulasi nama merek. IG adalah gagasan HAKI yang menunjukkan awal dari suatu hal menurut kualitas, atribut, dan kemasyhuran dari hal tersebut. IG memperlihatkan bahwa barang dagangan dan titik awal produk, kualitas dan atribut barang memiliki hubungan. Kualitas dan atribut barang yang dimaksud dihubungkan dengan titik awal barang tersebut. Satu lagi istilah yang digunakan untuk mengamankan barang dari suatu daerah berarti awal itu. Perbedaan antara IG dan tanda permulaan adalah bahwa tanda permulaan hanya menunjukkan awal dari suatu hal tanpa memerlukan kualitas atau manfaat dari hal tersebut. Dibandingkan dengan IG yang tidak hanya menunjukkan awal dari suatu hal, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut memiliki kualitas dan keunggulan dibandingkan dengan hal-hal lain yang sebanding.2

Unsur alam memberikan IG kualitas atau ciri sendiri, yang berpengaruh pada produk ataupun barang dagangan milik suatu daerah atau wilayah. Sehingga hal tersebut memiliki perbedaan dengan HAKI yang sifatnya individual, tanda geologis tanggung jawab kebebasan tidak dapat diklaim oleh orang/orang rahasia, melainkan dimiliki oleh perkumpulan-perkumpulan lokal yang tinggal di suatu wilayah ataupun kabupaten.

Negara ini mesti benar-benar memperhatikan, menyaring serta menghentikan segal bentuk tindakan komersialisasi ataupun pendaftaran secara tidak sah terkait aturan IG. Oleh karena itu perlu diadakan perbaikan hukum secara empiris terhadap aturan IG agar lebih jelas dan tegas diterapkan di tiap daerah atau kabupaten. Terdapat beberapa alasan yang berbeda diantaranya: Pertama, Tanda geografis adalah ciri bukti yang dapat dikenali dari barang dagangan yang berasal dari daerah tertentu atau nama barang yang dikirim dari daerah tertentu dan secara eksplisit tidak dapat digunakan untuk barang pembanding yang dibuat dari daerah yang berbeda. Kedua, tanda geologi adalah tanda nilai, tanda topografi menjelaskan kepada pembeli bahwa barang tersebut dikirim dari tempat tertentu dimana pengaruh alam sekitarnya menghasilkan produk berkualitas dengan kualitas tertentu yang terus dipertahankan oleh ketenaran. Ketiga, rambu geologi adalah sistem bisnis di mana rambu topografi menawarkan keuntungan bisnis tambahan pada item karena kreativitas dan kendala item tidak dapat disampaikan di distrik yang berbeda. Keempat, mengingat pengaturan TRIPs, geologis tidak ditetapkan sebagai fitur hak inovasi berlisensi yang kebebasan kepemilikannya dapat dilindungi dari demonstrasi yang melanggar hukum.3

Selama karakteristik, kualitas, serta reputasi sebuah barang masih terjaga, maka dapat menjamin pula terjaganya aturan IG. Indikator georgra is perlu diperkuat perlindungannya secara hukum dikarenakan mengandung kebermanfaatan dalam kehidupan manusia diantaranya secara finansial serta budaya, karena tiap daerah mempunyai ciri khas terkait produknya masing- masing. Setiap produk yang memiliki karakteristik khas serta hanya bisa ditemukan di wilayah yang bersangkutan maka disebut selaku produk khas. Oleh karena itu, banyak orang yang memakai nama wilayah/daerah saat mengedarkan produknya, dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan 2 penelitian jurnal lainnya sebagai orisinalitas yaitu yang pertama ditulis oleh Gusti Ayu Putu Eka Agustina dan Taufik Yahya dengan penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap

Produk Indikasi Geografis dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan” dalam penelitian ini lebih menjelaskan mengenai bentuk perlidnungan hukum terhadap indikasi geografis serta menjleaksan mengenai sanski yang dapat diterima oleh pelanggaran terhadap indikasi geografis,4 untuk penelitian kedua yang penulis jadikan sebuah orisinalitas yaitu penelitian oleh Fitri Hidayat dengan judul “Penerapan Perlindungan Hukum Terhadap Produk Potensi Indikasi Geografis di Indonesia” dalam penelitian ini membahas mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Produk Potensi Indikasi Geografis Dalam Hukum Positif di Indonesia yang dalam penelitiannya membandingkan antara perlidungan yang diberikan oleh UU Merek dan Indikasi Geografis dengan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis,5 berdasarkan dua sumber orisinalitas tersebut penulis melakukan penelitain ini mengarah kepada implikasi hukum dari adanya UU Cipta kerja terhadap sebuah indikasi geografis, maka dalam jurnal ini penulis mengambil judul “Implikasi Hukum Terhadap Produsen Ditinjau Dari Segi Indikasi geografis”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dalam latar belakang masalah, maka yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah :

  • 1.    Bagaimana proses pendaftaran indikasi geografis (IG) sejumlah produk unggulan sebagai HAKI ?

  • 2.    Bagaimana implikasi hukum terhadap indikasi geografis setelah di sahkannya undang-undang cipta kerja ?

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Produsen Ditinjau Dari Segi Indikasi geografis merupakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dengan berpedoman pada aturan hukum milik negara. Penelitian yang dilakukan saat ini juga dapat digolongkan penelitian kepustakaan, karena sumber-sumber hukum yang dipakai dengan cara menelaah pustaka yang mana caranya dengan menelusuri setiap aturan hukum perihal perlindungan hukum terhadap produsen ditinjau dari segi indikasi geografis. Kemudian selama penelitian ini berlangsung dilakukan analisis menyeluruh supaya setiap rumusan masalah dapat terjawab. Selain itu, untuk aktivitas analisisnya dilakukan secara deskriptif yakni memperjelas kondisi ataupun keadaan suatu keputusan yang merupakan objeknya penelitian agar dapat diketahui keterikatan setiap masalah yang muncul sehingga bisa dirumuskan dan ditemukan penyelesaian.6 Oleh karena itu studi kepustakaan digunakan yakni dengan cara melakukan identifikasi pada beberapa karya ilmiah, catatan hukum, dokumen hukum, konvensi internasional, aturan undang-undang serta dari beragam literatur lainnya agar fokus masalah seperti yang dikemukakan pada judul dapat terjawab.

  • III.    Pembahasan

  • 3.1    Proses Pendaftaran Indikasi geografis (IG) Sejumlah Produk Unggulan Sebagai Hak Kekayaan Intelektual

Guna menghasilkan keputusan siapa yang dianggap sah secara hukum selaku pihak yang memegang merek aslinya atau pertama serta menghindari segala bentuk kontroversi yang muncul secara cepat dan tidak berlarut-larut antar pihak maka prinsip pembuktian ini berprinsip yakni menentukan siapa pihak yang mendaftarkan merek tersebut pertama kali dengan cara menunjukkan segala bentuk dokumen kepemilikan masing-masing pihak yang sifatnya otentik. Kemudian nantinya pemeriksaan kian lebih mudah dibandingkan menggunakan sistem deklaratif sehingga dengan cara ini kian mudah menghasilkan putusan hukum serta berkesan positif karena kian cepat, sederhana, serta otomatis pembiayaannya lebih murah.

Hak IG sah secara hukum dimiliki oleh pihak yang pertama kali mendaftarkan mereknya dengan cara mengajukan pendaftaran tanda ataupun tata krama yang menunjukkan "nama lokal" yang mengirimkan barang atau hasil karya biasa yang kualitas dan karakteristiknya dipengaruhi oleh keadaan geologis kepada Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Kemudian nantinya pihak pemilik IG yang sah ini dapat mengikuti keistimewaan elit Indikasi geografis. Jelas, pendaftar pertama ini harus memiliki pilihan untuk menunjukkan bahwa secara sah dia adalah orang yang benar-benar berhak sebagai calon dan pendaftar utama, melalui penilaian yang berwibawa dan bermakna terhadap pendaftaran Indikasi Geografis.7

Pendaftaran adalah suatu karya yang seharusnya dapat dihindarkan dari pemanfaatan Indikasi Geografis dari demonstrasi yang tidak benar. Pendirian organisasi calon pendaftaran IG merupakan satu dari sekian sarana yang harus secepatnya ditempuh. Seperti yang telah tercantum pada Pasal 2 angka 3 PP 51/2007 dan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Merek mengenai IG, yang mana menerangkan bahwa proses pendaftarannya IG mesti dilaksanakan secara langsung oleh organisasi yang nantinya ditetapkan selaku pemohon pendaftar IG. Kandidat pendaftar IG ialah: a. Suatu badan usaha yang beralamat di wilayah setempat di tempat penyerahan barang dagangan yang dimaksud, yang terdiri dari: 1) pihak yang mengembangkan produk yang merupakan barang normal atau aset tetap; 2) pembuat barang-barang pertanian; 3) pencipta karya telaten atau barang modern; atau 4) pedagang yang menjual barang dagangan; b. Perusahaan yang diberi posisi untuk melakukan hal tersebut; atau c. Mengumpulkan pembeli produk.

Seperti yang tercantum pada UU 20/2016 mengenai IG serta merek, maka penyelenggaraan pengajuan IG mesti menyesuaikan serta memenuhi kebutuhan tersebut, sesuai Pasal 53 UU 20/2015 disebutkan jika penjaminan harus diselesaikan dalam jika pendaftaran telah dilakukan ke Menteri, Pendaftaran ini harus dimungkinkan oleh 2 pertemuan. Untuk mulai dengan, organisasi yang menangani kepentingan tanda-tanda geologi di wilayah geologi tertentu dan di mana yayasan ini berperan untuk mendesak otoritas publik untuk melindungi barang-barang yang didaftarkan oleh pembentukan delegasi ini. Kedua, legislatif teritorial atau dalam kasus yang berbeda dapat dianggap

sebagai subjek yang sah yang diingat untuk Bahan Hukum Publik, juga pentingnya mengingat peraturan dalam Pasal 14 dan 19 yang menerangkan jika pengajuan tanda-tanda geologi harus dimungkinkan terlepas dari apakah calon tersebut berasal dari luar wilayah negara Indonesia. Dengan catatan apabila negara asal pendaftar tersebut sudah mengakui sebelumnya perihal keabsahan status pendaftar sesuai kebijakan dinegaranya dengan demikian kelanjutan proses pengajuan pendaftaran di indonesia dapat dimungkinkan terwujud.

Dalam hal yang berbeda, siklus pendaftaran akomodasi pemanfaatan tanda-tanda geologi juga diatur melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2007, yang memuat kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5, secara khusus, organisasi aplikasi tertulis dalam bahasa Indonesia, dan disebutkan kandidat lewat perantaranya. , Pengaturan lain adalah struktur ini diajukan dalam rangkap 3 (tiga) serta tujuannya dialamatkan pada DIRJEN, jenis pengajuan ini jelas telah dikuasai Ditjen, lagi-lagi yang tidak kalah pentingnya dalam hal kumpul-kumpul dalam Permohonan ini, khusus, badan agen yang menangani wilayah pengirim tanda geografis, atau Pihak yang Berkepentingan ingin melakukan produksi IG, secara jelas dan nyata mesti bukan berasal dari pihak yang memang berwenang menentukan kepemilikan status IG.8

Pengaturan berbeda yang terkandung dalam Pasal 6 Jelaskan jika konfigurasi tersebut mesti memuat tanggal akomodasi, periode akomodasi, dan waktu akomodasi, dan tidak kurang penting bahwa nama calon harus jelas-jelas perseorangan atau lembaga delegasi yang bergabung dengannya. tempat, dalam hal calon mengajukan pendaftaran tersebut dilacak kuasanya, dengan demikian perihal utamanya adalah Lembar Mengenai Surat Kuasa Khusus yang dibuat oleh Pemohon, dengan disertakan lembar bukti angsuran, selain itu masuk akal bahwa mesti ada keterangan nama produknya IG yang terdaftar dengan menyertakan gambaran atribut, atribut, kualitas luar biasa item tersebut. , Serta hal-hal yang membedakan Produk IG yang sudah ada dengan produk IG yang masih baru didaftarkan, termasuk berbagai variabel yang mesti tersedia, khususnya terkait keterangan darimana produk yang diajukan tersebut berasal dengan disertakan hubungan geografisnya. ada unsur-unsur yang berbeda ada variabel biasa serta daerah setempat atau manusia yang sebenarnya. Karena unsur-unsur tersebut memegang peranan penting dalam menjamin mutu dan kualitas barang selanjutnya, jelas komponen ini merupakan variabel pendukung yang sangat menarik.

Sehubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kepastian hukum Indikasi Geografis (IG), khususnya:

  • 1)    Adanya fasilitas hukum pidana dan perdata yakni seperti yang tercantum pada PP 51/2007 merupakan bentuk antisipasi serta pencegahan pelanggaran IG yang mana ini semua merupakan si at dari aturan hukum preventif.

  • 2)    Ketika hak IG orang lain dilanggar secara hukum maka pemilik sah memiliki hak meminta pergantian kerugian melalui Pengadilan Niaga. Perihal ini dikenal sebagai "perlindungan hukum represif," dan dimaksudkan untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa.

Pengamanan Indikasi geografis suatu barang agar tidak diambil oleh perkumpulan yang berbeda, maka pada saat itu Pasal 53 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU 20/2016 mengenai IG maupun merek jelas menyatakan jika untuk mendapatkan kepastian yang sah sebagai IG maka mesti diajukan terlebih dulu pada Menteri yang berwenang. Perkumpulan yang bisa mendaftarkan adalah perusahaan yang menangani wilayah lokal pada suatu wilayah topografi, khususnya orang-orang yang membuat aset biasa atau barang biasa menjadi berkembang untuk dijual seperti pencipta karya kerajinan, pialang ataupun barang modern, serta pihak dari Pemprov / Pemkab maupun Pemkot yang memang berwenang mengelola pendaftaran IG serta merupakan prasyarat abstrak.

Komponen yang harus dijaga tersebut diatur pada Undang-Undang 20 /2016 mengenai IG dan merek dan tercantum pada buku IG milik DJKI yang mana didalamnya terdapat sejumlah prosedur pengajuan IG seperti beikut9:

  • a.    Pihak yang mengajukan mesti melengkapi dokumen pengajuan ( ormulir).

  • b.    Pihak yang mengajukan mesti melengkapi data-data berikut:

  • 1)    Waktu pengajuan terkini;

  • 2)    Data pribadi pemohon;

  • 3)    Data pribadi Kuasanya jika pemohon berhalangan

  • c.    Terkait poin a mesti dilampirkan:

  • 1)    Lembar bukti kuasa (jika tidak mampu hadir);

  • 2)    Lembar bukti pembiayaan pajak;

  • d.    Terkait poin a mesti dipenuhi sesuai buku persyaratannya.

  • e.    Pemohon bisa mengajukan pada DJKI:

  • 1)    Dikirim sesuai pada alamat DJKI terkini

  • 2)    Dikirim pada kantor KEMKUMHAM yang terdapat di wilayahnya

  • 3)    Dikirim lewat pihak tertentu yang secara hukum diberi kewenangan.

  • f.    Pemohon mengajukan pendaftaran dengan kelengkapan dokumen resmi sesuai aturan DJKI.

Untuk melengkapi pendaftaran IG, maka perlu melengkapi Buku Persyaratan yang memuat informasi mengenai mutu dan ciri pembeda tiap produk sehingga dapat dilihat perbedaan suatu produk terhadap produk lainnya. Oleh karena itu di dalam buku persyaratan mencantumkan sejumlah hal di bawah ini:

  • a.    Keterangan terkait IG yang diajukan.

  • b.    Keterangan produk yang diajukan.

  • c.    Keterangan yang dijabarkan secara jelas yang mendeskripsikan karakteristik produk yang diajukan serta keterangan yang menjadikan pembeda terhadap produk lainnya meskipun berkategori sama.

  • d.    Keterangan secara geografis, yang membentuk karakteristik dan kualitas produk yang diajukan termasuk pengaruh faktor manusi serta alam didalamnya.

  • e.    Keterangan mengenai cakupan wilayah geografis dari produk yang diajukan dengan dibantu pihak yang ahli atau berwenang

  • f.    Keterangan perihal pengakuan masyarakat, tradisi dan sejarah keterkaitan indikasi geografis dengan produk yang diajukan sehingga bisa menjadi ciri khas bahwa produk tersebut milik atau berasal dari suatu daerah.

Mengingat UU 20/2016 mengenai IG dan merek yang mana menjelaskan jika mengenai hak elite penentuan tanda tanda geologi guna memeriksa IG suatu produk diberikan pada pihak yang berwenang, sepanjang kedudukan, mutu, serta atribut-atribut yang menyusunnya benar-benar ada. Dalam tanda-tanda geologi ada hak istimewa yang dapat menjaga pelanggaran dari pihak yang tidak bertanggung jawab perihal aktivitas pengajuan produk menurut IG.

Sebagai hak milik dengan nilai finansial, IG memerlukan perlindungan hukum untuk memastikan keamanannya. Karena IG juga dikenal sebagai "lambang geografis produk" atau "merek dagang regional" suatu wilayah, sehingga tentunya tidak dapat ditiru atau bahkan diproduksi serta dijual oleh wilayah lainnya yang bukan tempat produk tersebut berasal. Juga perihal sama mengenai fungsi IG suatu produk yakni menginformasikan konsumen jika produk tersebut berasal/dibuat dari suatu wilayah di mana lingkungan asli telah memberikan ciri khas atau karakteristik tertentu serta menghasilkan produk unggulan dengan kualitas khas yang bertahan dan terkenal sesuai cirinya tersebut sepanjang waktu. Selain itu IG juga bermanfaat dalam sistem bisnis karena juga menawarkan manfaat bisnis tambahan untuk barang-barang karena kreativitas mereka dan kendala barang yang tidak dapat dikirim di tempat lain.10

Sebagaimana tertuang pada pasal 53 ayat 1 UU 20/2016 mengenai IG dan merek yang mana menerangkan jika IG suatu produk diakui sesudah terdaftar oleh menteri. Oleh karena itu bisa disebut bahwa untuk mendapat pengakuan IG atas suatu produk maka hal yang mesti dilakukan ialah segera mengajukan pendaftaran pada KEMKUMHAM pasalnya yang mengakui dan menetapkan IG sebuah produk adalah langsung dari menteri yang berwenang.11

Wujud daripada perlindungan hukum oleh Pemerintah terkait perlindungan hak IG suatu produk maka dibuatkanlah PP 51/2007 mengenai IG yang mana didalamnya menerangkan mengenai tata cara sertifikasi IG. Aturan tersebut dapat membantu para penjual produk lokal untuk diakui IG produknya. Pendaftaran produk atau barang yang memenuhi persyaratan tertentu untuk memenuhi syarat Indikasi geografis diatur dengan Peraturan Pemerintah (GI). Selain itu dalam aturan diatas IG diartikan selaku tanda atau reputasi dari suatu produk yang berasal dari wilayah tertentu yang mana terbentuk dari perpaduan faktor manusia dengan alam sehingga terdapat didalamnya sebuah karakteristik serta kualitas tertentu yang khas dan tidak dapat ditiru atau dibuat di wilayah lainnya yang secara geografis berbeda.

3.2 Implikasi Hukum Terhadap Indikasi Geografis Setelah Di Sahkannya Undang-Undang Cipta Kerja

Pada dasarnya, rumusan administrasi pemerintahan pada Pasal 162 Undang-undang Cipta Kerja merupakan penekanan kembali peran presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan seperti yang tercantum pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Tugas presiden ditegaskan kembali dalam Penciptaan Undang-Undang tentang upaya untuk mempercepat bisnis otorisasi peningkatan kecepatan administrasi, pelaksanaan proyek-proyek penting publik, dan strategi pemerintah pusat. Pengesahan tugas presiden dalam pelaksanaan ketiga usaha tersebut di atas harus sesuai dengan rencana mendorong energi koperasi di berbagai bagian organisasi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat sebagaimana tertuang dalam klarifikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. energi koperasi dilakukan melalui tahapan mensinergikan usaha pemerintah, kerjasama kelembagaan, dan peningkatan penataan energi koperasi. Hasil dari mendorong kolaborasi ini membutuhkan langkah terpadu antara tingkat pemerintahan.

Upaya mendorong kerjasama menghadapi berbagai kendala, antara lain pemanfaatan rencana keuangan pemerintah daerah yang memungkinkan orang miskin memenuhi syarat karena batas lintas sektoral yang mendasar, pencemaran yang terjadi di berbagai kabupaten, dan banyaknya pedoman yang harus dipatuhi. Tujuan dari persoalan dan kesulitan dalam pelaksanaan tugas pemerintah secara simultan ini tampak diselesaikan dalam UU Cipta Kerja, antara lain melalui izin usaha berbasis risiko. Sistem tersendiri yang dimulai dari siklus pendaftaran evaluasi perizinan hingga pengawasan akan mendorong energi kerja sama antara kantor pemerintah pusat dan legislatif lingkungan.

Untuk mencapai keseimbangan dan mengendalikan akibat-akibat buruk yang timbul dari pelaksanaan desentralisasi, sangatlah wajar jika pemerintah pusat benar-benar mengambil bagian dalam siklus strategi perbaikan di kabupaten melalui pelaksanaan kapabilitas dekonsentrasi. Pada akhirnya, dekonsentrasi harus terlihat sebagai bagian yang terkoordinasi dengan desentralisasi. Hal ini agar daerah-daerah yang melakukan desentralisasi tidak menjadi lebih egois atau memiliki citra diri sektoral yang tidak masuk akal dalam merenungkan daerahnya sendiri. Dengan memperkuat dekonsentrasi, strategi peningkatan provinsi dapat terus-menerus diatur dalam pengaturan peningkatan yang lebih luas dan vital (menanamkan strategi lingkungan ke dalam pengaturan pergantian peristiwa dan kepentingan publik yang lebih luas). Di sinilah keunggulan dekonsentrasi sebagai penyeimbang arus cepat desentralisasi.12

Selain berbagai pertentangan yang mengaburkan perencanaan dan pelaksanaannya, tidak dapat disangkal bahwa UU Cipta Kerja memiliki berbagai manfaat, mengingat untuk pengaturan kemerdekaan provinsi. Menurut pandangan yang tepat, penyusunan peraturan melalui model Omnibus Law sangat mumpuni karena memungkinkan adanya sekumpulan perubahan terhadap beberapa peraturan dalam satu pedoman, serta memiliki opsi untuk mewajibkan setiap pertimbangan. dari badan pengatur dalam percakapan di ganda.

Diperkenalkannya Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja sebagai reaksi terhadap hambatan regulasi yang tidak hanya menghambur-hamburkan banyak aset dan energi karena banyaknya aturan yang harus disahkan, namun juga menumbuhkan praktik-praktik yang salah dalam habitat bantuan regulasi yang terkait dengan bisnis dan administrasi untuk daerah setempat secara keseluruhan.

Demikian pula, gagasan Omnibus Law sebagaimana tergambar dalam Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja, disusun berdasarkan undang-undang yang sah yang perlu menangani berbagai masalah yang menghambat usaha melalui penguraian kerangka peraturan dan perizinan, kenyamanan bagi pelaku bisnis dalam spekulasi biologis yang menguntungkan. sistem, serta penciptaan lapangan kerja untuk menjawab kebutuhan

angkatan kerja yang sedang berkembang. Dengan demikian, bilamana dilaksanakan secara andal dan andal, standar dalam UU Cipta Kerja mungkin dapat menutupi kekurangan dan penyimpangan yang benar dari pelaksanaan kemerdekaan provinsi sampai saat ini. Sebagai aturan umum, materialitas UU Cipta Kerja untuk kepentingan kemandirian daerah akan dibedah menurut dua sudut pandang, spesifik menurut perspektiff manajerial dan menurut sudut pandang moneter.

Tidak peduli apa kelebihan dan kekurangan di antara daerah setempat, kehadiran Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja dapat menjadi jawaban yang layak untuk isu-isu intens dalam kerangka perizinan di kabupaten. Bagian III Pasal 6 UU Cipta Kerja, misalnya, memaknai kemudahan perizinan; penataan kembali prasyarat mendasar perizinan usaha, pengadaan tanah, dan penggunaan tanah, serta peningkatan kebutuhan usaha. Pasal 13 UU Cipta Kerja menyatakan bahwa peningkatan prasyarat mendasar untuk izin usaha dan perolehan tanah mencakup tiga sudut, yaitu: (1) kelayakan penggunaan ruangan; (2) dukungan ekologis; dan (3) membangun dukungan dan kemampuan otentikasi yang terpuji.

Berbagai tindakan dalam UU Cipta Kerja juga memutakhirkan gagasan organisasi perizinan di beberapa bidang, yang harus terlihat dalam pemanfaatan gagasan perizinan berbasis bahaya, perizinan di bidang penataan ruang, penggunaan dukungan ekologis, dan membangun dukungan dan deklarasi kemampuan yang sah. Badan publik juga telah memberikan 51 Peraturan Pelaksanaan UU Cipta Kerja (terdiri dari 47 PP dan 4 Perpres) yang merupakan usaha guna menarik spekulasi dengan cara perbaikan perizinan serta organisasi. Beberapa Peraturan Pelaksanaan yang berkaitan langsung dengan Perizinan Berusaha antara lain PP 5/2021 mengenai Pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; PP 6/2021 mengenai Pelaksanaan Perizinan Berusaha Di Daerah; PP 7/2021 mengenai Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; PP 10/2021 mengenai Bidang Usaha Penanaman Modal.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan latihan bisnis dan mencegah praktik yang merosot adalah dengan mengatur ulang pendekatan otorisasi. Beginilah upaya otoritas publik untuk mengelola lompatan ke depan yang sah sebagai Omnibus Law UU Cipta Kerja. Strategi tipikal untuk menebang teknik perizinan tidak dianggap ideal dalam menghilangkan praktik yang menyusahkan pengusaha bisnis dan menguntungkan otoritas pemerintah setempat. Oleh karena itu, terlepas dari pilihan yang sulit dan terlihat kontra-provinsi kemerdekaan, resentralisasi perizinan sangat mendesak untuk dilakukan. Peningkatan izin beroperasi ini tidak hanya memudahkan para pelaku bisnis untuk berurusan dengan organisasi penting, tetapi juga mematahkan kebiasaan buruk di lingkungan pemerintah setempat. Jika dilihat dari sudut pandang lain, hal ini benar-benar dapat memperkuat bagian administrasi publik dan administrasi besar di distrik. Dengan kecurigaan tersebut, diyakini wilayah teritorial daerah akan semakin sejahtera dan berdampak pada peningkatan pembangunan keuangan provinsi.

Terdapat resentralisasi tenaga ahli dalam pemenuhan pelaksanaan UU Cipta Kerja tentang kemandirian wilayah yang meliputi sebagian bantuan pemerintah daerah, administrasi publik, dan sebagian keseriusan provinsi. Kemudian ada berbagai catatan pemanfaatan UU Cipta Kerja untuk kemandirian wilayah, khususnya: perlunya moderasi perjuangan terhadap Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, dan berbagai isu sektoral lainnya, sehingga strategi Desentralisasi Asimetris bisa menjadi pilihan. dalam pelaksanaan UU Cipta Kerja dan pedoman-pedoman pendukungnya. Kemudian lagi, pemanfaatan UU

Cipta Kerja untuk kepentingan kemerdekaan provinsi, kemungkinan dapat menutupi kekurangan dan penyimpangan hak dari pelaksanaan kemerdekaan teritorial sampai saat ini, lebih khusus menurut sudut pandang otoritatif, termasuk (peningkatan kewenangan kerangka kerja lokal, mencegah praktik-praktik kemerosotan), dan dari segi finansial, termasuk (membuka akses untuk penciptaan lapangan kerja, bekerja dengan akses bisnis dan lingkungan spekulasi).

Setelah UU no. 11 Tahun 2020 tentang Penciptaan Lapangan Kerja disahkan dan ditegakkan, Undang-undang tersebut memiliki konsekuensi signifikan bagi berbagai peraturan dan pedoman yang berlaku di Indonesia. Salah satu peraturan dan pedoman yang terkena dampak adalah UU no. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Konsekuensi dari tatanan UU Cipta Kerja pada UU Merek berdampak pada pelaksanaan pedoman merek.

Hak istimewa nama merek adalah salah satu jenis kebebasan inovasi yang dilindungi yang sebagian besar diterapkan dalam berbagai latihan bisnis. Hak atas nama merek adalah hak pilih yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek terdaftar untuk jangka waktu tertentu. Jadi pada dasarnya kebebasan inovasi yang dilindungi semacam ini memungkinkan pemegang hak untuk menggunakan hak istimewa ini sendiri, mengizinkan kelompok yang berbeda untuk menggunakan kebebasan ini, dan membatasi orang lain untuk menggunakan kebebasan ini. Sebenarnya, tanggung jawab untuk kebebasan terbatas hak inovasi berlisensi pada dasarnya diperoleh dengan membawa jejak pertukaran atau gambar yang digunakan untuk produk atau administrasi. Ini dikenal sebagai merek. Pasal 1 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2016 ditegaskan bahwa “Merek adalah indikasi yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huru , angka, ragam rencana permainan, baik sebagai 2 (dua) aspek maupun 3 (tiga) aspek, suara, gambar multi dimensi, atau campuran 2 (dua) atau lebih komponen tersebut untuk mengenali produk atau potensi manfaat yang diciptakan oleh orang atau zat yang sah dalam pelaksanaan pertukaran barang dagangan atau potensi manfaat".

Merek menurut perspektif spesialis pemasaran mengenali satu item dari yang lain, ini dimaksudkan untuk memudahkan pembeli untuk menentukan item mana yang akan dikonsumsi berdasarkan pertimbangan yang berbeda dan mengarah pada keteguhan merek. Dengan asumsi inovasi berlisensi dapat diakses, tanggung jawab atas kebebasan properti sebagai hak istimewa nama merek dapat dilanjutkan dengan mendaftar ke negara bagian. Ini dikenal sebagai yang pertama untuk mendokumentasikan standar. Melalui penggunaan pedoman pertama untuk merekam, penting bagi pihak yang memiliki jejak pertukaran atau kreasi bidang inovasi untuk mendaftar untuk mendapatkan hak pilih ini. Dengan aksesibilitas hak istimewa selektif, pemilik jejak pertukaran atau pengembangan bidang inovasi akan dengan mudah mengontrol penggunaan nama merek atau kreasi di bidang inovasi.

Sebagai hasil dari pendaftaran nama merek yang signifikan, sudut pandang prosedural juga sangat menambah kemudahan mendapatkan hak nama merek. Dalam UU Merek, tampaknya strategi pengajuan pendaftaran merek dari rincian waktu prasyarat sebenarnya harus sampai ke tingkat berikutnya. Kehadiran UU Cipta Kerja seharusnya menjadi respon atas peningkatan tersebut.

Bentuk perubahan terhadap UU Merek terumuskan dalam tiga pola, yaitu; (1) Penambahan substansi; (2) Penyempurnaan substansi; dan (3) Penghapusan substansi. Untuk penambahan substansi dapat dilihat pada ketentuan Pasal 180 UU Cipta Kerja yang

menambahkan isi Pasal 20 UU Merek, di mana pada huruf g dinyatakan bahwa merek yang tidak dapat didaftar adalah mengandung bentuk yang bersifat fungsional. Namun, pada rasa “bentuk bersifat fungsional” tersebut masih belum dipaparkan secara jelas apa makna dari bentuk fungsional pada merek.13

Sejauh menyangkut substansi, hal itu tertuang dalam Pasal 23 ayat (5) dan (8) UU Cipta Kerja. Ayat (5) menyempurnakan substansi dimana penilaian yang berarti yang semula selesai dalam waktu 150 hari menjadi 90 hari dalam hal terdapat masalah dengan pendaftaran merek yang dimohonkan, sedangkan pada bagian (8) mengubah master on mark analyst yang akan diatur dalam Peraturan Menteri hanya dengan pengesahan Menteri.

Pasal 25 ayat (3) UU Merek yang berbunyi: “Apabila pengesahan merek yang telah diberikan tidak diambil oleh pemilik merek atau perantaranya dalam waktu paling lama 18 (delapan belas) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkannya wasiat, merek tersebut dianggap hilang dan tidak berlaku”. Dengan penghapusan pengaturan ini, asuransi jejak benar-benar ada terlepas dari apakah pengesahan tidak diambil. Pemulihan dukungan merek juga harus dimungkinkan secara elektronik. Dengan penyesuaian pengaturan Merek dengan UU Cipta Kerja, maka aturan pelaksananya juga diubah, khususnya dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek. Permenkumham 12/2021 sekaligus menegaskan tempat Pasal 23 yang menyatakan bahwa penilaian yang cukup besar diselesaikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 13 ayat 1 Permenkumham 12/2021). Mengingat hal tersebut di atas, sebenarnya proses pendaftaran nama merek semakin cepat dan mudah bagi individu yang perlu mengajukan permohonan pendaftaran merek bisnis mereka setelah perintah Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja dan pedoman anak perusahaannya. Berdasarkan perubahan pasal yang cukup besar antara UU Merek dan Indikasi geografis dengan UU Cipta Kerja, menurut penulis, tidak ada tanda-tanda pedoman yang menghambat kepentingan masyarakat terkait perubahan aturan pencadangan dengan alasan bahwa perkembangan biasanya akan memudahkan individu yang ingin mengajukan pendaftaran merek bisnis mereka.

Pemerintah daerah dan masyarakat akan dapat melindungi kekayaan intelektual mereka dengan lebih baik jika mereka mendaftarkan hak kekayaan intelektual mereka. Indikasi geografis penting guna memudahkan konsumen menilai keaslian produk atau mencegah munculnya produk tiruan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab karena suatu produk yang berasal dari wilayah tertentu tentunya memiliki ciri khas serta kualitas tertentu dari faktor manusia dan alam yang membentuknya sehingga tidak semestinya diakui, ditiru bahkan diperjual belikan oleh pihak dari wilayah yang memang bukan tempat asal produk tersebut semestinya dibuat.

IV. Kesimpulan

Wujud daripada perlindungan hukum oleh Pemerintah terkait perlindungan hak IG suatu produk maka dibuatkanlah PP 51/2007 mengenai IG yang mana didalamnya menerangkan mengenai tata cara sertifikasi IG. Aturan tersebut dapat membantu para

penjual produk lokal untuk diakui IG produknya. Pendaftaran produk atau barang yang memenuhi persyaratan tertentu untuk memenuhi syarat Indikasi Geografis diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain itu dalam aturan diatas IG diartikan selaku tanda atau reputasi dari suatu produk yang berasal dari wilayah tertentu yang mana terbentuk dari perpaduan faktor manusia dengan alam sehingga terdapat didalamnya sebuah karakteristik serta kualitas tertentu yang khas dan tidak dapat ditiru atau dibuat di wilayah lainnya yang secara geografis berbeda. Melihat dari perubahan pasal secara substantif antara UU Merek dan Indikasi geografis dengan UU Cipta Kerja, menurut penulis tidak terdapat indikasi aturan yang merugikan kepentingan masyarakat menyangkut perubahan aturan merek karena perubahannya cenderung pada memudahkan masyarakat yang ingin mengajukan pendaftaran pada merek usahanya. Selain itu pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual akan menjadi kekuatan bagi pemda dan masyarakat setempat agar bisa melindungi kekayaan intelektualnya. Indikasi geografis penting untuk dilindungi karena merupakan tanda pengenal atas barang yang berasal dari wilayah tertentu atau nama dari barang yang dihasilkan dari suatu wilayah tertentu dan secara tegas tidak bisa dipergunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain. Indikasi geografis merupakan indikator kualitas yang menginformasikan kepada konsumen bahwa barang itu dihasilkan dari suatu lokasi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Kristian, Wicaksono. “Telaah Kritis Administrasi & Manajemen Sektor Publik di Indonesia." (Penerbit Gava Media, Yogyakarta, 2014).

Salman, Otje. “Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah” (Bandung : PT Refika

Aditama, Bandung, 2012).

Supramono, Gatot. “Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya” (PT.Rineka Cipta, Jakarta 2012).

Jurnal:

Agustina, Gusti Ayu Putu Eka, and Taufik Yahya. "Perlindungan Hukum Terhadap Produk Indikasi Geografis dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan." Hangoluan Law Review 1, no. 2 (2022): 204-213.

Ardiansyah, Irfan. "Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Budaya Tradisional di Indonesia." Jurnal Trias Politika 6, no. 1 (2022): 123-129.

Atmoko, Dwi. "Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Merek Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis." Jurnal Hukum Sasana 5, no. 1 (2019).

Ayunda, Rahmi, and Bayang Maneshakerti. "Perlindungan Hukum Atas Motif Tradisional Baik Batam Sebagai Kekayaan Intelektual." Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 9, no. 3 (2021): 822-833

Hidayat, Fitri. "Penerapan Perlindungan Hukum Terhadap Produk Potensi Indikasi Geografis di Indonesia." Risalah Hukum (2014): 72-83.

Jannah, Maya. "Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Haki) Dalam Hak Cipta Di Indonesia." Jurnal Ilmiah Advokasi 6, no. 2 (2018): 55-72.

Mahardhita, Yoga, and Ahmad Yakub Sukro. "Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Melalui Mekanisme “Cross Border Measure”." Qistie 11, no. 1 (2018).

Mahfuz, Abdul Latif. "Problematik Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia." Jurnal Kepastian Hukum Dan Keadilan 1, no. 2 (2020): 47-59.

Miladiyanto, Sulthon, and Ariyanti Ariyanti. "Prinsip moralitas merek dalam undang-undang nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis." Jurnal Cakrawala Hukum 11, no. 3 (2020): 241-249.

Nendrawan, Putu, and Gede Rastika. "Implementasi Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) Di Tinjau Dari UU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta." Jurnal Pacta Sunt Servanda 2, no. 1 (2021): 36-47

Paramisuari, Anak Agung Sinta, and Sagung Putri ME Purwani. "Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Bingkai Rezim Hak Cipta." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 1 (2019): 1-16.

Sinaga, Niru Anita. "Pentingnya Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual Bagi Pembangunan Ekonomi Indonesia." Jurnal Hukum Sasana 6, no. 2 (2020).

Sofyarto, Karlina. "Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional terhadap Perolehan Manfaat Ekonomi." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 20, no. 1 (2018): 149-162.

Suparman, Eman. "Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual Masyarakat Tradisional." Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 2, no. 7 (2018): 556-559.

Wirayuda, Ketut Bayu, Ketut Sudiatmaka, and Dewa Gede Sudika Mangku. "Implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis Terkait Adanya Peniruan Logo Merek Terdaftar Dikota Singaraja." Jurnal Komunitas Yustisia 3, no. 2 (2020): 145-155.

Yessiningrum, Winda Risna. "Perlindungan hukum indikasi geografis sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual." Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 3, no. 1 (2015

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara 2016/No. 252, Tambahan Lembaran Negara No. 5599)

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2003 tentang Cipta Kera (Lembaran Negara 2023/Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara No.6856)

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 7 Tahun 2023 hlm 774-788

787