UPAYA MENCEGAH KEPAILITAN DENGAN

MENUNDA KEWAJIBAN PEMBAYARAN HUTANG

Ida Bagus Gede Dwi Wedagama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini memiliki tujuan utama adalah untuk menjabarkan bagaimana upaya yang dilakukan agar dapat mencegah kepailitan dengan cara menunda kewajiban pembayaran hutang. Metode yang digunakan yakni metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dan perundang-undangan. Hasil dari penulisan ini menunjukkan bahwa kepailitan dapat dicegah dengan menunda pembayaran kewajiban dengan memberi kesempatan kepada debitor agar melakukan restrukturisasi. Restrukturisasi ini bertujuan untuk memperbaiki struktur utang yang meliputi pembayaran keseluruhan ataupun sebagian dari utang tersebut. Apabila perihal tadi bisa dilaksanakan sesuai prosedur, maka pada akhirnya nanti perusahaan debitor bisa mencegah kepailitan dengan memenuhi kewajibannya serta meneruskan usahanya. Selanjutnya debitor dapat menganjurkan suatu perdamaian kepada Kreditor.

Kata Kunci: Kepailitan, Kewajiban Pembayaran Utang, Permohonan.

Abstract

This study has the main purpose is to describe how efforts are made to prevent bankruptcy by delaying debt payment obligations. The method used is a normative legal research method using literature and legislation studies. The results of this writing show that bankruptcy can be prevented by delaying the payment of obligations by giving debtors the opportunity to restructure. This restructuring aims to improve the debt structure which includes the payment of all or part of the debt. If this matter can be carried out according to the procedure, then in the end the debtor company can prevent bankruptcy by fulfilling its obligations and continuing its business. Furthermore, the debtor may advocate a peace to the Creditor.

Key Words : Bankruptcy, Debt Payment Obligation, Application.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Pertengahan tahun 1997 yaitu saat terjadinya krisis ekonomi yang dialami Indonesia menyebabkan kekacauan terhadap laju bisnis di Indonesia. Hutang-hutang mulai melonjak, mulai dari melonjaknya hutang swasta maupun hutang nasional yang merupakan akibat dari melambungnya valuta Dolar AS pada mata uang Rupiah. Dengan dibubarkannya beberapa bank swasta mengakibatkan kekacauan dikalangan publik terutama masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat memilih untuk memindahkan uang cadangannya ke luar negera yang malah makin memperparah perekonomian di Indonesia.1

Dalam upaya untuk memulihkan perekonomian nasional, kepailitan adalah suatu usaha yang dilakukan pemerintah disamping dari berbagai peraturan yang lain. Kepailitan merupakan penyitaan pada umumnya terhadap seluruh kekayaan berupa harta benda Debitor Pailit yang semuanya diurus dan dibereskan oleh Kurator yang diawasi oleh Hakim dimuat pada UU kemudian pada UU Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 1. Wetboek van Koophandel (KUHDagang) dengan judul “Pengaturan Mengenai Tidak Mampunya Pedagang” merupakan buku ketiga lalu disebarluaskan melalui LN yaitu buku yang menjelaskan tentang Pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia pertama kali adalah peraturan kepailitan bukan untuk pedagang. Tak lama kedua pengaturan mengnai kepailitan ini lalu tidak berlaku berpacu pada Faillissementsverordening.2

Faillissementsverordening sesuai PP Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 perihal Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Kewajiban, ditetapkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Setelah itu, Undang-Undang tentang Kepailitan ini mengalami penyempurnaan secara terus menerus. Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Kewajiban diatur pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 lalu diperpendek menjadi UUK. Lembaga kepailitan adalah Lembaga yang dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang kedua belah pihak agar keseimbangan keduanya dapat diatur dan dilindungi. Jika pada akhirnya pada beberapa perusahaan gagal di struktur ulang, maka akan dilanjutkan ke Pengadilan Niaga dengan judul kasus kepailitan.3

Dasar hukum seperti yang telah disebutkan dibutuhkan untuk menjaga segala urusan kedua belah pihak pada penundaan pembayaran utang dan pernyataan pailit. Pada dasarnya aktivitas perusahaan memiliki pengaruh yang signifikan bagi perekonomian nasional, internasional dan lokal. Apabila perusahaan menjadi progresif dan berlipat maka masyarakat akan turut berkembang sehingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan serta perkembangan aktivitas perusahaan adalah perihal terpenting untuk dipastikan. Terdapat putusan pailit yang dinyatakan oleh pengadilan bagi suatu

perusahaan, contohnya PT yang tak melakukan pembayaran hutangnya bisa menyebabkan kerugian yang cukup besar, tak cuma untuk perusahaan, tapi juga untuk masyarakat dan utamanya negara. Hal ini bisa menyebabkan berakhirnya ikatan kerja antara karyawan serta pegawai yang dapat berpengaruh pada level ketentraman masyarakat. Saat sebuah Perseroan Terbatas dinyatakan pailit dan mengakibatkan usahanya tidak dapat beroperasi, selanjutnya akan timbul permasalahan tentang karyawan dan pegawai yang akan menjadi masalah vital.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis merumuskan sebuah topik tulisan ilmiah dengan Judul “Upaya Mencegah Kepailitan Dengan Menunda Kewajiban Pembayaran Hutang”, yang akan mengulas bagaimana peraturan restrukturisasi utang pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 serta bagaimana upaya mencegah kepailitan dengan cara menunda kewajiban pembayaran hutang. Penulis juga menelusuri beberapa tulisan lain yang terkait dengan konteks yang sama dengan penulis angkat. Salah satunya adalah tulisan dari Annisa Fitria dengan judul “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Salah Satu Upaya Debitor Mencegah Kepailitan”. Pada intinya tulisan tersebut menjelaskan mengenai pengertian kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta membahas mengenai upaya-upaya yang dapat dilaksanakan oleh debitur untuk mencegah terjadinya kepailitan.4 Dengan demikian, melalui penjelasan tersebut maka menginspirasi penulis untuk menulis artikel dengan judul “Upaya Mencegah Kepailitan Dengan Menunda Kewajiban Pembayaran Hutang”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah Pengaturan Restrukturisasi Utang Pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ?

  • 2.    Bagaimanakah Upaya Mencegah Kepailitan Dengan Cara Menunda Kewajiban Pembayaran Hutang ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1.    Memberikan pengetahuan mengenai pengaturan restrukturisasi utang pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

  • 2.    Memberikan pengetahuan mengenai upaya mencegah kepailitan dengan cara menunda kewajiban pembayaran hutang.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode hukum normatif dalam penulisan artikel ini. Metode normatif ini menitikberatkan pada kajian suatu norma dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian metode yang digunakan dalam membuat tulisan ilmiah ini yakni studi kepustakaan serta pendekatan perundang-undangan dengan menitikberatkan pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai objek kajian penulis. Selain itu, penulis juga menggunakan literatur dalam mengkaji permasalahan penulis. Literatur yang penulis gunakan tersebut berupa

buku-buku, jurnal ilmiah yang penulis unduh melalui internet serta penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis angkat.

  • II.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan Restrukturisasi Utang Pada UU Nomor 37 Tahun 2004

Sesuai alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), perancangan regulasi atau peraturan baru diperlukan guna mendorong perekonomian Indonesia. Tentunya harus terdapat unsur keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum guna menggapai kepatuhan serta perlindungan hukum yang nantinya akan mendorong kemajuan ekonomi nasional. Salah satunya adalah pengaturan terhadap kegiatan bisnis yang dijalankan pelaku usaha terkait dengan perjanjian utang piutang yang sering dilakukan pelaku usaha dalam mengembangkan bisnisnya. Dalam perjanjian utang piutang ini, tidak jarang timbulnya masalah hukum antara kreditor dengan debitor. Kreditor adalah seseorang yang dapat memberi pinjaman dan debitor adalah seseorang yang menerima pinjaman dari kreditor.5

Masalah masalah yang timbul akibat perjanjian utang piutang ini sering terjadi karena utang yang diberikan tidak terbayarkan oleh pihak debitor. Terdapat banyak penyebab dari tidak terbayarkannya utang tersebut yang diantaranya karena sama sekali tak sanggup membayar utangnya, utang yang sudah dibayarkan hanya separuh dari tagihan utang, terlambat membayar utang, ataupun telah membayar utang tetapi belum sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Dalam mengatasi berbagai permasalahan itu ada beberapa upaya yang bisa diperbuat, diantaranya melalui Lembaga Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Kewajiban Pembayaran.6

Secara general, Restrukturisasi utang perusahaan Debitor berhubungan pada pembayaran terhadap utang-utangnya dapat diupayakan melalui dua upaya yaitu mendekatkan Kreditor dan Debitor demi mengupayakan restrukturisasi utang lewat cara musyawarah mufakat, serta yang kedua dengan cara mengajukan dan memohon penundaan pembayaran kewajiban yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Menunda pembayaran kewajiban merupakan bentuk upaya demi menghindari kepailitan. Penundaan kewajiban pembayaran utang ini bermaksud yaitu membenahi kondisi ekonomi serta membantu perusahaan Debitor agar melahirkan laba, maka dengan upaya inilah

yang nantinya dapat membantu perusahaan Debitor untuk melunasi kewajibannya.7

Intinya, penundaan kewajiban pembayaran utang ini yakni memberikan peluang terhadap debitor agar melaksanakan restrukturisasi utang yang lebih jelasnya upaya untuk memperbaiki struktur utang meliputi pembayaran keseluruhan ataupun sebagian dari utang tersebut. Apabila perihal itu bisa dilaksanakan secara baik, maka akhirnya perusahaan debitor bisa melengkapi kewajibannya serta melanjutkan usahanya. Setelah debitor mengutarakan permintaan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka debitor dapat mengusulkan sebuah perdamaian kepada Kreditor. Perdamaian inilah yang menjadi unsur terpenting serta adalah tujuan dari penundaan kewajiban pembayaran utang, jadi vital bagi pihak debitor agar memahami peraturan-peraturan yang menjadi dasar untuk mengajukan permohonan tersebut.8

Jika usulan perdamaian sudah dituangkan saat permohonan penundaan pembayaran kewajiban sudah diutarakan oleh Debitor sebelum sidang serta ketentuan yang termuat pada Pasal 267 sudah dilengkapi, maka pengambilan suara mengenai usulan perdamaian dapat dilaksanakan. Namun jika, ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam ayat (3) tak dilengkapi, apabila pemberi pinjaman tidak menyuarakan pendapatnya terhadap usulan perdamaian, atas keinginan Debitor, Kreditor diharuskan menolak penundaan pembayaran kewajiban tetapi tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh usulan perdamaian pada sidang atau rapat yang akan dilaksanakan berikutnya.9

Jasa akuntan publik diperlukan untuk menyusun usulan perdaiaman dengan tujuan menganalisa kondisi perusahaan dan menjumlahkan aset-aset perusahaan. Setelah itu akuntan publik akan melaporkan hasil analisanya kepada kreditor yang bagaimanapun hasilnya akan menjadi menentukan kesepakatan untuk merestrukturisasi utang yang telah dimohonkan oleh pihak penerima pinjaman. Selanjutnya pihak pemberi pinjaman akan memperhitungkan manfaat yang dapat diperoleh dari restrukturisasi utang tersebut. Pada umumnya, restrukturisasi utang terdiri dari beberapa program, antara lain:10

  • 1.    Penundaan pembayaran terhadap hutang yang sudah jatuh tempo atau dikenal dengan Moratorium;

  • 2.    Pengurangan dan pemotongan pinjaman bunga pokok atau disebut Haircut;

  • 3.    Tingkat suku bunga yang dikurangi;

  • 4.    Jangka waktu pelunasan yang dipernjang;

  • 5.    Pengkonversian utang yang dijadikan saham;

  • 6.    Kebebasan terhadap utang;

  • 7.    Utang-utang yang diambil alih atau Bailout;

  • 8.    Penghapusan terhadap bukuan utang atau Write-off.

Restrukturisasi utang juga dapat dilaksanakan oleh Debitor apabila Debitor dirasa cukup sanggup untuk membayarkan utang-utangnya pada Kreditor, perihal tersebut didasari pada harta yang Debitor miliki masih lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah utangnya kepaa Kreditor. Pada istilah kepailitan terdapat suatu asas yaitu asas keberlangsungan, yakni pemberi pinjaman yang masih mempunyai kemampuan untuk meneruskan perusahaannya wajib diberikan peluang, keberlangsungan usaha pemberi pinjaman ini sangat bersandar pada kemauan penerima pinjaman untuk diberikan kemudahan dan strategi pembayaran pinjaman.11

  • 3.2    Upaya Untuk Mencegah Kepailitan Dengan Cara Menunda Kewajiban Pembayaran Hutang

Suspension of payment atau dikenal dengan Penundaan Pembayran Kewajiban merupakan jangka waktu yang diserahkan oleh Undang-Undang lewat keputusan hakim yaitu saat waktu itu untuk Kreditor dan Debitor diserahkan peluang untuk mendiskusikan usaha-usaha pembayaran terhadap utang-utangnya dengan melakukan pembayaran sebagian atau keseluruhannya, termasuk jika diperlukan untuk merestrukturisasi utangnya. Dalam PKUP berisikan perdamaian. Dalam perdamaian tersebut berisikan Kreditor dan Debitor. Setelah itu, pada perdamaian tersebut berisikan Kreditor Preferen dan Kreditor Konkuren. Namun, terhadap pengelompokan pada Kreditor tersebut, pada saat ini muncul berbagai permasalahan mengenai implementasi perdamaian dalam PKPU yang berkaitan dengan kedudukan hukum dari Kreditor.12

Permohonan atas penundaan kewajiban pembayaran utang ini telah disebutkan pada syarat Pasal 224 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yaitu:

  • 1.    Dalam Pasal 222 mengenai Permohonan terhadap PKPU wajib diajukan pada pengadilan sesuai denga nisi Pasal 3, lalu ditandatangani oleh pihak yang memohon serta kuasa hukumnya;

  • 2.    Apabila pemohon merupakan seorang debitur, dalam permohonan PKPU harus mencantumkan hal-hal yang berisikan jumlah utang, sifat dan uang debitur serta surat bukti seperlunya.

  • 3.    Pengadilan diwajibkan melakukan pemanggilan terhadap kreditur lewat juru sita melalui surat kilat dicatatkan terlama tujuh hari sebelum sidang, apabila pemohon adalah seorang kreditur.

  • 4.    Saat pelaksanaan persidangan sesuai yang diatur pada ayat 3, hal-hal yang berisikan jumlah utang, sifat dan utang debitur dan surat bukti seperlunya dan apabila terdapat usulan perdamaian dapat diajukan oleh debitur.

  • 5.    Pada ayat 2 mengenai surat permohonan bisa ditambahkan usulan Perdamaian sesuai yang dimaksud dalam Pasal 222.

Pada Pasal 6 (1), (2), (3), (4) dan (5) seperti syarat mengajukan permohonan PKPU seperti termaktub pada ayat (1).” Sesuai dengan pasal 224 tersebut, permintaan PKPU wajib dimohonkan dalam bentuk tertulis yang kemudian diserahkan ke Pengadilan Niaga beserta penjabaran tentang aset bersama bukti – bukti pendukungnya. Surat tersebut akan ditanda tangani oleh debitur serta kuasa hukumnya. Setelah itu surat permohonan tersebut diajukan oleh debitur dengan kuasa hukumnya. 13

Setelah permohonan PKPU tersebut diajukan oleh debitur, hakim wajib menuruti pengajuan PKPU pada tempo 45 hari serta wajib memilih seorang hakim pengawas beserta pengurus untuk mengurusi aset debitor. Permohonan diajukan oleh kreditor diberikan durasi 20 hari untuk mengabulkan PKPU sementara, serta memilih hakim dan memandatkan kepada pengurus yang nantinya mengurus harta debitor bersama-sama. Setelah ditetapkannya putusan, pengadilan dapat melakukan pemanggilan kepada kedua belah pihak untuk menghadiri sidang yang diadakan pada hari ke-45 setelah keputusan PKPU. Sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak tentang usulan permohonan pedamaian oleh debitur. Pengadilan Niaga sebatas menyerahkan putusan konfirmasi terhadap kesepakatan antara kedua belah pihak tersebut.14

Sebagaimana Pasal 242 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Penundaan Pembayaran Kewajiban terjadi hingga hari sidang yang terhitung pada hari ke 45 semenjak PKPU dipastikan. Saat berlangsungnya PKPU Sementara maupun Tetap, debitur tidak boleh didesak untuk melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya lagi. Terlebih lagi, seluruh proses eksekusi yang sudah dilakukan untuk melunaskan utang tentu harus ditangguhkan, seluruh sitaan dikembalikan, serta debitur harus segera dilepaskan setelah keputusan perdamaian mendapatkan pengukuhan dari PKPU. Dalam Undang-Undang diwajibkan bahwa setelah PKPU mengajukan permohonan ditetapkan oleh

pihak Pengadilan, maka pengurus harus secepatnya memberitahukan putusan PKPU Tetap pada Berita Negara RI serta tertuang juga pada koran harian yang dipilih oleh hakim pengawas yang berisikan undangan untuk menghadiri persidangan dengan meliputi alamat pengurus, pengumuman tentang nama hakim pengawasnya serta tanggal .Seandainya pada surat permohonan PKPU terdapat usulan perdamaian, sehingga usulan perdamaian harus dituliskan dalam pengumuman tadi dengan tenggang waktu paling lama21 hari sebelum tanggal sidang diusulkan.

Pada Pasal 229 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyatakan pemberian PKPU Tetap akan diputuskan Pengadilan didasarkan kesepakatan melebihi setengah total kreditur lawan yang wewenangnya dibenarkan maupun yang berada pada sidang tersebut serta kesepakatan lebih dari setengah total kreditur yang utangnya telah dijaminkan dengan hak agunan berupa material yang berada dan mewakilkan bagian dari keseluruhan tagihan kreditur. Hal inilah yang nantinya menjadi ketetapan sidang untuk memutuskan bahwa PKPU sesaat dijadikan PKPU tetap. Jika PKPU tetap telah disepakati para pemberi pinjaman, usulan perdamaian itu dinyatakan telah disepakati oleh para pihak, namun jika dalam sidang persetujuan PKPU tidak ditetapkan persetujuan, maka dalam sidang itu debitur akan diputuskan pailit.15

Dalam Pasal 265 UUK-PKPU, PKPU diajukan berbarengan bersama debitor pada pengadilan niaga, dengan demikian debitor dapat mengajukan atau meminta perdamaian pada debitor. Perdamaian yang dilakukan tidaklah sepenuhnya dan perlu diajukan berbarengan pengajuan permohonan PKPU, tapi bisa diutarakan setelah permohonan PKPU diutarakan. Pengadilan Niaga harus menetapkan hari paling akhir dimana limitasi untuk menyatakan tagihan terhadap pengurus. Sesudah perjanjian perdamaian diajukan. Waktu dan tanggal akan ditentukan untuk ditetapkannya usulan perdamaian yang penundaan pembayaran utang dipakai sebagai usaha debitur agar tidak terjadi kepailitan. Pengurus, wajib memberitahukan penentuan waktu. Dimasukannya usulan perdamaian terhadap para kreditor yang diketahuinya maka debitor harus menyerahkan uang diawal dengan total yang sudah disepakati pengurus agar menutupi biaya yang dibutuhkan untuk menyampaikan pemberitahuan dan pengumuman. Tagihan yang sudah dimohonkan oleh debitor akan dibandingan dengan keterangan-keterangan dan informasi oleh pengurus. Jika pengurus merasa terbebani dengan keseluruhan utang yang dimohonkan oleh kreditor maka wajib dilaksanakan pembicaraan bersama kreditor yang berkaitan dan pada pihak kreditor diharapkan untuk memberikan surat-surat yang belakangan dikabulkan oleh pengurus dan memohon supaya krditor menunjukkan seluruh keterangan dan fakta yang sebenarnya.

Pasal 244 ayat (1) UUK-PKPU mengacu pada Pasal 246 UUK-PKPU, dimana PKPU tak sah pada debit yang dijaminkan bersama hak material

lainnya.16 Umumnya kepailitan ataupun PKPU tidak valid untuk kreditur separatis untuk perihal ini yaitu dalam UUK-PKPU Pasal 55 serta Pasal 244 huruf a. Dikarenakan keharusan penundaan eksekusi jaminan hutang, keduanya dikenakan. Begitu pula dengan kreditur separatis (termasuk kreditur yang dikhususkan) tak memiliki hak untuk ditetapkan dalam perdamaian kepailitan, namun memiliki hak mengikuti pengambilan suara dalam perdamainan PKPU. akan tetapi, kreditur separatis wajib mengutarakan tagihannya untuk diperiksa tanpa diharuskan membebaskan posisinya sebagai kreditur preferensi serta jika berisi bentahan kepada kreditur separatis termasuk kreditur yang dikhususkan tak mendapatkan hak berpendapat dalam perdamaian, terkecuali membebaskan wewenangnya sebagai kreditur separatis dan menjadi kreditur konkuren berdasarkan Pasal 149 UUK-PKPU. Debit yang akan dikemukakan oleh kreditor wajib dicantumkan pengurus kedalam sebuah daftar berisikan alamat tinggal dan nama siapa saja kreditornya, tota tagihan dilengkapi keterangannya, demikian juga dengan tagihan tersebut apakah diakui atau dibantah oleh pengurus.

Dapat diketahui dimana pada saat PKPU dimohonkan berbarengan, maka debitor bisa mengajukan perdamaian pada pihak kreditor, begitu juga setelah permohonan PKPU dimohonkan, namun para pemberi pinjaman mengajukan perdamaian tersebut tak absolut. Apabila perjanjian tersebut tak dilakukan bersamaan temponya dengan diutarakannya permohonan PKPU, maka perjanjian itu bisa dilakukan atau dimohonkan sebelum tanggal waktu sidang. Perjanjian perdamaian tersebut bisa dimohonkan semasa terlaksananya PKPU seperti yang telah diputuskan oleh pengadilan niaga. Usulan perdamaian wajib diberikan pada panitera pengadilan niaga supaya bisa ditelaah oleh pihak yang bersangkutan tanpa dana, sesudah itu wajib diberitahukan pada hakim pengawas, para ahli serta pengurus, segera mungkin sesudah perjanjian perdamaian selesai.17

Akan tetapi perjanjian Perdamaian batal bagi hukum, bila sebelum putusan melahirkan ketetapan PKPU memiliki vitalitas hukum tetap setelah timbul putusan berisi pemberhentian PKPU itu. Dalam UUK PKPU Pasal 222 ayat (2) serta (3), sisi nan bisa mengutarakan perjanjian perdamaian hanyalah debitpr sepihak saja dan para kreditor cukup perlu memberikan penilaian apakah perjanjian perdamaian itu pantas dan bisa diterima ataupun tak bisa diterima, memberikan keuntungan atau justru kerugian, sehingga keputusan menolak atau menerima akan ditentukan oleh para kreditor. Terhadap hasil kesepakatan diantara debitor dan kreditornya perihal perjanjian perdamaian dilakukan Pengadilan Niaga dimana cukup memastikan atau melakukan validasi saja. Dalam PKPU perjanjian perdamaian bisa dalam bentuk restrukturisasi utang, kemudian dilanjutkan bersama restrukturisasi, tidak dengan restrukturisasi

ataupun penyehatan perusahaan. Supaya restrukturisasi utang bisa dilakukan dengan berhasil, maka diperlukan upaya penyegaran terhadaop perusahaan debitor. Restrukturisasi utang penerima pinjaman yang memiliki utang di perbankan, dipandang pantas apabila perusahaan penerima pinjaman masih mempunyai kesempatan bagus lalu sanggup melakukan pelunasan terhadap utang dan jika di berikan waktu tidak melebihi jangka waktu yang sudah ditentukan (8 tahun), walaupun ada diberikan keringanan ataupun tanpa diberikan keringanan-keringanan pembayaran utang ataupun diserahkan penambahan utang baru dan diharapkan dapat membuat perusahaan milik debitor kembali normal ataupun berkembang lebih baik kemudian dapat memenuhi kewajibannya. Utang debitor pandang mampu untuk direstrukturisasi kan bila kreditor mendapatkan pelunasan utang-utang mereka, dengan nilai atau totalnya lebih dominan lewat restrukturisasi.18

Kesepakatan antara debitor dengan pihak kreditor berhubungan dengan isi perjanjian perdamaian bisa yaitu dengan perencanaan ulang pelunasan utang (rescheduling), diberikan tempo, terbaru ataupun dibebankan bunga berdasarkan Undang-Undang (moratorium interest) untuk debitor. Serta Persyaratan perjanjian (reconditioning) Pemotongan Jumlah Utang Pokok (HairCut) supaya bisa dipastikan kesuksesan dan pelaksanaan restrukturisasi utang penerima pinjaman seperti dimaksud perjanjian perdamaian sehubungan PKPU, sehingga restrukturisasi utang tadi belumlah pantas jika tak diiringi bersamaan usaha-usaha untuk melaksanakan restrukturisasi atau melaksanakan perbaikan terhadap perusahaan debitor. Aadapun usaha-usaha yang bisa di tempuh dengan cara mengubah strategi perusahaan, mengubah visi perusahaan, mengubah struktur organisasi perusahaan. Pada saat pelaksanaan perdamaian tersebut, kreditor dan debitor wajib berdiskusi dengan pikiran tenang untuk menuntaskan permasalahan yang terjadi, mengenai perjanjian perdamaian yang dimohonkan debitor harus dipelajari secara serius dan perlahan.

4. Kesimpulan

Restrukturisasi utang perusahaan penerima pinjaman dengan tujuan melunasi utang-utangnya dapat diupayakan melalui dua upaya, melalui mendekatkan diri diantara penerima pinjaman serta pemberi pinjaman demi mengusahakan restrukturisasi utang melalui musyawarah mufakat, lalu yang kedua dengan mengajukan permohonan serta memohon menunda kewajiban pembayaran utang seperti tertuang pada UU No. 37 /2004. Upaya mencegah kepailitan dengan cara menunda kewajiban pembayaran utang meneruskan kesempatan untuk Pemberi pinjaman dan penerima pinjaman untuk membicarakan upaya-upaya pembayaran utangnya dengan menyerahkan sebagian ataupun seluruh utangnya, serta jika perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Habeahan, Besty, Tinjauan Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Kreditur Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2020), 11-13

Halim, Linda, Restrukturisasi Utang Untuk Mencegah Kepailitan (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2008), 10-11

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), 200-203

Sulaiman, Robintan, dan Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan, 2022), 17-18

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta, Grafiti, 2002), 25-26

JURNAL

Annisa Fitria, “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Salah Satu Upaya Debitor Mencegah Kepailitan”. Lex Jurnalica Volume 15, Nomor 1 (2018): h. 8-10

Budiono, Doni, “Analisis Pengaturan Hukum Acara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Jurnal Hukum Acara Perdata 4, no. 2 (2019): h. 109-127

Firdaus, Dadang, “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Perdamaian pada Perseroan Terbatas Sebagai Upaya Perlindungan Debitor”. Jurnal Penelitian Hukum Legalitas 10, no. 2 (2018): h. 67-89

Irianto, Catur, “Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaraan Utang (PKPU)”. Jurnal Hukum dan Peradilan 4, no. 3 (2015): h. 399-418

Kale, Gedalya Iryawan, and AA Gede Agung Dharmakusuma, “Syarat Kepailitan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Debitor Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004“. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2015), h. 1-12

Pramudita, Shabrina Aliya, Kartikasari Kartikasari, and Amelia Cahyadini, “Kedudukan Hukum Menkominfo Dalam Pelakasanaan Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 1 (2020): 101-117

Robert Robert, “Konsep Utang dalam Hukum Kepailitan Dikaitkan dengan Pembuktian Sederhana                        (Studi                        Putusan

No:04/PDT.SUS.PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST)”.  USU Law Journal,

Universitas Sumatera Utara, 4 No. 4, (2016): h. 35-36

Simanjuntak, Herry Anto, “Penyelesaian Utang Debitur Terhadap Kreditur Melalui Kepailitan”. Jurnal Justiqa 1, no. 1 (2019): h. 20-21

Siregar, Dini Syakina, and Ramli Siregar, “Penyelesaian Kredit Macet melalui Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)”. Transparency Journal of Economic Law 3, no. 1 (2013): 14-16

Tampemawa, Stevi G, “Prosedur Dan Tatacara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Lex Privatum 7, no. 6 (2020): h. 12-20

Tjatrayasa, I Made, “Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Status Sita dan Eksekusi Jaminan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Universitas Udayana. 5 No. 1, (2017): h. 2-4

Verawati, “Agustina, Legal Protection Against Buyers of Cessie Receivables in Suspension of Debt Payment Obligation and Bankruptcy”. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) 5, no. 2 (2021): h. 44-46

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Jurnal Kertha Negara Vol 11 No 3 Tahun 2023 hlm 292-303

303