PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
on
PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
oleh
Made Putri Saraswati A.A. Gede Oka Parwata Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
Ne bis in idem principle is very important to protect individuals not to be punished more than once for the same offence. However,international practice shows that the application of this principle can be ruled out if the crime has linkage jurisdiction between two or more countries. Similarly, the International Criminal Court (ICC) can also override this principle and has the authority to prosecute or try a repetitive justice to the perpetrators of serious human rights crimes in the territory of contracting parties of the Rome Statute. This article discusses that the override of this principle may affect the jurisdiction of a country and directly “intimidates" its legal sovereignty.
Keywords: Ne bis in idem, serious human rights crimes, State sovereignty.
ABSTRAK
Asas ne bis in idem sangat penting dalam melindungi individu untuk tidak dihukum lebih dari satu kali atas kejahatan yang sama. Namun, dalam praktik internasional penerapan prinsip ini dapat dikesampingkan jika kejahatan yang dilakukan mempunyai pertautan yurisdiksi antara dua negara atau lebih. Begitu pula, Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court / ICC) dapat mengesampingkan asas ini dan mempunyai wewenang untuk mengadili ataupun melakukan peradilan ulang terhadap pelaku kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat dalam teritoral Negara anggota peserta Statuta Roma. Tulisan ini membahas bagaimana pengesampingan terhadap asas ini mempengaruhi yurisdiksi suatu negara dan secara langsung “mengancam” kedaulatan hukumnya.
Kata Kunci: Ne bis in idem, kejahatan HAM berat, kedaulatan negara
Asas merupakan hal yang sangat esensi dalam penegakan hukum.1 Secara leksikal asas berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak yang menopang kukuhnya suatu norma hukum.2 Asas ne bis in idem merupakan salah satu prinsip dasar, yang artinya, seseorang tidak boleh diadili dan dihukum lebih dari satu
kali atas kejahatan yang sama.3 Asas ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum bagi semua pihak, khususnya bagi individu bersangkutan.
Penerapan asas ne bis in idem perlu untuk diperhatikan berkaitan dengan kedaulatan suatu negara. Ada kalanya, terhadap satu bentuk kejahatan atau tindak pidana, dapat menjadi kompetensi yurisdiksi pengadilan dua negara atau lebih. Dalam praktik internasional, penerapan asas ini tidak absolut keberlakuannya dan dapat dikesampingkan.4 Begitu pula halnya dengan International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional mempunyai hak untuk mengesampingkan asas ini. 5 Sehingga ada kemungkinan bahwa seseorang dapat dihukum untuk kedua kali atas kejahatan yang sama namun pada yurisdiksi berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan asas ne bis in idem berkaitan dengan kedaulatan suatu negara, juga untuk mengetahui kewenangan dari ICC terhadap pelaku kejahatan HAM berat.
Penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif dikatakan sebagai suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.6 Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan --dalam hal ini menganalisis instrumen internasional yang relevan-- pendekatan konsep, dan pendekatan perbandingan.
-
2.2. HASIL DAN PEMBAHASAN
Wilayah merupakan atribut yang paling penting bagi eksistensi suatu negara. Max Huber, seorang Arbitrator dalam Island of Palmas Arbitration berpendapat kedaulatan teritorial sebagai kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan kemerdekaan negara itu.7 Negara memiliki kekuasaan tertinggi untuk melaksanakan kedaulatan atas benda, orang, dan juga peristiwa hukum yang terjadi di wilayahnya.8 Memiliki kekuasaan tertinggi berarti negara harus dapat menentukan kehendaknya sendiri serta mampu melaksanakannya. Kehendak negara tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk hukum.
Penerapan asas ne bis in idem dalam praktiknya masih kontroversial, karena bersinggungan dengan kedaulatan suatu negara. Selain dalam perjanjian ekstradisi yang bersifat bilateral, penerapan asas ini juga dapat ditemukan dalam perjanjian yang bersifat multilateral. Seperti dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang melakukan monitoring terhadap implementasi Pasal 14 (7) ICCPR di negara anggota ICCPR, bahwa asas ne bis in idem dapat dikesampingkan apabila putusan tersebut diadili oleh negara lain.9 Hal ini juga, dapat dilihat dalam Pasal 4 (1) Protokol No.7 European Convention of Human Rights (ECHR) yang menyatakan tidak ada seorang pun yang dapat diadili atau dihukum lagi atas tindakan yang sama di bawah yurisdiksi negara yang sama.10 Kedua konvensi tersebut mengisyaratkan bahwa seseorang dapat diadili dua kali atas kejahatan yang sama namun berbeda yurisdiksi. Akibatnya, tidak ada jaminan kepastian hukum bagi orang itu sendiri yang merupakan pelanggaran HAM.
Walaupun kedua konvensi tersebut dapat dikatakan kurang menjamin kepastian hukum, Schengen Convention mencegah dua negara atau lebih yang mempunyai pertautan yurisdiksi melakukan penuntutan untuk kedua kali atas kejahatan yang sama. Dalam Pasal 54 konvensi ini mengenai application of the ne bis in idem principle menyatakan bahwa apabila hukuman telah dijatuhkan dan diberlakukan maka negara
anggota lainnya tidak dapat menuntut atas kejahatan yang sama. Schengen Convention mensyaratkan negara anggota konvensi ini untuk menghormati kedaulatan masing-masing negara.11
ICC mempunyai otoritas bertindak melebihi batas kedaulatan negara (supranasional) untuk membrantas kejahatan-kejahatan HAM berat di dalam teritorial negara anggotanya dan hanya menargetkan aktor-aktor utama yang paling bertanggung jawab.12 Akibatnya, kewenangan ICC akan turut mempengaruhi yurisdiksi suatu negara dan secara langsung “mengancam” kedaulatan hukum negara anggotanya. Statuta Roma mengatur beberapa pengecualian terhadap asas ne bis in idem, tepatnya dalam Pasal 20 (3) yang menyatakan bahwa ICC mempunyai hak untuk melakukan peradilan ulang apabila peradilan sebelumnya diadakan dengan tujuan untuk melindungi orang tersebut dan peradilannya bersifat non-independen dan berpihak.13 Tetapi apabila pasal tersebut dicermati, asas ne bis in idem hanya dapat dikecualikan pada kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan genosida (Pasal 6), kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7) dan kejahatan perang (Pasal 8), sedangkan tidak pada kejahatan agresi (Pasal 5).
Namun keberadaan ICC ini tidaklah menggantikan peradilan nasional melainkan melengkapi karena dibatasi oleh asas komplementaritas (complementarity principle) sesuai dengan Pasal 1 Statuta Roma. Di dalam Pasal 17 Statuta Roma mengandung suatu pengertian, bahwa yurisdiksi nasional lebih didahulukan daripada yurisdiksi ICC.14 Yurisdiksi ICC hanya dapat aktif apabila penegakan hukum nasional suatu negara dianggap tidak mampu (unable) atau tidak mau/serius (unwilling) menyelesaikan suatu kejahatan HAM berat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 Statuta Roma. Ketika ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan dan penyerahan, negara yang
bersangkutan haruslah mentaati dan tidak dapat menolak dengan argumentasi kedaulatan negara. Dengan demikian, maka negara-negara anggota demi melindungi kedaulatan negaranya haruslah menegakkan pelaku pelanggaran HAM dengan sungguh-sungguh.
Penerapan asas ne bis in idem dalam praktik internasional masih banyak diperdebatkan, karena bersinggungan dengan kedaulatan suatu negara. Beberapa konvensi internasional menyebutkan bahwa asas ini dapat dikesampingkan apabila putusan tersebut diadili di negara lain. Artinya asas ne bis in idem ini hanya berlaku mutlak dalam ruang lingkup nasional sehingga dapat dikatakan tidak ada jaminan kepastian hukum. Tidak terlepas dari asas ne bis in idem, ICC juga mempunyai kewenangan untuk mengadili dan melakukan peradilan ulang tehadap suatu tindak pidana apabila negara anggota tersebut unwilling dan unable untuk menegakkan hukum terhadap kejahatan bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Aristo M.A. Pangaribuan, 2013, Perdebatan Menuju Mahkamah Pidana
Internasional, cet.1, Papas Sinar Sinanti, Jakarta.
I Wayan Parthiana, 1990, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum NasionaL Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
J.G. Starke, Q.C., 1988, Pengantar Hukum Internasional 1, Ed. Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme
Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
RN Daniels, Non Bis in Idem and the International Criminal Court, Research Paper, Northwestern University School of Law, law.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=628&context=expresso
Tijana Surlan, Ne bis in idem in Conjunction with the Principle of Complementarity in the Rome Statute, www.esil-sedi.eu/.../Surlan_0.PDF
Human Rights Committee, General Comment 13, www1.umn.edu/.../gencomm/hrcom13.htm
Statuta Roma (Rome Statute of the International Criminal Court).
5
Discussion and feedback