PERJANJIAN JUAL BELI MELALUI INTERNET (E-COMMERCE) DARI ASPEK HUKUM PERDATA
on
PERJANJIAN JUAL BELI MELALUI INTERNET (E-COMMERCE) DARI ASPEK HUKUM PERDATA
A.A. Triangga Jaya Sakti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: agunktriangga@gmail.com
I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: made_sarjana@unud.ac.id
ABSTRAK
Tujuan studi ini untuk memberi pengetahuan mengenai pengaturan syarat keabsahan suatu kontrak perjanjian jual beli melalui internet dan bagaimana penyelesaian sengketa serta sanksi hukum pelanggaran pelaksanaan jual beli melalui internet (e-commerce). Dalam mengkaji permasalahan pada studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan berdasarkan buku dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil analisis dari studi ini diketahui bahwa keabsahan kontrak tergantung pada pemenuhan syarat-syarat kontrak. Apabila syarat kontrak telah terpenuhi, sebagaimana yang tercantum pada pasal 1320 KUH Perdata maka tidak menutup kemungkinan bahwa kontrak jual beli secara transaksi ecommerce tersebut sah. Penyelesaian sengketa yang terjadi dalam perjanjian jual beli secara transaksi e-commerce apabila ada pihak yang dirugikan yaitu dapat ditempuh melalui litigasi, non litigasi, arbitrase, mediasi, negosiasi.
Kata Kunci: E-Commerce, Perjanjian, Penyelesaian Sengketa.
ABSTRACT
The purpose of this study is to provide knowledge on setting the terms of validity of a contract of sale and purchase agreement through the internet and how the dispute resolution and legal sanctions violations of the implementation of the sale and purchase through the internet (e-commerce). In examining the problems in this research, normative legal research methods are used which is based on books and applicable laws and regulations. The results of the analysis of this study indicate that the validity of the contract depends on the fulfillment of the terms of the contract. If the terms of the contract have been fulfilled, as stated in Article 1320 of the Civil Code, it is possible that the contract of sale and purchase in an e-commerce transaction is valid. Settlement of disputes that occur in the sale and purchase agreement through e-commerce transactions if there is an aggrieved party that can be reached through litigation, non-litigation, arbitration, mediation, negotiation.
Keywords E-Commerce, Agreement, Dispute Resolution.
Kemudahan dan manfaat yang ditawarkan oleh internet telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap tingginya aplikasi jejaring digital ini di bidang transaksi jual beli. E-commerce merupakan manifestasi aplikasi internet di bidang jual beli yang telah lumrah digunakan banyak perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. E-commerce adalah transaksi perdagangan yang melibatkan peran media internet dalam proses memasarkan dan menjual produk atau jasa. Kemudahan telah banyak dirasakan konsumen. Lebih lanjut, proses promosi dan marketing produk juga cenderung lebih mudah bagi produsen atau penjual, khususnya di era digitalisasi ini. Hal ini dapat berimplikasi pada efisiensi biaya dan waktu bagi produsen. Seiring dengan penggunaan dan perkembangan pesat e-commerce di Indonesia, komunitas-komunitas bisnis mulai terbentuk. Masing-masing komunitas mengembangkan situs perdagangan khusus dan hanya melakukan transaksi jual-beli pada barang atau jasa tertentu saja. Beberapa komunitas ini dikenal sebagai “toko online” yang anggotanya melakukan transaksi jual-beli barang tertentu. Sebagian besar situs ini meminta penjual dan pembeli untuk mendaftar terlebih dahulu untuk melakukan transaksi, akan tetapi sebagian lainnya tidak. Disamping banyak kemudahan yang diberikan, muncul masalah-masalah dalam praktik e-commerce seperti penjual tidak memberikan produk yang sesuai dengan kriteria produk yang disepakati, masalah lainnya merupakan masalah yang cukup sering terjadi pada platform e-commerce. Contoh kasus yang berkaitan dengan masalah-masalah dalam praktik e-commerce yakni dalam kasus perbedaan antara barang dikirim dengan barang yang dipesan, biasanya cara penyelesaian melalui pengembalian barang yang dikirim. Dalam hal tersebut menggunakan jasa antar paket. Akan tetapi, biasanya terdapat kendala dalam proses pengembalian. Kendalanya yang biasanya terjadi adalah telatnya barang yang seharusnya sudah berada di produsen. Kendala tersebut biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah barang yang hilang saat pengiriman. Akan tetapi, terkadang tidak terdapat alasan yang jelas mengenai barang yang telat sampai.
Teknologi informasi seperti melalui internet sangan begitu pesat ini menunjukan jati dirri dari peradaban manusia ini yang sangat berkembang, seluruh manusia hamper dipengaruhi permasalahan kemajuan teknologi informasi berbasis elektronik. Permasalahan yang terjadi pada transaksi e-commerce membutuhkan perhatian yang serius. Kecurangan atau pelanggaran kesepakatan dapat menyebabkan kerugian. Penggugatan secara hukum merupakan solusi untuk menyelesaikan masalah ini serta mencegah permasalahan yang di masa depan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik atau UU ITE diterbitkan untuk memberikan perlindungan dalam transaksi e-commerce. Undang-Undang ini menegaskan bahwa transaksi elektronik serta kontrak yang ada di dalamnya harus memiliki kekuatan mengikat yang sama, sebagaimana yang dinyatakan dalam UU ITE.1 Permasalahan lain terkait dengan transaksi e-commerce juga ditemui, khususnya ditilik dari perspektif hukum perdata. Legalitas transaksi jual beli melalui platform e-commerce tidak dapat terpenuhi jika terdapat ketimpangan kecakapan pihak-pihak yang melakukan transaksi. Transaksi online menyebabkan penilaian kecakapan relatif sulit untuk
dilakukan secara akurat, seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Kesenjangan dan masalah ini mendorong peneliti untuk melakukan kajian mengenai relevansi undang-undang dengan praktik transaksi e-commerce, khususnya dari perspektif hukum perdata. Selain penulisan yang dilakukan oleh penulis, penulis menemukan beberapa penulisan jurnal yang berkaitan dengan penulisan jurnal yang sedang dilakukan oleh penulis, yang pertama berjudul Penerapan Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Jual Beli Online(E-Commerce) oleh Bagus Reyzaldy Hasandinata2 yang berfokus pada peranan asas keseimbangan dalam perjanjian jual beli online. Kedua berjudul Pengaturan Arbitrase Online Sebagai Upaya Alternatif Dalam Penyelesaian Sengketa E-Commerce oleh Putu Kharisa Pramudya3 yang berfokus pada pengaturan penyelesaian sengketa e-commerce melalui arbitrase online. Sedangkan di dalam penulisan jurnal ini memiliki perbedaan dengan penulisan jurnal yang terdahulu. Penulisan karya ilmiah ini berfokus pada keabsahan perjanjian jual beli dan penyelesaian sengketa pelaksanaan jual beli melalui internet (e-commerce) sehingga terdapat perbedaan pembahasan dengan penelitian terdahulu.
Masalah kesenjangan praktik transaksi e-commerce dan celah pada undang-undang yang telah diterbitkan mendorong perumusan beberapa permasalah berikut:
-
1. Bagaimana suatu kontrak perjanjian jual beli melalui internet (e-commerce) dinyatakan absah?
-
2. Bagaimana penyelesaian sengketa dan sanksi hukum pelanggaran pelaksanaan jual beli melalui internet (e-commerce)?
Dalam setiap penelitian selalu mempunyai tujuan yang ingin dicapai, tujuan dalam penelitian jurnal hukum ini adalah agar masyarakat dapat mengetahui peraturan mengenai syarat keabsahan suatu kontrak perjanjian jual beli melalui internet dan bagaimana penyelesaian sengketa dan sanksi hukum pelanggaran pelaksanaan jual beli melalui internet (e-commerce) guna mewujudkan nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Penelitian hukum yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif dengan menggunakan penelitian yang berdasarkan research melalui buku dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai bahan kajian untuk membahas permasalahan yang dirumuskan digunakan untuk menggali isu sesuai dengan perumusan masalah.4 Terdapat 2 pendekatan yang dipergunakan yaitu pendekatan
terhadap perundang-undangan (the statute approach) dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dibahas, dan pendekatan fakta (the fact approach) kemudian diterapkan untuk mengkaji permasalah berdasarkan undang-undang dan KUH Perdata di IndonesiaAdapun bahan hukum yang menunjang studi ini antara lain bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas seperti perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang terdiri atas buku, jurnal hukum, karya tulis hukum, dan internet.
KUH Perdata pasal 1457 mendefinisikan transaksi jual beli sebagai suatu perjanjian, dimana salah satu pihak dalam perjanjian mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, pihak lainnya kemudian akan membayar dalam jumlah tertentu yang telah disepakati. Lebih lanjut, pasal 1313 mendefinisikan istilah perjanjian. Perjanjian kemudian diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang untuk mengikatkan dirinya kepada satu atau lebih orang. Berdasarkan konsep yang dijabarkan dalam peraturan hukum perdata ini, dalam sebuah transaksi jual beli, persetujuan atau kesepakatan dicapai jika penjual dan pembeli bersama-sama sepakat terhadap sebuah transaksi. Pasal 1458 kemudian menjabarkan bahwa jual beli dianggap telah terjadi jika sudah terdapat persetujuan antara barang dan harganya, walaupun tanpa ada penyerahan barang yang akan dibeli. Pihak dalam transaksi e-commerce sebenarnya sudah melakukan hubungan hukum yang tertuang dalam kontrak elektronik. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 1 ayat (17) UU ITE. Pihak yang memberikan penawaran atau menjual suatu barang diwajibkan untuk dapat memberikan informasi yang akurat mengenai syarat kontrak, produsen, dan produk.
Terdapat dua pelaku utama yang terlibat dalam transaksi: merchant (pelaku usaha) sebagai pihak yang menjual produk dan buyer (customer) sebagai pihak yang membayar produk. Provider internet dan pihak bank juga dapat ditambahkan sebagai pihak dalam transaksi e-commerce.5 Terdapat beberapa jenis transaksi e-commerce, yaitu sebagai berikut:
-
1. Business to Business (B2B)
Transaksi ini dilakukan antara perusahaan. Pembeli dan penjual merupakan perusahaan yang biasanya sudah saling mengenal dan merupakan bentuk kerja sama.
-
2. Business to Consumer (B2C)
Business to Consumer merupakan bentuk transaksi yang dilakukan antara perusahaan dengan konsumen. Perusahaan menyebarkan informasi mengenai produknya melalui suatu media, biasanya situs website, konsumen secara individual kemudian dapat melakukan transaksi pembelian produk tersebut melalui media yang digunakan perusahaan untuk menjual produknya.
-
3. Consumer to Consumer (C2C)
C2C dilakukan antara individual yang keduanya merupakan konsumen yang saling menjual produk.
-
4. Consumer to Business (C2B)
C2B merupakan bentuk transaksi yang dengan karakteristik yang berlawanan dengan B2C. Transaksi ini melibatkan proses penjualan barang dari konsumer kepada perusahaan.
-
5. Non-Business Electronic Commerce
Transaksi ini tidak berorientasi pada keuntungan komersial. Transaksi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan institusi akademis, organisasi keagamaan, atau organisasi sosial.
-
6. Intra-business (Organizational) Electronic Commerce
Transaksi ini melibatkan semua aktivitas internal organisasi dengan jaringan internet serta melibatkan adanya meliputi pertukaran barang, jasa atau informasi.
Sahnya suatu kontrak dalam sebuah transaksi e-commerce juga ditentukan oleh terpenuhinya syarat-syarat yang diajukan dalam suatu kontrak. Jika syarat telah berhasil dipenuhi, kesepakatan pihak yang terlibat menjadi penting dalam menentukan sahnya suatunya kontrak. Tercapainya suatu persetujuan transaksi terkait informasi yang ditawarkan melalui suatu sistem elektronik.6 Absahnya suatu kesepakatan elektronik ditentukan juga oleh sistem elektronik yang digunakan. Sistem elektronik yang digunakan dalam suatu transaksi harus sesuai dengan sistem elektronik yang diatur dalam undang-undang. Informasi produk atau jasa yang ditawarkan juga harus dipaparkan dalam bentuk tertulis, asli, utuh, dapat dipertanggungjawabkan, diakses, dan ditampilkan untuk menjelaskan keadaan produk atau jasa yang ditawarkan secara akurat. Pernyataan ini didukung oleh pasal 5 ayat (1) UUITE: informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Pasal ini menjelaskan bahwa suatu transaksi e-commerce tetap dinyatakan sah, walaupun hanya ada bukti transaksi dalam bentuk elektronik.7
Pasal 1320 KUH Perdata memberikan empat syarat perjanjian yang sah: adanya kesepakatan kedua belah pihak yang terlibat untuk mengikatkan diri, kecakapan membuat perjanjian, obyek tertentu, dan sebab yang halal. E-commerce cenderung memberikan wadah transaksi jual-beli tanpa memberikan ruang bagi penjual dan pembeli untuk bertemu langsung secara fisik untuk melakukan transaksi. Hal ini menyebabkan sulit untuk mengetahui dengan pasti waktu terjadinya kesepakatan antara pihak penjual dengan pembeli. Selain itu, masalah kecakapan pihak yang bertransaksi juga sulit terkonfirmasi. Beberapa situs atau toko online mencantumkan umur minimal anggota situsnya yang dapat diverifikasi melalui nomor pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor anggota. Pihak penjual dan pembeli harus cakap menurut Undang-Undang untuk dapat bertransaksi dengan sah pada e-commerce. Syarat sebab yang halal juga menjadi salah satu kendala praktik e-commerce di Indonesia. UU ITE mendefinisikan bahwa halal mengandung arti sebagai tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Beberapa barang yang dipasarkan melalui media internet dapat menjadi halal di negara tertentu namun menjadi tidak
halal di negara lainnya. Upaya yang telah dilakukan adalah menetapkan daftar sejumlah barang yang boleh dipasarkan di Indonesia sesuai dengan hukum positif dan melakukan perjanjian dengan negara lain di dunia mengenai daftar barang ini.8
Masalah lain yang muncul adalah tidak adanya jaminan mengenai kredibilitas dan absahnya toko online, perusahaan, atau akun jual beli yang ada pada e-commerce. Membangun usaha online di dunia maya relatif jauh lebih mudah dibandingkan dengan membangun usaha yang ada di dunia nyata. Pendirian usaha yang secara fisik terdapat di luar dunia maya memerlukan ijin resmi dari instansi pemerintah tertentu. Usaha yang dibangun pada platform online hanya membutuhkan tempat dan desain toko online yang dapat disewa pada Internet Service Provider (ISP). Kemudahan yang ditawarkan dalam memberikan toko online berimbas pada kredibilitas dan keabsahan toko online. Banyak kasus penipuan yang telah terjadi akibat toko online fiktif, pencurian nomor kartu kredit, dan kasus penipuan lainnya terutama pada konsumen. Penerbitan ijin berdiri toko online serta pendirian lembaga yang kredibel mungkin dapat membantu menjamin keabsahan usaha pada platfrom online.
Syarat keabsahan perjanjian yang dijabarkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata mampu membantu mengukur tingkat keabsahan suatu perjanjian atau kesepakatan dalam transaksi e-commerce. Dinyatakan bahwa perjanjian yang sah memiliki unsur kesepakatan pihak yang terlibat. Sepakat berarti bahwa masing-masing pihak telah memberikan pernyataan mengenai kehendaknya untuk menutup suatu perjanjian atau keinginan satu pihak telah sejalan dengan pihak yang lain. Kesesuaian kehendak ini tidak harus dinyatakan secara verbal, tetapi dapat terlihat dari gestur dan bentuk komunikasi non-verbal lainnya.
Waktu lahirnya kesepakatan dalam perjanjian ini masih menjadi masalah yang di ranah hukum yang kompleks, khususnya pada proses kesepakatan dengan korespodensi atau surat menyurat. Empat teori telah mencoba memberikan alternatif pemecahan masalah ini: pernyataan, pengiriman, pengetahuan, dan penerimaan telah banyak digagas untuk mengadapi masalah ini. KUH Perdata juga telah menetapkan tiga hal berdasarkan cacat kehendak yang dapat menjadi alasan untuk membatalkan suatu kontrak: kekeliruan (Pasal 1322 KUHPerdata), ancaman, (Pasal 1323-1327KUHPerdata), dan penipuan (Pasal 1328 KUHPerdata).
Penjual atau merchant tanpa tersertifikasi memiliki potensi besar menyesatkan konsumen dalam memberikan informasi mengenai produk yang dijual. Jika pada suatu kasus, konsumen percaya dengan informasi yang diberikan penjual, berakhir dengan kesepakatan pembelian suatu produk, tetapi produk tersebut tidak pernah sampai kepada konsumen, kasus ini dapat digolongkan kedalam bedrog atau penipuan.
Pasal 1321 jo Pasal 1328 KUH Perdata mengatur mengenai pembatalan transaksi yang diijinkan dilakukan pada kasus ini.9
Perkembangan e-commerce memberikan dampak positif dan negatif. E-commerce meningkatkan efisiensi peran dan fungsi perdagangan. Masalah keamanan transaksi berupa kerahasiaan pesan, masalah sampainya pesan secara utuh ke penerima pesen, keabsahan transaksi, dan orisinalitas pesan sering menjadi cerminan dampak negatif
dari e-commerce. Masalah jaminan kepastian hukum juga dapat terjadi sebagai dampak negatif dari e-commerce. Konsumen yang melakukan transaksi tidak dapat diketahui identitas dan lokasinya karena transaksi dilakukan di internet. Konsumen dapat saja dibawah umur atau membuat pesanan fiktif. Persepsi bahwa hukum di yang biasa berlaku tidak akan berlaku di dunia maya.10 Hukum yang berlaku sebenarnya berasal dari kehidupan sehari-hari yang kemudian dibuatkan peraturan.
-
3.2 Penyelesaian Sengketa Apabila Terjadi Permasalahan Pelaksanaan Transaksi
Jual-Beli Internet (E-Commerce)
Sengketa yang terjadi dalam proses jual beli online biasanya terjadi apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya. Prestasi yang dimaksud adalah penyerahan barang/benda dan pemenuhan uang yang harus diberikan kepada penjual. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka dapat dikatakan salah satu pihak yang tidak berprestasi menciderai janjinya dengan melakukan tindakan wanprestasi. Wanprestasi merupakan pengingkaran janji yang mengakibatkan kerugian baik kerugian secara materil maupun secara formil. Pekerjaan selalu melibatkan dua (2) subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi perjanjian yang disepakati. Jika salah satu subyek tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan, maka terjadi wanprestasi. Sebagaimana yang dinyatakan dalam undang-undang, terdapat empat jenis wanprestasi: (a) tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, (b) melaksanakan apa yang di janjikan tetapi terlambat, (c) melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan, (d) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.11 Beberapa upaya yang dapat dilakukan konsumen ecommerce untuk mendapatkan haknya kembali serta menuntut kerugian atas wanprestasi selama ditransaksi dapat dijabarkan sebagai berikut:
-
a. Litigasi
Gugatan ke pengadilan dapat diajukan oleh pihak yang bertransaksi, jika terdapat hal-hal merugikan dalam transaksi elektronik. Pasal 5 ayat 1,2 dan 3 UU ITE kemudian menyatakan absahnya alat bukti elektronik di pengadilan yang dapat berupa informasi yang dapat menunjukkan barang/produk telah dibayar, identitas general misalnya nama, alamat tempat tinggal, kontak berupa nomor telepon yang dapat dihubungi, dan nomor akun bank pelaku usaha.
-
b. Non Litigasi
Pasal 39 ayat (2) UU ITE juga menyatakan bahwa penyelesaian sengketa transaksi e-commerce dapat dilakukan melalui arbitrase atau melalui bantuan lembaga lainnya, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 39 ayat (2) UU ITE.12 Penyelesaian melalui arbitrase adalah adanya keterlibatan pihak ketiga yang bertindak sebagai hakim netral dan telah diserahkan kewenangan dari kedua pihak untuk menyelesaikan sengketa perdata antara kedua belah pihak. Umumnya, landasan hukum arbitrase yang digunakan adalah Pasal 10 ayat (2)
dan penjelasannya pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 merupakan dasar hukum penyelesaian sengketa secara non litigasi, khususnya arbitrase. Selain arbitrase, penyelesaian sengketa dapat dilakukan juga melalui mediasi dan konsiliasi. Mediasi adalah penggunaan jasa pihak ketiga atau mediator untuk menyelesaikan segketa. Sebelum perselisihan dapat diselesaikan melalui mediasi, kesepakatan harus dicapai kemudian dituangkan dalam kesepakatan klausul mediasi, atau setelah terjadi perselisihan para pihak harus mencapai kesepakatan untuk mengajukan penyelesaian melalui mediasi (mediation submission). Konsiliasi yang merupakan salah satu pilihan penyelesaian sengketa secara non litigasi, dapat diartikan bahwa pihak ketiga memberikan bantuan sebagai mediator dan mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa. Mediator dalam hal ini memberikan fasilitas untuk para pihak berkomunikasi dan dapat mencapai solusi yang dapat diterima semua pihak.
-
c. Negosiasi
Negosiasi adalah sebuah proses yang dilakukan untuk mendapatkan upaya pemecahan masalah antara pihak yang memiliki sengketa tanpa melibatkan pihak lain. Proses ini biasanya dilakukan jika pihak yang memiliki masalah masih percaya bahwa masalah dapat diselesaikan dengan cepat tanpa proses hukum. Negosiasi dapat menghasilkan sebuah kesepakatan tertulis yang memiliki kekuatan mengikat pihak yang terlibat untuk melakukannya, seperti halnya perjanjian.13
Transaksi e-commerce selalu mengandung kontrak yang berbasis hukum. Kontrak ini akan memberikan peraturan terkait hal-hal yang perlu dilakukan antara penjual dengan konsumennya baik berupa perusahaan atau perorangan yang terlibat dalam transaksi. Kontrak ini bisa memiliki beberapa bentuk: kontrak yang mengatur pengembangan jaringan transaksi, kontrak yang terbentuk dari percakapan online baik video maupun chat, dan kontarak pembayaran yang mengatur terkait pembayaran melalui proses pembayaran serta kontrak yang diberikan melalui alamat.14 Jika konsumen merasa dirugikan dalam transaksi karena produk yang diberikan tiruan yang tidak sesuai dengan kesepakatan, gugatan dapat diajukan. Gugatan ini merupakan manifestasi rasa tidak puas konsumen dan tuntutan agar penjual dapat bertanggungjawab dalam transaksi.15
Dalam menjamin kepastian hukum untuk melakukan perlindungan hak konsumen yang telah dilakukannya pelanggaran dari pelaku perdagangan, pemerintah membentuk Lembaga yang berwenang menangani masalah hak konsumen dilihat dari kesesuaian peraturannya. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ini salah satunya. Permasalahan antara konsumen dan pedagang dalam transaksi Ecommerce masih sering terjadi pada lingkungan sekitar. Maka di perlukannya upaya-
upaya hukum sehingga dapat menyelesaikan sengketa yang diperbuat oleh pihak-pihak terkait.16
Dalam menyelesaikan sengketa yang dilakukan oleh pengadilan, dalam proses litigasi para pihak saling berhadapan. Penyelesaian prosedur, penyelesaian sengketa merupakan upaya terakhir (ultimum remidium) setelah diberlakukannya alternatif-alternatif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa lainnya yang gagal. Dalam hal penyelesaian sengketa niaga didalam E-commerce yang biasa dilakukan. Namun, upaya melalui jalur litigasi cenderung menghabiskan waktu yang cukup lama dan relative mahal.
Asas akuntabilitas juga bisa digunakan untuk menyelesaikan sengketa pada transaksi e-commerce. Akuntabilitas merupakan sebuah asas atau prinsip pertanggungjawaban ketat saat terjadi wanprestasi. Konsumen memiliki posisi yang sangat rentan dalam transaksi e-commerce karena kuasa transaksi hampir seluruhnya dikendalikan oleh tangan operator ekonomi. Pelaku usaha wajib memiliki tanggung jawab penuh atas usahanya pada platform e-commerce. Konsumen dapat menerima pemulihan hukum yang sesuai jika operator ekonomi tidak bertanggung jawab atas ecommerce yang tidak patuh.17
E-commerce merupakan transaksi perdagangan yang melibatkan peran media internet dalam proses memasarkan dan menjual produk atau jasa. Keabsahan kontrak tergantung pada pemenuhan syarat-syarat kontrak. Apabila syarat kontrak telah terpenuhi, sebagaimana yang tercantum pada pasal 1320 KUH Perdata maka tidak menutup kemungkinan bahwa kontrak jual beli secara transaksi e-commerce tersebut sah. Pengaturan perjanjian jual beli di Indonesia pada umumnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan ketentuan perjanjian/kontrak elektronik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sengketa yang terjadi dalam proses jual beli online biasanya terjadi apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya. Prestasi yang dimaksud adalah penyerahan barang/benda dan pemenuhan uang yang harus diberikan kepada penjual. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka dapat dikatakan salah satu pihak yang tidak berprestasi menciderai janjinya dengan melakukan tindakan wanprestasi. Wanprestasi merupakan pengingkaran janji yang mengakibatkan kerugian baik kerugian secara materil maupun secara formil. Penyelesaian sengketa yang terjadi dalam perjanjian jual beli secara transaksi e-commerce apabila ada pihak yang dirugikan yaitu dapat ditempuh melalui litigasi, non litigasi, arbitrase, mediasi, negosiasi. Diharapkan hendaknya pihak konsumen lebih cermat dan berhati-hati dalam berbelanja melalui online agar mengurangi terjadinya tindakan kecurangan. Dan hendaknya para pihak yang sedang bersengketa dalam suatu perjanjian menyelesaikan perkaranya secara non litigasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Miru, Ahmadi dan Yodono, Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2017).
Muthiah, Aulia. Hukum Perlindungan Konsumen Dimensi Hukum Positif dan Ekonomi Syariah (Yogyakarta, Pustaka Baru Press, 2018).
Jurnal
Ariati, Ni Kadek, and I. Wayan Suarbha. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Melakukan Transaksi Online." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, no. 1 (2017).
Astuti, Desak Ayu Lila, and AA Ngurah Wirasila. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Transaksi E-commerce Dalam Hal Terjadinya Kerugian." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2018).
Bagaskara, Made Angga, and I. Made Dedy Priyanto. "Wanprestasi Pelaku Usaha Dalam Perjanjian Jual Beli Pada Transaksi Online (E-Commerce)." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 4 (2022).
Dewi, Anak Agung Ayu Krisna, and I. Wayan Novy Purwanto. "PERLINDUNGAN HUKUM TERKAIT KERUGIAN PEMBELIAN BARANG DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE YANG TIDAK SESUAI DENGAN KATALOG DI INTERNET." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 7, no. 5 (2019).
Dharma, Anak Agung Gde Siddhi Satrya, I. Made Sarjana, and Anak Agung Sri Indrawati. "Kajian Yuridis Keabsahan Jual Beli Secara Elektronik (E-Commerce) Dengan Menggunakan Kartu Kredit." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2017).
Hasandinata, Bagus Reyzaldy, and I. Made Dedy Priyanto. "Penerapan Asas Keseimbangan dalam Perjanjian Jual Beli Online (E-Commerce)." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 7, no. 6 (2019).
Pradnyaswari, Ida Ayu Eka, and I. Ketut Westra. "Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Jual-Beli Menggunakan Jasa E-Commerce." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 5 (2020).
Pramudya, Putu Kharisa, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, and Nyoman A. Martana. "Pengaturan Arbitrase Online Sebagai Upaya Alternatif Dalam Penyelesaian Sengketa E-Commerce." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum (2018).
Puspita, Made Indah. "Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Transaksi Jual Beli Online." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2014).
Putra, Setia. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual-Beli Melalui E-Commerce." Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2014).
Riawan, Belly, and I. Made Mahartayasa. "Perlindungan Konsumen Dalam Kegiatan Transaksi Jual Beli Online Di Indonesia." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2015).
Sari, AA Made Yuni Purnama, and Suatra Putrawan. "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KONSUMEN TRANSAKSI E-COMMERCE DALAM HAL TERJADINYA WANPRESTASI." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 9, no. 3 (2021).
Setyawati, Desy Ary, Dahlan Ali, and M. Nur Rasyid. "Perlindungan Bagi Hak Konsumen dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Perjanjian Transaksi Elektronik." Syiah Kuala Law Journal 1, no. 3 (2017).
Sukarmi, Sukarmi, and Yudhi Tri Permono. "Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Transaksi Secara Online." Jurnal Hukum 35, no. 1 (2019).
Sutrisno, Nandang. "Cyberlaw: Problem dan Prospek Pengaturan Aktivitas Internet." Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 8, no. 16 (2001).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952).
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 6 Tahun 2022 hlm 593-603
603
Discussion and feedback