PENTINGNYA PENGATURAN HUKUM PRAKTIK PRIVATISASI PANTAI TANPA ADANYA HAK ATAS TANAH DI WILAYAH PANTAI SANUR
on
PENTINGNYA PENGATURAN HUKUM PRAKTIK PRIVATISASI PANTAI TANPA ADANYA HAK ATAS TANAH DI WILAYAH PANTAI SANUR
Ni Made Karti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: made.karti15@gmail.com
Cokorda Dalem Dahana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: cok_dahana@unud.ac.id
ABSTRAK
Tujuan studi ini adalah untuk memberikan informasi mengenai pentingnya pengaturan hukum praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah di wilayah Pantai Sanur. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil studi menunjukan bahwasanya praktik privatisasi pantai yang dilakukan oleh pemilik bangunan disekitar areal sempadan pantai dapat berupa pengusiran masyarakat lokal yang sedang berada di areal sempadan pantai dan penutupan akses masuk menuju area pantai. Hal tersebut mengacu pada pengaturan hukum pasal 7 UUPA dan tindakan pemilik bangunan yang melakukan praktik privatisasi pada dasarnya melanggar pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004. Dalam perspektif asas kepentingan umum, wilayah pantai khususnya sempadan pantai merupakan areal publik dan tidak dapat diprivatisasi sesuai isi pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004. Selain itu, batas garis sempadan pantai telah ditentukan didalam undang-undang dan bangunan yang ada tidak boleh melebihi batas tersebut. Maka dari itu, berangkat dari permasalahan tersebut, belum ada hukum yang mengatur secara pasti mengenai wilayah pantai tempat terjadinya praktik privatisasi oleh pemilik bangunan sekitar area pantai.
Kata Kunci: Praktik Privatisasi, Area Pantai, Pengaturan Hukum.
ABSTRACT
The purpose of this study is to provide information on the importance of legal arrangements regarding the practice of coastal privatization without any land rights in coastal areas. This study uses a normative legal research method with a statutory and conceptual approach. The results of the study show that the practice of beach privatization carried out by building owners around the coastal border area can be in the form of eviction of local people who are in the coastal border area and closing access to the beach area. This refers to the legal arrangement of article 7 UUPA and the actions of building owners who practice the privatization basically violate Article 15 of Government Regulation No. 16 of 2004. In addition, the coastline boundary has been determined in the law and the existing buildings must not exceed this limit. In the perspective of the principle of public interest, coastal areas including coastal boundaries are public areas and cannot be privatized in accordance with the contents of Article 15 of Government Regulation No. 16 of 2004. So that, with this problem there is a legal vacuum as well as uncertainty in legal arrangements for coastal areas that experience privatization practices due to the actions of building owners around the coastal area.
Key Words: Privatization Practice, Beach Area, Audiobook Access, Legal Arrangements.
Pantai adalah tempat bertemunya air pasang tertinggi dengan daratan1, yang memiliki tapal batas pesisir atau istilah lainnya sempadan pantai, adalah dimulai dari titik ombak tertinggi sampai batas terpilih ke arah tepian darat, dapat dengan jarak garis air pasang terendah. Tapal batas pesisir memiliki fungsi sebagai pencegah pengikisan tanah oleh air laut serta menjaga tepi laut agar terhindar dari kerusakan fungsi pesisir. Sejalan dengan makna yang terdapat dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Pengelolaan No. 10/2002, sempadan pesisir ialah daerah sejauh pesisir guna mengamankan dan melestarikan tepi laut. Penggunaan wilayah tapal batas tepi laut/pesisir pada dasarnya diizinkan untuk tumbuhan sebagai pelindung dan pengaman tepi laut saja serta fasilitas umum disekitar pesisir dalam penggunaannya harus tetap memperhatikan peran wilayah tersebut guna keamanan dan lestarinya pesisir2. Akan tetapi, seiring dengan pembangunan pariwisata yang semakin gencar dan masif, semakin marak pula perilaku tidak patuh terhadap izin penggunaan wilayah tapal batas pesisir tersebut.
Bali adalah salah satu provinsi yang terkenal dengan pariwisata sebagai sektor unggulannya, begitupun dengan keindahan pantainya yang sudah banyak diakui oleh turis, mulai dari wisatawan lokal hingga mancanegara. Selain dari penggunaan wilayah pantai termasuk tapal batas pesisir yang diizinkan untuk beberapa hal tertentu, pantaipantai di Bali juga memiliki fungsinya tersendiri, salah satunya untuk kegiatan spiritual masyarakat setempat, atau yang biasa disebut dengan melasti. Namun, perkembangan industri pariwisata yang begitu modern, menyebabkan pantai-pantai di Bali mengalami bentuk praktik privatisasi, salah satunya adalah Pantai Sanur yang mengalami penguasaan wilayah pantai serta sempadan pantai oleh hotel yang dibangun disekitar area tersebut. Akibat dari praktik privatisasi tersebut sangat berpotensi untuk menyebabkan suasana kurang nyaman yang dirasakan oleh masyarakat setempat saat berekreasi maupun saat menjalankan tradisi dan upacara religius. Hal ini tentunya memerlukan peran dari pemerintah untuk mengawasi dan mengontrol ekspansi kapitalis pariwisata karena telah berdampak pada fungsi sosial dan kepentingan umum dari pantai itu sendiri. Sebab, dari wujud masifnya ekspansi kapitalis pariwisata seperti pendirian hotel-hotel yang semakin banyak, dampak yang akan ditimbulkan pun akan semakin besar bagi lingkungan sekitar.3
Sesuai isi dari pasal 2 UU No. 5/1960 yang memuat mengenai pokok-pokok dasar agraria yakni UUPA, memberikan hak dan wewenang menguasai negara kepada pemerintah pusat, yang mana isi dari hak tersebut memberikan kuasa guna mengelola serta mengkategorikan relasi norma terhadap ruang darat, ruang perairan dan ruang angkasa, yang didalamnya mencakup kekayaan alam . Pernyataan dalam pasal tersebut mendukung peran pemerintah untuk mengendalikan praktik privatisasi yang
dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Dalam pembahasan ini, yang dimaksud dengan privatisasi pantai, ialah merujuk pada suatu kegiatan yang dikhususkan pada daerah sempadan pantai yang merupakan bentuk pemindahan pengelolaan areal publik berupa sempadan pantai oleh pihak swasta atau pelaku pariwisata yang difokuskan kepada pengusaha pariwisata, sebagai areal privat, sehingga, mengakibatkan fungsinya yang pada mulanya dapat dinikmati secara umum oleh masyarakat lokal, dibatasi dan hanya dapat dinikmati oleh wisatawan dengan kategori tertentu4. Hal tersebut tentu bertentangan dengan esensi dari pasal 6 UUPA yang secara tersurat menyatakan bahwa seluruh hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Pasal 7 UUPA melanjutkan penjelasannya dengan menyatakan bahwa “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Kemudian, diatur juga dalam pasal 17 ayat (1) UUPA mengenai penetapan batas maksimum hak-hak yang dimaksud dalam pasal 16 UUPA, dilakukan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 yang mengatur tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, yang dimaksud sebagai sempadan pantai adalah daratan yang terletak di area sepanjang tepian dengan lebar yang proporsional, memiliki bentuk serta kondisi fisik pantai, dengan jarak minimal 100 (seratus) meter terletak dari titik pasang tertinggi menuju kearah darat5. Pernyataan pasal 1 angka 21 undang-undang tersebut, diadopsi didalam Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016. Kemudian, berkaitan dengan tanah-tanah yang terletak diluar garis sempadan pantai akan dikuasai oleh negara. Selain itu, perlu dipahami bahwa tanah yang letaknya berada dalam radius sempadan pantai tidak termasuk objek hak atas tanah serta tidak dapat disertifikatkan untuk pihak swasta dan digunakan untuk kepentingan yang berbau privat terkecuali, guna keperluan bersama. Menurut pandangan Dr. Gunanegara, tanah yang masih berada di dalam daerah sempadan pantai atau wilayah pesisir, apalagi tanah yang masih berupa laut, bukan objek hak atas tanah. Tanah yang masuk di daerah sempadan pantai dapat disertifikatkan sebagai hak pakai apabila peruntukannya terkait kepentingan usaha tambak yang pada dasarnya memang memanfaatkan area pantai /tepi laut untuk pelaksanaannya, sehingga membutuhkan adanya izin lokasi dari Bupati/Walikota6. Terkait dengan pemanfaatan dari area tersebut, pihak yang memiliki kepentingan harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah setempat serta hak yang dapat diperoleh hanya berupa hak pakai serta hak pengelolaan. Pada dasarnya, penggunaan dan pemanfaatan pantai, khususnya area sempadan pantai diperbolehkan oleh undang-undang tetapi harus memperhatikan faktor-faktor tertentu, yakni kepentingan umum serta berkaitan dengan terbatasnya daya dukung, pembangunan berkelanjutan, relasi terhadap ekosistem, keberagaman sumber daya hayati serta kelangsungan atas kelestarian fungsi lingkungan, dimana berkaitan dengan beberapa hal tersebut telah diatur dalam pasal 15 pada UU No. 16/2004 tentang Penatagunaan
Tanah7. Selain itu, dijelaskan pula mengenai izin terkait hak tanah di wilayah pantai sebagaimana yang tertera pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional No. 17 Tahun 2016 mengenai Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya dalam pasal 5 ayat (1) yakni menyatakan bahwa, bangunan/gedung yang dipergunakan sebagai benteng untuk proteksi serta keamanan, suatu dermaga ataupun pelabuhan, penjaga keselamatan pengunjung pantai yang berupa tower, permukiman turun temurun dari masyarakat setempat, dan pembangkit tenaga listrik. Atas dasar hal tersebut, sudah sepantasnya tata ruang memproteksi kawasan pesisir pantai beserta pemerintah daerah mengelola secara bijak kawasan pesisir pantai. Pemanfaatan serta penggunaan kawasan pantai harus tunduk pada peraturan khusus yang ada8. Peranan pengaturan tata ruang sesungguhnya bertujuan agar tercapainya pemanfaatan secara optimal dan maksimal terhadap sumber daya serta untuk mencegah terjadinya konflik yang berangkat dari hal-hal tersebut. Selain itu, bertujuan menghindari rusaknya ekosistem agar keharmonisan lingkungan dapat terwujud9.
Mengenai pengelolaan wilayah perairan, termasuk pantai, terdapat otonomi yang diatur didalam undang-undang oleh Pemda (Pemerintah Daerah). Didalam pasal 14 ayat (6) kebijakan tersebut, dinyatakan bahwasannya wilayah perairan dari garis pantai kepunyaan provinsi adalah jaraknya sejauh 12 mil sedangkan milik daerah kabupaten/kota adalah sepertiganya atau 4 mil. Hal ini diatur lebih lanjut didalam kebijakan mengenai otonomi daerah dan membuat aspek mengenai pengelolaan diserahkan kepada pemerintah pada tingkat regional10. Istilah lain dari penyerahan pengelolaan tersebut adalah desentralisasi. Menurut WRI (World Resource Institute), desentralisasi memuat makna rancangan serangkaian kelengkapan program serta produk hukum guna menciptakan keserasian dari kekuasaan beserta kewajiban akan sumber daya alam11.
Dari penuturan Nusakti Yasa Wedha yang menjabat sebagai Kepala dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) di Provinsi Bali, menjelaskan bahwasannya sempadan pantai atau bisa disebut juga dengan tapal batas pesisir adalah wilayah/ruang publik yang tidak bisa diambil alihkan menjadi milik pribadi. Menurutnya sendiri, pernyataan tersebut tertuang dalam kebijakan perihal Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 dalam Pasal 1 angka 44 dari Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009-2029 yang secara tegas
mendefinisikan kawasan pesisir yang disebut sempadan wilayah pantai/pesisir sebagai kawasan publik12. Secara fisik, tapal batas/kawasan tepi adalah bentuk batasan dari kawasan milik pribadi (privat) dengan kawasan milik umum (publik) untuk dimasuki oleh umum dengan tidak memerlukan adanya persetujuan pemilik dari bangunan yang ada berdekatan dengan tapal batas garis pantai. Akan tetapi, pada realisasinya, tapal batas tepi laut/wilayah pesisir justru kerap digunakan untuk praktik privarisasasi pantai oleh pemilik bangunan, seperti hotel atau villa di pantai tersebut. Ketika pantaipantai yang tersebar di Indonesia harusnya terbuka untuk kepentingan umum, tetapi perlahan menjadi semakin terbatas ruang publiknya semenjak pemukiman akomodasi pariwisata mewah semakin luas dan masif pembangunannya13.
Merujuk pada penelitian Putri Kusuma dengan judul Pengaturan Privatisasi Sempadan Pantai Oleh Pengusaha Pariwisata Provinsi Bali. Selain itu, merujuk pada penelitian Penguasaan Tanah Pantai dan Wilayah Pesisir di Indonesia milik Muhammad Islam Saputra. Terkait dengan kedua penelitian tersebut, penulis memiliki ide untuk membahas pentingnya pengaturan hukum praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah di wilayah Pantai Sanur, dimana ternyata belum ada norma hukum yang mengatur mengenai hal tersebut sehingga, dapat dikatakan mengandung norma kosong yang pada dasarnya melanggar asas kepentingan umum dan fungsi sosial yang diatur dalam PP No. 16/2004 mengenai Penatagunaan Tanah. Kedua penelitian yang disebutkan diatas, tidak membahas bahwa praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah di wilayah pantai terdapat kekosongan norma. Sedangkan, dalam penelitian yang penulis buat ini, menekankan pentingnya adanya kebijakan dari pemerintah khususnya aparat penegak hukum perihal praktik kepemilikan wilayah pantai secara pribadi yang hingga sekarang masih terdapat kekosongan dan ketidakpastian dari kebijakan mengenai hal terkait untuk melindungi asas kepentingan umum dan fungsi sosial dari wilayah pantai. Oleh karena itu, penulis memiliki ide dengan judul pentingnya pengaturan hukum praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah di wilayah Pantai Sanur, khususnya sempadan pantai.
-
1 Apa saja wujud dari privatisasi pantai tanpa adanya hak kepemilikan tanah khususnya pada areal tapal batas pesisir ?
-
2 Bagaimana kontrol dari hukum terkait adanya praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak kepemilikan tanah khususnya pada areal tapal batas pesisir ?
Tujuan dalam studi yang penulis buat ini yaitu guna memberi penjelasan tentang apa saja wujud privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah khususnya di areal sempadan pantai dan mengetahui bagaimana pengaturan hukum dari adanya praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak kepemilikan atas tanah khususnya pada areal tapal batas/pesisir wilayah pantai yang mengganggu asas kepentingan umum dan fungsi
sosial dan dilakukan oleh oknum pemilik bangunan disekitar areal pantai. Sehingga, penelitian ini dilakukan menyesuaikan perundang-undangan yang berlaku dan mengetahui kepastian hukum terhadap praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah di wilayah pantai. Maka dari itu, dalam penelitian ini menjelaskan hal tersebut dan menghindari ketidakpastian hukum. Dalam jurnal penelitian ini menekankan pada pentingnya pengaturan hukum terhadap areal sempadan pantai yang memiliki kepentingan umum terhadap praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah di wilayah pantai, yaitu khususnya di sempadan pantai.
Dalam studi ilmiah jurnal yang penulis buat ini memakai metode pendekatan hukum normatif. Pendekatan hukum normatif merupakan suatu metode pendekatan/pengkajian dengan berdasar kepada studi dokumen dengan mengumpulkan bahan yang nantinya digunakan sebagai studi pustaka sebagai isi dari pembahasan penelitian ini. Bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini untuk muatan pokok primer dari kebijakan perundang-undangan yakni UU No. 5/1960 yang biasa dikenal dengan nama UUPA, PP No. 16/2004 mengenai Penatagunaan Tanah, UU Perubahan Atas UU No. 27/2007 yang sekarang menjadi UU No. 1 Tahun 2014 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Perda Provinsi Bali No. 16/2009 mengenai RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Provinsi Bali Tahun 20092029. Selanjutnya, muatan pokok sekunder dari kebijakan yang ada, menggunakan bacaan pustaka ilmiah yang ada korelasinya dengan pokok permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini sekaligus menjadi muatan pokok tersier hukum merujuk kepada penjabaran muatan-muatan pustaka dari ketentuan peraturan/ketetapan terdahulu untuk menopang pembuatan studi ilmiah jurnal ini.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Wujud Privatisasi Pantai Tanpa Adanya Hak atas Tanah khususnya di Areal Tapal Batas Pesisir
-
Dilansir dari artikel Mugiyantii yang ditulis pada tahun 2013, kepemilikan secara pribadi adalah bentuk pengalihan yang mulanya dikuasai negara serta dikelola oleh instansi umum terkait, secara perlahan-lahan menjadi milik individu/pribadi14. Privatisasi wilayah pantai tanpa adanya hak atas tanah khususnya di areal sempadan pantai dapat dilihat dari kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan dan dibuktikan dengan penerapan beberapa cara yang dilakukan oleh pelaku jasa akomodasi pariwisata sekitar pantai yaitu, pemasangan beton di area pantai bahkan hingga ke kawasan bibir pantai di depan hotel, resort, dan lainnya, yang tentunya dapat memberikan pengaruh dan menghalangi nelayan yang ingin menancapkan perahu di daerah tersebut.
Salah satu wujud yang dilakukan dalam praktik privatisasi pantai adalah menutup tangga yang digunakan sebagai akses masuk wilayah pantai menuju bawah tebing untuk jalur masuk orang-orang tertentu saja (privatisasi). Selain itu, tak sedikit pula turis domestik, khususnya masyarakat lokal yang mendapat perlakuan wujud bentuk privatisasi wilayah pantai yang tidak mengenakan dari pelaku pariwisata usaha hotel, resort, villa dan yang lainnya. Perlakuan itu berupa pengusiran masyarakat yang sedang sekedar melakukan rekreasi di areal
sempadan pantai, dengan alasan mengganggu kenyamanan tamu yang menginap ataupun sekedar menyewa fasilitas. Tak hanya berupa bentuk dari privatisasi wilayah pantai, tentunya hal tersebut sudah mengarah kepada diskriminasi antara pelaku pariwisata terhadap masyarakat lokal. Salah satu kejadian terkait yang terjadi tahun belakangan menimpa masyarakat lokal bernama Mirah Sugandhi dan kebetulan istri dari salah satu musisi Bali yakni Bayu Cuaca, sedang bermain pasir dengan anaknya di Pantai Sanur. Mereka diperintahkan untuk pindah dan tidak bermain pasir di daerah tersebut dengan dalih agar tidak mengganggu tamu yang sedang berada di Resort Puri Santrian Sanur. Mirah Sugandhi akhirnya mengunggah cerita tersebut di sosial medianya dan mendapat banyak tanggapan beragam dari warga internet, yang sebagian besar adalah berupa kecaman negatif terhadap pihak resort. Warga internet banyak menyebutkan bahwa kejadian yang dialami Mirah Sugandhi sudah sering terjadi dan banyak dialami oleh masyarakat lokal bahkan turis domestik. Padahal jika ditilik lebih dalam, hal tersebut telah mengganggu fungsi umum yaitu rekreasi dan termasuk kedalam salah satu bentuk dari privatisasi pantai yang dilakukan oleh penyedia akomodasi pariwisata di areal pantai.
Selain apa yang telah diuraikan diatas, bentuk privatisasi pantai lainnya tanpa adanya hak atas tanah yang sering dilakukan adalah peletakan jejeran kursi pantai di wilayah pantai. Peletakan kursi pantai milik akomodasi pariwisata tersebut menambah ruang penggunaan areal pantai yang secara langsung mempersempit luas wilayah pantai sekaligus dapat melewati batas garis sempadan pantai yang ada. Bentuk praktik privatisasi tersebut biasanya dibarengi dengan pemasangan papan tanda bertuliskan “This Area is Reserved for Hotel Guest Activity” yang berarti area tersebut sudah dipesan untuk aktivitas pengunjung/tamu hotel yang tentunya sudah jelas termasuk kedalam praktik privatisasi wilayah pantai tanpa adanya hak atas tanah karena telah mengambil pengunaan banyak ruang pantai yang merupakan ruang publik dan memiliki kepentingan umum15. Apabila mengacu pada pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yakni bahwa, pemberian hak atas tanah di wilayah pantai, hanya dapat diberikan untuk bangunan yang harus ada di wilayah pesisir pantai, antara lain; bangunan yang digunakan untuk pertahanan dan keamanan, pelabuhan atau dermaga, tower penjaga keselamatan pengunjung pantai, tempat tinggal masyarakat adat atau anggota masyarakat yang secara turun temurun sudah bertempat tinggal di tempat tersebut, dan/atau pembangkit tenaga listrik16. Maka, selain daripada bangunan yang disebutkan dalam pasal peraturan tersebut, sudah termasuk kedalam pelanggaran dan jika kembali kepada konteks bentuk-bentuk privatisasi yang telah disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan sudah
termasuk kedalam pelanggaran karena penggunaan pantai tanpa adanya hak atas tanah serta tidak memperhatikan fungsi pantai sebagai ruang publik.
-
3.2 Pengaturan Hukum dari Adanya Praktik Privatisasi Pantai Tanpa Adanya Hak Kepemilikan Tanah pada Areal Tapal Batas Pesisir
Pemerintah pusat telah meresmikan tapal batas pesisir sebagai wilayah dilindungi serta kelompok daripada areal perlindungan nasional. Sebagai areal publik yang dikuasai oleh negara, sudah sepatutnya pemerintah memiliki hak dan kewajiban untuk mengelola dan melindungi kawasan pantai. Ada beberapa peraturan-peraturan hukum yang tercatat telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka kebijakan guna melindungi areal sempadan pantai, yaitu didalam UU tentang Perubahan Atas UU No. 27/2007 yang sekarang menjadi UU No. 1 Tahun 2014 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, PP mengenai RTRW Nasional (Rencana Tata Ruang Wilayah) Nasional yaitu No. 26 Tahun 2018, Perpres mengenai Batas Sempadan Pantai Nomor 51 Tahun 2016, Permen PUPR Nomor 9/PRT/M Tahun 2010 perihal Pedoman Pengamanan Pantai, serta Perda Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16 mengenai RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Provinsi Bali Tahun 2009 sampai dengan tahun 2029. Berkenaan dengan semua peraturan tersebut, belum ada pengaturan khusus untuk menindaklanjuti praktik privatisasi tanpa adanya hak atas tanah yang dilakukan oleh oknum-oknum pariwisata tertentu di areal sempadan pantai17. Kebijakan yang mengatur mengenai areal sempadan pantai hanya menyatakan bahwa pantai adalah ruang publik dan tentunya bukan milik pribadi ataupun individu tertentu. Kosongnya pengaturan hukum nyata, jelas, dan gamblang untuk menindaklanjuti hukuman dari kepemilikan pribadi pantai tanpa adanya hak atas tanah di wilayah pantai yang seringkali terjadi dalam dunia pariwisata, khususnya daerah/pulau pariwisata, menimbulkan kekosongan hukum dalam penegakan hukum tersebut. Kekosongan hukum membuat tidak terdapat sanksi tegas seperti apa yang seharusnya diberikan dan dapat memberikan efek jera kepada pengusaha jasa penyedia akomodasi pariwisata yang menerapkan praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah di wilayah pantai.
Kebijakan adalah salah satu perwujudan dari kewenangan mutlak pemerintah untuk melindungi kawasan tertentu, termasuk sempadan pantai dari perkembangan pariwisata masif yang dapat mengarah kepada eksploitasi, contohnya yakni privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam upaya pengelolaan wilayah pantai termasuk sempadan pantai atas diterapkannya asas atas desentralisasi serta otonomi daerah berdasarkan prosedur birokrasi Indonesia yang terspesifik pada pemerintahan di daerah dalam menyikapi praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah di areal pantai adalah dengan jalur penciptaan produk hukum pemerintah yang dapat menjadi payung hukum atas praktik privatisasi pantai. Pengaturan hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat dapat berupa Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur atau Keputusan Bupati. Melalui pengaturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat guna memberikan tindak lanjut dalam wujud kepemilikan pribadi di areal sempadan yang dapat mengenakan sanksi dan menimbulkan kejeraan terhadap pengusaha pariwisata penyedia akomodasi maupun pemilik bangunan sebagai orang yang menjalankan bentuk kepemilikan pribadi atas wilayah pesisir/sempadan tersebut, juga dapat memberi kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk badan pengelola
sempadan pantai melalui produk hukum yang dibuat. Upaya tersebut akan sangat membantu dalam memproteksi areal pantai dari praktik privatisasi tanpa adanya hak atas tanah. Adapun produk hukum yang dibuat baiknya tidak tumpang tindih antara peraturan satu dengan peraturan lainnya. Perlu dilakukan sinkronisasi terhadap peraturan yang telah ada dengan peraturan yang akan ada agar terciptanya koordinasi yang harmonis antara kebijakan yang ada dengan instansi dan pihak pengelola pantai yang berwenang18. Bentuk kebijakan lainnya dapat dijadikan opsi oleh Pemerintah di daerah (Pemda) setempat untuk dijalankan, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi berkaitan dengan wilayah pantai adalah membuat pengaturan terhadap pelaksanaan penataan ruang mengenai penggunaan sempadan pantai secara pribadi (privat) dan melewati batas-batasnya, berkaitan dengan UUPR atau Undang-Undang mengenai Penataan Ruang yakni peraturan Undang-Undang Nomor 26 yang dibentuk pada tahun 2007, didalam pasal 10 ayat (1) huruf a, bahwa wewenang pemerintah daerah provinsi diantaranya berupa regulation (pengaturan), development (pembinaan) serta control (pengawasan) kepada proses berjalannya tata ruang di tiap-tiap daerah maupun kawasan strategis di daerah tingkat II (kabupaten/kota)19. Pengaturan tata ruang wilayah tersebut tentunya harus memberi inovasi baru pada kebijakan sekaligus memunculkan sanksi dari penggunaan wilayah pantai yang melebihi dari batas-batas sempadan pantai seharusnya. Tujuannya agar praktik privatisasi pantai tidak kembali dilakukan dalam menjalankan usaha pariwisata. Sebab, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dalam Perda RTRW Provinsi Bali yang dibuat dan diperuntukkan pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2029, yakni pasal 1 angka 44 hanya menguraikan bahwa sempadan pantai adalah sebuah ruang publik dan kawasan perlindungan pantai yang pemanfaatannya hatus memperhatikan daya dukung serta kepentingan umum guna menjaga kawasan pesisir pantai baik dari segi kelestarian ekosistemnya, kesucian dan kesakralan wilayahnya, keamanan kontruksinya, serta tersedianya ruang dan akses bagi publik. Jaminan atas terbukanya jalur nelayan setempat, terjaganya kelestarian lingkungan, bencana tsunami yang jauh jangkauannya dari bangunan, dan terjamin penggunaannya sebagai akses publik terhadap dan di wilayah pantai pun juga akan dirasakan apabila dibentuknya pengaturan hukum serta sanksi yang jelas mengenai praktik privatisasi pantai tanpa adanya hak atas tanah.
Wujud nyata dari privatisasi pantai yang terjadi dalam dunia pariwisata tanpa adanya hak atas tanah khususnya di areal sempadan pantai bisa dilihat dari pemasangan beton di area pantai depan hotel ataupun resort, penutupan akses masuk pantai di bawah tebing menjadi tangga sebagai akses jalur masuk privat, peletakan jejeran kursi pantai di wilayah pantai, serta pemasangan penunjuk arah tertulis “This Area is Reserved for Hotel Guest Activity”, yang berarti bahwa kawasan itu telah direservasi dan secara langsung diperuntukkan kepada tamu dari penyedia akomodasi
pariwisata yang akan menginap ataupun beraktivitas disana. Hal serupa yang terjadi dengan salah satu pantai di Bali yakni, Pantai Sanur yang termasuk telah mengalami salah satu bentuk privatisasi pantai, berupa pengusiran wisatawan lokal yang sedang bermain pasir oleh pihak resort di wilayah pesisir Pantai Sanur. Apabila praktik privatisasi pantai terus dilakukan dan dibiarkan, tentunya akan semakin memberi kesempatan kepada pengusaha pariwisata tertentu untuk semena-mena dalam memanfaatkan wilayah pantai yang akan berakibat pada semakin meluasnya daerah dan pantai-pantai yang tersebar di Indonesia untuk dilakukan praktik privatisasi. Disini diperlukan peran penting pemerintah untuk melakukan wewenangnya sesuai dengan undang-undang sekaligus mengimplementasikan isi dari Undang-Undang mengenai Penataan Ruang Nomor 26 yang dibentuk pada tahun 2007, didalam pasal 10 ayat (1), berupa menjalankan control atau pengawasan terhadap bagaimana realitas proses berjalannya tata ruang di tiap-tiap daerah maupun kawasan strategis di daerah tingkat II (kabupaten/kota). Selain itu, sangat diperlukan pengaturan khusus sebagai payung hukum dari pemerintah, yakni pemerintah daerah (Pemda), untuk memproteksi areal pantai dari praktik privatisasi tanpa adanya hak atas tanah dan eksploitasi oleh pengusaha jasa akomodasi pariwisata. Sebab, didalam peraturan sebelumnya, yakni isi dari pasal 1 angka 44 dalam Perda Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16 mengenai RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Provinsi Bali Tahun 2009 sampai dengan tahun 2029, hanya mengatur mengenai tapal batas pesisir atau sempadan sebagai sebuah ruang publik dan kawasan perlindungan pantai yang memiliki manfaat dan kepentingan umum. Melalui pengaturan khusus tersebut, selain dapat memberikan efek sanksi dan efek jera kepada pelaku praktik privatisasi areal pantai, nantinya juga akan mampu untuk mengisi kekosongan hukum dan terciptanya kepastian hukum untuk menindaklanjuti praktik privatisasi di areal pantai dan penggunaan sempadan pantai yang melewati batasnya.
Daftar Pustaka
Buku
-
A. Diraputra, Suparman, Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu: Sistem Hukum dan Kelembagaan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu, (Bogor, PKSPL IPB, 2001).
Akhmad, Fauzi, Kebijakan Perikanan dan Kelautan, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005).
Skripsi
Marzuki, Muhammad Azwardin. “Tinjauan Hukum Terhadap Pemanfaatan Perairan Pesisir untuk Kegiatan Usaha di Kota Makassar”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, (2018).
Jurnal Ilmiah
Sugito, Nanin Trianawati dan Sugandi, Dede. “Urgensi Penentuan dan Penegakan Hukum Kawasan Sempadan Pantai.”, Jurnal Gegografi Gea, Vol. 8 No. 2 (2016).
Artaya, Ari. “Kewenangan Pemerintah Kabupaten Badung dalam Pengendalian Perizinan Pembangunan Sarana Akomodasi Pariwisata.”, Jurnal Magister Hukum (Udayana Master Law Journal) Vol. 5 No. 3 (2016).
Sanjiwani, Putri Kusuma. “Pengaturan Terhadap Privatisasi Sempadan Pantai Oleh Pengusaha Pariwisata di Provinsi Bali.”, Jurnal Fakultas Sarjana Pariwisata Udayana Vol. 16 No. 1 (2016).
Saputra, Muhammad Ilham. “Penguasaan Tanah Pantai dan Wilayah Pesisir di Indonesia.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Vol. 15 No. 1 (2015).
Soly, Yona Yonanda dan Prianto, Yuwono. “Kesadaran Hukum Masyarakat atas Penetapan Batas Penguasaan Tanah/Ruang di Wilayah Pesisir dan Pantai.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Jakarta Vol. 2 No. 1 (2017).
Santoso, Wahyu Yun. “Tarik Ulur Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Era Otonomi Daerah: Kajian Terhadap Proyek Konservasi Kawasan Segera Anakan Cilacap.” Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol. 6 No. 50 (2005).
Mugiyati. “Privatisasi Aset Publik Sebagai Kebijakan Ekonomi Menurut Konsep Al Milkiyah.” Jurnal Al Hikmah Vol. 3 No. 2 (2013).
Irnawan, Alzaena Geanina dan Suryawan, Ida Bagus. “Privatisasi Sempadan Pantai oleh Akomodasi Pariwisata di Denpasar.” Jurnal Fakultas Pariwisata Sarjana Destinasi Pariwisata Vol. 7 No. 2 (2019).
Pujiyati, Yani, Imami, Amiruddin A. Dajaan dan Maesha, Alya. “Status Penguasaan Tanah di Kawasan Pantai dan Pesisir yang Dijadikan Kawasan Permukiman Rumah Pelantar di Kabupaten Kepulauan Anambas.” Hermeneutika : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 4 No. 2 (2020).
Kurnia, Syasya Indah, Prastyawati, Rani dan Arafah, Nur Mahda. “Kajian Normatif Terhadap Bangunan yang Berdiri di Atas Kawasan Sempadan Pantai di Kabupaten Penajem Paser Utara.” Jurnal Lex Suprema Vol. 2 No. 2 (2020).
Pemayun, Cokorda Istri Sri Pradnyaswari dan Sudirta. “Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali Terhadap Pengelolaan Sempadan Pantai Secara Privat Terkait Keadilan Bagi Publik dalam Perspektif Hukum Tata Ruang”. Jurnal Kertha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Vol. 7 No. 8 (2019).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Internet
Anonim. Bagaimana Pengaturan Terkait dengan Hak Atas Tanah yang Berada di Sempadan Pantai?. https://dunianotaris.com/bagaimana-pengaturan-terkait-dengan-hak-atas-tanah-yang-berada-di-sempadan-pantai.php, diakses pada 29 Maret 2021.
TribunBali.com. Soal Banyak Pelanggaran Sempadan Pantai Diprivatisasi, Dinas PUPR Provinsi Bali akan Lakukan Ini.
https://bali.tribunnews.com/amp/2021/03/27/soal-banyak-pelanggaran-sempadan-pantai-diprivatisasi-dinas-pupr-provinsi-bali-akan-lakukan-ini, diakses pada 29 Maret 2021.
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 12 Tahun 2022 hlm 1299-1309
1309
Discussion and feedback