Analisis Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10

Tahun 2020 dan Surat Edaran Nomor 497 Tahun 2020

Ni Made Krisnayanthi, Fakutas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Ketut Ariawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperluas wawasan tentang Permenkuham No. 10/2020 dan SE No. PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 serta mengetahui yang menjadi persyaratan untuk narapidana mendapatkan pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas mengetahui perbedaan hak integrasi serta asimilasi Ketika keadaan normal dengan keadaan periode Covid-19. Metode penelitian yang digunakan berupa metode penelitian hukum normatif yang dimana menggunakan sistem pengumpulan serta menganalisis bahan yang didapatkan baik itu bahan primer dan sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu perundang-undangan, sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu buku, dan jurnal hukum. Jurnal ini menggunakan pendekatan pada peraturan perundang- undangan (the statue approach), pendekatan analisis (analytical approach). Hasil dari studi menyatakan Terdapat respon negative dari masyarakat yang menyebabkan adanya “Pemerkuham No. 10/2020 yang disertai dengan SE No: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020” mengenai pembebasan pidana oleh pemerintah. Simpulan yang menjelaskan mengenai “pembebasan bersyarat narapidana Indonesia sesuai ketentuan Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 KUHP”. Proses tersebut melewati hak integrasi serta hak asimilasi yang sudah ditetapkan ketika darurat Virus Covid-19 yang tidak bisa ditetapkan pada Indonesia ketika kondisi yang normal. Sesuai dengan simpulan tersebut, didapati saran jika pemerintah hendaknya melihat dan menganalisa masa berlaku akan putusan tentang bebasan narapidana saat pandemic Virus Covis-19.

Kata Kunci : Pembebasan Bersyarat, Virus Covid-19, Perundang- undangan

ABSTRACT

This research aims to expand the horizons about Permenkuham No. 10/2020 and SE No. PAS-497. PK.01.04.04 of 2020 and knowing the requirements for prisoners to get parole and leave before being free to know the differences in integration and assimilation rights when the situation is normal with the state of the Covid-19 period. The research methods used is normative legal research methods that use the collection system and analyze the materials obtained both primary and secondary materials. The primary legal materials used are legislation, while the secondary legal materials used are books, and legal journals. This journal uses an approach to legislation (the statue approach), analytical approach (analytical approach). The results of the study stated that there was a negative response from the community that caused the existence of "Pemerkuham No. 10/2020 which was kept with SE No: PAS-497. PK.01.04.04 of 2020" regarding criminal release by the government. The conclusion explaining "the parole of Indonesian prisoners in accordance with the provisions of Article 15, Article 16, and Article 17 of the Criminal Code". The process bypasses the integration rights and assimilation rights that have been established during the Covid-19 Virus emergency that cannot be established in Indonesia when conditions are normal. In accordance with the conclusion, it was found that the government should look at and analyze the validity period of the verdict on the release of prisoners during the Covis-19 Virus pandemic.

Keywords: Conditional Release, Covid-19 Virus, Legislation.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki visi dan misi yang harus diwujudkan sesuai visi dan misi yang telah ditetapkan. Visi dan misi negara Indonesia terdapat pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) alainea ke-4 yakni “mencerdaskan kehidupan dan melindungi segenap bangsa Indonesia”. Mercerdaskan yang dimaksud pada UUD tersebut juga merupakan perlindungan akan kesehatan yang diupayakan oleh pemerintah untuk masyarakatnya. Pada perlengkapan kebutuhan hidup manusia dimunculkan dari perilaku masyarakat itu sendiri. Perilaku masyarakat dikuasai oleh hukum yang turut ikut campur akan urusan nya sebelum lahir ke dunia hingga setelah kembali kepada-Nya. Karena itulah Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum yang selaras dengan “Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 setelah diamandemen ketiga dan disahkan 10 November 2001. Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum yang dimaksud yakni seluruh fungsi dan system kehidupan manusia dalam kehidupan masyarakat, negara serta pemerintahan yang wajib sesuai dengan putusan hukum. Hukum adalah kekuasaan hidup yang mana menjadi kekuasaan yang memberi aturan serta memberikan paksaan. Namun, hukum juga sebagai kekuasaan yang tetap dan dapat memberikan perkembangan dikarenakan aparatur hukum memuat aturan hukum yang berkembang.

Negara hukum dalam menyelesaikan visi serta misi mereka mempunyai pemerintahan yang mengawasi. Dengan hal itu, pemerintah memiliki peran menganalisa penderita ataupun kematian yang terjadi pada warga negara nya. Pada 2019, Virus Covid-19 menyerang seluruh dunia yang mengguncang kondisi aspek kehidupan pada negara.

Menurut peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 949/MENKES/SK/VIII/2004: “KLB (Kejadian Luar Biasa) berbahaya karena bisa menjatuhkan korban karena kesakitan dan kematian yang banyak, menyerap anggaran yang besar dalam penanggulangannya, berdampak pada sektor ekonomi, pariwisata serta berpotensi menyebar luas lintas kabupaten/kota, provinsi bahkan international yang membutuhkan koordinasi dalam penanggulangannya.”

Virus Covid-2019 sudah ditetapkan WHO sebagai “kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)” Pertimbangan akan meningkatnya penyebab virus tersebut, Indonesia juga ditetapkan sebagai salah satu negara yang terpapar virus Covid-19.

Pada mulanya tanggal 8 Desember 2019, virus ini terdapat di Wuhan, China yang menyebabkan sebanyak 27 orang menderita penyakit paru-paru yang tidak normal, pneumonia, kesulitan bernafas, serta demam. Kasus ini mulai menyebar sampai sebanyak 59 terkonfirmasi pada tanggal 2 Januari 2020. Penelitian pun dilakukan dan memaparkan hasil bahwa virus ini disebabkan dari pasar makanan laut yang terdapat di Wuhan, China. Pada pasar tersebut menjual ular, kelinci, tikus dan hewan lainnya disamping makanan serta hewan laut. Dengan demikian, pada mulaya para ahli memberikan dugaan jika virus tersebut berhubungan dengan SARS dan MERS sama dengan kasus China dan Arab Saudia terdahulu. “SARS merupakan virus dari kucing luwak, sedangkan MERS merupakan virus yang dijangkitkan unta.” Virus Covid-19 ini dilaporkan China pada 5 Januari 2020 dengan 41 pasien terinfeksi serta 1 pasien meninggal

dunia. Virus ini disebut sebagai “Novel coronavirus atau 2019-nCoV” dan diverifikasi oleh WHO. Virus tersebut termasuk dalam jenis Zoonozis, yakni virus yang ada pada manusia dikarenakan paparan yang bersumber dari hewan. Pada mulanya, kasus ini ditemukan di negara Thailand pada 13 Januari lalu. Kasus tersebut disebabkan karena masyarakat dari China yang bepergian ke Thailand. Kasus lain ditemukan di negara Jepang yang terkonfirmasi virus dari warga China yang menetap di Jepang pada 16 Januari 2020. Hal ini menimbulkan kebingungan dari para ahli dikarenakan warga tersebut tidak pernah melakukan kunjungan ke pasar Wuhan yang telah dijelaskan sebelumnya. Para ahli berpendapat jika warga tersebut tertular saat banyak kontak langsung dengan masyarakat yang mengalami pneumonia saat di Wuhan. Dengan demikian, CIDRAP atau “Pusat Penelitian dan Kebijakan Penyakit Menular” memaparkan jika virus tersebut dapat tertular antar manusia ke manusia.

Data real time dari The GISAID Global Initiative on Sharing All Influenza Data (by Johns Hopkins CSSE), “menyatakan kurang lebih ada 69 negara yang berjuang untuk menyingkirkan ancaman virus corona. 69 negara tersebut, termasuk dengan negara Indonesia yang pada tanggal 2 Maret 2020 telah masuk ke dalam negara yang terjangkit virus Corona.”

Pada 2, Maret 2020 presiden mengidentifikasi virus tersebut telah menimpa dua masyarakat di Indonesia yang berada di Jawa Barat dan di Depok. Pasien itu yakni ibu dan anak yang terlibat kontak langsung dengan warga Jepang yang terjangkit virus. Masyarakat Jepang itu diketahui saat ia berada di Malaysia sehingga terdapat penyebaran begitu krusial dari virus tersebut. Kasus virus di Indonesia pada mulanya juga dikarenakan terdapat pesta dansa di Jakarta yang mana pesta tersebut tidak hanya warga negara Indonesia saja, namun beberapa warga negara lain serta warga yang terpapar virus di Jepang itu.

Ketetapan-ketetapan yang ditentukan sebagai hukum positif memiliki perkembangan atas tujuan pada hukum positif juga hendaknya terdapat perubahan serta perkembangan berdasarkan aturan yang diperlukan warga pada kala itu. Kemudian, pemerintah menetapkan aturan baru dalam menanggapi Covid-19 ini. Aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yakni “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (PP no. 21/2020).” Filosofi dikeluarkan PP No. 21/2020 terpapar pada konsideras butir B yang menyatakan “bahwa dampak penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah mengakibatkan terjadi keadaan tertentu sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan, salah satunya dengan tindakan pembatasan sosial berskala besar” PP No. 21/2020 pasal 1 menjelaskan pengertian tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB) yang menyatakan, “Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9).” Pada pelaksanaan aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut, dijumpai beberapa problem. Dikarenakan terdapat PP 21 tahun 2020 kemudian ditetapkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 (Permenkuham No. 10/2020) dan Surat Edaran dengan Nomor PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 (SE No: PAS-497.PK.01.04.04

Tahun 2020) yang “mengatur tentang Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Guna Mencegah Penyebaran Virus Corona.” Direktorat jenderal pemasyarakatan kementerian hukum dan HAM memaparkan sejumlah 35.676 narapidana yang berhasil mengikuti pembebasan per tanggal 8 April 2020 yang mana mereka mengikuti aturan pada program integrasi dan asimilasi sebagai wujud atau upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi persebaran virus Covid-19 di Indonesia. Tetapi seusai penetapan Permenkuham No. 10 Tahun 2020 dan SE No: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 timbul problem baru yang menyulitkan pemerintah. Problem tersebut berhubungan dengan keresahan masyarakat saat pembebasan narapidana. Hal itu dimuat dalam berita yakni “Baru keluar dari penjara melalui program asimilasi rumah sesuai keputusan menteri hukum dan HAM dalam rangka pencegahan Coronavirus Disease, narapidana bernama Rudi Hartono di Wajo, Sulawesi Selatan (Sulsel), kembali dijebloskan ke dalam penjara. Rudi tertangkap kembali karena hendak mencuri di rumah warga. Peristiwa ini merupakan perilaku hukum yang terjadi dimasyarakat.” Menurut Friedman, “Istilah Legal Behavior (perilaku hukum) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah, atau undang-undang, yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Jika saya berperilaku secara khusus atau mengubah perilaku saya secara khusus karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah, atau amanat atau perintah dari pemerintah atau dari sistem hukum atau dari pejabat di dalamnya inilah perilaku hukum. Aturan Pemerintah mengenai PSBB yang dimuat agar pencegahan sebaran Virus Covid-19 tidak untuk memunculkan problem hukum yang baru. Tetapi, kasus baru mengenai pencurian dari narapidana yang diberikan kebebasan akan program terkait. Dengan latar belakang yang demikian, penulis merasa terdorong untuk mebahas mengenai problem tersebut.

Terdapat dua penelitian yang memiliki pembahasan yang sama dengan penelitian ini, pertama yang berjudul “Problematika Kebijakan Pembebasan Narapidana Dalam Meminimalisir Penyebaran Covid-19 Terhadap Potensi Kejahatan Refetitif Recidive” oleh Annisa Suci Rosana penelitian ini berfokus kepada problematika yang terjadi akibat pembebasan narapidana menurut Permenkuham No. 10/2020.1 Kedua berjudul “Kajian Kritis Terhadap Pembebasan Narapidana Dimasa Pandemi Covid-19” oleh Asri Agustiwi penelitian ini berfokus pada efektifitas pemberlakuan Permenkuham No. 10/2020.2 Sedangkan dalam penelitian yang saya lakukan berfokus kepada kesesuaian Permenkuham No. 10/2020 dengan hukum positif di Indonesia dan apa yang menjadi persyaratan untuk narapidana mendapatkan pembebasan bersyarat.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah Permenkuham No. 10/2020 dan SE No. PAS-497.PK.01.04.04

Tahun 2020 benar sesuai dengan hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Apa yang menjadi persyaratan untuk narapidana mendapatkan pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas?

  • 3.    Apa perbedaan hak integrasi serta asimilasi ketika keadaan normal dengan keadaan periode Covid-19?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Memperluas wawasan tentang Permenkuham No. 10/2020 dan SE No.

PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020

  • 2.    Mengetahui yang menjadi persyaratan untuk narapidana mendapatkan pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas

  • 3.    Mengetahui perbedaan hak integrasi serta asimilasi Ketika keadaan normal dengan keadaan periode Covid- 19

  • II.    Metode Penelitian

Penulis memakai metode penelitian hukum normatif yang dimana menggunakan sistem pengumpulan serta menganalisis bahan yang didapatkan baik itu bahan primer dan sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu perundang- undangan, sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu buku, dan jurnal hukum. Jurnal ini menggunakan pendekatan pada peraturan perundang- undangan (the statue approach), pendekatan analisis (analytical approach).

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Kesesuaian Permenkuham No. 10/2020 dan SE No. PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 dengan Hukum Positif di Indonesia

Penjatuhan pidana kepada orang yang dianggap bersalah menurut hukum pidana, secara garis besar dapat bertolak dari perbuatan terpidana dimasa lalu dan/atau untuk kepentingan dimasa yang akan datang. Apabila bertolak dari perbuatan dimasa lalu, maka tujuan pemidanaan adalah sebagai pembalasan, tetapi apabila berorientasi untuk kepentingan dimasa yang akan datang, maka tujuan pidana adalah untuk memperbaiki kelakuan terpidana3

Penetapan aturan pembebasan narapidana dari Menteri Hak Asasi Manusia serta Hukum menimbulkan respon positif dan respon negative dari masyarakat oleh Yassona Lady. Putusan tersebut memproses pembebasan sejumlah 35.676 napi bebas dikarenakan kasus virus tersebut. Mereka diproses pembebasan oleh Menteri dengan program integrasi serta asimilasi yang terhubung dengan usaha penanggulangan serta pencegahan virus di “lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan lembaga pembinaan khusus anak (LPKA).”

Program yang dijalankan oleh Menteri tersebut menimbulkan kontroversial dan ambivalensi bagi masyarakat. Kondisi yang dimaksud yakni keadaan yang mana hasrat mengharapkan suatu keadaan namun harus

memberikan penolakan pada hal itu secara berbarengan.4 Ambivalensi mempunyai arti perasaan yang tidak sinkron dengan keadaan pada seseorang dalam periode saat itu juga. Urgenitas yang mendorong terjadinya respon negative masyarakat akan napi yang diberikan kebebasan bersyarat tetsebut ditetapkan pada “Pemerkuham No. 10/2020 yang disetai dengan SE No: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 yang merupakan produk eksekutif dan KUHP dan UU No. 12/1995 yang merupakan produk legislatif.” Namun, juga ada kondisi urgensi dari pemerintah terkait virus covid-19 yang ditetapkan dalam “Pemerkuham No. 10/2020 yang disetai dengan SE No: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 yang merupakan produk eksekutif lebih diutamakan sebagai langkah cepat dan untuk menyesuaikan KLB di dalam masa pandemi corona ini.” Kegiatan tersebut masuk pada pemberian hak integrasi serta hak asimilasi pada napi hal tersebut sebagai usaha dari pemerintah saat pencegahan penyebaran Covid-19 serta mendistribusikan hak asasi pada narapidana pula. Kejadian tersebut dkarenakan kondisi tempat napi melebihi kapasitaas yang berlaku.

Pengeluaran Permenkumham No. 10/2020 serta SE No: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 pada kondisi darurat demi pencegahan sebaran Virus Covid-19 yang memiliki sifat sementara dan menjadi virus tersebut namun tidak seterusnya. Kondisi darurat dalam bebasnya napi memunculkan pendapat pragmatis. Hal ini dimaknakan sebagai kebenaran hukum berkaitan erat dengan kebermanfaatan hukum. Dengan demikian. Pada pandangan pragmatis, tidak memiliki orientasi dalam proses terjadinya hukum namun output dari hukum tersebut5. Suatu hal dinyatakan tepat jika memiliki kebermanfaatan untuk kehidupan seseorang. Sanksi dalam hukum pidana merupakan derita yang harus diterima sebagai imbalan dari perbuatannya yang telah merugikan orang lain atau masyarakat. Akan tetapi kenyataannya terpidana setelah menjalani hukuman penjara misalnya, bukan menjadi jera, tapi malah mengulangi tindak pidana (residivis).6

Mengenai residivis ditetapkan pada bab khusus yang mana pada buku I KUHP yaitu bab XXXI yang berjudul “Aturan Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan Berbagai Bab” Peneatapan tersebut ditetapkan pada pasal 488 KUHP, 487 KUHP dan 486 KUHP sesuai dengan aturan pada pasal-pasal itu, “residivis itu adalah pengulangan suatu tindak pidana oleh pelaku yang sama, yang mana tindak pidana yang dilakukan sebelumnya telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap, serta pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu, maka untuk pelaku pengulangan tindak pidana (residivis) akan dikenakan tambahan sepertiga dari ancaman pidana maksimal dari tindak pidana yang dilakukannya”.

Pada pemberlakuan insentif hukum dipaparkan dalam aturan tentang asimilasi Narapidana yang dilakukan di rumaah masing-masing serta diberikan

bimbingan dan awasan oleh “BAPAS”. Napi yang dipenuhi dengan asimilasi tersebut wajib menaati persyaratan yang diatur pada paasal 2 ayat 2 Permenkuham No. 10/2020 yakni “berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan telah menjalani 1⁄2 (satu per dua) masa pidana.”

  • 3.2.    Persyaratan untuk Narapidana Mendapatkan Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas

Stimulus yang berwujud hak integrasi pada pemaparan bebasan yang memiliki syarat, cuti menjelang bebas kemudian cuti yang memiliki syarat mempunyai persyaratan yang wajib ditaati napi serta anak tentang “Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas” dilihat pada pasal Pasal 9 Permenkuham No. 10/2020 yang dapat diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat yang dinyatakan “telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana, telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat.” Pembebasan bersyarat merupakan salah satu hak dari sekian banyak hal yang diberikan kepada warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi kriteria.7 Pengusulan pembebasan bersyarat suatu proses tidak serta merta diusulkan langsung keluar. Ada tahapan siding di lapas di dalamnya terdapat apakah si narapidana layak mendapatkan pembebasan bersyarat atau tidak.8

Kemudian, tentang penyaluran cuti bersyarat yang ditetapkan pada pasal 10 Permenkuham No. 10/2020 bisa ditetapkan pada napi yang sudah mematuhi persyaratan yakni “telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua pertiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 6 (enam) bulan, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 6 (enam) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana, telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat, dan masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana”.

Stimulus hukum misalnya asimlasi dilaksanakan untuk napi dan anak bisa berhubungan dengan masyarakat dengan pembinaan yang telah diberikan. Porses ini dilaksanakan untuk napi dan anak bisa menyesuaikan dan menjawab harapan yang tepat dengan keinginan warga dengan binaan yang baik akan menghasilkan perilaku yang baik pula. Persyaratan pemaparan asimilasi seperti “jika narapidana dan anak tersebut berperilaku baik, berperilaku aktif dan baik dalam program pembinaan serta telah menjalan 1/2 dari masa pidananya. Sedangkan narapidana yang melakukan kejahatan luar biasa mendapatkan

asimilasi jika ia berperilaku baik, mengikuti program secara aktif dan baik dan telah menjalani hukuman 2/3 dari masa pidananya. Pemberian asimilasi diberikan dengan cara kerja sosial”. Stimulus hukum pembebasan bersyarat dilakukan demi pembebasan “narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari sembilan bulan”.

Penyaluran hak integrasi serta asimilasi pada napi menyebabkan kondisi warga yang khawatir akan memunculkan beragam ancaman ynag dilaksanakan napi, urgensi tersebut dibernarkan dikarenakan kondisi yang disebabkan oleh Corona Virus dengan problem lainnya. Namun, warga sekitar harusnya yakin akan keputusan atau aturan yang ditetapkan itu demi kepentingan berbagai pihak serta yakin akan putusan pemerintah telah dipertimbangkan sebaikmungkin agar timbulnya warga negara yang adil demi masyarakat dan napi pada kasus Virus Covid-19.

Penyaluran hak yang dijelaskan sebelumnya demi bisa terealisasi kehidupan yang aman, tentram dan adil. Penyaluran hak tersebut sebagai jaminan akan hak asasi manusia saat penyebaran Covid-19 pada para napi. Pemerintah memikirikan kondisi buruk apabila Covid-19 menyebar hingga ke lapas lalu akan menyebabkan kerugian yang besar akibat kelebihan kapasitas disana. Napi disana juga tidak menerapkan PSBB yang ditetapkan oleh pemerintah.

  • 3.3.    Perbedaan Hak Integrasi Serta Asimilasi Ketika Keadaan Normal dengan Keadaan Periode Covid-19

Pada KUHP ditetapkan tentang pembebasan bersyarat. Keadaan tersebut ditetapkan pada pasal 17, 16 dan 15 KUHP. “Pemberian pembebasan bersyarat yang merupakan hak integrasi narapidana dalam kehidupan masyarakat dengan tetap memenuhi syarat yang telah ditentukan.” Namun, terdapat pembatasan terpidana yang dapat dikenakan pidana bersyarat, yaitu terpidana yang divonis di bawah 1 tahun, dimana hakim berkeyakinan terhadap terdakwa dapat dilakukan pengawasan yang cukup terhadap dipenuhinya syarat-syarat yang telah ditetapkan.9 Dalam SE No. PAS- 497.PK.01.04.04 Tahun 2020 Pembebasan Narapidana dan Anak melalui integrasi (Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat), dengan kriteria “telah menjalani 2/3 masa pidana, narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP 99 tahun 2012, yang tidak menjalani subsidaer dan bukan warga negara asing, usulan dilakukan melalui sistem database pemasyarakatan, dan surat keputusan integrasi diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Kemudian melakukan penyederhanaan Syarat dokumen dengan cara mengganti penelitian kemasyarakatan dengan Laporan Perkembangan Pembinaan dan mengganti surat jaminan dengan surat pernyataan tempat tinggal/rumah ditandatangani oleh narapidana”. Apabila pada keadaan normal, “Syarat Pemberian Pembebasan Bersyarat Pembebasan Bersyarat” bisa disalurkan pada napi yang sudah menaati persyaratan. Persyaratan yang dimaksud, ada pada Pasal 82 Permenkuham No 3/2018. Lalu persyaratan itu dijelaskan dengan tambahan dokumen. Dokumen yang dimaksud itu ditetapkan pada padal 83 ayat 1 Permenkuham No. 3/2018 .

Setelah melengkapi dokumen terdapat tata cara pemberian pembebasan bersyarat untuk narapidana tersebut. Hal ini diatur didalam pasal 95, pasal 96, pasal 97, pasal 98 dan pasal 99 Permenkuham 3/2018.

Dalam keadaan normal, pemberian hak untuk pembebasan bersyarat hanya akan diberikan untuk “narapidana yang telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan; dan berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana.” Sedangkan dalam masa pandemi corona hak tersebut diberikan untuk napi yang telah menjalani 2/3 masa tahanan. Proses administratif berjenjang dan membutuhkan waktu, juga disederhanakan.

Dalam pemberian asimilasi terhadap narapidana tentu memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat asimilasi yang terdapat didalam SE No. PAS- 497.PK.01.04.04 tahun 2020 “Pengeluaran Narapidana dan Anak melalui asimilasi di rumah dengan kriteria Narapidana yang 2/3 (dua per tiga) masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, anak yang 1/2 (satu per dua) masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP 99 Tahun 2012, yang tidak menjalani subsidaer dan bukan warga negara asing dan asimilasi dilaksanakan di Rumah sampai dengan dimulainya integrasi berupa Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Kemudian surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas, Kepala LPKA dan Kepala Rutan. Serta terdapat penyerdehanaan syarat didalam SE No. PAS- 497.PK.01.04.04 tahun 2020 yakni Melakukan penyederhanaan Syarat dokumen dengan mengganti penelitian kemasyarakatan dengan Laporan Perkembangan Pembinaan dan mengganti surat jaminan dengan surat pernyataan tempat tinggal/rumah ditandatangani oleh narapidana”. Sebelum Pandemi Covid-19 proses asimilasi juga dilakasanakan dengan cara memberi kesempatan kepada warga binaan bekerja dan menambah keterampilan kerja10. Apabila mengetahui persyaratan pada asimilasi yang ada pada SE No. PAS- 497.PK.01.04.04 tahun 2020, penaluran hak asimilasi itu tetap dilaksanakan pada lingkungan dalam aturan yang sudah diatur, hanya ada sedikiit kelonggaran.

Pada persyaratan pemberian hak asimilasi apabila pada keadaan normal, persyaratan pendistribusian hak asimilasi bisa ada pada pasal 44 Permenkumham No. 3/2018.Pada proses tersebut memerluan periode yang ditetapkan. Tim lapas akan melakukan pendataan pada napi yang telah sesuai dengan persyaratan pada hak pendistribusian asimilasi sehingga bisa direkomendasi penayluran hak asimilasi pada pihak terkait. Kemudian, pihak yang bersangkutan memaparkan usulan itu pada dirjen lapas dan seusai menerima konfirmasi lanjutan, dirjen akan menyalurkan hal tersebut pada Menkuham. Persyaratan pada pendistribusian hak integrasi serta hak asimilasi dengan dokumen yang sudah ditetapkan pada “pasal 46 ayat 1 Permenkuhan No. 3/2018. Dalam pemberian asimilasi juga diatur tata cara pelaksanaannya. Tata cara pemberian asimilasi diatur dalam pasal 51 Permenkuhan No. 3/2018.”

Kegiatan distribusi akan hal integrasi serta asimilasi yang disederhanakan. Napi sesuai diperiksa dan telah sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan, ia akan diberikan hak tersebut tanpa waktu yang disia-siakan. Hal itu dikarenakan pada proses tersebut disederhanakan dan akibat dari penyederhanaan tersebut terdapat persyaratan yang berhubungan yakni periode tahanan menjadi lebih ketat. Pada aturan Permenkuhan No. 3/2018 Narapidana yang mempunyai hak demi menerima hak yang telah dijelaskan sebelumnya yakni napi yang sudah usai periode tahanan hingga 1/2 periode. Tetapi pada SE No. PAS- 497.PK.01.04.04 tahun 2020 napi yang disalurkan hak tersebut yakni napi yang sudah usai periode tahanan hingga 2/3 periode hingga tanggal 31 Desember 2020.

Kesimpulannya, persyaratan pada bagian administrasi sudah diberikan keringanan tetapi terdapat konsekuensi berupa persyaratan substantifnya (masa tahanan) diperketat dari 1/2 masa pidana berubah 2/3 masa pidananya hingga tanggal 31 Desember 2020. Tetapi, pada kondisi pandemic Virus Covid-19 ditujukan psikotropika, precursor narkotika serta napi narkotika diberlakukan bagi napi dengan jatuhan hukuman 5 tahun. Napi melaksanakan gerakan pidana korupsi, prekuros narkotika, narkotika, psikotropika, terorisme maupun kejahatan berat lainnya yang membahayakan kemaanan hak asasi manusia dan kejahatan transasional terorginir, rakyat asing tidak masuk pada napi yang bisa menerima aturan yang ditetapkan yaitu hak integrasi atau hak asimilasi.

Sesudah menganalisa perbedaan pada penyaluran hak yang diberikan pemerintah kepada napi yakni hak integrasi serta asimilasi ketika keadaan normal serta periode Covid-19 sebetulnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan dikarenakan aturan pada lingkup ini tidak mengalami perbedaan dengan aturan lama dikarenakan hak yang diberikan berupa hak integrasi serta asimilasi masih memakai aturan yang lama. Tetapi, pada kasus yang terjadi pada napi yang melakukan Tindakan negatif setelah menerima hak tersebut disebabkan atas kurang kesadaran pada napi yang terkait namun bisa juga karena terdapat persyaratan yang sederhana pada saat administrasi yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Dikarenakan kelalaian tersebut, napi yang dikeluarkan tidak memiliki kualitas dan kuantitas yang layak seperti harapan masyarakat dan menyebabkan ancaman keamaan bagi penduduk sekitar. Ini karena minimnya upaya pemerintah dalam mempersiakan dengan matang.

Minimnya kesadaran pada napi dan sederhana akan persyaratan yang ditetapkan napi akan dikhawatirkan oleh masyarakat saat pandemic Covid-19 menyerang. Juga termasuk napi yang mendapat hak integrasi serta hak asimilasi namun melalaikan apa yang ditetapkan dan tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya. Napi yang dibebaskan secara bersyarat tetapi masih membuat onar lagi akan mendapatkan konsekuensi yang sepadan akan perbuatannya. Apabila tindak pidana tersebut diketahui pihak berwajib, maka napi akan digiring ke straft cell lalu akan diberlakukan kembali atas tindak pidana yang dilakukan seusai menerima hak tersebut. Menteri HAM serta Menteri Hukum memberikan penegasan serta menyampaikan pada aturan “pembebasan bersyarat” tersebut dicabut dan kemudian napi terkena pelanggaran akan peraturan tentang pembebasan bersyarat tersebut. Direktur Jenderal sebagai Menteri bisa melepasakan pembebasan bersyarat itu dan sesuai dengan peraturan pada pasal 136 ayat 2 Permenkuham No. 3/2018.

Selain itu, terdapat aturan yang menetapkan tentang penyaluran hak integrasi serta asimilasi, pemerintah bertanggungjawab dalam mengawas para napi yang menerima hak tersebut akibat pandemic Covid-19. Pengawasan yang dilakukan pada napi yang sudah menerima pembebasan bersyarat dengan hak integrasi serta asimilasi tersebut dilaksanakan pemerintah dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Mereka melakukan tugas yakni bimbingan dan pengawasan yang ketat pada napi di “Balai Permasyarakatan”. Tugas tersebut dilaksanakan dengan arahan agar para napi yang menerima hal akan integrasi serta asimilasi tersebut tidak melaksanakan Tindakan pidana apalagi pada masa pandemic Covid-19.

  • IV.    Kesimpulan

Pembebasan bersyarat narapidana Indonesia sesuai ketentuan Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 KUHP. Proses tersebut melewati hak integrasi serta hak asimilasi yang sudah ditetapkan ketika darurat Virus Covid-19 yang tidak bisa ditetapkan pada Indonesia ketika kondisi yang normal. Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dilihat pada pasal Pasal 9 Permenkuham No. 10/2020 yang dapat diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat yang dinyatakan telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana, telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat.”

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Mandiana, Sari. “Hand Out Metode Penelitian Hukum Yuridis Normatif-Doktrinal”, (Surabaya, 2018).

Djanim, Rantawan. “Masalah Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana Dan HAM Pada Peradilan Pidana; Hukum Pidana Masa Kini”, (Total Media, Jakarta, 2014).

Jurnal Ilmiah:

Agustiwi, Asri. “Kajian Kritis Terhadap Pembebasan Narapidana Dimasa Pandemi Covid-19. Rechstaat Nieuw- Fakultas Hukum Universitas Surakarta 5, no. 1 (2020).

Darmawati. “Aspek Hukum Pemenuhan Hak Atas Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Korupsi.” Jurnal Restoratif Justice- Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo 3, No. 2 (2019).

Efendi, Agik nur. “Membaca Resistensi Terhadap Kolonialisme Dalam Cerpen Samin Kembar Karya Triyanto Triwikromo.” Jurnal Pendidikan Bahasa dan SastraUniversitas Negeri Malang 16, no. 12 (2016).

Gunarto, Marcus Priyo.“Sikap Memidana yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan”. Mimbar Fakultas-Hukum Universitas Gadjah Mada 21, no. 1 (2009).

Harefa, Beniharmoni. ”Kebenaran Hukum Perspektif Filsafat Hukum,” Jurnal Komunikasi Hukum 2, No.1 (2016).

Handoyo, Sapto. “Pelaksanaan Pidana Bersyarat Dalam Sistem Pemidanaan Indonesia” Pakuan Law Review 4, No. 1 (2018).

Hikmawati, Putri. “Pidana Pengawasan sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju keadilan Restoratif”, Negara Hukum 7, No. 1 (2016).

Rosana, Annisa Suci. “Problematika Kebijakan Pembebasan Narapidana Dalam Meminimalisir Penyebaran Covid-19 Terhadap Potensi Kejahatan Refetitif Recidive”. Jurnal Yustisiabel-Fakultas Hukum Universitas Muhamadiah Luwuk 5, no. 2 (2021).

Syaifuddin, Ahmad. “ Tinjauan Yuridis Terhadap Efektifitas Prosedur Pemberian Pembebasan Bersyarat Secara Online (System Database Pemasyarakatan) Dalam Proses Pembinaan Narapidana” Jurnal Spektrum Hukum- Lembaga Pemasyarakatan Kendal 16, No. 2 (2019).

Tanturu, Fernando. “Kajian Sosio-Yuridis Pembebasan Bersyarat dan Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana pada Masa Pandemi Covid-19 Ditinjau Dari Prespektif Tujuan Pemidanaan.” Jurnal Kreatif Mahasiswa Hukum- Fakultas Hukum Universitas Pattimura 1, No. 1 (2021).

Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Permasyarakatan.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 yang mengatur tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Surat Edaran dengan Nomor PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 yang mengatur tentang Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Guna Mencegah Penyebaran Virus Corona.

111

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 1 Tahun 2022 hlm 100-111