Overlapping Perlindungan Hukum Bentuk Tiga Dimensi di Indonesia

Ayu Nanda Pramasari Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ida Ayu Sukihana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan tentang konsep bentuk tiga dimensi dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, menganalisis terkait dualitas pengaturan bentuk tiga dimensi terhadap probabilitas tumpang tindih pengaturan. Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum normatif, dengan memanfaatkan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat dualitas pengaturan perlindungan hukum bentuk tiga dimensi di Indonesia yakni dalam Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri, adapun perlindungan tiga dimensi masing-masing Undang-Undang memiliki karakteristik perlindungan dan akibat hukum yang berbeda-beda. Menyikapi kondisi tersebut, diusulkan penataan batas antara merek 3D dan desain industri. Sudut pandang tersebut dapat dilihat dari aspek-aspek berikut: bentuk umum, formulir yang tidak dapat didaftarkan, pengakuan publik, penolakan karena penggunaan dan perluasan kekhasan yang disebabkan oleh logo yang menjadi ruang lingkup merek.

Kata Kunci: Kepastian Hukum, Bentuk Tiga Dimensi, Overlapping, Hak Kekayaan Intelektual

ABSTRACT

This study aims to analyze the regulation of the concept of three-dimensional form in the provisions of the legislation. Second, to analyze the duality of the arrangement of three-dimensional shapes on the probability of overlapping the arrangement. This research is classified as a normative legal research, by utilizing a statutory and conceptual approach. This study concludes that there is a duality of three-dimensional legal protection arrangements in Indonesia, namely in the Trademark Law and the Constitution, while the threedimensional protection of each law has different characteristics of protection and legal consequences. In response to these conditions, it is proposed to delineate the boundaries between 3D brands and industrial designs. This point of view can be seen from the following aspects: general form, forms that cannot be registered, public recognition, rejection due to use and extension of distinctiveness caused by the logo which is the scope of the brand.

Key Words: Legal Certainty, Three dimensional form, Overlapping, Copyright.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Merek memainkan peran utama dalam memperoleh posisi di pandangan konsumen, selain itu merk juga menjadi penting dalam hal pemasaran dan periklanan, dikarenakan orang sering kali menghubungkan kualitas, citra, maupun reputasi jasa dan barang dengan merek tertentu. Regulasi merek di seluruh dunia sekarang sebagian besar didasarkan pada Konvensi Paris untuk Perlindungan Kekayaan Industri dan Aspek Komersial Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs). Konvensi a quo melalui Kepres No. 24 tahun 1979 di ratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

Ketentuan merek diatur oleh UU No. 15 tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dagang dan Indikasi Geografis yang selanjutnya disebut UU Merek. Sistem perlindungan kekayaan intelektual mempunyai konsep tersendiri, terkhusus perlindungan terhadap merek yang dinamai merek non-tradisional, yaitu merek berdasarkan penampilan, bentuk, bau, suara atau rasa. Agar menjadi suatu merek dagang yang terdaftar, merek tersebut harus lulus dalam uji beda, non fungsionalitas dan representasi grafis. Ada beberapa contoh konsep merek non tradisional, seperti wewangian, suara, nama domain, gambar bergerak, tanda sentuh, bentuk bangunan, dan termasuk bentuk tiga dimensi. Sejatinya hak kekayaan intelektual (HKI) memiliki jangkauan perlindungan yang lebih luas dari sekedar merk dan merk tiga dimensi, adapun aspek perlindungan HKI meliputi: meliputi Merek dan Indikasi Geografis, Paten, Hak Cipta, Desain Industri, Rahasia Dagang, Perlindungan Varietas Tanaman Desain, dan Tata Letak Sirkuit Terpadu.1

Sebagai partisipan utama dalam pembangunan, manusia memiliki kreativitas, kemampuan kerja dan intensi dalam kemampuan intelektual. Masyarakat memiliki cara berpikir dan berperilaku tertentu, melalui karya, rasa dan kreasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut lahirlah budaya.2 Sehingga ratio d’etre HKI beranjak dari pemikiran jika seharusnya suatu kreativitas diberikan hak eksklusif sebagai bentuk imbalan atas jerih payah sang pencipta, tujuan dari sistem HKI ini yakni untuk memastikan kelangsungan proses kreatif dengan memberikan perlindungan hukum sebagaimana mestinya yang sesuai serta sanksi bagi mereka yang memakai kreativitas tersebut tanpa izin.3 UU Merek memberikan definisi bahwa “merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa”. Di sisi lain, ketentuan terhadap perlindungan bentuk tiga dimensi diatur pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (selanjutnya disebut UUDI ) bahwa “Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau

dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan”.

Lebih lanjut, pada ketentuan Pasal 1 angka 5 UUDI menentukan bahwa Pendesain yang menghasilkan kreasi desain industry (salah satunya adalah konfigurasi tiga dimensi) diberikan Hak Desain Industri oleh negara sebagai penghargaan atas hasil kreasi. Ketentuan Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa “Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut”, dengan demikian berdasar pada perspektif rezim UUDI juga memberikan perlindungan terhadap konfigurasi tiga dimensi sebagai hak eksklusif kepada Pendesain.

Salah satu kontroversi berkaitan dengan konfigurasi tiga dimensi adalah kasus Coca-Cola terhadap pendaftaran merek dan botol minuman. Fakta membuktikan bahwa botol tidak dapat dilindungi sebagai suatu merek secara keseluruhan, hanya dilindungi sebagian dari gambarnya, sedangkan disisi lain bentuk botol memiliki nilai estetika yang sama dengan gambar sebagai suatu merek. 4 Lebih lanjut, jangka waktu perlindungan antara merek dan desain industri memiliki perbedaan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 UU Merek, suatu merek mendapatkan perlindungan selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan sesudahnya dapat diperpanjang kembali masa perlindungannya. Kemudian jangka waktu perlindungan desain industri dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 5 ayat (1) UUDI. Ketentuan a quo secara tegas menyebutkan bahwa jangka waktu perlindungan desain industri diberikan selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan sesudahnya tidak dapat diperpanjang kembali masa perlindungannya. Berdasar pada ketentuan-ketentuan sebagaimana dijelaskan diatas maka, terdapat dualitas legal ground (dasar hukum) terhadap pengaturan bentuk tiga dimensi, yakni pada UUDI dan juga UU Merek. Dalam tahap inilah muncul tumpang-tindih antara kedua pengaturan tersebut. Pemahaman terhadap bentuk tiga dimensi sebagai bagian dari merek memiliki urgensitas kesatuan definisi demi menghindari overlapping kedua UU tersebut. Ketidakpastian terhadap definisi inilah yang dapat memicu kekeliruan mengenai diberikan atau tidaknya perlindungan di bidang HKI terhadap bentuk a quo. State of art penelitian ini dapat dibandingkan dengan penelitian-penelitian serupa, diantaranya penelitian berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Merek 3 Dimensi Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 402 K/Pdt.Sus/2011)” yang ditulis oleh Alif Kartika Irianti5 dan penelitian bertajuk “Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan Hak Atas Merek Ditinjau dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis” yang ditulis oleh Shahrullah dkk.6 Adapun kebaharuan penelitian ini dibanding penelitian sebelumnya yakni penelitian ini berfokus pada tumpang tindih pengaturan bentuk/konfigurasi tiga dimensi anatar

UU Merek dan UUDI. Berdasar pada bangunan argumentasi tersebut penulis hendak meneliti perihal Overlapping Perlindungan Hukum Bentuk Tiga Dimensi Di Indonesia.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan bentuk tiga dimensi dalam kerangka instrumen hukum nasional?

  • 2.    Bagaimanakah ketentuan perlindungan hak kekayaan intelektual bentuk tiga dimensi?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Ditulisnya penelitian ini bertujuan untuk memberi pemahaman secara komprehensif terhadap persoalan dualitas pengaturan bentuk tiga dimensi serta menganalisa dan menjelaskan overlapping antara UU Merek dan UUDI terhadap pengaturan bentuk tiga dimensi. Kedua, mengonsepsikan ketentuan mengenai tumpang-tindihnya pengaturan tersebut.

II.Metode Penelitian

Penelitian ini tergolong sebagai penelitian normatif atau yang biasa dikenal sebagai legal research, yang karenanya secara otomatis berbentuk penelitian normatif yang berlandaskan pada norma/nilai. Dikarenakan bersifat “identify, analyse and synthesise the content of the law” maka penelitian ini bersifat penelitian doctrinal.7 Bahan hukum yang digunakan (authorities atau legal materials) dalam analisis penelitian ini dikumpulkan dari bahan tertier, sekunder, dan primer, (tertiary authority, secondary authority, dan primary authority).8 Kemudian pendekatan yang dipergunakan pada penelitian ini ialah pendekatan konseptual yang merupakan pendekatan dengan cara menelaah pandangan mengenai isu hukum terkait bentuk tiga dimensi pada desain industri dan merek kemudian pendekatan selanjutnya menggunakan pendekatan melalui perundang-undangan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan Bentuk Tiga Dimensi Dalam Kerangka Instrumen Hukum Nasional

Dampak globalisasi pada kehidupan masyarakat baik di bidang budaya, sosial dan ekonomi semakin menggerakan laju pembangunan ekonomi masyarakat. Selain itu, dengan terus berkembangnya sarana transportasi, dan teknologi informasi kegiatan komoditas dan jasa di bidang perdagangan berkembang pesat. Sejalan dengan tumbuhnya ekonomi nasional tren alur perdagangan jasa dan barang juga turut bertumbuh. Selain itu, mulai banyak negara yang semakin bergantung pada kegiatan perdagangan produk dan ekonomi hasil kecerdasan manusia. Dalam pandangan ini, merek sebagai karya intelektual yang terkait erat terhadap kegiatan ekonomi dan perdagangan. Hal demikian menjadi titik tolak urgensitas perlindungan merek sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU Merek. Selanjutnya merek tiga dimensi merupakan bentuk perlindungan merek yang memiliki konstruksi tiga dimensi. Ihwal demikian adalah konsep yang terkategorikan ke dalam merek kontemporer (non tradisional). Merek tiga dimensi dikenal luas di banyak negara Amerika Serikat, Eropa,

Inggris, dan Jepang. Hampir setiap negara telah menetapkan bentuk perlindungan untuk konsep ini.9 Tanda tiga dimensi diukur pada bentuk kemasan produk, lekukan ataupun         bentuk         dari         produk         itu         sendiri.10

Alif Kartika mengutip pernyataan Gatot Supramono bahwa keunikan bentuk tiga dimensi ini dapat dikenali di ruangan yang gelap, dan konsumen tetap dapat mengenali produk hanya dengan memegang suatu produk karena keunikan bentuk produk itu sendiri. Fungsi identifier sejalan dengan fungsi merek, yaitu suatu cara untuk melihat keunikan bentuk tigadimensi sebagai fungsi merek.11 Konsepsi ini berlaku untuk bentuk tiga dimensi yang dipakai pada kurun waktu tertentu, dan bentuk tersebut sudah memiliki reputasi atau makna sekunder. Arti Sekunder disini dimaksudkan bahwa tanda tiga dimensi tidak hanya memiliki fungsi pakai, tetapi tanda ini juga menjadi pengenal dan menonjol dalam produk.12

Pemaknaan merek dan bentuk tiga dimenasi diatas didasarkan pada kajian definitif, sehingga guna memahami perlindungan merek dan bentuk tiga dimensi hal terpenting adalah memahami pemaknaan merek dalam kaca mata UU Merek itu sendiri. Berdasar Pasal 1 Angka 1 UU Merek memberikan limitas pemaknaan jika, “merek merupakan tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.” Oleh karenanya, bentuk tiga dimensi bisa diakomodir perlindungannya menggunakan hak merek ketika sudah memenuhi prasyarat absolut yaitu distinctive character atau daya pembeda. Artinya, bentuk tiga dimensi harus bisa dibedakan dari jasa atau barang sejenis yang dihasilkan dari tiap-tiap perusahaan, sebaliknya bila bentuk suatu merek tidak mempunyai distinctive character, maka bentuk tersebut tidak bisa digunakan sebagai merek.13 Konsepsi daya pembeda ini memiliki peran yang fundamental dalam perlindungan merek.14 Adanya diferensiasi pada merek dapat berdampak pada kemampuan merek untuk tidak menimbulkan kesan ambiguitas ketika merek tersebut dipasarkan.

Penentuan daya pembeda dapat dipahami keberadaannya pada Pasal 21 ayat (1) UU Merek. Pasal a quo mengatur penolakan permohonan pendaftaran merek jika memiliki kesamaan pokok atau keseluruhan terhadap, (1) Merek terdaftar dari pihak lain yang sudah dimohonkan terlebih dahulu, (2) merek terkenal pihak lain untuk jasa/barang sejenis, (3) merek terkenal milik pihak lain untuk jasa/barang yang tidak sejenis, (4) Indikasi Geografis terdaftar. Indikator daya pembeda dapat dipahami bahwa

tanda yang ada memiliki kesamaan pokok maupun keseluruhan dengan merek yang sudah terlebih dahulu di daftarkan ataupun merek terkenal. Bisa dikatakan ada persamaan pada pokoknya jika tanda yang ada mempunyai kesamaan yang dominan antara bentuk tersebut dengan yang lainnya. Hal tersebut memberikan kesan yang sama baik dari segi penempatan, bentuk, tulisan atau kombinasi elemen, serta kesamaan kata dan bunyi yang dimuat pada merek itu. Selain itu, jika logo tersebut terlalu sederhana, terlalu umum, atau terlalu rumit, logo tersebut tidak memiliki daya pembeda.

Namun, dalam praktiknya penentuan daya pembeda hanya dilihat berdasarkan parameter apakah merek yang dimohonkan mempunyai kesamaan dengan merek terdaftar lainnya. UU Merek memberikan limitasi yang jelas terhadap merek dengan bentuk tiga dimensi sepanjang terdapat kekuatan diferensiasi maka ihwal merek tersebut dapat didaftarkan. Ketentuan lain sebagai syarat bentuk tiga dimensi dapat dilindungi adalah memiliki setidak-tidaknya bisa ditampilkan dalam bentuk format gambar. Persyaratan lain yang perlu diperhatikan ialah permohonan pendaftaran merek tiga dimensi wajib didasarkan atas iktikad baik. Apabila terbukti terdapat itikad tidak baik dari pemohon, maka permohonan pencatatan merek akan ditolak. Pasal 21 dan Pasal 22 UU Merek juga mengatur persyaratan dalam permohonan pendaftaran merek dalam bentuk tiga dimensi.

Berbeda dengan merek, bentuk tiga dimensi dalam konteks desain industri memiliki konsep tersendiri. Desain diartikan sebagai hasil pemikiran atau intelektual dari seseorang atau sekelompok orang yang diwujudkan dalam bentuk karya yang nyata berupa benda yang dapat memberikan manfaat dalam kehidupan manusia. Suatu desain dikatakan memiliki konfigurasi tiga dimensi sebab apabila dilihat dari berbagai perspektif/sudut pandang pada umumnya memiliki kedalaman. Muhammad Djumhamna sebagaimana dikutip oleh Azhari mengemukakan bahwa pada dasarnya perlindungan hukum yang diberikan terhadap desain industri terletak pada pola atau pattern dari suatu produk yang dapat digandakan secara berulang. Pendapat tersebut memberikan penegasan kembali bahwa ruang lingkup atau objek perlindungan desain industri terdapat pada bentuk atau tampak luar dari suatu produk dapat memberikan kesan indah.15

Tolok ukur yang digunakan dalam menentukan nilai estetika didasarkan atas berbagai pertimbangan, namun tidak terbatas pada bentuk secara menyeluruh, elemen tampilan, rincian produksi, proporsi, tekstur, warna, grafik, dan finishing. Apabila bentuk tiga dimensi dari suatu produk mempunyai nilai estetika maka berpengaruh besar terhadap daya tarik konsumen untuk membeli produk tersebut. Dengan demikian, nilai estetika mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mendongkrak nilai komersial suatu produk. Kesan estetika dapat diketahui apabila tampilan atau bentuk terluar suatu produk dapat dilihat secara kasatmata.16 Secara normatif, UUDI belum secara detail menentukan definisi serta limitasi suatu konfigurasi dapat dikatakan memiliki nilai keindahan/estetika. Ketiadaan batasan yang jelas tentang kesan estetis suatu produk menimbulkan ambiguitas dalam pemaknaannya sedangkan penentuan ada atau tidaknya kesan estetis bukan persoalan yang mudah untuk diselesaikan. Implikasi lebih lanjut dari kondisi ini ialah adanya penilaian yang bersifat subjektif terhadap kesan estetis suatu produk baik dari sudut pandang penguji ataupun

pemilik dari desain industri yang bersangkutan. Maka dari itu, penting untuk memberikan kepastian hukum mengenai kesan estetika suatu desain industri.

Merujuk pada ketentuan Pasal 2 UUDI, objek yang dilindungi meliputi desain industry yang muktakhir atau dengan kalimat lain UUDI memberi perlindungan terhadap konfigurasi tiga dimensi yang aktual. Kebaruan desain industri khususnya yang berbentuk tiga dimensi ditentukan dengan cara melakukan perbandingan terhadap desain industri yang telah ada sebelumnya baik yang terdapat di Indonesia maupun di luar dari yurisdiksi Indonesia. Pemohon yang akan mengajukan pendaftaran desain industri kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual seyogianya melakukan perbandingan terlebih dahulu antara desain industri yang akan dimohonkan pendaftarannya dengan desain industri yang telah diungkapkan sebelumnya. Perbandingan tersebut akan membantu pemohon dalam menentukan kebaruan dari produk yang dihasilkan. Apabila terdapat kesamaan antara desain industri yang dimohonkan pendaftarannya dengan desain industri yang telah mendapatkan pengungkapan sebelumnya maka desain industri tersebut akan kehilangan unsur kebaruan.17 Padahal, menurut pengertian Pasal 2 UUDI, unsur kebaruan baru terindektifikasi setelah pendaftaran dikabulkan. Ihwal konfigurasi terdaftar berbeda dari konten publik yang ada. Pengaturan terhadap identifikasi undur kebaharuan demikian tidak mencerminkan kepastian hukum terhadap aspek kebaruan tersebut, hal ini menyebabkan pada praktiknya jika terjadi perselisihan, hakim harus memaknai asas kebaruan dalam persidangan.

  • 3.2    Perskripsi Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Bentuk Tiga Dimensi

Kendatipun sama-sama digolongkan sebagai kekayaan intelektual, merek dan desain industri pada hakikatnya memiliki perbedaan khususnya dari aspek tujuan perlindungan dan elemen-elemennya. Maksud dan tujuan adanya pengaturan tentang merek ialah memberikan perlindungan citra suatu barang atau jasa sehingga erat kaitannya dengan kualitas dari barang atau jasa yang diperdagangkan. Sementara itu, maksud dan tujuan diaturnya desain industri ialah memberikan perlindungan atas tampilan produk yang memberikan kesan estetis secara kasatmata.

Jangka waktu perlindungan antara merek dan desain industri memiliki perbedaan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 UU Merek, suatu merek mendapatkan perlindungan selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan sesudahnya dapat diperpanjang kembali masa perlindungannya. Kemudian jangka waktu perlindungan desain industri dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 5 ayat (1) UUDI. Ketentuan a quo secara tegas menyebutkan bahwa jangka waktu perlindungan desain industri diberikan selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan sesudahnya tidak dapat diperpanjang kembali masa perlindungannya. Dengan demikian, apabila jangka waktu perlindungan desain industri telah berakhir, maka terdapat ambiguitas terhadap perlindungan dan pemanfaatan desain tersebut. Artinya, desain industri yang sudah lewat jangka waktu perlindungannya sudah menjadi milik umum atau sering disebut dengan istilah public domain. Dasar pertimbangan pembentuk undang-undang menentukan jangka waktu perlindungan desain industri secara terbatas yakni hanya berlaku selama 10 (sepuluh) tahun ialah pesatnya kemajuan desain industri dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Pembatasan jangka waktu perlindungan tersebut diharapkan mampu mendongkrak kreativitas dari pelaku industri sehingga

melahirkan berbagai kreasi yang inovatif. Berkenaan dengan jangka waktu perlindungan desain industri yang diatur secara limitatif ini, Sudargo Gautama berpendapat bahwa dengan berakhirnya masa perlindungan desain industri, maka tampilan produk tersebut kehilangan nilai estetikanya atau secara sederhana disebut “ketinggalan zaman”.18 Berkenaan dengan jangka waktu perlindungan desain industri yang diatur secara limitatif ini, Sudargo Gautama berpendapat bahwa dengan berakhirnya masa perlindungan desain industri, maka tampilan produk tersebut kehilangan nilai estetikanya atau secara sederhana disebut “ketinggalan zaman”.19

Pada awalnya, pengaturan ihwal konfigurasi tiga dimensi hanya diatur dalam UUDI. Dalam perkembangan selanjutnya, perlindungan terhadap bentuk tiga dimensi diatur dalam UU Merek. Kondisi ini menunjukkan adanya dualisme pengaturan, meskipun konsep antara merek dan desain industri pada hakikatnya tidaklah sama akan tetapi sampai saat ini belum ada ketegasan ihwal batasan atau kualifikasi bentuk tiga dimensi yang dapat dilindungi berdasarkan rezim hukum merek dan bentuk tiga dimensi yang dapat dilindungi berdasarkan rezim hukum desain industri. Baik dalam UU Merek maupun UUDI hanya menentukan batasan didasarkan atas diferensiasi, kesan estetis, dan terpenuhinya unsur kebaruan tanpa penjabaran lebih lanjut. Dengan demikian, tidak adanya pembatasan yang spesifik dalam konteks merek dan desain industri yang saling bersinggungan satu sama lain ini mengakibatkan munculnya beragam penafsiran yang cenderung bersifat subjektif. Apabila kondisi ini dihubungkan dengan jangka waktu perlindungan, maka sudah barang tentu masyarakat akan memilih untuk mendaftarkan konfigurasi tiga dimensi yang dihasilkan sebagai merek dan bukan sebagai desain industri. Sebab, jangka waktu perlindungan merek dapat diperpanjang sehingga memberi keuntungan dibandingkan dengan desain industri yang jangka waktu perlindungannya hanya berlaku selama 10 (sepuluh) tahun.

Penilaian bentuk tiga dimensi yang hanya mengacu pada ruang lingkup inilah yang mengakibatkan adanya overlapping pengaturan antara UU Merek dan UUDI. Rezim hukum merek menekankan bahwa karakteristik merek yang khas ditinjau dari ketidaksamaan dengan merek yang sudah ada sebelumnya sehingga bentuk tiga dimensi dapat diberikan perlindungan dengan jangka waktu tertentu sebagaimana diatur UU Merek. Kemudian berdasarkan UUDI, penerapan kesan estetis suatu desain tidak bersifat absolut. Celah hukum ini dapat diatasi dengan memberikan batasan yang jelas antara merek berbentuk tiga dimensi dengan desain industri dengan menggunakan beberapa aspek atau pendekatan yang meliputi:

  • 1.    Konsepsi bentuk umum (general) yang berarti bentuk dimaksud sudah sering dan banyak digunakan baik dalam konteks perdagangan barang ataupun perdagangan jasa. Konsep ini diterapkan sebagai langkah preventif terhadap praktik monopoli dari bentuk yang seperti apa yang sepatutnya tersedia bebas untuk umum.

  • 2.    Bentuk tiga dimensi yang dilarang untuk didaftarkan sebagai merek dengan merujuk pada peraturan Uni Eropa (‘Article 7 (1) (b) (e) of European Union Trade Mark Regulation 2017/1001 Of The European Parliament And Of The Council’) yaitu Bentuk yang dihasilkan oleh sifat komoditas; bentuk yang dibutuhkan guna memperoleh hasil teknologi, dan bentuk yang mengandung nilai

substansial. Pelarangan ini bertujuan untuk memberikan kepastian perihal perlindungan bentuk tiga dimensi. Apabila bentuk tiga dimensi memenuhi salah satu atau lebih dari kualifikasi sebagaimana tersebut di atas, maka terhadap bentuk tiga dimensi tersebut tidak dapat didaftarkan sebagai merek melainkan didaftarkan sebagai desain industri sepanjang dapat dibuktikan bahwa bentuk tiga dimensi dimaksud masih dapat dikembangkan.

  • 3.    Persepsi masyarakat tentang bentuk tiga dimensi. Artinya, perlu dipertimbangkan bagaimana tanggapan masyarakat ketika melihat bentuk tiga dimensi sehingga dapat ditentukan bentuk perlindungannya apakah masuk dalam lingkup merek atau desain industri. Apabila suatu bentuk tiga dimensi dapat dilihat perbedaannya secara sekilas oleh masyarakat, maka bentuk tiga dimensi tersebut didaftarkan sebagai merek tiga dimensi. Sebaliknya, apabila masyarakat perlu meninjau lebih jauh untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan antara suatu bentuk tiga dimensi yang satu dengan bentuk tiga dimensi yang sudah ada sebelumnya, maka bentuk tiga dimensi tersebut lebih cocok dilindungi sebagai desain industri.

  • 4.    Melakukan revisi pada Pasal 21 (1) (a) UU Merek dengan rumusan baru yakni: “Permohonan ditolak jika bentuk tiga dimensi Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan bentuk tiga dimensi Hak Kekayaan Intelektual terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa”.

Adanya pencantuman frasa “bentuk tiga dimensi” berperan dalam memberikan penegasan pada merek yang memiliki konfigurasi tiga dimensi. Selain itu, penyisipan frasa “hak kekayaan intelektual” dilandasi pada pertimbangan bahwa konfigurasi tiga dimensi dapat disandingkan dengan konfigurasi tiga dimensi yang serupa pada bidang kekayaan intelektual yang lain.

IV.Kesimpulan

Merek pada dasarnya merupakan tanda yang digunakan sebagai pembeda antara barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh orang ataupun badan hukum dalam lalu lintas perdagangan baik dalam bentuk dua dimensi ataupun tiga dimensi. Kemudian, desain industri dapat diartikan sebagai kreasi berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang dapat digunakan untuk menciptakan suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan. Hasil penelitian dari penulis menunjukkan adanya titik singgung antara UU Merek dan UUDI khususnya terhadap perlindungan kekayaan intelektual berbentuk tiga dimensi. Kedua undang-undang a quo saling tumpang tindih satu sama lain lantaran sama-sama memberikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual yang berbentuk tiga dimensi. Kondisi ini kemudian diiringi dengan ketiadaan batasan yang jelas konfigurasi tiga dimensi yang masuk dalam perlindungan UU Merek atau UUDI. Menyikapi adanya ketidakpastian ihwal batasan yang tegas mengenai bentuk tiga dimensi ini, maka perlu dilakukan perbaikan baik terhadap UU Merek maupun UUDI.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum, Surabaya: Sinar Grafika, 2017.

Ibrahim, Johny. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2010.

Jurnal:

AR, Azhari. “Desain Indutri Sebagai Karya Yang Dilindungi (HAKI).” Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 19, no. 1 (2019)

Irianti, AlifKartika, Bambang Winarno, dan M Zairul Alam. “Perlindungan Hukum Bagi Merek 3 Dimensi Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek.” Universitas Brawijaya, 2015.

Mastur, Mastur. “Perlindungan Hukum hak kekayaan intelektual Dibidang Paten.” QISTIE 6, no. 1 (2012).

Mayana, Ranti Fauza. “Perlindungan Merek Non Tradisional Untuk Produk Ekonomi Kreatif Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek, Indikasi Geografis dan Perspektif Perbandingan Hukum.” Jurnal Bina Mulia Hukum 2, no. 1 (2017)

Putra, Fajar Nurcahya Dwi. “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Merek Terhadap Perbuatan Pelanggaran Merek.” Mimbar Keadilan, 2014.

Rifqi, Muhammad. “Pengaturan Merek Non-Tradisional (Comparative Study Indonesia dengan Jepang).” Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, 2019.

Sufiarina, Sufiarina. “Hak Prioritas Dan Hak Ekslusif Dalam Perlindungan Hki.” ADIL: Jurnal Hukum 3, no. 2 (2012)

Supariyani, Nyoman. “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Tas Bermerek Yang Diimport Ke Indonesia.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 5, no. 2 (2016).

Susiana, Dewi. “Pembatalan Desain Industri Karena Alasan Mempunyai Persamaan Pada Pokoknya.” Premise Law Journal 1, no. 2 (2013)

Wauran, Indirani, dan Titon Slamet Kurnia. “Confusion dan Pembatalan Merek oleh Pengadilan.” Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 27, no. 2 (2015)

Winarno, Susilo Budi. “Budaya Komunalistik Hak Kekayaan Intlektual Terhadap Hak Indikasi Geografis Salak Pondoh Di Kabupaten Sleman.” Journal of Tourism and Economic 1, no. 1 (2018).

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Republik Indonesia No 15 Tahun 2001 tentang Merk, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4131.

Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2016 tentang Merk dan Indikasi Geografis, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953.

Undang-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045.

Website:

Jatmiko, Bambang Priyo. “Paten atas Desain Botol Coca Cola Ditolak Pengadilan,” 2016.https://money.kompas.com/read/2016/02/24/195607426/Paten.atas.Desai n.Botol.Coca.Cola.Ditolak.Pengadilan.

99

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 1 Tahun 2022 hlm 90-99