Aspek Hukum Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah dalam Pemberian Kredit oleh Bank

Ida Ayu Katsuya Putri Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

A.A Ketut Sukranatha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan artikel jurnal ini bertujuan untuk mengetahui pemberian kredit terhadap nasabah yang kemudian berujung pada kredit macet, hal tersebut dikarenakan debitur sebagai penerima kredit tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran kredit sebagaimana perjanjian kredit. Faktor yang mempengaruhi terjadinya kredit macet yakni tidak dilakukannya analisis kredit dengan menerapkan prinsip kehati-hatian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Bersumber pada ketetapan Pasal 1 ayat (11) yakni “Kredit adalah penyelesaian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dalam penerapan prinsip kehati-hatian bank harus memiliki keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam terhadap nasabah debitur untuk mengembalikan kredit. Adapun penggunaan daripada metode penulisan dalam penulisan ini adalah jenis metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undang. Hasil studi menunjukkan mengenai tata cara menyalurkan kredit yang sudah mempunyai landasan aturan perundang-undangan. Kredit yang seringkali bermasalah antara lain kredit usaha mikro, kecil, dan menengah, kredit konsumsi, serta kredit pada sektor pertanian serta sektor perikanan.

Kata Kunci: Bank, Kredit Macet, Kredit Perbankan

ABSTRACT

The purpose of writing this journal article is to find out the granting of credit to customers which then leads to bad credit, this is because the debtor as the recipient of the credit cannot fulfill his obligation to pay credit installments as stated in the credit agreement. Factors that influence the occurrence of bad loans are not doing credit analysis by applying the precautionary principle regulated in Law Number 10 of 1998 concerning Banking. Based on the provisions of Article 1 paragraph (11) namely "Credit is the settlement of money or claims that can be equated with it, based on an agreement or loan agreement between a bank and another party that requires the borrower to pay off his debt after a certain period of time with interest". In applying the precautionary principle, banks must have confidence based on in-depth analysis of debtor customers to repay loans. The use of the writing method in this paper is a type of normative legal research method with a statutory approach. The results of the study show the procedures for disbursing credit that already have a statutory basis. Loans that are often problematic include micro, small and medium business loans, consumer loans, and loans to the agricultural and fishery sectors.

Keywords: Bank, Bad Credit, Banking Credit

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang

Kredit bersumber dari Bahasa romawi “credere” yang berarti percaya, dalam Bahasa Belanda “vetrouwen, trust or confidence”. Secara yuridis, definisi kredit dijelaskan pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perbankan. Di dalam undang-undang tersebut, “kredit” adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Dari definisi mengenai kredit di atas, maka dapat dikatakan bahwa kredit memiliki unsur-unsur pokok sebagai berikut:1

  • 1.    Kepercayaan

Kepercayaan ialah suatu bentuk keyakinan oleh kreditur bahwasanya prestasi yang diberi berbentuk dana, barang maupun jasa, akan mampu diterima lagi pada waktu yang telah ditentukan.

  • 2.    Tenggang waktu

Tenggang waktu adalah rentang masa yang menyekat antara pemberi prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterimanya di waktu yang akan datang. Terdapat pengertian nilai agio dari dana, jadi uang yang terdapat saat ini nilainya lebih besar dari uang yang akan diterimanya pada masa mendatang.

  • 3.    Degree of risk

Degree of risk adalah taraf risiko yang mungkin diterima yang menjadi akibat dari rentang waktu yang memisah antara pemberian prestasi dan kontraprestasi yang akan diterima nantinya. Makin lama rentang waktu kredit, akan makin tinggi juga taraf risikonya sebab kapabilitas seseorang mengetahui masa depan tentunya terbatas. Terdapat hal yang mungkin terjadi diluar dugaan. Jadi melalui elemen risiko ini muncullah agunan dalam memberikan kredit.

  • 4.    Prestasi

Prestasi adalah objek dari kredit dan tak hanya disalurkan berbentuk dana, namun juga barang maupun jasa. Dalam perekonomian modern, didasarkan pada dana dan transaksi kredit terkait dana yang akan lebih banyak ditemui pada praktik bank.

Dalam industri perbankan memiliki peran yang sangat krusial pada usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Atas dasar asas yang dipergunakan di bank, tujuan dari perbankan ialah menyokong pembangunan nasional guna mengembangkan pemerataan pembangunan beserta hasilnya, peningkatan ekonomi, serta stabilisasi nasional menuju meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat. Ini diakibatkan oleh aktivitas utama yang disalurkan bank kepada masyarakat sesuai dengan fungsi utamanya menghimpun dan menyalurkan

dana masyarakat.2 Kredit yang disalurkan oleh perbankan memiliki dampak krusial bagi ekonomi negara, sebab kredit yang disalurkan dengan cara hati-hati serta terarah pada debitur mampu meningkatkan pembangunan yang mampu memberi manfaat untuk kemakmuran rakyat.

Tujuan utama perbankan menyalurkan kredit, diantaranya:

  • 1.    Memperoleh profit, tujuan pertama yakni mendapatkan imbalan dari penyaluran kredit. Imbalan itu khususnya berbentuk bunga yang diperoleh bank yang merupakan balas jasa serta biaya administrasi suatu kredit yang dibiayakan ke debitur. Profit itu sangat penting guna melangsungkan hidup perbankan. Apabila suatu bank merugi secara berkelanjutan, kemungkinan besar bank tersebut akan pailit bahkan bubar.

  • 2.    Memberi bantuan pada usaha nasabah, Adapun tujuan lainnya yakni menolong kegiatan usaha milik nasabah yang perlu bantuan dana, entah dana investasi ataupun modal kerja. Melalui dana itu, nasabah akan mampu mengekspansi usaha yang dimiliki.

  • 3.    Memberi bantuan untuk pemerintah, makin banyak kredit yang diberikan oleh bank, akan makin baik bagi pemerintah, sebab dengan banyaknya kredit artinya akan terjadi peningkatan pembangunan pada sejumlah aspek kehidupan.3

Pada saat pemberian kredit kepada nasabah bank wajib memiliki keyakinan dan kapasitas serta debitur sanggup dalam membayar hutangnya sesuai dengan apa yang dijanjikan juga wajib fokus pada asas kredit yang baik. Pada saat memberikan kredit bank mepunyai resiko tersendiri yang dinamakan resiko kredit. Dengan demikian bank harus mempunyai agunan yang dipakai sebagai ganti rugi Pembayaran utang jika kredit nya tidak dibayarkan atau wanprestasi. Perbankan memiliki usaha yang berlainan dengan lembaga lain yang bergerak di bidang perdagangan atau jasa yang secara khusus tercantum pada Pasal 6 serta Pasal 7 Undang - Undang No. 7

Tahun 1992 serta Undang - Undang No. 10 Tahun 1998 amandemen atas Undang -Undang No. 7 Tahun 1992 yakni:

  • a.    Mengumpulkan dana dari publik berupa simpanan yang berbentuk deposito berjangka, giro, tabungan dan lain-lainnya,

  • b.    Pemberian kredit,

  • c.    Melaksanakan aktivitas valas dengan ketetapan Bank Indonesia.

Analisis yang dilaksanakan perbankan dalam mengetahui dan menetapkan apakah seorang memohon kredit dapat dinilai layak atau tidak. Pihak perbankan pada umumnya memakai kriteria analisis yang disebut dengan the 5 C. Diantaranya nya, character atau kepribadian yakni pemberian yang lain berdasarkan watak atau karakter dari calon pemohon, capacity atau kemampuan yakni kinerja bisnis atau kemampuan debitur dalam membayar hutangnya , capital atau modal yaitu pemberian nilai berdasarkan kapasitas finansial debitur yang memiliki pengaruh langsung pada jenjang kapasitas pembayaran kreditur, condition of ceremony atau kondisi keuangan yakni analisa kepada keadaan ekonomi debitur secara mikro ataupun makro dan

colateral atau agunan yakni kekayaan yang dimiliki oleh debitur sebagai bahan agunan terhadap pelunasan utang nya apabila terjadi kredit yang bermasalah.

Terdapat banyak kredit yang sudah dibayar menjadi Macet dikarenakan beberapa alasan di antaranya bisnis yang dijalani mengalami pailit atau bangkrut. Keadaan saat damai yang telah diberikan kepada debitur tidak dilunasi dengan jangka waktu yang telah dijanjikan melingkupi pinjaman pokok dan bunganya yang mengakibatkan kredit termasuk pada NonPerforming Loan atau NPL dalam hal ini dikatakan dengan kredit bermasalah. Dengan adanya keadaan ini maka Bank telah mengalami resiko terhadap bisnisnya. Resiko kredit atau default risk yakni resiko yang diakibatkan karena ketidak mampuan debitur dalam melunasi pinjaman yang diperolehnya dari perbankan dengan bunga sesuai dengan perjanjian pengembaliannya. Kredit macet selalu ada dalam aktivitas pemberian kredit di bank karena hal ini tidak dapat dihindari dalam adanya kredit maka harus segera menyiapkan kemungkinan besar kredit macet tersebut sehingga tidak melebihi ketetapan Bank Indonesia dalam pengawasan perbankan”.4

Sebelumnya yang dapat memiliki konteks yang sama atau serupa dengan penelitian yang saya bahas mengenai aspek hukum upaya penyelesaian kredit bermasalah dalam pemberian kredit oleh bank yaitu penelitian yang diterbitkan oleh Gentur Cahyo Setiono pada tahun 2013 dalam judul Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Perbankan membahas mengenai adanya bank sebagai lembaga jasa, terutama saat memberi layanan atas keperluan nasabah tak selalu berjalan mulus sesuai kontrak awal serta dalam memahami tahapan penyelesaian kredit macet serta modal penyelesaian masalah itu.5 Selain itu adapun penelitian yang dilakukan oleh Chadijah Rizki Lestari pada tahun 2017 dalam judul penelitian Penyelesaian Kredit Macet Bank Melalui Parate Eksekusi yang membahas mengenai adanya eksekusi hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT haruslah diperjanjikan dahulu antara bank dengan debitu agar tidak adanya kredit macet yang terjadi.6

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah prosedur pemberian dana dengan kredit pada debitur sejalan ketetapan dan peraturan hukum yang ada?

  • 2.    Bagaimana upaya penyelesaian kredit macet pada pemberian kredit yang dilaksanakan oleh pihak Bank?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari ditulisnya jurnal ini, yakni agar dapat mengetahui prosedur pemberian dana dengan kredit kepada debitur khususnya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perbankan dan upaya penyelesaian kredit macet pada pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank. Dalam hal ini agar tidak terjadinya kredit macet yang akan mengganggu kinerja bank maka perlu dilakukan upaya pencegahan serta penanganan. Namun perlu dikaji lagi apakah kredit macet

tersebut timbul karena hal yang normal akibat kinerja usaha yang kurang baik atau adanya kekurangan dalam proses pemberian kredit tersebut.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif dengan mempergunakan pendekatan undang-undang. Dalam penulisan jurnal ini dengan mengumpulkan dan menganalisis bahan pustaka dari bahan hukum aturan Undang-Undang. Disamping pendekatan konsepsual serta doktrin-doktrin hukum. Sebagai bahan hukum primer yakni perundang-undangan serta materi hukum sekunder yakni karya tulis ilmiah, artikel ilmiah maupun literatur yang berhubungan dengan riset ini.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Prosedur Pemberian Dana Dengan Kredit Kepada Debitur Sesuai Ketetapan Dan Peraturan Hukum Yang Ada

Dalam memberikan kredit bank harus memanajemen kreditnya dengan pengelolaan yang baik yang dikelola dalam manajemen perkreditan. Memakai prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan analisa yang secara mendetail dari berbagai aspek hal tersebut mempunyai tujuan agar dapat meminimalisir adanya resiko kredit yang macet. Dalam melaksanakan analisis tersebut aspek hukum mempunyai peranan yang krusial dalam pemberian kredit pada calon penerima manfaat. Aspek hukum yang berkenaan dengan pemberian kredit ialah aspek hukum pemohon kredit yang dibagi menjadi 4 yakni:

  • 1.    Aspek Hukum Permohonan Kredit

Dalam aspek hukum atas para pemohon kredit, yang tergolong didalamnya ialah subjek hukum yang dimana merupakan pemohon kredit yang menunjang hak serta kewajibannya. Adapun jenis subjek hukum yakni:7

  • a.    Manusia atau natuurlijk person

  • b.    Badan Hukum atau Rechtspersoon

Mengenal subjek hukum akan mempermudah dalam menganalisis aspek hukum pemohon dalam mengajukan kredit. Berdasarkan penjelasan penjabaran subjek hukum dapat ditinjau bahwa calon nasabah dapat berbentuk lembaga atau perorangan. Calon nasabah personal ataupun individu ialah subjek hukum yang mengemban kewajiban serta hak agar dapat melaksanakan perilaku hukum. Maka dari itu tiap individu berhak mengajukan suatu permohonan atas kredit kepada perbankan.

Sebelum bank menyetujui permohonan kredit dari personal yang mengajukannya maka bank harus menganalisa terlebih dahulu aspek hukum dari kredit, yakni:

  • a.    Nama

  • b.    Dewasa

  • c.    Cakap

  • d.    Seseorang dalam pengawasan atau Curatele

  • e.    Kewarganegaraan

  • f.    Individu yang mengalami kebangkrutan

  • g.    Tempat tinggal

  • 1.    Tahapan Umum pemberian Kredit

Pada saat memberikan kredit kepada nasabah tidak diberikan secara langsung. Anggapan ini adalah suatu hal yang sangat mempunyai resiko, maka untuk menghindarinya bank harus mengenal informasi tentang identitas debitur untuk mengevaluasi kondisi dan kapasita debitur sehingga dapat menimbulkan trust bagi perbankan saat penyaluran kredit. Maka dari itu, nasabah wajib melewati berbagai tahapan saat memohonkan kredit berbentuk tahapan permintaan kredit Identifikasi dan analisa kredit lalu akan ditarik kesimpulan penolakan atau persetujuan terhadap permohonan kredit tersebut, Jika kredit tersebut disetujui maka uangnya akan dicairkan kemudian sesudah uang tercairkan tahapan kredit masih terlaksana sesuai dengan kecukupan pencatatan pengawasan dan pendidikan sehingga debitur dapat melunasi semua kreditnya.

  • 2.    Batasan dan Pelarangan pada Pemberian Kredit Bank

Menurut Pasal 8 UU No. 21 Tahun 2011 mengenai Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mempunyai kewenangan menjalankan aturan serta melaksanakan pengendalian tentang batas maksimal pemberian kredit. UU No. 10 Tahun 1998 Pasal 11 bagian 1-4 menyebutkan, ketetapan BMPK atau batas maksimum dalam pemberian kredit terbagi menjadi dua macam yakni:

  • A.    Macam Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) 30% (tiga puluh persen)

Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dapat ditentukan lebih dari 30% dari permodalan bank namun tak dapat melebihi 30% dari permodalan perbankan terkait. Batas maksimum tersebut bertujuan pada debitur atau kelompok debitur yang berkait diantaranya pada perusahaan lainnya. Kelompok atau grup ialah sekumpulan badan atau perorangan yang memiliki hubungan dalam suatu kepengurusan atau keuangan lainnya.

  • B.    Macam Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) 10% (sepuluh persen)

Perlu diketahui Batas Maksimum Pemberian Kredit bisa ditentukan 10% lebih sedikit dari permodalan bank, namun tidak dapat lebih dari 10% dari permodalan yang terkait. Dalam Batas Minimal Pemberian Kredit ini dapat diberikan pada:

  • a.    Investor terkait

  • b.    Bagian direksi

  • c.    Bagian dewan komisaris

  • d.    Pejabat bank lainnya

  • e.    Keluarga pihak investor terkait, bagian dewan komisaris, dan bagian dewan direksi

  • C.    Kesepakatan Kredit

Kesepatan kredit terjadi antara pemberi kredit dengan penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya. Dalam hal memberikan kredit, Bank perlu memanajemen kredit dengan pengelolaan yang baik dan menggunakan prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan analisa secara mendetail dan meminimalisir adanya resiko kredit yang macet. Untuk mengetahui dan menetapkan apakah seseorang berhak menerima kredit dilihat dari prinsip 5 C yaitu: Character, Capacity, Capital, Condition dan Collateral.

Surat persetujuan pemberian kredit ialah suatu tahapan yang harus dilalui pada saat pemberian kredit jika pemohon kredit itu telah disetujui. Persetujuan tersebut ialah keputusan bank dalam mengizinkan seluruh atau sebagian permintaan

kredit dari calon peminjam. Dalam memberikan perlindungan kepada kepentingan bank dalam implementasinya maka diberikan dengan persyaratan fasilitas kredit serta tahapan yang wajib dilalui debitur. Tahapan yang dapat dilalui yakni:

  • a.    Penandatangan perjanjian kredit

  • b.    Pengikat Jaminan

  • c.    Surat Penegasan Persetujuan Permohonan Kredit Kepada Pemohon

  • d.    Penandatanganan surat aksep

  • e.    Pembayaran bea materai

  • f.    Pembayaran administrasi kredit atau Comitment Fee

  • g.    Informasi untuk bagia lain

  • h.    Asuransi barang jaminan

  • 3.2 Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Pemberian Kredit Yang Dilakukan Oleh Bank

Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 dinyatakan, kredit dikelompokkan menjadi kredit bermasalah ataupun non-performing loan (NPL) yakni ketika tingkat kolektibilitas dari kredit itu tak lancar, macet, ataupun kredit diragukan. Pada umumnya, suatu kasus kredit bermasalah yang mempunyai sifat non struktural mampu teratasi melalui upaya restrukturisasi berbentuk pengurangan suku bunga kredit, memperpanjang rentang waktu, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit, atau konverssi kredit menjadi pernyataan sementara. Umumnya kredit yang sifatnya struktural, tak mampu diatasi melalui restrukturisasi seperti kredit yang sifatnya non structural, melainkan harus diberikan pengurangan pokok kredit (haircut) sebagaimana ditentukan oleh Peraturan Bank Indonesia agar usahanya dapat berjalan kembali dan pendapatannya mampu untuk memenuhi kewajibannya.8 Penyelesaian kredit bermasalah mampu dilaksanakan menggunakan dua strategi yakni penyelesaian kredit atau penyelamatan kredit. Adapun penanganan kasus kredit bermasalah dengan bantuan sebuah lembaga hukum yaitu Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) serta Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) melalui Badan Peradilan atau dengan Arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Untuk menghindari timbulnya kredit macet pada tiap Bank diperlukan adanya pembinaan kredit seperti pada aturan perundang-undangan yang sedang diterapkan dari sisi hukum yang menyebutkan, kredit yang diberikan wajib atas dasar 3 hal yaitu: Aman, Terarah, dan Menghasilakan. Terkait penyelamatan kredit yang bermasalah mampu dilaksanakan dengan pedoman Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 yang secara prinsip membahas penyelamatan kredit bermasalah sebelum ditangani oleh lembaga hukum yakni melalui opsi penyelesaian dengan penjadwalan kembali, persyaratan kembali, serta penataan kembali. Yang dimaksud dengan penyelamatan kredit bermasalah lewat suatu penjadwalan kembali, persyaratan kembali, serta penataan kembali, antara lain: 9

  • 1.    Rescheduling (penjadwalan kembali), sebuah upaya hukum guna melaksanakan revisi atas sejumlah persyaratan kontrak kredit terkait jadwal

pembayaran maupun rentang waktu kredit, dan mencakup pula revisi atas total kredit. Adapun tujuan khusus rescheduling yaitu:

  • a.    Debitur mampu membentuk dana langsung “cash flow” dengan lebih pasti.

  • b.    Menjamin pembayaran agar lebih tepat

  • c.    Memberi peluang bagi debitur dalam merancang pembayarannya pada pihak lain diluar Bank.

  • 2.    Dengan adanya reconditioning (persyaratan kembali), yang dimana melakukan sautu revisi atas sebagian ataupun semua persyaratan perjanjian yang tidak dibatasi hanya kepada perubahan atas jadwal angsuran ataupun rentang waktu suatu kredit saja. Usaha penanganan secara reconditioning memiliki tujuan yakni:

  • a.    Melakukan penyempurnaan atas legal documentation.

  • b.    Melakukan penyesuaian daya bayar debitur dengan keadaan yang mampu dijangkau oleh debitur itu sendiri (pokok, bunga, denda, serta biaya-biaya lain).

  • c.    Semakin menguatkan keberadaan Bank.

  • 3.    Dengan adanya restructuring (penataan kembali), yaitu usaha yang dapat berupa melaksanakan revisi atas persyaratan kontrak kredit ataupun melaksanakan konversi terkait sebagian ataupun keseluruhan dari entitas yang dilaksanakan tanpa adanya rescheduling ataupun reconditioning. Dalam restructuring terdapat persyaratan-persyaratan kredit yaitu:

  • a.    Peningkatan dana Bank.

  • b.    Konversi atas sebagian maupun keseluruhan utang bunga jadi pokok suatu kredit baru.

  • c.    Konversi atas sebagian ataupun keseluruhan dari kredit jadi suatu penyertaan pada identitas.

Dalam menyelesaikan masalah kredit yang bermasalah pertama-tama yaitu dengan upaya dari perbankan selaku pihak kreditur dengan berbagai cara yakni melaksanakan penagihan secara langsung kepada debitur yang bersangkutan oleh bank. Jika penyelesaian di atas tidak berhasil untuk dilaksanakan maka usaha yang dapat dilaksanakan oleh bank yakni dengan prosedur hukum. Adapun aturan undang-undang yang ada saat ini yakni sarana hukum dan lembaga yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan kredit secara cepat. Salah satu upaya penyelesaian masalah kredit macet di antaranya dengan Internal perbankan atau menyelamatkan kredit tersebut akan lebih baik jika dibanding dengan penyelesaian dengan luar bank. Proses menyelamatkan kredit memiliki maksud yang baik dari para pihak mutu kredit dan tak mampu dirubah oleh nasabah dan terselamatkan nya kredit dari nasabah yang mana tak boleh digolongkan pada kredit bermasalah sehingga harta tersebut dapat diselamatkan. Namun berlainan apabila penyelesaian masalah kredit oleh eksternal perbankan yang menyebabkan debitur akan menjadi pailit.

  • 4. Kesimpulan

Tahapan dalam pemberian kredit kepada masyarakat pada umumnya tercantum pada KUHPerdata, Undang - Undang No. 10 Tahun 1998, Undang - Undang No. 21 Tahun 2011 mengenai Otoritas Jasa Keuangan. Dalam melaksanakan analisis tersebut aspek hukum memiliki peran yang krusial dalam pemberian kredit kepada calon penerima manfaat. Aspek hukum yang berkenaan dengan pemberian kredit ialah aspek hukum debitur yang dibagi menjadi empat aspek yaitu hukum permohonan kredit, prosedur umum penyaluran kredit, larangan serta pembatasan terkait penyaluran kredit bank, dan perjanjian kredit. Dalam hal terjadinya kredit

bermasalah adapun hal-hal yang mampu menyebabkan terjadinya antara lain faktor eksternal serta faktor internal. Aspek hukum menuntaskan kredit macet dapat dilihat dengan dua upaya yakni penyelamatan kredit serta penyelesain kredit. Perihal penyelamatan kredit macet dimana belum terselesaikannya dengan bantuan lembaga hukum ialah dengan pilihan penanganan yakni melakukan penjadwalan ulang atau rescheduling, memberikan syarat ulang atau reconditioning, dan penstrukturan ulang atau restructuring. Sedangkan dalam penyelesaian kredit dapat diselesaikan melalui DJPLN, Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Melalui Pengadilan atau Arbitrase. Saran yang mampu penulis sampaikan pada penyusunan artikel ilmiah ini yaitu, Seharusnya ada UU yang memberikan peraturan mengenai permasalahan perkreditan dan penuntasannya secara tersendiri. Pihak pemberi modal hendaknya pada saat memalui tahapan pemberian kredit memperhatikan aspek kepastian hukum yang adil dan manfaat dari kredit yang diberi pada pemohon disamping melaksanakan analisa yang detail dan asas kehati-hatian.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Meliala Djaja, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, (Bandung, Nuansa Aulia, 2016).

Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank (Bandung: Alfabeta, 2014).

Salim HS, Haji. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persaka (Jakarta, 2017).

JURNAL

Bimantara, Rangga, “Penyelesaian Kredit Macet Perseroan Melalui Jaminan Hak Tanggungan Atas Nama Pribadi.” Jurnal Bina Mulia Hukum 3, No. 2 (2019).

Firmanto, Fakhty. “Penyelesaian Kredit Macet Di Indonesia.” Jurnal Pahlawan 2, No. 2 (2019).

Law, Reform. “Optimalisasi Peningkatan Kualitas Kredit Dalam Rangka Mengatasi Kredit Bermasalah.” Jurnal Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 15, No. 1 (2019).

Lestari, Chadijah Rizki. “Penyelesaian Kredit Macet Bank Melalui Parate Eksekusi.”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala 19, No. 1 (2017).

Novendra, Bayu. “Konsep Dan Perbandingan Buy Now, Pay Later Dengan Kredit Perbankan Di Indonesia: Sebuah Keniscayaan Di Era Digital Dan Teknologi.” Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional 9, No. 2 (2020).

Rani, Apriani. “Upaya Penyelesaian Wanprestasi Dari Kredit Usaha Rakyat Yang Diasuransikan Pada PT Askrindo.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang 1, No. 2 (2018).

Setiono, Gentur Cahyo, S.H.,M.H. “Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Perbankan.”Jurnal Ilmu Hukum Yuris 2, No. 1 (2013).

Saroinsong, Andrew Nathanael. “Fungsi Bank Dalam Sistem Penyaluran Kredit Perbankan.” Lex Privatum II, No. 3 (2014).

Susatyo, Rakhmad. “Aspek Hukum Kredit Bermasalah Di PT. Bank International Indonesia Cabang Surabaya.” DiH: Jurnal Ilmu Hukum 7, No. 18 (2011): 240024.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

391

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 4 Tahun 2022 hlm 382-391