DINAMIKA PELAKSANAAN PUTUSAN KLAUSUL BERSYARAT PADA PENGUJIAN UNDANG – UNDANG TERHADAP UUD 1945

Ida Ayu Mas Wulandari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: maswulandarii@gmail.com

Komang Pradnyana Sudibya,Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: pradnyana@hotmail.com

ABSTRAK

Tujuan studi atau penelitian ini yakni mencari tahu adanya suatu dinamika terhadap pelaksanaan putusan dengan klausul bersyarat pada pengujian UU terhadap UUD 1945. Mengingat MK memiliki beragam tipe putusan, salah satunya yakni putusan dengan klausul bersyarat. Dalam penerapannya putusan klausul bersyarat ini dibedakan atas dua macam, yaitu putusan konstitusional bersyarat serta putusan inkonstitusional bersyarat. Penelitian ini menggunakan model penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang, dan juga pendekatan analitis. Hasil penelitian yang didapatkan yakni gap antara putusan konstitusional bersyarat dengan inkonstitusional bersyarat yaitu putusan konstitusional bersyarat dimana norma pada undang-undang dilihat konstitusional dengan kata lain tak bertolak belakang dengan konstitusi apabila diinterpretasikan seperti yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan putusan inkonstitusional bersyarat bahwa pasal yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian, disebut bertolak belakang secara bersyarat dengan UUD 1945. Hal ini berarti, pasal yang diharapkan diujikan itu bersifat inkonstitusional apabila persyaratan yang diatur Mahkamah Konstitusi tak terpenuhi. Maka dari itu, pasal yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian itu ketika putusan dibacakan merupakan inkonstitusional serta dapat diubah jadi konstitusional hanya jika persyaratan telah terpenuhi oleh addresaat putusan Mahkamah Konstitusi.

Kata Kunci : Norma, Konstitusional Bersyarat, Inkonstitusional Bersyarat.

ABSTRACT

The research aimed to observe the dynamics of conditional clause on a statute examination towards constitution acts of 1945. Considering there were various models of verdict by Constitutional Supreme Court, which one of them using conditional clause. According to the implementation, onditional clause based verdict can be distinguished into two different models, namely conditional constitutional verdict and conditional inconstitutional verdict. The method of this normative legal research are using by conceptual approach, legal approach and analytical approach. The result shows the difference between conditional constitutional verdict and conditional inconstitutional verdict is where constitutional verdict regarded a statute is valid when the norms in a statute is accordance to Constitutional Supreme Court regulation. On the other hand, conditional inconstitutional verdict regarded when a statute is submitted to be examined on constitutional trial, it is automatically defined as contrary acts towards the constitution of 1945. Thus, the statute article that is submitted to be examined on constitutional trial when the verdict is being read regarded as inconstitutional, and will become constitutional when the specified conditions of Constitutional Supreme Court is fulfilled by Constitutional Supreme Court addressat.

Keywords : Norm , Conditional Constitutional, Conditional Unconstitutional.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang

Indonesia, yaitu sebuah negara yang menerapkan konsep Negara Hukum. Pernyataan ini dituangkan dengan tegas melalui pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Contoh karakteristik esensial suatu Negara Hukum yakni adanya lembaga kehakiman independent serta tak memihak. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia adalah satu dari sekian instansi yang mempunyai wewenang dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dan telah tertuang pada pasal 24 ayat (1) serta ayat (2) juga pasal 24C UUD 1945. Adapun satu dari sejumlah wewenang Mahkamah Konstitusi yakni, melaksanakan uji atas UU terhadap UUD 1945.

Perkara itu adalah perkara serta putusan terbanyak apabila disandingkan dengan beberapa kewenangan lain dari Mahkamah Konstitusi. Sampai pertengahan Agustus 2020, sudah tercatat dalam website Mahkamah Konstitusi Indonesia terdapat 2088 perkara yang masuk , dan 1333 perkara yang telah diputus.1 Banyaknya perkara yang telah masuk tersebut didasari oleh objek yang diujikan, yaitu Undang – undang dan variasi dari pemohon. Di Indonesia, Undang – undang berperan amat penting bagi penegakan hukum yakni sebagai sumber hukum di Negara Indonesia. Di satu sisi, intisari pengaturan undang – undang yang mempunyai potensi masif dalam pembatasan hak asasi serta hak konstitusional rakyat. Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 juga memaparkan, penerapan hak asasi manusia hanya mampu dibatas oleh adanya Undang-undang.

Akibat dari banyaknya kasus yang telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, terdapat dinamika yang timbul ketika penerapan wewenang MK menguji UU terhadap UUD 1945. Satu dari sejumlah kemajuan yang telah muncul yakni adanya tipe putusan “baru”, yaitu putusan bersyarat dan dikenal sebagai putusan konstitusional bersyarat ataupun putusan inkonstitusional bersyarat. Pada prinsipnya, Mahkamah Konstitusi saat penerapan putusan ini memberikan suatu tafsir atau persyaratan tertentu yang wajib untuk dipenuhi, agar norma yang ingin diujikan menjadi konstitusional ataupun inkonstitusional bersyarat.

Dalam perjalanan sejarah konstitusi, pemakaian klausul bersyarat awalnya telah dipergunakan dalam putusan mengenai uji UU No. 7 Tahun 2004 terkait Sumber Daya Alam. MK secara gamblang menjelaskan, syarat-syarat yang ditetapkan oleh pihak Mahkamah Konstitusi wajib dipatuhi, jadi jika nantinya pelaksanaannya tak sesuai dengan persyaratan konstitusionalitas itu, Undang-Undang a quo boleh dilakukan pengujian lagi.2

Contoh dari penerapan pemberian persyaratan itu yakni bisa berbentuk tafsiran atas norma, artinya apabila suatu norma telah diujikan maka norma tersebut harus dibaca sama seperti ditafsirkan oleh MK. Setelah uji atas UU tersebut, maka penggunaan klausul bersyarat akan langsung diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana penggunaannya tak semata tercantum saat pertimbangan hukum, tetapi juga terdapat pada amar putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal suatu putusan

bersyarat, terjadi dinamika, satu diantaranya ialah penafsiran MK atas klausul bersyarat, entah konstitusional bersyarat ataupun inkonstitusional bersyarat. Dari 132 putusan beryarat yang dilayangkan oleh MK pada rentang tahun 2003 sampai 2017,3 terdapat temuan sekurangnya ada tujuh putusan bersyarat yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yang dalam putusannya khususnya pada pertimbangan hukum menjelaskan bahwa norma yang diuji merupakan konstitusional bersyarat, tetapi pada amar putusan justru memaparkan, norma yang diuji tersebut merupakan inkonstitusional bersyarat.

Contoh lain yakni, pada Putusan No. 70/PUU-IX/2011 mengenai pendaftaran jamsostek4, dapat ditemukan bahwa dalam pertimbangan hukumnya, dinyatakan terdapat pasal yang memaparkan pendaftaran jaminan sosial tenaga kerja bertolak belakang dari UUD NRI 1945 serta wajib disebut sebagai konstitusional bersyarat.5 Pada penjelasan berikutnya, Mahkamah Konstitusi memaparkaan, pasal yang dilakukan pengujian wajib ditetapkan bertolak belakang secara bersyarat, serta pada amar putusannya diperjelas lagi bahwa pasal tersebut merupakan inkonstitusional bersyarat. Dari contoh putusan tersebut, dapat dinyatakan bahwa telah terjadi suatu dinamika dalam penerapan serta pemaknaan dari klausul bersyarat itu sendiri oleh MK, yang dalam penerapannya, MK pun mempergunakan klausul konstitusional bersyarat menjadi elemen putusan inkonstitusional bersyarat. Penyimpangan pada penetapan dari putusan bersyarat, menunjukan terdapat suatu ketidakkonsistenan Mahkamah Konstitusi ketika mempergunakan istilah klausul bersyarat, yang secara tersirat tak berbeda dengan putusan klausul inkonstitusional bersyarat.

Dilatarbelakangi oleh dinamika dari penerapan klausul bersyarat dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini, menjadikan penulis tertarik untuk mencari pemahaman yang lebih dalam terkait penerapan klausul bersyarat pada pengujian suatu Undang – undang terhadap UUD Tahun 1945. Dalam penelitian sebelumnya mengenai putusan ini yang ditulis oleh Faiz Rahman dari Universitas Gadjah Mada memiliki perumusan masalah : Pertama, bagaimana penerapan putusan bersyarat dalam kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar di Mahkamah Konstitusi?; dan Kedua, bagaimana anomali penggunaan klausul bersyarat dalam putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis memiliki minat dalam menyampaikan rumusan masalah baru terkait putusan klausul bersyarat yang belum ditulis pada penelitian sebelumnya yakni mengenai upaya pencegahan terhadap penyimpangan pelaksanaan putusan dengan klausa bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK).

  • 1.2.    Rumusan Permasalahan

  • 1.    Apa yang menjadi pembeda antara putusan inkonstitusional bersyarat serta putusan konstitusional bersyarat?

  • 2.    Bagaimana penerapan putusan dengan klausa bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan kewenangannya pada pengujian UU terhadap UUD 1945?

  • 3.    Bagaimana cara MK untuk mencegah terjadinya penyimpangan terhadap penerapan putusan dengan klausa bersyarat?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penelitian bertujuan menciptakan hukum nasional yang mampu merepresentasikan rasa adil atas dasar semangat reformasi.6 Penulisan ini ingin meneliti lebih dalam untuk mendapatkan pemahamann yang lebih mendalam , dalam hal penerapan putusan dengan klausa bersyarat yang diterapkan oleh MK atas dasar wewenangnya dalam melaksanakan uji atas Undang – undang terhadap UUD 1945. Serta penyebab terjadinya beberapa penyimpangan penerapan putusan dengan klausa bersyarat yang mengakibatkan munculnya suatu dinamika dalam penerapannya.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian mempergunakan metode penelitian hukum normatif yang mana melakukan analisa korelasi timbal-balik antara fakta sosial dan juga fakta hukum, yang mana hukum dalam hal ini merupakan variable bebas serta fakta sosial sebagai variable terikat.7 Jenis penelitian ini berawal dari norma hukum baru hingga ke fakta sosial. Apabila terdapat perbedaan antara kedua fakta tersebut, yang harus diubah ialah fakta sosial supaya selaras dengan fakta hukum, ini karena hukum dianggap sudah lengkap dan tepat. Sesuai dengan hal ini maka hukum mempunyai fungsi menjadi alat ketertiban sosial.8

Sejatinya, penelitian hukum normatif ini fokus ke pemakaian informasi sekunder9. Mengenai bahan hukum primer, penulis melakukan analisis aturan undang-undang mengenai MK beserta putusannya yang sesuai dengan topik yang diperbincangkan. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan yakni buku, jurnal ilmiah, beserta hasil penelitian terdahulu terkait wewenang menguji UU serta putusan bersyarat. Kemudian, bahan hukum tersier mempergunakan kamus bahasa serta kamus hukum sesuai masalah pada bahasan ini. Penelitian yang mempergunakan metode penelitian hukum normatif muncul akibat Problem Norma, yang artinya terdapat ketidakjelasan norma, norma kosong, ataupun norma konflik. Penelitian

menerapkan pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang, dan juga pendekatan analitis.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Pembeda antara putusan inkonstitusional bersyarat dan putusan konstitusional bersyarat

Adapun putusan konstitusional bersyarat berarti norma pada undang-undang disebut konstitusional dengan kata lain tak bertolak belakang dengan konstitusi apabila diinterpretasikan seperti yang ditetapkan oleh MK. Putusan konstitusional bersyarat yang dicetuskan MK umumnya dicirikan dengan “sepanjang dimaknai”.10 Timbulnya putusan konstitusional bersyarat akibat adanya pengajuan permohonan beralasan yang menyebabkan permohonan itu terkabul namun tak merubah isi dari norma di pasal itu, tetapi hanyalah dengan cara menginterpretasikan pasal itu seperti tafsiran hakim MK. Pada aturan perundangundangan, MK tak diberi wewenang dalam memberi amar putusan terkecuali yang telah tertuang pada Pasal 56 serta Pasal 57 ayat (2a) UU No. 8 Tahun 2011 mengenai Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 mengenai MK. Akan tetapi putusan konstitusional bersyarat yang dicetuskan pihak MK adalah sebuah bukti yakni guna penyelesaian permasalahan hukum yang timbul ditengah rakyat, dilaksanakan dengan interpretasi atas UUD 1945 oleh pihak hakim dari Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan hasil interpretasi itu, ada probabilitas dalam menjalankan judicial review, pihak hakim dari MK mencetuskan putusan konstitusional bersyarat yang merupakan usaha dalam menciptakan rasa adil bagi rakyat. Tak hanya itu, untuk menetapkan sebuah kasus, pihak hakim berkewajiban melakukan penelitian, mengikuti, serta paham akan nilai hukum serta keadilan yang berkembang di tengah rakyat seperti yang disebutkan di Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 mengenai Kekuasaan Kehakiman.11

Karakteristik dari putusan konstitusional bersyarat diantaranya :

  • a)    Memiliki tujuan untuk mempertahankan konstitusionalitas yang dimiliki oleh suatu aturan, dangan memperhatikan persyaratan yang telah diajukan Mahkamah Konstitusi.

  • b)    Persyaratan yang telah diajukan Mahkamah Konstitusi pada suatu putusan konstitusional bersyarat memiliki daya ikat terhadap proses pembentukan suatu undang – undang.

  • c)    Apabila terjadi ketidaksesuaian antara pembuatan undang – undang dengan persyaratan yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi pada putusannya , maka norma tersebut dapat diujikan kembali.

  • d)    Ketika melakukan penilaian suatu konstitusionalitas norma yang sama , Mahkamah Konstitusi menjadikan suatu putusan konstitusional bersyarat sebagai acuan dan pedomannya.

  • e)    Jika diperhatikan dari kemajuan pencantuman konstitusional bersyarat, awalnya Mahkamah Konstitusi merasa sulit melakukan perumusan amar putusan sebab muncul pada kasus yang sejatinya tak ada alas an, alhasil sejumlah besar putusan adalah menolak, akan tetapi seiring berjalannya

waktu, putusan model konstitusional bersyarat timbul akibat permohonan yang mempunyai alasan kuat, jadi terkabul dan tetap menjaga konstitusionalitasnya.

  • f)    Dalam suatu putusan konstitusional bersyarat, terdapat kemungkinan uji norma yang tak tertulis pada teks maka tak tercantum pula pada undang-undang.

  • g)    Putusan konstitusional bersyarat biasanya diberikan demi mencegah adanya suatu kekosongan hukum.

  • h)    Dalam hal memberikan putusan konstitusional bersyarat , Mahkamah Konstitusi yang awalnya menjadi penafsir undang – undang tetapi sekarang sejak muncul putusan tersebut maka dapat sebagai perumus undang-undang namun terbatas.

Apabila suatu aturan yang perumusannya sifatnya umum dan suatu saat dilakukan berbentuk A, maka nantinya penerapan A tersebut akan selaras dengan UUD 1945. Namun, apabila ternyata penerapannya berbentuk B, maka B dapat bertolak belakang dengan UUD 1945. Jadi pasal itu mampu diujikan lagi. Simpulannya, apabila undang-undang nantinya akan dilaksanakan dengan bentuk A, sifatnya akan konstitusional, serta berlaku sebaliknya.12

Terkait putusan inkonstitusional bersyarat, Pusat Penelitian serta Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi serta Komunikasi Kepaniteraan juga Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi memaparkan terkait gambaran dari Putusan Inkonstitusional bersyarat ini adalah lawan putusan konstitusional bersyarat .

Hal ini memiliki arti bahwa pasal yang diajukan untuk dilakukan pengujian, dikatakan bertolak belakang secara bersyarat dari UUD 1945. Hal ini berarti, pasal yang diharapkan dilakukan pengujian itu bersifat inkonstitusional apabila persyaratan yang dicetuskan oleh Mahkamah Konstitusi tak terpenuhi. Oleh sebab itu, pasal yang diajukan permohonan untuk diuji ketika putusan diumumkan bersifat inkonstitusional serta mampu menjadi konstitusional jika persyaratan dipenuhi addresaat putusan MK.13

Adapun gambaran dari putusan konstitusional bersyarat awalnya termuat pada amar putusan MK No. 10/PUU-VI/2008 mengenai uji pasal 12 huruf c UU No. 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, serta DPRD . Yang pada amar putusannya Mahkamah Konstitusi menjelaskan, pasal a quo masih konstitusional sepanjang dimaknai berisikan persyaratan kediaman pada daerah yang diwakili.

Contoh putusan inkonstitusional bersyarat awalnya dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi pada putusannya yakni putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 mengenai uji pasal 12 huruf g serta pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 tahun 2008 juga pasal 58 huruf f UU No. 12 Tahun 2008 mengenai Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. MK menjelaskan penerapan aturan-aturan itu tak sesuai dengan asas persamaan dimata hukum, tak sesuai dengan hak mendapatkan peluang yang sama pada pemerintahan seperti yang dituangkan pada Pasal 28D ayat (1) serta ayat (3) UUD 1945. Jadi, pada amar putusan, Mahkamah Konstitusi

menjelaskan, aturan itu bertentangan dari UUD 1945 secara bersyarat serta tak berkekuatan hukum yang mengikat selama tak memenuhi persyaratan antara lain :

  • (i ) tak berfungsi bagi jabatan yang dipilihnya;

  • (i i) berfungsi dalam waktu lima hari terhitung mulai terpidana menyelesaikan hukuman;

  • (i ii) terkecuali untuk mantan nara pidana yang dengan jujur menyampaikan ke hadapan khalayak ramai atas statusnya sebagai nara pidana;

  • (i v) tidak merupakan pelaku kejahatan berulang.

  • 3.2.    Penerapan putusan dengan klausa bersyarat oleh MK berdasarkan wewenangnya menguji UU terhadap UUD 1945

Saat menjalankan tugasnya menguji UU terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memaparkan prinsipnya menjadi pengawal konstitusi, pelindung dari pada Hak Asasi Manusia, penafsir final konstitusi, pelindung demokrasi, juga pelindung dari Hak Konstitusional Warga Negara.14 Menurut oposisi, putusan bersyarat terbagi atas dua tipe, yang terdiri dari putusan konstitusional bersyarat serta putusan inkonstitusional bersyarat, namun dalam pemakaian klausul bersyarat nampaknya tak selamanya sesuai jenis putusan bersyarat.

Sesuai penelitian yang dilaksanakan oleh Penulis, telah didapatkan tujuh putusan terkait upaya pertimbangan hukum yang berisi klausul konstitusional bersyarat, namun pada amar putusannya , justru norma yang diuji tersebut ditetapkan inkonstitusional bersyarat. Walau total putusan tipe ini terbilang tak terlalu signifikan, namun penyimpangan insinkronisasi itu merupakan hal yang cukup bagus jika dipahami bagaimana sesungguhnya MK menginterpretasikan klausul bersyarat itu dalam hal kewenangannya sebagai instansi yang melaksanakan uji atas UU terhadap UUD 1945.

NO

NOMOR

PUTUSAN

PERIHAL

AMAR

TANGGAL PUTUSAN

1

70/PUU-IX/2011

UU No. 3 Tahun 2009 mengenai Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 mengenai MA serta UU No.18 Tahun 2011 mengenai perubahan kedua atas UU No 22 Tahun 2004 mengenai Komisi Yudisial.

Mengabulkan seluruhnya dan menyatakan CU

08/08/2012

2

40/PUU-X/2012

UU No.29 Tahun 2004 mengenai Praktik Kedokteran.

Mengabulkan semuanya dan menyatakan CU

15/01/2013

3

39/PUU-XI/2013

UU No.2 Tahun 2008 mengenai Partai Politik

Mengabulkan sebagian dan

31/07/2013

sepertia yang telh diganti dengan UU No. 2 Tahun 2011 mengenai perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 mengenai Partai Politik.

menyatakan CU

4

27/PUU-XI/2013

UU No.3 Tahun 2009 mengenai perubahan kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 mengenai MA serta UU No. 18 Tahun 2011 mengenai perubahan kedua UU No. 22 Tahun 2004 mengenai Komisi Yudisial.

Mengabulkan semuanya dan menyatakan CU

09/01/2014

5

29/PUU-XIV/2016

UU No.16 Tahun 2004 mengenai Kejaksaan Republik Indonesia

Mengabulkan sebagian dan menyatakan CU

11/01/2017

6

129/PUU-XIII/2015

UU No.41 Tahun 2014 mengenai Perubahan UU No. 18 Tahun 2009 mengenai Peternakan dan kesehatan hewan.

Mengabulkan sebagian dan menyatakan CU

07/02/2017

7

49/PUU-XIV/2016

UU No.2 Tahun 2004 mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Mengabulkan sebagian dan menyatakan CU

21/02/2017

Penulis cenderung menaruh perhatian pada pemakaian klausul bersyarat yang dipergunakan oleh Mahkamah Konstitusi, maka dari itu, intisari pertimbangan putusan serta amar tak tercantum secara menyeluruh.

Putusan Nomor 70/PUU-IX/2011, terkait pendaftaran Badan Penyelenggara Jaminan :

  • [3.13.2]    Menimbang, atas dasar semua pertimbangan itu menurut Mahkamah, Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek [...] bertolak belakang dari UUD 1945, maka dari itu tak berkekuatan hukum yang mengikat jika [...]. Jadi, pasal itu wajib dikatakan konstitusional bersyarat sehingga selengkapnya [...];

  • [3.13.3]    Menimbang, demikian pula Pasal 13 ayat (1) UU SJSN [...] bertolak belakang dari UUD 1945 sehingga tak berkekuatan hukum mengikat apabila ditafsirkan [...]. Jadi, pasal ini wajib dinyatakan konstitusional bersyarat sehingga selengkapnya [...].

  • [3.13.4]    Menimbang, atas dasar pertimbangan itu, menurut Mahkamah, aturan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek serta Pasal 13 ayat (1) UU SJSN tak kuat memberi jaminan atas hak pekerja berupa jaminan sosial. Guna melunasi hak pekerja terkait jaminan sosial,

dua pasal yang diajukan untuk diujikan, wajib disebut bertolak belakang dengan UUD 1945 secara bersyarat. Menurutnya, permohonan oleh Pemohon mempunyai alasan jika dilihat dari aspek hukum.

Selanjutnya pada amar putusan MK, disebutkan permohonan terkabul semuanya. Terkait klausul bersyarat, Mahkamah memaparkan hal-hal :

Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1992 mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja [...] bertolak belakang dari UUD 1945 apabila ditafsirkan melenyapkan hak pekerja dalam mendaftarkan diri menjadi peserta program jaminan sosial atas tanggungan perusahaan jikalau perusahaan ternyata tak mendaftarkan pegawainya di penyelenggara jaminan sosial.

Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional [...] bertolak belakang dari UUD 1945 apabila ditafsirkan melenyapkan hak pekerja dalam mendaftarkan diri menjadi peserta dari program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja jikalau pemberi kerja ternyata tak mendaftarkan pegawainya di BPJS.

Jika kita mengertikan mempergunakan kaidah bahasa, perihal pemakaian klausul konstitusional bersyarat pada paragraf 3.13.2 serta paragraf 3.13.3, terhadap norma yang dilakukan pengujian untuk tetap bersifat konstitusional, norma itu wajib dipahami seperti penafsiran yang telah dicetuskan Mahkamah Konstitusi pada segala pertimbangan. Namun, yang memunculkan suatu pertanyaan dan permasalahan yakni pernyataan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi di paragraph 3.13.4 dan amar putusan dimana menyebutkan, norma yang sedang diuji bertolak belakang secara bersyarat. Namun jika pada hal pertimbangan hukum telah menyebutkan norma yang dilakukan pengujian ialah konstitusional bersyarat, selanjutnya amar putusannya juga sebaiknya memaparkan, norma yang dilakukan pengujian tersebut merupakan konstitusional bersyarat juga.

Kemudian, mampu dilihat pula Mahkamah Konstitusi sesungguhnya secara substansi tak mendiferensiasi antara klausul konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat. Ini mampu kita lihat dari penjelasan MK di paragraf 3.13.2 serta paragraf 3.13.3, disana MK telah menyebutkan norma yang dilakukan pengujian tersebut bertolak belakang jika ditafsirkan seperti yang ditulis pada pertimbangan itu, alhasil norma itu wajib disebut konstitusional asalkan dimaknai seperti dengan penafsiran yang dijelaskan sebelumnya.

Jika dihubungkan dengan ciri-ciri putusan bersyarat, frasa “bertentangan apabila dimaknai [...]” adalah karakteristik putusan inkonstitusional bersyarat. Penjelasan ini mendapat dukungan oleh isi dari amar putusan tersebut yang memaparkan putusan ini inkonstitusional bersyarat.

  • 3.3.    Cara Mahkamah Konstitusi untuk mencegah terjadinya penyimpangan terhadap penerapan putusan dengan klausa bersyarat

Penggunaan karakteristik putusan bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi yang berisikan tentang klausul konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat dewasa ini sudah merupakan kebiasaan serta memiliki kemajuannya sendiri pada aktivitas menguji undang-undang terhadap UUD yang dijalankan MK, walaupun

apabila menurut formil pada Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi tak diketahui tipe putusan ataupun klausul bersyarat.15

Dalam penerapannya, putusan yang dicetuskan Mahkamah Konstitusi sejatinya tidak selalu dijadikan acuan atau dilaksanakan oleh pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan para penegak hukum. Dinamika yang terjadi dalam pemerintahan menjadikan terganggunya implementasi pelaksanaa putusan yang dicetuskan MK. Persoalan itu nampak nyata pasca Mahkamah Konstitusi membatalkan pengujian terhadap Undang - Undang No. 20/2002 mengenai Ketenagalistrikan. Penyebabnya dikarenakan UU itu memberikan jalan masuk untuk ekspansi investor negara-negara kapitalis yang ingin meliberalisasikan pasar guna pemenuhan kebutuhan pemasokan tenaga listrik di Indonesia. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi itu, negara secara cepat menyiapkan alat hukum yang hierarkinya lebih rendah dari Undang - Undang.

Alat hukum diharapkan dapat sebagai pedoman hukum yang baru untuk kelangsungan privatisasi bidang ketenagalistrikan yang telah direncanakan negara. Adapun tujuannya yakni melegitimasi hak privat dengan tujuan menghimpun dana yang cendeerung tak diharapkan oleh pencetus UUD 1945.16 Konstitusionalitas Bersyarat terlepas dari sifat konstitusionalitas dari aturan Undang-Undang pada pelaksanaan serta penegakan hukum. Namun Mahkamah Konstitusi belum berwenang mengawasi pelaksanaan persyaratan konstitusionalitas sebuah norma yang disyaratkan.

Hanya satu cara yang telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi yakni apabila syarat konstitusionalitas ketentuan Undang-Undang yang disyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi pada putusannya tak memperoleh perhatian ataupun penafsiran berbeda dari lembaga terkait, yakni dengan cara melakukan pengujian lagi atas Undang– Undang yang sebelumnya telah diujikan dari pihak Mahkamah Konstitusi. Sejatinya terdapat prosedur lainnya yang mampu ditekankan supaya kekeliruan pelaksanaan konstitusionalitas sebuah aturan Undang-Undang pada pengimplementasiannya dapat untuk diajukan ke hadapan Mahkamah Konstitusi.

Di sejumlah negara, prosedur yang tengah dipergunakan ialah constitutional complaint serta constitutional question. Constitutional complaint biasanya sering disebut bentuk pengaduan ataupun gugatan konstitusional terhadap undang-undang, putusan administrasi negara ataupun putusan pengadilan yang menekankan putusan administasi negara itu sendiri.17 Dan di sisi lain constitutional question merupakan bentuk pertanyaan yang dipaparkan oleh lembaga negara pada Mahkamah Konstitusi mengenai apakah norma tersebut mempunyai sifat konstitusional ataupun inkonstitusional untuk dapat dijalankan.18 Dengan adanya suatu mekanisme constitutional complaint serta constitutional question, syarat-syarat konstitusionalitas

terhadap aturan Undang - Undang yang telah dilakukan penolakan atas permohonannya oleh Mahkamah Konstitusi mempunyai tiga jalan konstitusional, yakni:

  • 1.    Menguji kembali aturan yang sebelumnya pernah diuji

  • 2.    Melakukan pengaduan konstitusional

  • 3.    Memberi pertanyaan konstitusionalitas

Namun opsi hukum guna menegaskan serta memasukkan tiga prosedur tersebut ke suatu sistem hukum di Indonesia mampu dilaksanakan dengan dilakukannya perbaikan UU MK atau dilakukan putusan MK yang memiliki sifat konstitusionalitas bersyarat diikuti dengan perincian terhadap tiga prosedur konstitusional guna melindungi supaya syarat konstitusional terpenuhi secara tepat oleh lembaga pemerintah. Dapat pula yang lebih baik ialah memasukkannya dengan cara melakukan perubahan UUD 1945. Hal ini karena sampai saat ini di Indonesia secara normatif belum mengenal adanya constitutional complaint atau constitutional question, ditunjukan dengan belum terdapat lembaga peradilan yang dilimpahkan kewenangan constitutional complaint. Menurut I Dewa Gede Palguna dalam bukunya yang berjudul Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili perkara constitutional complaint.

  • IV. Kesimpulan

Terdapat gap antara putusan konstitusional bersyarat dengan inkonstitusional bersyarat. Adapun putusan konstitusional bersyadat timbul akibat permohonan yang dianggap mempunyai alasan yang tepat yang menyebabkan terkabulnya permohonan itu namun dengan tanpa merubah isi dari norma pada pasal itu sendiri, akan tetapi hanyalah dengan menafsirkan pasal itu seperti tafsiran hakim dari Mahkamah Konstitusi. Pada penerapannya sesuai penelitian yang dijalankan oleh Penulis, telah dioperoleh tujuh jenis putusan yang pada upaya pertimbangan hukum mencakup klausul konstitusional bersyarat, namun pada amar putusan, justru norma yang diuji dikatakan bersifat inkonstitusional bersyarat. Adanya suatu mekanisme constitutional complaint serta constitutional question menyebabkan syarat konstitusional terhadap aturan undang-undang dimana telah diberi penolakan atas permohonannya, kini mempunyai tiga jalan konstitusional yakni pengujian kembali ketentuan yang telah diujikan, pengaduan konstitusional, serta pertanyaan konstitusional. Namun, opsi hukum demi menegaskan ketiga jalan tersebut pada suatu system hukum di Indonesia, mampu dilaksanakan melalui perbaikan UU MK atau dilakukan putusan MK yang memiliki sifat konstitusional bersyarat diikuti rincian atas mekanisme konstitusional guna memastikan syarat-syarat konstitusional telah terpenuhi secara tepat oleh pihak pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, h. 118.

Harjono,Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,2008,h.179

Martitah, Mahkamah Konstitusi, dari negative legislature ke positive legislature?,Jakarta:Konstitusi Press,2013, h.134

Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi , 2010 , hal.10.

Zainuddin Ali, 2014, Metode penelitian Hukum, Cet. Ke-V, Sinar Grafika, Jakarta: h. 137.

JURNAL DAN PENELITIAN :

Arizona,Yance,”Dibalik Konstitusionalitas Bersyarat Putusan Mahkamah Konstitusi”Peneliti Perkumpulan untuk pembaharuan hukum berbasis masyarakat dan ekologis,2010, hal.22.

Faiz Rahman dan Dian Agung Wicaksono, “Eksistensi dan Karakteristik Putusan Bersyarat Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, volume 13, Nomor 2, Juni 2016.

Laksono,Fadjar, “Meretas “Constitutional Complaint” ke dalam UUD 1945 Menuju Konstitusi yang lebih Demokratis”, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 4, Desember 2007. h. 131.

Meirina Fajarwati, “Problematika dalam Putusan Konstitusional Bersyarat Mahkamah Konstitusi”,Jurnal RechtsVinding, Vol.1 No.1 , Oktober 2015.

Rahman,Faiz.”Anomali Penerapan Klausul Bersyarat dalam Putusan Pengujian Undang – undang terhadap Undang – undang Dasar”,Jurnal Konstitusi, Vol.17, No.1, Maret 2020,Hal.48-49.

Syahrizal,Ahmad.”Problem Implementasi Putusan MK”, Jurnal Konstitusi ,Volume 4 Nomor 1, Maret 2007, h. 107-108.

Zulfadli Barus, “Supremasi Hukum dalam Pandangan Positivisme Hukum”, Majalah Ilmiah Bina Widya, Vol. 15 No. 2 Juli 2004, hlm. 60-69.

Zulfadli Barus, “Penelitian Hukum Sosiologis Tentang Faktor-faktor Penyebab Kepala Keluarga Di Desa Cimenteng, Cianjur, Jawa Barat Tidak Memiliki Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Yang Dikuasainya”, Jurnal Hukum Supremasi, Vol. 1 No. 1 Oktober 2007-Maret 2008, hlm. 93.

INTERNET :

Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia, 2020, “Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang – Undang”, URL : https://mkri.id/index.php?page=web.RekapPUU. Diakses tanggal 16 Agustus 2020.

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt581c0c98aa2ee/pengertian-konstitusional-bersyarat-dan-inkonstitusional-bersyarat/ diakses pada 9 September 2020

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-

III/2005 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 19 Juli 2005, h. 495.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 8 Agustus 2012.

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 5 Tahun 2020, hlm. 59-70.

70