AKIBAT HUKUM KONTRAK PERJANJIAN KONSINYASI ANTARA DISTRIBUTOR DENGAN SUPPLIER SNACK

TAKSU BALI

Anak Agung Gede Bagus Rahardiputra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

ABSTRAK

Perjanjian kerjasama yang digunakan dalam praktek sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, dalam peraturan perundang-undangan saat ini di Indonesia belum diberikan pengaturan secara khusus. Salah satunya perjanjian konsinyasi, yang merupakan salah satu perjanjian titip barang dalam pendistribusian produknya kepada konsumen. Terdapat hubungan dagang konsinyasi antara supplier dan distributor atau pihak konsinyi sebagai tempat untuk menitipkan dan menjual produk dari produknya. Dalam prakteknya sering terjadi dimana pihak konsinyi melakukan wanprestasi. Pada salah satu produsen makanan ringan yaitu Snack Taksu Bali melakukan perjanjian konsinyasi dengan beberapa outlet distributor di daerah Denpasar namun ditemukan adanya beberapa akibat hukum dalam perjanjian tersebut. Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian konsinyasi antara supplier dengan distributor, terutama jika terjadi wanprestasi. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian hukum yuridis empiris, dimana meneliti dari sudut kaidah-kaidah dan pelaksanaan peraturan yang berlaku di masyarakat, dilakukan dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer yang terdapat di lapangan. Melalui metode yang digunakan diharapkan di dalam penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran serta penjelasan merinci terhadap kepastian serta perlindungan hukum dalam perjanjian konsinyasi.

Kata Kunci: Perjanjian, Konsinyasi, Pendistribusian.

ABSTRACT

Cooperation agreements that are used in daily practice have certain names, in the current laws and regulations in Indonesia, special arrangements have not been given. One of them is a consignment agreement, which is one of the goods deposit agreements in the distribution of its products to consumers. There is a consignment trade relationship between suppliers and distributors or consignees as a place to deposit and sell products from their products. In practice it often happens where the consignee defaults. One of the snack producers, Snack Taksu Bali, entered into a consignment agreement with several distributor outlets in the Denpasar area, but it was found that there were several legal consequences in the agreement. The purpose of this paper is to determine the implementation of consignment agreements between suppliers and distributors, especially if there is a default. The research method used is an empirical juridical legal research method, which examines from the point of view of the rules and implementation of regulations that apply in the community, is carried out by examining secondary data first, then followed by conducting research on primary data found in the field. Through the method used, it is hoped that this research can contribute thoughts and detailed explanations of legal certainty and protection in consignment agreements.

Keywords: Agreement, Consignment, Distribution.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Perjanjian merupakan peristiwa dimana satu pihak dengan pihak lainnya bersama-sama berjanji dalam tujuan mencapai suatu sebab hal. Dari hal tersebut timbul hubungan antara para pihak yang disebut dengan perikatan. Pasal 1313 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian, yang berbunyi : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”, yang nantinya akan mengikat para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian.

Dalam praktek sehari-sehari di kehidupan masyarakat perjanjian kerjasama memiliki sebutan tertentu, namun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum diatur mengenai hal tersebut, karena hingga saat ini belum diberikan peraturan secara mengkhusus mengenai hal tersebut. Sebagaimana diatur pada Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau selanjutnya disebut KUHPer terdapat dua kelompok perjanjian, yang perjanjian yang memiliki satu nama khusus diberikan oleh undang-undang yaitu perjanjian bernama (benoemde atau nominaatcontracten) sedangkan perjanjian tidak bernama (onbenoemde atau innominaat contracten) adalah perjanjian yang tidak memiliki satu nama tertentu.1

Terdapat dua jenis hukum kontrak dalam sebutannya, ialah hukum kontrak nominaat atau dalam sebutannya kontrak bernama dan innominaat atau dalam sebutannya kontrak tak bernama. Hukum kontrak innominaat diatur dalam KUHPerdata, adapun pasal dalam KUHPerdata yang mengatur tentang hal tersebut, yaitu pada Pasal 1319 KUHPerdata, yang dimana berbunyi : “Semua perjanjian, baik yang memiliki nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus atau nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang terdahulu”, dan dalam contohnya adalah perjanjian konsinyasi.2

Sedangkan perjanjian tidak bernama atau disebut innominaat adalah kumpulan dari kaidah hukum yang didalamnya mengkaji bermacam kontrak yang lahir dan berkembang di masyarakat serta belum ada pengaturan secara mengkhusus dalam KUHPerdata.3 Dengan berlandaskan asas kebebasan berkontrak kontrak innominaat lebih dikenal di masyarakat dalam prakteknya dikatakan tidak terlalu bebas dalam pembuatan dan penyusunan perjanjian karena terdapat batasan dari kepentingan para pihak dan juga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak lah yang menjadi faktor lahirnya perjanjian tidak bernama atau innominaat.

Konsinyasi merupakan dimana produk maupun barang yang dikirim dari pihak pengirim atau produsen untuk dititip jualkan kepada pihak ditributor yang memiliki outlet atau toko dalam sistem jual beli pada kedepannya atau dapat dengan tujuan lain,

barang atau produk tersebut akan tetap terdapat suatu hak yang dimiliki pihak pengirim atau dalam sebutannya consignor.4 Penerimaan produk yang dititipkan tersebut selanjutnya dalam pengurusan produk sesuai dengan kesepakatan adalah tanggung jawab dari pihak penerima.

Konsinyasi juga merupakan salah satu bentuk strategi produsen dalam pendistribusian produknya kepada konsumen. Maka dari itu, pendistribusian merupakan kegiatan pemasaran dalam aktivitas ekonomi yang dimana hal tersebut dalam usaha memudahkan dan juga mempelancar penyampaian barang atau produk bahkan jasa dari produsen kepada konsumen, sehingga pemanfaat dari barang atau produk maupun jasa sesuai dengan yang dibutuhkan seperti halnya jumlah, jenis, lokasi dan waktu diperlukannya.5

Adanya perbedaan konsep antara transaksi penjualan dengan konsinyasi. Pada transaksi penjualan hak milik atas suatu barang akan berpindah kepada pihak pembeli pada saat barang diserahkan. Namun dalam transaksi konsinyasi penyerahan suatu barang atau produk tidak disertakan hak milik dari suatu barang tersebut.6 Sistem konsinyasi lebih unggul dibandingkan sistem penjualan biasanya, dimana terdapat beberapa kelebihan seperti perluasan target pasar dan juga penghematan dalam biaya produksi dan biaya pelayanan, penghematan dari segi sumber daya manusia serta fokusnya kualitas dari produksi produk yang akan dijual. Manfaat pun didapatkan ketika menggunakan sistem ini modal yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan keuntungan yang lebih banyak didapat, resiko produk tidak terjual juga akan menurun.

Namun terdapat pula kekurangan pada sistem konsinyasi ini dimana resiko kerugian dengan faktor salahnya memilih penjual, tidak sesuainya promosi yang dilakukan karena sebagai supplier tidak langsung menjualkan produknya serta uang hasil dari keuntungan penjualan tidak langsung di dapat oleh pihak supplier.7

Taksu Bali adalah merupakan Usaha Mikro Kecil Menengah yang produk yang dijual merupakan makanan ringan atau snack berbahan kulit babi sebagai olahannya. Dalam menjalankan usahanya tentu Taksu Bali sudah memiliki Izin PIRT atau Izin Produk Industri Rumah Tangga, karena dari izin PIRT ini, artinya produk dari Taksu Bali sudah layak konsumsi masyarakat, aman, sehat. Taksu Bali dalam menjalankan tugasnya sebagai penyalur makanan ringan atau biasa disebut snack, terdapat suatu hubungan kerjasama dengan pihak konsinyi dalam hal ini sebagai tempat dalam menitipkan dan memasarkan produk dari makanan ringannya. Dalam hal ini, pihak konsinyi tidak hanya berhubungan dagang konsinyasi dengan supplier, Taksu Bali saja,

tetapi juga terdapat hubungan yang serupa dengan supplier lain dengan produk yang berbeda pula.

Dengan menyepakati tanggal dari kedua belah pihak, hasil penjualan barang ataupun produk selanjutnya akan dibayarkan ke pihak supplier. Uang dari hasil penjualan akan diminta penjual ataupun salesman dari tiap supplier sesuai tanggal yang telah disepakati oleh para pihak. Namun dalam prakteknya sering terjadi wanprestasi dari pihak konsinyi. Dengan memberikan berbagai alasan pihak konsinyi menghindar untuk melakukan pembayaran atau dapat dikatakan menghambat proses pembayaran dari hasil penjualan.

Adapun state of art dari penelitian ini yang dimana untuk membedakan dari penelitian lainnya yakni “Pelaksanaan Ketentuan Hukum Tentang Perjanjian Konsinyasi Antara Distribution Outlet Dengan Supplier Di Denpasar Selatan”. Dalam penelitian tersebut berfokus pada bagaimana pelaksanaan ketentuan hukum di dalam perjanjian konsinyasi antara pihak Distro dengan pihak supplier di wilayah Denpasar Selatan serta Upaya hukum apa yang dilakukan oleh pihak supplier terhadap pihak Distro yang melakukan wanprestasi di dalam perjanjian konsinyasi di wilayah Denpasar Selatan.8

Selanjutnya yakni “Perjanjian Konsinyasi Antara Distribution Outlet “Districtsides” Dengan Supplier.” Dalam penelitian tersebut berfokus pada bagaimana anggung jawab para pihak bila terjadi cacat barang terhadap barang yang dititip-jualkan serta Bagaimana hak dan kewajiban para pihak serta kekuatan hukumnya apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian.9 Sedangkan dalam penelitian ini berfokus pada membahas bagaimana hubungan hukum antara Taksu Bali sebagai supplier dengan distributor dalam kontrak perjanjian konsinyasi serta bagaimana akibat hukum jika salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam kontrak perjanjian konsinyasi.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka dapat ditarik rumusan masalah unduk dikaji sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana hubungan hukum antara Taksu Bali sebagai supplier dengan distributor dalam kontrak perjanjian konsinyasi ?

  • 2.    Bagaimana akibat hukum jika salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam kontrak perjanjian konsinyasi ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan jurnal ilmiah ini agar para pembaca dapat mengetahui penerapan perjanjian kerjasama konsinyasi antara distributor dengan Taksu Bali sebagai supplier

dan juga untuk mengetahui dan memahami tentang akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan serta penerapan perjanjian konsinyasi antara distributor Taksu Bali selaku supplier.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode hukum empiris, yakni suatu penelitian yang dilakukan terhadap masalah berdasarkan teori-teori hukum yang ada serta peraturan perundangundangan yang berlaku serta dihubungkan dengan suatu permasalahan berdasarkan kenyataan ataupun pada praktek-praktek yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual serta pendekatan fakta. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan sumber data terdiri dari data primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi kepustakaan dan studi lapangan (wawancara) dengan pihak Taksu Bali selaku produsen dan dua outlet distributor di daerah Denpasar dengan teknik kualitatif.

  • III.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Hubungan Hukum antara Taksu Bali sebagai Supplier dengan Distributor dalam Kontrak Perjanjian Konsinyasi.

Perjanjian kerjasama konsinyasi antara distributor dengan Taksu Bali sebagai supplier memiliki dua jenis perjanjian yang berbeda menjadi satu, ialah perjanjian jual beli dan perjanjian penitipan atau dalam sebutannya konsinyasi. Perjanjian jual beli ataupun yang berjenis perjanjian bernama (nominaat), diatur pada Pasal 1457 – 1640 KUHPerdata. Berbeda halnya ada perjanjian konsinyasi yang berjenis tidak bernama (innominaat), dimana perjanjian ini lahir dan berkembang di masyarakat dimana belum ada aturan yang mengatur baik dari KUHPerdata maupun KUHDagang. Penjualan konsinyasi dapat disebut dengan penjualan titipan, dimana pihak pengamanat atau consignor (konsinyor) yang menyerahkan barang, sedangkan pihak komisioner atau consignee (konsinyi) yang menerima barang.10

Lebih jelasnya perjanjian konsinyasi juga merupakan perjanjian kerjasama titip jual. Dalam hal ini perjanjian ini digolongkan sebagai perjanjian campuran, Yang dimana adanya lebih dari satu perjanjian bernama yang digabungkan terkait antara satu dengan yang lainnya yang tidak dapat dipisahkan.11 Maka dari itu, perjanjian konsinyasi adalah perjanjian bernama gabungan dari dua unsur perjanjian jual beli dengan perjanjian penitipan barang.12

Dalam prakteknya di masyarakat yang awamnya dikenal dengan kontrak tertulis dan tidak tertulis, yang dimana kontrak tertulis merupakan perjanjian dengan pihak pertama dan pihak kedua yang saling mengikatkan dirinya dengan perjanjian/prestasi yang dibuat dengan bukti tertulis, namun pada kontrak tidak tertulis merupakan suatu

perjanjian yang dibuat oleh pihak pertama dan pihak kedua dengan kesepakatan yang dilakukan tanpa adanya hitam diatas putih atau secara lisan.

Dengan melakukan penelitian ke lapangan di berbagai outlet distributor yang terdapat di Kota Denpasar. Penulis memperoleh beberapa data penelitian mengenai kerjasama antara Taksu Bali sebagai supplier dengan distributor atau perjanjian konsinyasi yang terdapat di Kota Denpasar, setelah memperoleh data dari beberapa distributor yang ada di Kota Denpasar, Penulis menemukan adanya hubungan kerjasaa antara distributor dengan supplier Taksu Bali yang menerapkan kontrak perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak terkait, dan terdapat pula perjanjian tak tertulis yang dilakukan oleh Taksu Bali selaku supplier dengan distributor lain ataupun dalam hal ini secara lisan dengan mengutamakan prinsip kepercayaan antara para pihak bersangkutan, karena tidak hanya perjanjian yang dibuat hitam diatas putih saja yang keberadaanya diakui oleh peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur pada KUHPerdata pada Pasal 1313 yang menyatakan bahwasannya perjanjian merupakan perbuatan antara dua pihak atau lebih mengikatkan diri masing-masing, sehingga dapat di katakan bahwa perjanjian yang dinyatakan oleh hukum dimana semasih tidak bertentangan pada ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata pada Pasal 1320.

Setiap pihak yang membuat dan melaksanakan suatu perjanjian tertulis ataupun perjanjian tidak tertulis melahirkan suatu perikatan ataupun perundang-undangan bagi para pihak yang bersifat mengikat kepada para pihak yang bersangkutan, yang diatur pula dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

Hubungan kerjasama antara Taksu Bali sebagai supplier dengan distributor merupakan hubungan hukum yang dapat memberikan keuntungan bagi para pihak dalam berkegiatan bisnis, sehingga terciptanya sistem kepercayaan antara para pihak yang memiliki artian menempatkan hak dan kewajiban di salah satu pihak dimana terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lainnya.

Hubungan hukum yang diterapkan antara para pihak terjadi karena adanya proses penyesuaian kehendak dari para pihak, hal itu dikarenakan kehendak bersifat rahasia atau dalam kata lain tidak akan diketahui oleh pihak lain diluar dari para pihak yang melakukan perjanjian, itu pun jika tidak terdapat perbuatan-perbuatan dari para pihak yang bersifat satu sisi, dalam hal ini adanya penawaran dan penerimaan antara para pihak, maka dari itu perjanjian yang dibuat oleh pihak distributor dan pihak supplier yang disebut perjanjian konsinyasi merupakan hubungan hukum yang terjadi yang disebabkan adanya hubungan bisnis yang mereka lakukan dan masing-masing dari mereka terikat pada hukum perjanjian yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dilindungi olehnya.

Asas kebebasan dalam perjanjian dijamin oleh Undang-Undang namun tetap mengikuti beberapa syarat yang menjadi pedoman dalam menentukan asas kebebasan berkontrak serta perlunya itikad baik yang menjadi dasar antara pihak pertama dan pihak kedua dalam melakukan perjanjian. Dalam halnya peraturan yang benar-benar mengatur tentang perjanjian konsinyasi masih belum ada dalam khususnya. Namun

jika dilihat dari perjanjian yang dilakukan oleh supplier dengan distributor yang mana perjanjian tersebut diatur dalam Buku III KUHPerdata. Perjanjian memiliki ruang lingkup yang merangkum seluruh persetujuan, pada halnya termasuk dengan kategori perjanjian yang pelaksanaannya dalam bentuk tertulis maupun tidak. Terdapat tiga tahapan ketika pembuatan dan penyusunan perjanjian, yakni : a. tahap pra kontraktual, dimana adanya penawaran dan penerimaan ; b. tahap kontraktual, yaitu dimana adanya para pihak menyesuaikan kehendak masing-masing ; c. tahap post kontraktual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

Pada tahap pra kontraktual, pihak supplier memberikan suatu penawaran terhadap produk atau barang yang nantinya akan dititipkan kepada pihak distributor, selanjutnya pada tahap kontraktual kesepakatan antara dua belah pihak dengan mendatangani secara tertulis kontrak atau perjanjian konsinyasi yang sudah dibuat dan disepakati dalam proses pembuatannya oleh kedua belah pihak, dan yang terakhir pada tahap post kontraktual pelaksanaan kegiatan masing-masing pihak sesuai dengan yang telah diperjanjikan.13

Pada tahap ini terdapat pula 4 tahapan lain didalamnya yang harus diperhatikan yaitu, a. pengenalan atau identifikasi para pihak; b. pemahaman awal untuk objek terkait; c. pembuatan kontrak atau MoU (Memorandum of Understanding); dan d. negoisasi. Dengan dibuatnya perjanjian tersebut menimbulkan akibat hukum yang dimana hal tersebut menjadi hak dan kewajiban bagi pihak yang bersangkutan.14

Hak-hak yang didapat oleh supplier : a. supplier berhak menerima hasil dari setiap produk yang berhasil dijual dengan menitipkan ke distributor ; b. supplier berhak melakukan pengawasan terhadap produk yang dititipkan pada distributor.

Kewajiban supplier : a. wajib memberikan bayaran atau pembagian hasil kepada distributor atas produk dari supplier yang berhasil dijual oleh distributor ; b. wajib memberikan kelengkapan dalam menunjang pemasaran dari produknya secara berkala.

Sedangkan hak-hak yang didapat oleh distributor : a. distributor berhak mendapatkan bayaran atau pembagian hasil dan juga biaya ganti dalam proses penjualan sesuai dengan jumlah produk yang telah diatur dalam kontrak perjanjian; b. berhak memberikan sebuah jaminan untuk produk-produk yang dijual pada batas tertentu ; c. distributor dalam hubungan dagangnya berhak dalam mengajukan syarat pembayaran kepada konsumen, meskipun dalam prakteknya adanya batasan-batasan yang dinyatakan di dalam kontrak sebagai bentuk penjaminan pemasaran barang.

Kewajiban distributor : a. wajib memberikan perlindungan, keamandan serta keselamatan pada produk yang dikirimkannya dari pihak supplier; b. wajib memaksimalkan penjualan produk milik supplier sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak perjanjian ; c. pengelolaan secara tersendiri baik dari segi fisik pada produk

maupun administrasi terkait produk atau barang milik supplier, adapun dengan maksud lebih jelasnya informasi yang diterima terhadap produk yang akan dijual; d. membuat laporan secara berkala tentang produk atau barang yang diterima, baik itu laporan tentang penjualan, persediaan barang maupun keuangan seperti yang telah diatur dalam perjanjian.15

Dalam kerjasama konsinyasi, tidak adanya aturan yang mengatur secara khusus mengenai kesepakatan pembagian hasil, karena itu merupakan hasil dari kesepakatan antara para pihak, namun dalam hal ini presentase yang dapat diperoleh pihak distributor sampai dengan 10%, 15%, 20%, bahkan bisa lebih. Semakin bertambah keuntungan yang diberikan oleh supplier kepada distributor, maka semakin besar pula kemungkinan distributor akan meningkatkan teknik penjualan serta mempromosikan produk konsinyasi kepada konsumen..

Pada penelitian dilapangan yang dilakukan di salah satu pihak konsinyi atau pihak distributor di Kota Denpasar, Provinsi Bali, dimana saat pembagian keuntungan yang sesuai dengan kesepakatan dan kontrak perjanjian yang telah dibuat dan disepakati bersama, keuntungan yang diperoleh oleh pihak distributor dari hasil penjualan yang sudah dijumlahkan dengan kurun waktu 3 bulan sesusai dengan kontak perjanjian. Dengan contoh dimana keuntungan pihak distributor sebesar 15% dari hasil penjualan produk dari pihak supplier, pada saat proses pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan dilakukannya penghitungan pada produk di bulan ketiga ataupun sampai batas waktu yang telah disepekati oleh pihak yang bersangkutan. Proses pembayaran ini dilakukan pada produk yang sudah jelas terjual. Jika pihak distributor memenuhi kerjasama konsinyasi sesuai kesepaktan dengan supplier, kemudian dari pihak supplier memasukan barang atau produk ke outlet milik distributor senilai Rp. 3.000.000,-. Kemudian setelah jangka waktu yang telah ditentukan, ditributor hanya dapat menjual produk senilai Rp. 2.500.000,-. Maka dengan demikian keuntungan yang didapat oleh pihak distributor sebesar 15% dari Rp. 2.500.000,- senilai Rp. 375.000,-.16

Namun lain hal jika dikemudian hari terdapat pemasalahan, pada contoh pada hal keterlambatan dalam proses pembayaran dari hasil penjualan produk, maka penyelesaian permasalahan antara pihak yang terkait diselesaikan sesuai ketentuan yang telah disepakati bersama pada kontrak perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak ataupun dengan peraturan pada KUHPerdata. Dalam praktek hubungan kerjasama konsinyasi ini yang terjadi antara pihak distributor dengan pihak supplier akan terjadi pemutusan kerjasama jika dalam pelaksanaan kontrak perjanjian akibat suatu permasalah yang dimana prestasi maupun kewajiban tidak terlaksana dengan baik. Namun dalam aturan hukum perdata yang berlaku, jika pelaksanaan prestasi baik itu dilaksanakannya ataupun tidak dilaksanakannya, maka akibat hukumnya adalah ganti rugi.

  • 3.2.    Akibat Hukum Jika Salah Satu Pihak Melakukan Wanprestasi Dalam Kontrak Perjanjian Konsinyasi

Wanprestasi merupakan keadaan dimana debitur mengalami ketidakmampuan untuk melaksanakan sebuah prestasi yang telah disepakati dan menjadi kewajibannya dalam suatu kontrak perjanjian yang bisa disebabkan oleh kesengajaan, keteledoran, bahkan keadaan memaksa yang mengakibatkan debitur tidak dapat melaksanakan prestasi atau dapat disebut overmatch.17 Akibat hukum untuk tindakan wanprestasi dalam kontrak perjanjian yang diterima bagi salah satu pihak, sebagaimana diatur dalam KUHPerdata pada Pasal 1319 KUHPerdata dimana perjanjian konsinyasi yang belum memiliki peraturan mengkhusus maka akan tetap tunduk dengan peraturan yang sudah ada sebelumnya.

Adapun dua faktor yang memungkinkan menjadi suatu sebab terjadinya wanprestasi, faktor kesengajaan tidak memenuhi dengan akibat dari keteledoran debitur namun apabila debitur dalam keadaan memaksa atau diluar dari kemampuan debitur, debitur dapat dinyatakan tidak bersalah. Demikian pula akibat wanprestasi dalam perjanjian konsinyasi yang diberlakukan oleh satu pihak. Terdapat bentuk-bentuk dari wanprestasi dalam suatu perjanjian, yaitu : a. tidak melaksanakan segenap prestasi; b. melaksanakan prestasi namun tidak seperti seharusnya; c. tidak tepat waktu melaksanakan prestasi; d. melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian.18

Pada perjanjian kerjasama ini yang menyebabkan terjadinya sebuah wanprestasi dimana suatu keadaan memaksa dari pihak distributor. Pada macam-macam bentuk dari wanprestasi yang salah satunya dimana satu pihak dalam pelaksanaan prestasinya tidak dipenuhi sebagaimana disepakati pada sebelumnya. Dari hasil wawancara dengan pihak distributor, terdapat beberapa distributor lain di seputaran Kota Denpasar yang melakukan hubungan kerjasama konsinyasi dengan tidak membuat kontrak perjanjian, dan jika terjadi permasalahan yang mengakibatkan sengketa pada hubungan kerjasamanya maka sengketa tersebut diselesaikan secara musyawarah dengan mengedapankan asas kekeluargaan oleh para pihak untuk menyelesaikan permasalahannya, hal tersebut bertujuan untuk agar tidak merusak suatu hubungan yang telah terjalin baik pada sebelumnya, sehingga penyelesaiaan secara kekeluargaan dengan musyawarah menjadi jalan keluar dalam permasalahan tanpa harus melalui jalur hukum. Penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi ini memiliki jaminan atas kerahasiaan sebab tidak melibatkan pihak ketiga.19

Dalam penerapan perjanjian kerjasama konsinyasi adanya upaya hukum yang pihak supplier dapat dilakukan terhadap pihak distributor yang melakukan wanprestasi, upaya hukum yang telah tercantum dalam perjanjian berupa penyelesaian masalah menggunakan musyawarah secara kekeluargaan jika

kedepannya cara kekeluargaan dinilai masih belum dapat menyelesaikan maka sengketa dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang berwenang.20

Terhadap suatu kesalahan yang dilakukan oleh pihak distributor sebagai debitur, akan diancam beberapa sanksi atau hukum, atau dengan kata lain akan merugikan pihak distributor sebagai debitur yang lalai. Ancaman yang merugikan tersebut antara lain :21 a. membayarkan sejumlah uang kepada pihak yang dirugikan sebagai bentuk ganti rugi; b. pembatalan kontrak perjanjian; c. menanggung kerugian jika terdapat peristiwa yang mengakibatkan permasalahan terhadap produk sebagai obyek perjanjian ; d. membayar biaya perkara, apabila sengketa diperkarakan ke pengadilan.

Pada praktek peradilan di berbagai sistem hukum terdapat dua macam penyelesaian sengketa atau perkara yaitu ligitasi yang dimana jalur penyelesaian lewat prosedur pengadilan yang ditetapkan oleh sistem hukum yang berlaku di suatu negara tertentu dan yang kedua adalah non-ligitasi yang dimana jalur penyelesaian yang dilakukan diluar dari pengadilan. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa yang selajutnya disebut UU AAPS, menyatakan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai metode penyelsaian atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dalam sebutannya di Indonesia merupakan penyelesaian secara non litigasi.

Konsep penyelesaian sengketa ini memiliki mekanisme penyelesaian yang paling efisien dan juga memiliki proses yang sejalur dengan perkembangan dan telah menjadi budaya dalam dunia perdagangan dimana keuntungan untuk masing-masing pihak menjadi kepentingan yang utama.

Penyelesaian secara non-litigasi dapat ditempuh dengan berbagai cara, yaitu menyelesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah, mediasi oleh pihak ketiga sebagai penyelesaian, serta penyelesaian dengan bantuan lembaga arbitrase.22 Proses penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan proses penyelesaian dengan mengajukan gugatan ke pengadilan umum. Pihak distributor maupunn supplier sebagai para pihak yang bersangkutan dalam sengketa bisnis yang penyelesaiannya melalui pengadilan atau dalam sebutannya litigasi, maka jika merasa dirugikan pihak tersebut harus mampu memberikan bukti kerugian yang dialaminya, dan juga dibutuhkan biaya dan waktu yang besar dalam penyelesaian secara litigasi. Hal itu disebabkan mampunya hasil dari putusan Pengadilan Negeri diajukan banding ke Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Yang dimana dengan kata lain kompetensi hakim belum cukup memadai sehingga dikhawatirkan ketidakpuasan oleh para pihak atas putusan.

  • IV.    Kesimpulan

Dalam hubungan kerjasama konsinyasi, jika timbul suatu kerugian yang disebabkan oleh pihak yang terkait yang mengakibatkan kerugian di pihak lainnya, pihak yang merasa dirugikan baik dikarenakan wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, maka pihak tersebut dapat mengajukan gugatan wanprestasi yang dimana adanya prestasi yang tidak terpenuhi dalam kontrak, dan juga dalam gugatan

perbuatan melawan hukum, dapat mengakibatkan pembatalan perjanjian dan juga menganti kerugian yang diderita. Dalam penyelesaian sengketa terdapat dua jalur alternatif, yang dimana penyelesaian secara litigasi atau melalui pengadilan dan penyelesaian secara non-litigasi atau tanpa melalui pengadilan. Pada setiap pelaku usaha yang dalam sebutannya sebagai supplier dalam membuat perjanjian dengan pihak distributor, yang dalam hal ini dalam perjanjian konsinyasi diperlukan untuk membuat kontrak perjanjian secara tertulis untuk memberikan kepastian dalam hukum bagi para pihak yang bersangkutan. Diperlukannya juga ketelitian dalam perancangan kontrak perjanjian tersebut guna memperkecil penyebab permasalahan yang dikemudian hari ditemui oleh para pihak yang melakukan perjanjian konsinyasi dalam menjamin kerjasama yang produktif dan aman demi memberikan kelancaran pada pertumbuhan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Meliala, Djaja Sembiring. 2015. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan. Nuansa Aulia. Bandung.

Simanjuntak, P.N.H. 2016. Hukum Perdata Indonesia, Cet. II. Prenadamedia Group. Jakarta.

Syaifuddin, Muhammad. 2016. Hukum Kontrak : Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsifat, Teori, Dogmatik, dan Praktek Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Cet. II. Mandar Maju. Bandung.

Jurnal

Amirudin, Ahmad, Moh Sanjojo, M. SH, and S. H. Inayah. "Tinjauan Yuridis Kontrak Kerjasama Konsinyasi Antara Distribution Outlet (Distro) Dengan Supplier." PhD diss., Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014.

Arista, Windi. “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Ditinjau Dari Pasal 1338 KUHPerdata.” Jurnal Hukum Tri Pantang 6, No. 1 (2020).

Gorda, AAA Ngr Sri Rahayu. "Tanggung Jawab Pihak Konsinyor Yang Melakukan Wanprestasi Dalam Perjanjian Konsinyasi Pada Pt. Down To Earth." Jurnal Analisis Hukum 1, no. 2 (2018): 240-254.

Habibi, Khairul dan Indra Kesuma Hadi. “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Produsen Pakaian Dengan Pedagang Pakaian Di Kota Banda Aceh.” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan 3, No. 1 (2019)

Jaya, Anak Agung Ngurah Dharma, et.al. "Pelaksanaan Ketentuan Hukum Tentang Perjanjian Konsinyasi Antara Distribution Outlet Dengan Supplier Di Denpasar Selatan." Kertha Semaya, Vol 02, 03. (2019).

Muryati, Dewi Tuti, B. Rini Heryanti. “Pengaturan Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi Di Bidang Perdagangan.” Jurnal Dinamika Sosbud 13, No. 1 (2011).

Paat, Yanni Lewis. “Penyelesaian Sengketa Rahasia Dagang Menurut Hukum Positif Indonesia.” Lex et Societatis 1, No. 3 (2013).

Permata, Gherys Apria, et.al. “Perjanjian Konsinyasi Antara Distribution Outlet “Districtsides” Dengan Supplier.” Diponegoro Law Journal 5, No. 2 (2016).

Pratiwi, Niken Dian. "Evaluasi Penerapan Sistem Akuntansi Konsinyasi Pada Pt Gramedia Asri Media Surakarta." (2013).

Sari, Indah. “Keunggulan Arbitrase Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 9, No. 2 (2019): 47-73.

Sutrawaty, Laras. "Force Majeure sebagai Alasan tidak Dilaksanakan Suatu Kontrak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata." PhD diss., Tadulako University, 2016.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Undang - Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah.

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 11 Tahun 2020, hlm. 44-55

55