Pemeriksaan Substantif terhadap Desain Industri di Indonesia

Dewa Ayu Adelia Pebriyanti Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dwayuadelia@gmail.com

Dewa Gde Rudy, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewa_rudy@unud.ac.id

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini ialah memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif seputar pemeriksaan substantif desain industri di Indonesia baik dari perspektif ius constitutum dengan mengacu pada UU Desain Industri dan PP Nomor 1 Tahun 2005. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal atau normatif. Pendekatan yang menjadi acuan dalam menganalisis permasalahan ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan substantif terhadap permohonan desain industri baru dilaksanakan apabila terdapat keberatan yang diajukan oleh pihak lain. Apabila tidak ada keberatan dari pihak lain, maka pemohon secara otomatis memperoleh sertifikat desain industri sebagai bukti kepemilikan hak desain industri. Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan perbaikan terhadap UU Desain Industri sebagai pengganti UU Desain Industri pada masa yang akan datang. Pada masa yang akan datang, desain industri dinilai baru jika secara signifikan berbeda dengan desain sebelumnya dan bukan hasil perpaduan dari beberapa fitur desain terdahulu. Kewajiban melakukan pemeriksaan substantif terhadap desain industri yang didaftarkan sangat urgen untuk diatur.

Kata Kunci: Pemeriksaan Substantif, Desain Industri, Kebaruan.

ABSTRACT

The aim of this research is to gain comprehensive knowledge and understanding about substantive examination of industrial design in Indonesia, both from the perspective of the ius constitutum with reference to the Industrial Design Law and Government Regulation No. 1 of 2005. This research was conducted using doctrinal or normative legal research methods. The approach that becomes the reference in analyzing this problem is the statutory approach and the conceptual approach. The results of the study indicate that a substantive examination of the industrial design application is only carried out if there are objections raised by other parties. If there are no objections from other parties, the applicant will automatically obtain an industrial design certificate as proof of ownership of industrial design rights. The government has taken a policy to make improvements to the Industrial Design Law to replace the Industrial Design Law in the future. In the future, industrial designs are considered new if they are significantly different from previous designs and not a combination of several previous design features. The obligation to carry out a substantive examination of registered industrial designs is very urgent to be regulated.

Key Words: Substantive Examination, Industrial Design, Novelty.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Progresifitas dunia bisnis dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan industry teknologi dan informasi di berbagai belahan dunia.1 Pembangunan nasional di berbagai bidang secara simultan dan kontinu merupakan keharusan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Upaya pembangunan nasional dapat ditunjukkan melalui peningkatan kualitas ekonomi. Dalam hal ini, Indonesia mempunyai potensi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yang disebabkan karena dua hal. Pertama, Indonesia mempunyai posisi yang strategis dalam melangsungkan usaha perekonomian secara regional maupun internasional. Kedua, adanya daya dukung yang kuat dalam memajukan sektor industri.

Inovasi kekayaan intelektual dan hak kekayaan intelektual yang terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu menjadi penopang pertumbuhan ekonomi pada era globalisasi ini. Hak kekayaan intelektual merupakan pranata hukum yang secara khusus dibentuk guna memberikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual sebagai hasil karsa pencipta atau penemunya. 2 Tegasnya, hak kekayaan intelektual dikonsepsikan sebagai hak yang bersumber dari hasil olah pikir manusia dan memiliki manfaat ekonomi. Hasil kekayaan intelektual yang diperoleh manusia melalui pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep hak kekayaan intelektual.3 Hak Kekayaan Intelektual yang mempunyai hubungan erat dengan akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri ialah desain industri. Desain industri pada awalnya berkembang pada sektor tekstil dan kerajinan tangan. Kemudian, dalam perkembangannya produk tersebut lebih kompetitif dalam pasar karena adanya unsur artistik dan kesan estetis yang ditonjolkan oleh pelaku usaha sehingga mempunyai karakteristik yang khas dan daya pembeda. Perkembangan tersebut menjadi latar belakang eksistensi desain industri. Pengusaha dan pendesain menyadari betapa pentingnya memasukkan unsur estetika dalam suatu produk yang dihasilkan sehingga sedini mungkin dapat terhindar dari tindakan peniruan, khususnya produk yang sangat laris di pasaran. Pada akhirnya, desain industri mulai diakui dan dilindungi secara yuridis sebagai salah satu jenis kekayaan intelektual, termasuk negara Indonesia.

Agar desain industri yang dihasilkan mendapatkan perlindungan sebagai kekayaan intelektual, maka desain industri tersebut harus didaftarkan untuk mendapatkan hak desain industri. Ihwal demikian sebab menurut Andrieansjah “Bentuk, konfigurasi, atau ornamen yang melekat pada suatu barang merupakan fitur-fitur umum yang dilindungi oleh hak desain industry, perlindungan fitur-fitur ini diberikan terhadap barang jadi (finished article) serta dapat dilihat dan dinilai

tampilannya oleh mata (judge by the eye)”.4 Permintaan pendaftaran desain industri dapat diajukan ke Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual (Ditjen KI). Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (UU Desain Industri)hak desain industri timbul jika ada permintaan pendaftaran atau dikenal dengan sebutan permohonan. Apabila permohonan dikabulkan, maka Pendesain mempunyai hak eksklusif yaitu hak untuk merealisasikan hak desain industri yang diperoleh serta melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan tindakan berupa pembuatan, pemakaian, penjualan, ekspor, impor, dan/atau pengedaran barang yang telah mendapatkan hak desain industri. Hak eksklusif (exclusive right) adalah hak yang bersifat khusus. Artinya, pendesain diberikan hak untuk menjalankan hak desain industrinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk menggunakan hak tersebut dalam kurun waktu yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.5

Berdasarkan UU Desain Industri, hak desain industri dapat diberikan kepada pemohon setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut secara administratif dan/atau substantif. Pemeriksaan administratif dilaksanakan dengan cara memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen yang diajukan oleh pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU Desain Industri jo. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (PP Nomor 1 Tahun 2005). Sementara itu, pemeriksaan substantif dilaksanakan dengan cara memeriksa desain industri yang didaftarkan oleh pemohon sehingga dapat diketahui apakah desain indsutri yang bersangkutan mempunyai unsur kebaruan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Desain Industri dan apakah desain industri tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 UU Desain Industri.

Jika ditilik lebih jauh, UU Desain Industri tidak mewajibkan adanya pemeriksaan substantif terhadap setiap permohonan desain industri yang diajukan. Merujuk pada Pasal 25 ayat (1) UU Desain Industri, Ditjen KI mengumumkan permohonan desain industri yang telah memenuhi persyaratan administratif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 dan persyaratan substantif yang diatur dalam Pasal 4. Selama pengumuman berlangsung, setiap pihak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan tertulis yang berhubungan dengan hal-hal substantif kepada Ditjen KI. Keberatan yang diajukan harus sudah diterima oleh Ditjen KI paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dimulainya pengumuman. Ditjen KI menerbitkan dan memberikan sertifikat desain industri kepada pemohon apabila tidak ada keberatan yang diajukan oleh pihak lain hingga berakhirnya jangka waktu pengajuan.

Ketiadaan kewajiban pemeriksaan substantif terhadap desain industri yang dimohonkan membawa konsekuensi bahwa setiap permohonan pendaftaran desain industri harus diterima sebagai kekayaan intelektual dan negara wajib menerbitkan sertifikat desain industri sebagai legitimasi kepemilikan hak desain industri. Masyarakat yang kurang memahami keberadaan dan manfaat desain industri secara tidak langsung berpengaruh terhadap pendaftaran desain industri oleh pihak dengan itikad buruk yang bukan haknya. Fenomena pemberian hak desain industri terhadap desain industri yang tidak mempunyai unsur kebaruan dan berujung pada sengketa di

pengadilan menjadi bukti nyata. Desain industri tersebut berhasil terdaftar dan memperoleh sertifikat desain industri hanya karena tidak ada pihak yang mengajukan keberatan terhadap hal substantif dari desain industri yang diumumkan oleh Ditjen KI.6

Di samping tidak adanya kewajiban bagi Ditjen KI untuk memeriksa permohonan desain industri secara substantif, permasalahan selanjutnya yang ditemukan ialah tolok ukur atau parameter yang digunakan dalam menentukan kebaruan suatu desain industri. Unsur kebaruan yang merupakan syarat mutlak dalam sistem perlindungan desain industri sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Desain Industri masih menimbulkan masalah dan multitafsir. Pasal 2 ayat (1) menentukan “Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru”. Kemudian, Pasal 2 ayat (2) UU Desain Industri mengatur bahwa “Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan dan Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya”. Frasa “tidak sama” yang terdapat dalam ketentuan a quo dalam praktiknya menimbulkan dualisme penafsiran. Penafsiran pertama menilai bahwa yang dimaksud dengan tidak sama adalah berbeda secara signifikan. Dengan demikian, penafsiran pertama menganggap desain industri tetap dikatakan sama dengan desain industri yang telah ada sebelumnya meskipun terdapat sedikit perbedaan. Sementara penafsiran kedua menilai bahwa yang dimaksud dengan tidak sama adalah berbeda sedikit saja.7 Beranjak dari dua masalah yang telah diuraikan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut melalui jurnal yang berjudul “PEMERIKSAAN SUBSTANTIF TERHADAP DESAIN INDUSTRI DI INDONESIA”.

Perbandingan terhadap penelitian-penelitian yang sejenis perlu disinggung terlebih dahulu untuk menunjukkan bahwa penelitian merupakan penelitian yang orisinal. Di antara hasil penelitian terdahulu, terdapat 2 (dua) penelitian yang sejenis yaitu penelitian yang telah dilaksanakan oleh Dinda Khofidhotuz Zuhroh dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Pendaftaran Desain Industri Tanpa Pemeriksaan Substantif Berdasarkan Undang-Undang Desain Industri (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 594 K/Pdt. Sus-Hki. 2017)”8 dan penelitian yang telah dilakukan oleh Dinar Aulia Kusumaningrum dengan judul “Implementasi Penilaian Kebaruan dan Prinsip Itikad Baik Dalam Perlindungan Desain Industri”9. Hasil penelitian Dinda Khofidhotuz Zuhroh menunjukkan bahwa permohonan pendaftaran desain industri tanpa adanya pemeriksaan substantif dapat dibenarkan karena pada dasarnya pemeriksaan substantif hanya dapat dilakukan apabila ada pihak yang mengajukan keberatan. Kemudian, hasil penelitian Dinar Aulia Kusumaningrum menunjukkan bahwa penilaian kebaruan pada desain indsutri sampai saat ini masih mengalami hambatan-hambatan yang dipengaruhi oleh faktor substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Salah satunya adalah ketentuan pasal dalam Undang-Undang Desain Industri yang tidak memberikan ukuran secara jelas seberapa jauh suatu desain dikatakan sama dengan desain yang lain. Dari hasil penelitian tersebut, terdapat titik perbedaan yang sangat mendasar dengan penelitian ini. Pertama, penelitian ini membahas problematika dalam

permohonan desain industri ihwal dari ketiadaan kewajiban pemeriksaan substantif dan kemudian dilanjutkan dengan model pengaturan pemeriksaan substantif pada masa yang akan datang. Kedua, penelitian ini juga menganalisis adanya ambiguitas pemaknaan frasa “tidak sama” dalam Pasal 2 UU Desain Industri sebagai syarat kebaruan suatu desain industri dan kemudian dilanjutkan dengan model pengaturan kebaruan desain industri pada masa yang akan datang.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana bentuk pengaturan pemeriksaan substantif desain industri berdasarkan hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana bentuk pengaturan pemeriksaan substantif desain industri pada masa yang akan datang?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini ialah memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif seputar pemeriksaan substantif desain industri di Indonesia baik dari perspektif ius constitutum dengan mengacu pada UU Desain Industri dan PP Nomor 1 Tahun 2005 maupun ius constituendum dengan mengacu pada Rancangan Undang-Undang tentang Desan Industri (RUU Desain Industri).

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal atau normatif. Metode ini menginterpretasikan secara preskriptif tentang hukum sebagai suatu sistem nilai ideal, hukum sebagai sistem konseptual, dan hukum sebagai sistem hukum positif.10 Pendekatan yang menjadi acuan dalam menganalisis permasalahan ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan yang disebutkan pertama mengutamakan bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan untuk mengetahui konsistensi pengaturan, kejelasan norma, kekosongan norma, ataupun potensi penyimpangan norma. Sementara itu, pada pendekatan yang disebutkan terakhir digunakan sebagai cara untuk mengetahui konsep-konsep hukum yang melatarbelakangi pembentukan suatu peraturan. 11 Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik analisis dalam penelitian ini adalah teknik evaluasi dan argumentasi. Bahan hukum diperoleh dan dikumpulkan dengan teknik bola salju. Teknik ini dilakukan dengan cara menelusuri literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. Dari literatur tersebut, dapat diketahui dari mana saja sumber kutipannya. Sumber kutipan itu kemudian juga ditelusuri dan demikian seterusnya.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.    1. Pengaturan Pemeriksaan Substantif Desain Industri Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia

Fakta yuridis bahwa Indonesia merupakan state party World Trade Organization (WTO) serta telah meratifikasi Agreement On Trade Related Aspects of Intellectual Property

Rights (TRIP’s Agreement) kemudian menimbulkan kewajiban bagi Indonesia untuk membentuk UU Desain Industri. Politik hukum UU a quo juga berhubungan erat dengan perlindungan terhadap desain industri dari penjiplakan, pembajakan, atau peniruan. Desain industri sebagai cabang dari hak kekayaan intelektual memiliki andil yang cukup signifikan dalam kehidupan ekonomi. Sektor manufaktur dan kerajinan akan mampu menghasilkan produk yang beragam dan kreatif apabila mendapatkan perlindungan desain industri. Menyadari hal tersebut, maka terdapat urgensitas terhadap perlindungan hukum. Urgensi perlindungan hukum yang dimaksud tidak hanya didasarkan pada pertimbangan tumbuhnya kreatifitas dalam mendesain, tetapi juga menghindari adanya praktik-praktik yang menyimpang seperti peniruan atau penggunaan desain oleh pihak yang tidak berhak. 12 Melalui pranata hukum perlindungan desain industri yang holistik membawa dampak yang positif karena merangsang kreativitas pendesain dalam membuat suatu produk sekaligus sebagai sarana untuk mencetak pendesain yang produktif.13

Desain industri mempunyai karakteristik yang menjadi pembeda dengan jenis kekayaan intelektual lainnya yaitu visible (dapat dilihat dengan mata), special appereance (menarik minat pembeli atau pengguna karena memiliki penampilan yang khas sehingga dapat dibedakan dengan produk yang lain); non-technical aspect (objek perlindungan bukan terletak pada fungsi teknis, melainkan kesan estetika yang tampak) dan; embodiment in a utilitarian article (dapat dikonkretitasi pada barang yang mempunyai daya guna).14 Perlindungan desain industri diberikan kepada desain industri yang pertama terdaftar atau sering disebut dengan istilah first to file, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Artinya, setelah desain didaftarkan dan diperika oleh pihak yang berwenang dan layak diberikan hak desain industri, maka negara akan melindungi desain yang telah dibuat oleh seorang pendesain. Setelah pendaftaran desain industri diajukan, maka permohonan pendaftaran tersebut akan diperiksa lebih lanjut oleh Ditjen KI. Pemeriksaan terhadap permohonan desain industri yang diajukan oleh pemohon menjadi faktor determinan dalam menilai kelayakan dari desain industri yang didaftarkan baik secara formil maupun materiil serta sebagai langkah untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalisasi sengketa desain industri di kemudian hari.

Secara normatif, pemeriksaan terhadap desain industri yang didaftarkan diatur dalam UU Desain Industri dan PP Nomor 1 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksana yang meliputi pengecekan administratif dan substantif. Pengecekan administratif merupakan evaluasi desain industri dari aspek formal seperti kelengkapan dokumen, contoh fisik desain industri atau sarana lain yang dapat menjelaskan uraian spesifik desain industri yang didaftarkan, dan pembayaran yang diperlukan sebagaimana diatur oleh undang-undang. Sementara itu, pemeriksaan substantif menitikberatkan pada aspek materiil dari desain industri yang diajukan oleh pemohon. Desain industri yang didaftarkan wajib memiliki kebaruan (novelty); mempunyai nilai praktis sehingga

industri dapat menerapkan atau memproduksi desain tersebut (industrial applicability); tidak menyimpang dari ketentuan undang-undang, ketertiban umum, agama, ataupun kesusilaan; dan layak atau tidaknya pendesain atau pihak yang menerima lebih lanjut hak desain tersebut memperoleh sertifikat desain industri.15

Setelah permohonan pendaftaran desain industri diterima, maka dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) sejak tanggal penerimaan permohonan, Ditjen KI akan memeriksa kelengkapan administratif yang terdiri dari pemeriksaan fisik, formalitas, dan jelas atau tidaknya pengungkapan desain industri. Apabila syarat administratif permohonan desain industri telah terpenuhi, Ditjen KI mengumumkan permohonan tersebut melalui penempatan dalam berita resmi desain industri atau sarana lainnya untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi paling lama 3 (tiga) bulan terhtiung sejak Tanggal Penerimaan Permohonan.

Selama jangka waktu pengumuman, setiap pihak dapat mengajukan keberatan secara tertulis yang mencakup hal-hal yang bersifat substantif dengan membayar biaya. Dalam hal terdapat keberatan terhadap permohonan, pemeriksa melakukan pemeriksaan substantif yang meliputi kebaruan Desain Industri; hal-hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama atau kesusilaan; kesatuan Permohonan; dan hal-hal yang berkaitan dengan kejelasan pengungkapan Desain Industri. Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap Permohonan hingga berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan, Ditjen KI menerbitkan dan memberikan Sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut.

Berdasarkan pemaparan mengenai pemeriksaan permohonan desain industri di atas, maka terdapat 3 (tiga) hal yang dapat dipahami. Pertama, setiap permohonan pendaftaran desain industri wajib diperiksa secara administratif. Kedua, evaluasi substantif permohonan baru dilaksanakan jika terdapat keberatan yang diajukan oleh pihak lain. Ketiga, pemohon secara otomatis memperoleh sertifikat desain industri sepanjang telah memenuhi syarat administratif dan tidak ada keberatan dari pihak lain.

Apabila evaluasi substantif tidak dilaksanakan pada setiap permohonan karena tidak adanya pihak-pihak yang mengajukan keberatan pada saat permohonan desain industri tersebut diumumkan telah menjadi persoalan yang fundamental dalam pelaksanaan UU Desain Industri. Sepanjang tidak ada keberatan atas desain industry pendaftar secara otomatis memperoleh sertifikat a quo. Sengketa di bidang desain industri sangat rentan terjadi apabila sistem ini tetap dipertahankan. Hal ini menimbulkan ketidakadilan, sebab pemeriksa baru dapat melaksanakan evaluasi substantif apabila adanya keberatan dari pihak ketiga terhadap pengumuman permohonan, sebaliknya apabila tidak terdapat keberatan terhadap permohonan yang telah diumumkan tersebut maka secara serta merta Ditjen KI akan memberikan hak desain industri. Dalam tataran implementasi, pihak yang mempunyai itikad buruk akan memanfaatkan celah ini dengan cara mengajukan pendaftaran desain industri yang diketahuinya tidak mempunyai unsur kebaruan yang tentunya akan menimbulkan keresahan bagi masyarakat sebagai pengguna barang.

Praktik pelaksanaan penilaian kebaruan desain industri di Indonesia seringkali bermasalah, baik pada saat pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Ditjen KI maupun pemeriksaan oleh pengadilan, terutama berkaitan dengan produk-produk

yang mempunyai desain yang serupa (similarity). Hal ini dilatarbelakangi pada kenyataan adanya perumusan norma yang tidak jelas dalam menentukan unsur kebaruan desain industri yang termuat dalam Pasal 2 UU Desain Industri. Pasal 2 ayat (1) menentukan “Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru”. Kemudian, Pasal 2 ayat (2) UU Desain Industri mengatur bahwa “Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan dan Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya”. Frasa “tidak sama” yang dicetak tebal tersebut menjadi akar permasalahan dalam menentukan variabel yang menjadi measurement aspek kebaruan desain karena ketiadaan penjelasan lebih lanjut dari pembentuk undang-undang apakah frasa “tidak sama” berarti berbeda secara signifikan (significantly differ) atau berbeda sedikit saja, maka desain industri tersebut dianggap baru. Ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 2 UU Desain Industri ini tentu berimplikasi pada konsistensi penilaian kebaruan desain industri dari Ditjen KI sebagai pemeriksa substantif desain industri yang dimohonkan pendaftarannya maupun dari perspektif hakim sebagai pemeriksa dan pemutus perkara desain industri di sidang pengadilan.

Guna mengatasi ambiguitas makna frasa “tidak sama” yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 2 UU Desain Industri, maka perlu diberikan batasan pengertian melalui metode interpretasi secara teleologis. Jika menggunakan metode interpretasi teleologis, maka frasa “tidak sama” yang termuat dalam Pasal 2 UU Desain Industri harus diartikan berbeda secara signifikan. Sebab, apabila frasa “tidak sama” dalam Pasal 2 UU Desain Industri diartikan berbeda sedikit saja, maka potensi sengketa desain industri semakin terbuka lebar. Desain yang memiliki perbedaan sedikit saja dengan desain terdaftar milik pihak lain mengakibatkan kebingungan bagi konsumen selaku pengguna barang. Kebingungan tersebut kemudian menyebabkan konsumen yang bersangkutan salah dalam memilih barang yang dikehendaki. Kesesatan konsumen dalam membeli produk yang diinginkan mengakibatkan pemilik desain industri terdaftar mengalami kerugian baik secara materiil dan immateriil. Di samping itu, desain produk yang berbeda sedikit saja dengan desain produk lain juga membuat keragaman desain produk antara produk yang satu dengan produk yang lain menjadi monoton. Atas dasar kenyataan tersebutlah maka frasa “tidak sama” dalam ketentuan Pasal 2 UU Desain Industri dimaknai berbeda secara signifikan. Dengan menggunakan penafsiran berbeda secara signifikan, maka akan mendorong kreativitas pendesain untuk menciptakan produk-produk dengan desain yang berbeda dengan desain produk yang telah ada sebelumnya. Perbedaan desain produk secara signifikan juga akan mencegah atau setidak-tidaknya meminimalisasi sengketa di bidang desain industri.

  • 3.    2. Bentuk Pengaturan Pemeriksaan Substantif Desain Industri Pada Masa Yang

    Akan Datang

Sebagaimana telah diterangkan di atas, dapat diketahui bahwa pemeriksaan substantif desain industri belum mewujudkan keadilan lantaran adanya perlakuan yang diskriminatif terhadap pemohon yang mengajukan pendaftaran desain industri. Apabila tidak ada pihak ketiga yang mengajukan keberatas atas suatu desain pasca dilakukan pengumuman permohonan desain tersebut, maka secara mutatis mutandis Ditjen KI akan menerbitkan sertifikat desain industri dan diberikan kepada pemohon sebagai bukti kepemilikan hak desain industri. Dengan demikian, maka desain industri yang didaftarkan oleh pemohon hanya melewati tahap pemeriksaan administratif semata atau dengan kata lain tidak dilanjutkan dengan pemeriksaan secara substantif. Sebaliknya, apabila terdapat pihak lain yang mengajukan keberatan mengenai hal

substantif, maka Ditjen KI wajib memeriksa dan melakukan evaluasi substantif terhadap desain. Artinya, desain industri yang didaftarkan oleh pemohon melewati dua tahap yaitu pemeriksaan administratif dan pemeriksaan substantif. Kondisi yang demikian menunjukkan adanya beban yang berat sebelah bagi pemohon yang harus melewati dua tahap pemeriksaan permohonan desain industri. Sebab, tidak menutup kemungkinan adanya permohonan desain industri yang diajukan atas dasar iktikad tidak baik akan tetapi berhasil memperoleh sertifikat desain industri karena selama pengumuman berlangsung, tidak ada satu pun pihak yang mengajukan keberatan.

Kemudian, unsur kebaruan sebagai bagian integral dari pemeriksaan substantif desain industri juga belum mewujudkan kejelasan rumusan karena pembentuk undang-undang tidak secara jelas dan tegas mengatur ihwal unsur kebaruan yang tercantum dalam Pasal 2 UU a quo. Ketentuan a quo pada pokoknya menentukan desain industri yang baru adalah desain industri yang tidak sama dengan desain industri yang telah diungkapkan sebelumnya. Frasa “tidak sama” ini dalam praktiknya melahirkan dua pandangan. Pandangan pertama menilai bahwa “tidak sama” berarti berbeda secara signifikan sehingga suatu desain industri dianggap baru sepanjang dapat dibuktikan bahwa desain industri tersebut mempunyai kreasi dan kesan keseluruhan yang berbeda secara signifikan dengan desain yang telah ada sebelumnya. Penafsiran a contrario dari premis ini ialah suatu desain industri dipandang tidak baru apabila kreasi dan kesan keseluruhan yang tampak hanya menunjukkan perbedaan yang sedikit. Pandangan kedua menilai bahwa suatu desain industri dianggap baru apabila terbukti mempunyai kreasi dan kesan keseluruhan yang tampak berbeda dengan desain industri yang telah ada sebelumnya, sekalipun perbedaan tersebut terlihat sedikit. Dualisme penafsiran tersebut tentunya membawa dampak yang sangat krusial karena menyangkut konsistensi pemahaman dari Ditjen KI dalam menentukan baru atau tidaknya suatu desain industri yang didaftarkan.

Menyadari adanya problematika yang telah dijabarkan di muka, pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan perbaikan terhadap UU Desain Industri dengan menyusun naskah akademik dan rancangan undang-undang sebagai pengganti UU Desain Industri pada masa yang akan datang. Berdasarkan RUU Desain Industri, pemeriksaan substantif desain industri diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Pasal 38 sampai dengan Pasal 42. Beberapa perubahan fundamental yang termuat dalam ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut:

  • 1.    Menteri melakukan pemeriksaan substantif sejak persyaratan administratif

dipenuhi

  • 2.    Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan ahli

dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi Pemerintah terkait atau pemeriksa dari negara lain

  • 3.    Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau pemeriksa dari negara lain tetap

dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan

  • 4.    Desain industri memenuhi syarat substantif apabila “tidak sama secara

keseluruhan atau tidak mirip dengan” (dicetak tebal oleh penulis):

  • a.    “publikasi Desain Industri yang telah ada sebelumnya atau kombinasi dari fitur beberapa Desain Industri yang telah ada sebelumnya; atau

  • b.    desain Industri yang telah diketahui umum dengan mempertimbangkan tingkat kebebasan mendesain

Beberapa perubahan mendasar tentang pemeriksaan substantif desain industri yang tertuang dalam RUU Desain Industri menunjukkan adanya komitmen politik hukum dari pemerintah dalam rangka memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi dunia industri maupun masyarakat selaku pengguna produk yang dihasilkan oleh pelaku industri. Kepastian hukum bertalian dengan adanya penjelasan yang lebih spesifik mengenai tolok ukur dalam menentukan kebaruan suatu desain industri. Konteks keadilan yang dimaksud dalam hal ini berhubungan dengan kewajiban pemeriksaan substantif terhadap setiap permohonan desain industri.

Guna mengetahui kebaruan suatu desain industri, terdapat skala perbandingan visual sebagai petunjuknya yang terbagi menjadi 4 (empat) kategori yakni identik, identik dengan perbedaan detail immateriil, mirip, dan tidak sama. Identik berarti kondisi yang menggambarkan dua produk yang dibandingkan sama persis baik dilihat dari kreasi yang dihasilkan maupun tampilan secara keseluruhan. Identik dengan perbedaan detail immaterial artinya desain yang dihasilkan dari suatu produk hanya mempunyai daya pembeda yang sangat kecil dengan desain dari produk yang telah ada. Suatu produk dikatakan mirip jika kreasi desain yang melekat pada produk tersebut secara keseluruhan mempunyai kesan tampilan yang sama meskipun terdapat sejumlah perbedaan dalam kreasinya. Tidak sama adalah keadaan yang menunjukkan bahwa suatu produk yang dihasilkan mempunyai kreasi desain dan kesan tampilan keseluruhan yang berbeda dengan desain dan tampilan keseluruhan dari produk yang lain.16

RUU Desain Industri menggunakan pendekatan skala perbandingan visual tidak sama secara keseluruhan (significantly different) baik dari kreasi maupun kesan estetis yang terlihat. Kesan estetis (aesthetic impression) diartikan sebagai kesan indah bagi seseorang yang melihat penampilan secara keseluruhan dari suatu produk. Maka dari itu, kesan estetis menjadi faktor penentu dalam menilai apakah desain industri tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan dengan desain industri yang lain. Desain industri tetap dianggap mempunyai kesamaan dengan desain industri lain apabila tidak terdapat perbedaan yang signifikan atau hanya memiliki perbedaan yang sedikit.17 Peniruan intelejen (intelligent imitation) sangat rentan terjadi jika penilaian terhadap desain industri berdasarkan penglihatan secara sekilas tanpa memperhatikan pokok kreatifitas desain yang memiliki peran terhadap nuansa estetis. Peniruan intelejen yang dimaksud adalah peniruan yang tidak orisinal (slavish imitation) karena peniru yang bersangkutan hanya menambahkan beberapa fitur kreasi pembeda dari desain industri yang telah ada sebelumnya sehingga besar kemungkinan konsumen mengalami kebingungan dalam membandingkan produk yang satu dengan yang lainnya atau “confusion between the products” (diberi tanda petik oleh penulis).18 Implikasi selanjutnya yang timbul adalah konsumen akan tersesat dalam menentukan pilihan produk yang diinginkan. Kondisi ini menggambarkan adanya praktik usaha

yang menipu dan menyesatkan konsumen yang secara tegas dilarang berdasarkan hukum perlindungan konsumen.

RUU Desain Industri mewajibkan pemeriksaan substantif terhadap setiap pendaftaran desain industri yang diajukan oleh pemohon. Pemeriksaan substantif dilaksanakan sesaat setelah terpenuhinya syarat administratif. Penanganan yang sulit dilaksanakan pada saat evaluasi desasin secara substantif adalah measurment unsur kebaruan desain tersebut yang didaftarkan sehingga diperlukan keahlian khusus untuk itu. Pemeriksa perlu mengetahui bagaimana perkembangan produk dari waktu ke waktu agar penilaian kebaruan desain industri berjalan optimal. Apalagi pada masa yang akan datang, kecenderungan penilaian terhadap measurement keunikan desain industri apabila berbeda sama sekali dengan desain yang telah ada dan tidak pula hasil perpaduan beberapa fitur karya terdahulu. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka RUU Desain Industri menambahkan norma baru yang mengatur tentang keterlibatan ahli, fasilitas dari Pemerintah , dan pemeriksa dari negara lain dalam memeriksa pendaftaran desain industri secara substantif. Kewajiban melakukan pemeriksaan substantif terhadap desain industri yang didaftarkan sangat urgen untuk diatur mengingat kenyataan yang menunjukkan adanya pihak dengan iktikad tidak baik mengajukan desain industri yang tidak memiliki unsur kebaruan atau bahkan sudah menjadi milik umum namun berhasil memperoleh sertifikat desain industri karena tidak ada yang mengajukan keberatan selama pengumuman permohonan berlangsung.

IV. Kesimpulan

Pengaturan pemeriksaan substantif desain industri berdasarkan hukum positif di Indonesia telah diatur dalam UU Desain Industri dan PP Nomor 1 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksana yang meliputi pemeriksaan administratif dan pemeriksaan substantif. Pemeriksaan administratif merupakan pemeriksaan desain industri dari aspek formal seperti kelengkapan dokumen, contoh fisik desain industri atau sarana lain yang dapat menjelaskan uraian spesifik desain industri yang didaftarkan, dan pembayaran yang diperlukan sebagaimana diatur oleh undang-undang. Sementara itu, pemeriksaan substantif menitikberatkan pada aspek materiil dari desain industri yang diajukan oleh pemohon. Pengaturan pemeriksaan substantif desain industri pada masa yang akan datang yaitu pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan perbaikan terhadap UU Desain Industri sebagai pengganti UU Desain Industri pada masa yang akan datang. Pada masa yang akan datang, kecenderungan penilaian terhadap measurement keunikan desain industri apabila berbeda sama sekali dengan desain yang telah ada dan tidak pula hasil perpaduan beberapa fitur karya terdahulu. Kewajiban melakukan pemeriksaan substantif terhadap desain industri yang didaftarkan sangat urgen untuk diatur mengingat kenyataan yang menunjukkan adanya pihak dengan iktikad tidak baik mengajukan desain industri yang tidak memiliki unsur kebaruan atau bahkan sudah menjadi milik umum namun berhasil memperoleh sertifikat desain industri karena tidak ada yang mengajukan keberatan selama pengumuman permohonan berlangsung. Kepastian hukum bertalian dengan adanya penjelasan yang lebih spesifik mengenai tolok ukur dalam menentukan kebaruan suatu desain industri. Konteks keadilan yang dimaksud dalam hal ini berhubungan dengan kewajiban pemeriksaan substantif terhadap setiap permohonan desain industri.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andrieansjah. “Hak Desain Industri Berdasarkan Penilaian Kebaruan Desain Industri”. (Bandung, Penerbit Alumni, 2013).

Purwati, Ani. “Metode Penelitian Hukum Teori & Praktek”. (Surabaya, Jakad Media Publishing, 2020).

Qamar, Nurul dkk. “Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods)”. (Makassar, Social Politic Genius, 2017).

Sinungan, Ansori. “Perlindungan Desain Industri Tantangan dan Hambatan dalam Praktiknya di Indonesia” (Bandung, Penerbit Alumni, 2011).

Jurnal

Ardanel, Asyifa Zahra, Budi Santoso, and Rinitami Njatriani. "Implementasi Prinsip Kebaruan (Novelty) Desain Konfigurasi (Studi Putusan Nomor: 445 K/Pdt. Sus-Hki/2016)." Diponegoro Law Journal 6, no. 4 (2019): 1-14.

Banyusekti, Sindhu. "Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Kesan Estetis Terhadap Perlindungan Suatu Desain Industri Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri." Jurnal Wawasan Yuridika 29, no. 2 (2015): 854-867.

Fathoni, Fathoni. "Paradigma Hukum Berkeadilan Dalam Hak Kekayaan Intelektual Komunal." Jurnal Cita Hukum 2, no. 2 (2014).

Kusumaningrum, Dinar Aulia, and Kholis Roisah. "Implementasi Penilaian Kebaruan dan Prinsip Itikad Baik Dalam Perlindungan Desain Industri. " LAW REFORM 12, no. 2 (2016): 277-287.

Mayana, Ranti Fauza. "Kepastian Hukum Penilaian Kebaruan Desain Industri Di Indonesia Berdasarkan Pendekatan Kekayaan Intelektual Dan Perbandingan Hukum." JURNAL LITIGASI (e-Journal) 18, no. 1 (2018).

Rifan, Mohamad, and Liavita Rahmawati. "Pembaharuan UU Desain Industri: Tantangan Melindungi User Interface Dan Komparasi Unsur Aesthetic Impression." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 9, no. 2 (2020): 295.

Susiana, Dewi. "Pembatalan Desain Industri Karena Alasan Mempunyai Persamaan Pada Pokoknya." Premise Law Journal 1, no. 2 (2013): 1-14.

Zuhroh, Dinda Khofidhotuz, and Rakhmita Desmayanti. "Analisis Yuridis Terhadap Pendaftaran Desain Industri Tanpa Pemeriksaan Substantif Berdasarkan Undang-Undang Desain Industri (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 594 K/Pdt. Sus-Hki. 2017)." Reformasi Hukum Trisakti 1, no. 1 (2019).

Skripsi/Tesis/Disertasi

Dewi, Amalia Laksmita. "Perlindungan Hukum Terhadap Desain Busana Berdasarkan UU No 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri Di Indonesia (Studi Perbandingan Hukum Ketentuan Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual Di Amerika Dan Eropa)." Skripsi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, (2017).

Faizah Nadzirotul, Alfi, Mardi Handono, and Nuzulia Sari Kumala. "Tinjauan Yuridis Sengketa Desain Industri Antara Pt. Aplus Pacific Dengan Onggo Warsito (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 801 K/Pdt. Sus/2011)." Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember (2014), 1-10.

Pursanto, Vembri. "Sengketa Desain Industri Bak Mandi Plastik Antara Tan Suryanto Jaya dan Djaka Agustina (Studi Putusan Nomor: 02/Desain Industri/2013/PN. Niaga/Medan)." Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember (2015).

Surinda, Yuoky. "Tolak Ukur Significantly Differ Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. " Tesis Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, (2012).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045).

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4465).

Jurnal Kertha Negara Vol. 10., No. 03.,Tahun 2022, hlm. 301-313

313