LEGALITAS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM MELAKUKAN PROSEDUR AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH PADA OBJEK HAK TANGGUNGAN

Steven Nugraha Ang, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Ketut Westra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penulisan pada artikel ini yaitu untuk memahami dan mengevaluasi legalitas prosedur Agunan Yang Diambil Alih dalam proses penyelesaian kredit macet oleh Bank Perkreditan Rakyat; dan untuk mengetahui dan menganalisa mekanisme pengurusan Agunan Yang Diambil Alih dari debitur ke kreditur dalam proses penyelesaian kredit macet oleh Bank Perkreditan Rakyat. Jenis penelitian hukum normative yang digunakan pada penelitian ini dengan mengelaborasikannya dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisa konsep hukum untuk kemudian hasil studi dokumen disusun dengan teknik analisa deskripsi kualitatif. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa Prosedur AYDA merupakan bentuk alternatif penyelesaian kredit macet yang sah untuk dilakukan berdasarkan Pasal 12A UU Perbankan terutama bagi BPR karena BPR tidak dapat melakukan atau membeli melalui pelelangan umum sebagaimana yang diatur dalam UUHT mengingat pada Pasal 6 huruf k UU Perbankan diatur hanya Bank Umum yang dapat membeli melalui pelelangan agunan pada lelang umum oleh lembaga lelang. Aturan wajib melalui lelang umum di dalam UUHT dapat dikesampingkan karena tidak adanya kedudukan hukum bagi BPR untuk melakukan pelelangan umum. Adapun mekanisme pengurusan AYDA sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 dan Pasal 28 POJK Aset Produktif BPR pada intinya mengatur bahwa AYDA bersifat sementara dan harus disertai dengan surat pernyataan penyerahan agunan atau surat kuasa menjual dari Debitur, dan surat keterangan lunas dari BPR kepada Debitur dengan mewajibkan BPR untuk menilai AYDA dan menetapkan nilai realisasi bersih dengan pengurusan AYDA dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak pengambilalihan agunan.

Kata Kunci: Eksekusi, Agunan Yang Diambil Alih, Kredit Macet, Bank Perkreditan Rakyat

ABSTRACT

This article aims to understand and determine the validity of the Foreclosed Collateral procedure in the process of settling bad loans by Rural Banks; and to identify and analyze the mechanism for managing Foreclosed Collateral from debtors to creditors in the process of settling bad loans by Rural Banks. Normative legal research used in this study and elaboration with the statute approach and legal concept analysis approach for later studies document prepared by qualitative description analysis techniques. In result shown the Foreclosed Collateral procedure is an alternative form of settlement of non-performing loans that is legal to be carried out under Article 12A of the Banking Law, especially for BPRs because BPRs cannot conduct or buy through public auctions as regulated in Mortgage Law considering that Article 6 letter k of the Banking Law regulates only Commercial Banks that can purchase through auction of collateral in public auctions by auction institutions. The mandatory rules through public auctions in the Mortgage Law can be overridden because there is no legal standing for Rural Banks to conduct public auctions. The mechanism for managing of the Foreclosed Collateral as stated in Article 27 and Article 28 of the Financial Services Authority Regulations on Earning Assets for Rural Banks essentially stipulates that the Foreclosed Collateral is temporary and must be accompanied by a statement letter of surrender of collateral or power of attorney to sell from the Debtor, and a certificate of full settlement from the Rural

Banks to the Debtor by requiring the Rural Banks to assessing the Foreclosed Collateral and determining net realizable value by managing the Foreclosed Collateral for a maximum period of 1 (one) year from the acquisition of the collateral.

Keywords: Execution, Foreclosed Collateral, Bad Credit, Rural Banks

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang

Telah diketahui bersama pada dasarnya pemberian kredit oleh kreditur (misalnya bank) harus memperhatikan segala aspek untuk dijadikan pertimbangan sebagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dan prinsip kepercayaan pada dunia perbankan khusunya pada kegiatan penyaluran kredit kepada nasabah.1 Hal ini penting dilakukan oleh semua kreditur (khususnya bank) sebagai unsur utama penyaluran kredit ke masyarakat agar dengan sungguh-sungguh dan tepat sasaran penyaluran kredit tersebut, serta dapat dihindarkan dari adanya kegagalan pembayaran kredit oleh nasabah, dengan lain kata pengembalian kredit tersebut tepat waktu sebagaimana yang diperjanjikan. Meskipun demikian, tidak dapat dimungkiri situasi ekonomi yang cukup dinamis menyebabkan jaminan akan keberhasilan membayar ataupun melunasi kredit tersebut menjadi dinamis pula, artinya tidak ada garansi keberhasilan pengembalian kredit 100% (seratus persen) berhasil. Apalagi nasabah penerima kredit merupakan mereka yang menggunakan fasilitas kredit sebagai modal usaha yang baru atau sedang dirintisnya. Mengingat bahwa kegiatan berusaha tidak akan pernah luput dari adanya risiko bisnis, sehingga hal ini yang kemudian oleh pelaku bisnis perbankan dalam menyalurkan kredit memerlukan rambu-rambu yang tepat sebelum menyalurkan kredit kepada masyarakat.

Bank sebagaimana pengertian yang termuat pada Pasal 1 angka 2 UU Perbankan yaitu “bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Ditegaskan sebagai satu dari beberapa kegiatan bank yaitu memberikan kredit sebagaimana dijelaskan pada Pasal 6 huruf b jo. Pasal 13 huruf b UU Perbankan. Bank dalam kegiatannya menyalurkan kredit kepada masyarakat (nasabah) yang disebut sebagai kreditur dapat menentukan perhitungan risiko yang mungkin timbul dari kegiatan penyaluran kreditnya. Perhitungan ini paling tidak dapat memitigasi risiko yang muncul dengan harapan pula bahwa penerima kredit (debitur) mampu melaksanakan kesepakatan tersebut yaitu mampu melunasinya.

Ketika perhitungan telah dilakukan, namun terdapat permasalahan dalam penyaluran kredit perlu kemudian memperhatikan kembali kriteria kredit bermasalah atau yang sering disebut sebagai non-performing loan (NPL).2 NPL adalah risiko yang terdapat pada setiap penyaluran kredit yang dilakukan bank kepada nasabah/debitur.3 Risiko yang dimaksud adalah suatu keadaan saat kredit tidak dapat dikembalikan tepat

waktu sesuai kesepakatan. Kredit terkategori sebagai NPL saat kualitas kredit terkualifikasi pada tingkatan kolektabiltas yang kurang lancar, diragukan, atau macet.4 Bilamana kredit tersebut berdasarkan analisa dan kajian bank mengalami kemacetan, adapun tindakan yang dilakukan bank yaitu mengupayakan langkah-langkah penyelamatan kredit melalui tata cara yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan sebab-sebab yang mengakibatkan terjadi kredit macet.5 Jika menurut penilaian bank kredit tersebut masih dapat diselamatkan atau dibantu, maka bank dapat melakukan tindakan resktruturisasi perjanjian kredit misalnya dengan memperpanjang termin pembayaran kredit atau sejenisnya.6 Apabila telah diupayakan langkah tersebut, nyatanya tidak ada perubahan (dalam arti debitur tetap tidak mampu membayar) bank dapat mengambil upaya terakhir yaitu melakukan penyitaan jaminan/agunan yang telah dijaminkan oleh debitur kepada bank untuk kemudian diambil langkah-langkah yang sah termasuk menyatakan debitur telah melakukan wanprestasi/cidera janji.7

Keadaan debitur yang wanprestasi, bank yang telah menerima jaminan/agunan yang diserahkan oleh debitur di awal kesepakatan perjanjian kredit berupa jaminan benda tidak bergerak seperti tanah yang telah termuat dalam Sertifikat Hak Tanggungan (SHT), bank diberikan hak untuk melakukan eksekusi terhadap objek tanah yang telah diletakkan hak tanggungan tersebut. Hal ini diatur Pasal 20 UUHT yang pada intinya menyebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) cara untuk melakukan eksekusi hak tanggungan yaitu pemegang hak tanggungan pertama, berhak menjual dengan kekuasaan sendiri melalui lelang umum. Kedua, dengan adanya titel eksekutorial di SHT dengan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” kreditur dapat mengeksekusinya, dan ketiga, eksekusi di bawanh tangan pun dapat dilakukan.8

Realitanya, proses eksekusi hak tanggungan dalam praktiknya tidaklah mudah dan sering mengalami hambatan. Salah satunya waktu yang diperlukan untuk mengikuti prosedur yang cukup panjang merugikan pihak kreditur karena rugi waktu dan biaya. Untuk itu, dilakukanlah upaya untuk mekanisme lain untuk menyelesaikan kredit macet yang hemat waktu maupun biaya salah satunya dengan melakukan pengambilalihan agunan yang telah debitur jadikan jaminan melalui pembelian agunan tersebut.9 Proses pengambilalihan tersebut, dalam dunia bank dikenal dengan istilah Agunan Yang Diambil Alih (AYDA). Tindakan yang dilakukan bank dengan proses AYDA telah memiliki paying hukum yang diatur pada Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan menentukan bahwa:

“Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan umum maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya

kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.”

Pada ketentuan tersebut tidak dijelaskan pengertian dari AYDA, bahwa pengertian ini dapat ditemukan dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Khusus mengenai proses AYDA yang berlaku pada Bank Pekreditan Rakyat (BPR), pengaturan tertuang di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 33/POJK.03/2018 Tahun 2018 Tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Bank Perkreditan Rakyat (POJK Aset Produktif BPR). Di POJK Aset Produktif BPR pada Pasal 1 angka 11 disebutkan pengertian AYDA yaitu “Agunan yang Diambil Alih (AYDA) adalah aset yang diperoleh BPR untuk penyelesaian Kredit, baik melalui pelelangan, atau di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan, dalam hal Debitur telah dinyatakan macet.”

Proses AYDA ini dalam perkembangannya tidak luput dari kritik dan permasalahan. Beberapa pihak menyatakan bahwa tindakan bank melakukan AYDA terhadap agunan yang dijaminkan oleh debitur ketika terjadi kredit macet dengan teknis melakukan kompensasi harga agunan dengan sisa utang yang belum dilunasi debitur merupakan hal yang merugikan debitur secara sepihak. Terlebih lagi, sisa hasil penjualan AYDA menjadi keuntungan bank, bila dibandingkan dengan mekanisme penjualan melalui lelang, sisa penjualan setelah dikurangi utang tersisa menjadi hak pemilik pemberi hak tanggungan/debitur sebagaimana diatru dalam Pasal 6 UUHT. Berangkat dari permasalahan tersebut, penting dan perlu kiranya dilakukan penelitian kembali untuk menemukan legalitas proses AYDA dalam penyelesaian kredit macet oleh BPR melalui penelitian ini.

Bahwa kajian ini merupakan kajian yang orisinil dan merupakan gagasan baru untuk membantu mengevaluasi dan mengelaborasi ketentuan eksekusi AYDA oleh Bank Perkreditan Rakyat agar kedepannya dapat diekeskusi dengan lebih efektif. Meskipun terdapat kajian sebelumnya yang membahas mengenai penyelesaian kredit macet melalui proses AYDA yaitu pada beberapa jurnal nasional salah satunya yang berjudul “Pembuatan Kuasa Menjual Dalam Penyelesaian Kredit Macet oleh Bank Dengan Proses Aset yang Diambil Alih (AYDA) dengan penulis M. Abdilah Surindo Hasibuan yang menganalisa penyelesaian kredit macet melalui Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) oleh Bank jika ditinjau dari Undang Undang Hak Tanggungan.” Artikel terbit pada Recital Review Vol.2 No.1 tahun 2020. Tentu tujuan kajian artikel tersebut berbeda dengan kajian dalam artikel ini yang lebih memfokuskan pada Bank Perkreditan Rakyat dengan dasar hukum yang tidak terbatas pada UUHT agar terlihat pembahasan permasalahan yang lebih mendalam dan komprehensif.10

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah legalitas prosedur Agunan Yang Diambil Alih dalam proses penyelesaian kredit macet oleh Bank Perkreditan Rakyat?

  • 2.    Bagaimanakah mekanisme pengurusan Agunan Yang Diambil Alih dari debitur ke kreditur dalam proses penyelesaian kredit macet oleh Bank Perkreditan Rakyat?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mengetahui legalitas prosedur Agunan Yang Diambil Alih dalam proses penyelesaian kredit macet oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR); dan (2) untuk mengetahui dan menganalisa mekanisme pengurusan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dari debitur ke kreditur dalam proses penyelesaian kredit macet oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

  • II.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni peneltiian hukum untuk meneliti suatu norma, asas dan/atau doktrin hukum.11 Jenis penelitian hukum normatif digunakan dikarenakan penelitian akan meneliti aturan hukum mengenai legalitas dan mekanisme pengalihan agunan yang diambil alih dari debitur ke kreditur dalam proses penyelesaian kredit macet oleh Bank Perkreditan Rakyat. Jenis penelitian hukum normatif pada penelitian ini ditunjang dengan pendekatan analisa konsep hukum dan pendekatan perundang-undangan untuk menganalisa permasalahan yang diteliti. Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif dengan menerapkan beberapa langkah yaitu sistematisasi, deskripsi, dan eksplanasi.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Legalitas Prosedur AYDA dalam Proses Penyelesaian Kredit Macet oleh BPR

Mathias Dewatripont dan Jean Tirole dalam Bayu Rangga Warsito dan Albertus Sentot Sudarwanto mengatakan bahwa “a Bank is a financial intermediary that participates in the payment system and finance entities in financial deficit (typically the public sector, non financial firm, and some household) using the finds of entities in financial surplus (typically households)”.12 Berdasarkan pendapat tersebut, bank dikatakan memiliki peran yang strategis dalam penyelenggaraan perputaran uang di masyarakat untuk menopang kegiatan perekonomian. Salah satunya dengan bank menjadi penyalur dan penyedia dana kredit bagi masyarakat (nasabah) untuk menjalan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Dalam kegiatan tersebut, bank tidak selalu menghadapi situasi yang lancar (maksudnya pengembalian dana kredit oleh masyarakat berjalan sesuai kesepakatan), terkadang ada waktunya kredit tersebut mengalami permasalahan salah satunya kredit macet. Banyak faktor yang menyebabkan debitur tidak mampu memuhi kewajibannya untuk mengembalikan kredit tersebut sehingga terjadilah kredit macet. Keadaan ini menjadi situasi yang cukup sulit bagi kreditur maupun debitur. Gagalnya debitur memenuhi kewajibannya sebagaimana tenggang waktu yang telah disetujui menjadikan hal tersebut sebagai keadaan wanprestasi/cidera janji. Terjadinya wanprestasi memberikan hak bagi kreditur untuk menuntut ganti rugi dan pembatalan perjanjian kredit kepada debitur.13

Dasar hukum yang menjamin hak tersebut yaitu tertuang pada Pasal 1236 KUHPer yang berbunyi “Si berhutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi, dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan

tidak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya.”14 Lebih lanjut ditegaskan pula pada Pasal 1239 KUHPer mengatur “Tiap-tiap perikatan untuk bertindak sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiaban memberikan pengganti biaya, rugi dan bunga.”15 Mengacu akan ketentuan itu, bank kemudian menyaratkan dalam perjanjian kredit adanya agunan atau jaminan yang dijaminkan agar bank dapat memberikan kredit untuk menjamin bahwa bilamana debitur mengalami gagal bayar, agunan/jaminan tersebut menjadi alat untuk membayar atau melunasi kreditnya.Untuk mengurus agunan tersebut, bank dalam perkembangannya yang dijamin peraturan perundang-undangan memiliki upaya yang lebih mudah untuk mengurus aset tersebut.

Adapun upaya yang dimaksud yaitu dengan melakukan penyitaan agunan debitur melalui prosedur AYDA. Menurut Tomi Mulyana “AYDA pada umumnya merupakan suatu aset dimana jaminan baik yang diletakkan hak tanggungan, jaminan fidusia ataupun hipotek, menurut UU Perbankan dapat diperoleh dan dibeli sebagian atau seluruhnya aset tersebut.”16 Proses perolehan tersebut dapat dilakukan melalui pelelangan umum ataupun diluar pelelangan umum, misalnya berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan tersebut sepanjang terdapat kesepakatan yang tertulis antara debitur dan kreditur.17 Proses inilah yang banyak dilakukan oleh bank saat ini termasuk oleh BPR untuk menyelesaikan kredit macet, termasuk namun tidak terbatas pada agunan yang telah diletakkan hak tanggungan.

Prosedur AYDA pada agunan yang telah diletakkan hak tanggungan dalam perkembangannya diragukan legalitasnya. Menurut M Abdilah Surindo Hasibuan dalam penelitiannya menyatakan bahwa “Penyelesaian kredit macet dengan agunan yang telah dipasang dengan Hak Tanggungan sebetulnya telah diatur cara eksekusinya dalam Pasal 20 UUHT, namun ketika Bank lebih memilih untuk eksekusi agunan dengan cara AYDA berdasarkan pasal 12 A UU Perbankan, ternyata terdapat suatu pertentangan norma antara pasal 12 dan 20 UUHT dengan pasal 12 A UU Perbankan.”18 Lebih lanjut, dijelaskan oleh M Abdilah Surindo Hasibuan bahwa “Pertentangan tersebut terlihat pada Pasal 12 UUHT menyatakan janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur wanprestasi adalah batal demi hukum, eksekusi hak tanggungan menurut Pasal 20 ayat (4) UUHT menegaskan bahwa setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), (2) dan (3) adalah batal demi hukum, sedangkan Pasal 12 A ayat (1) UU Perbankan mengatur bahwa eksekusi dalam penyelesaian kredit macet dengan melakukan AYDA dengan menyatakan bahwa untuk mempercepat penyelesaian kredit macet karena debitur wanprestasi, Bank Umum (yang merupakan pemegang Hak Tanggungan) dapat membeli agunan diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh

pemilik agunan dan hal itu bertentangan dengan Pasal 12 dan Pasal 20 UUHT.”19 Intinya, M Abdilah Surindo Hasibuan menyatakan bahwa terjadi inkonsistensi antara UUHT dan UU Perbankan yang mengakibatkan terjadinya konflik norma mengenai proses eksekusi agunan debitur saat terjadinya kredit macet.

Merujuk pada keadaan yang menyebabkan adanya pertentangan norma dalam peraturan perundang-undangan yang sejajar (antara UUHT dan UU Perbankan), perlu mengingat kembali asas-asas preferensi hukum untuk mengurai pertentangan norma yang terjadi.20 Agar kemudian dapat ditentukan norma yang akan digunakan terhadap permasalahan yang terkait, dalam hal ini mengenai prosedur pengurusan/eksekusi agunan debitur yang mengalami kredit macet. Asas pertama yang akan digunakan yaitu “Lex specialis derogat legi generali yaitu hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis),”21 kaitannya dengan pendapat sebelumnya, bahwa sejatinya UU Perbankan yang merupakan aturan khusus mengenai aspek usaha perbankan salah satunya perihal penyelesaian kredit macet oleh bank, baik bank umum maupun BPR. Sedangkan UUHT pada prinsipnya mengatur hal-hal umum tentang proses eksekusi hak tanggungan yang tidak spefisik pada perjanjian kredit, artinya berlaku untuk semua jenis perjanjian yang menjaminkan adanya hak tanggungan. Kedua asas yang digunakan yaitu asas preferensi “lex posterior derogat legi priori yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior).”22 UUHT berlaku dan belum dilakukan perubahan oleh legislator sejak tahun 1996, sedangkan UU Perbankan tahun 1998 telah dilakukan perubahan salah satunya dengan menghadirkan Pasal 12A, sehingga dapat dikatakan bahwa prosedur AYDA merupakan tindakan yang sah dan baru dalam penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan hukum perbankan termasuk di dalamnya penyelesaian kredit macet. Aturan ini pun ditegaskan kembali pada POJK Nomor 40/POJK.03/2019 Tahun 2019 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan POJK Aset Produktif BPR.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa prosedur AYDA merupakan bentuk alternatif penyelesaian kredit macet yang lebih efektif dan efisein untuk dilakukan sebagaimana rezim hukum perbankan dan telah memiliki dasar hukum yaitu Pasal 12A UU Perbankan. Khusus pada BPR prosedur ini merupakan proses yang satu-satunya dapat dilakukan karena BPR tidak dapat melakukan atau membeli melalui pelelangan umum sebagaimana yang diatur dalam UUHT dalam hal untuk mengurus agunan debitur yang mengalami kredit macet. Hal ini dapat dilhat pada ketentuan Pasal 6 huruf (k) UU Perbankan bahwa “Bank Umum yang dapat membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya,” sedangkan BPR tidak dapat melakukan usaha tersebut. Artinya, langkah hukum yang dapat dilakukan BPR untuk mengurus agunan

debitur dalam penyelesaian kredit macet yaitu salah satunya dengan prosedur AYDA. Untuk itulah ketentuan yang mewajibkan perjualan melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang menurut UUHT tidak dapat berlakukan pada BPR karena BPR tidak memiliki kedudukan hukum untuk ikut dalam pelelangan umum berdasarkan ketentuan UU Perbankan tersebut.

  • 3.2.    Mekanisme Pengurusan AYDA dalam Penyelesaian Kredit Macet oleh BPR

Sebelum membahas mengenai mekanisme pengurusan AYDA oleh BPR perlu untuk diketahui terlebih dahulu mekanisme yang umum dilakukan dalam eksekusi atas jaminan kebendaan, yaitu:

  • 1.    Parate Eksekusi: menurut Chadijah Rizki Lestari, “Parate Eksekusi dapat dilakukan bilamana debitur wanprestasi maka kreditur diberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi agunan yang mudah, sederhana, serta cepat dan itu merupakan lembaga hukum parate eksekusi. Model ini bertujuan untuk memudahkan penjualan lelang objek jaminan di hadapan umum akibat debitur wanprestasi sehingga pelunasan piutang kreditor relatif cepat.”23 Chadijah Rizki Lestari menegaskan bahwa “Parate eksekusi merupakan eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditur tanpa meminta bantuan pengadilan atau proses peletakan sita jaminan, artinya hak eksekusi yang selalu siap sesuai dengan namanya paraat yang berarti hak itu siap di tangan kreditur untuk dilaksanakan.”24

  • 2.    Titel Eksekutorial: menurut RM Anton Suyatno, bahwa “pelaksanaan titel eksekutorial dari sertifikat jaminan hak tanggungan yang terdapat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA yang menegaskan bahwa adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat tersebut, sehingga jika debitur wanprestasi maka siap dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”25 RM Anton Suyatno menegaskan bahwa “Ketua pengadilan akan memberi perintah kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya, dan jika debitur mengabaikan perintah tersebut maka ketua pengadilan akan memberikan fiat eksekusi dan memerintahkan penyitaan atas objek jaminan untuk kemudian dilelang demi memperoleh pelunasan bagi piutang kreditor.”26

  • 3.    Penjualan di Bawah Tangan: menurut Liber Sonata Depri, bahwa “jika melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, maka dengan menyimpangi prinsip sebagaimana pada Pasal 20 ayat (1) UUHT maka diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan asalkan disepakati oleh pemberi dan pemegang jaminan dan dengan memenuhi syarat-syarat lain yang harus dipenuhi, ini ditegaskan pada Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUHT.”27

Merujuk pada penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat lebih dari satu upaya atau cara untuk melaksanakan eksekusi apabila terjadi wanprestasi. Artinya, eksekusi agunan tidak wajib melalui mekanisme lelang, namun juga dapat dilakukan dengan metode penjualan dibawah tangan. Sepanjang penjualan dibawah tangan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Menurut Saryana, adapun persyaratan yang harus dipenuhi yaitu, “dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemilik jaminan dengan kreditur, pelaksanaan penjualan di bawah tangan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh kreditur dan atau pemilik jaminan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang tersebar di daerah yang bersangkutan, dan tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.”28

Berkenaan dengan penjelasan di atas yang memungkinkan adanya eksekusi jaminan kebendaan tidak melalui pelelangan sepanjang terdapat kesepakatan para pihak salah satunya melalui penjualan di bawah tangan. Konsepsi inilah yang kemudian melahirkan prosedur AYDA. Sebagaimana yang telah pada pemabahasan di atas, yakni BPR tidak memiliki usaha yang sama dengan bank umum untuk dapat melakukan pelelangan, maka prosedur AYDA yang kemudian agunan tersebut dilakukan penjualan dibawah tangan oleh BPR kepada pihak ketiga sebagai bentuk proses pengurusan aset debitur yang mengalami kredit macet. Adapun ketentuan teknis AYDA oleh BPR tertuang dalam Pasal 27 dan Pasal 28 POJK Aset Produktif BPR. Selengkapnya Pasal 27 ayat (1)-(3) berbunyi bahwa “BPR dapat mengambil alih agunan untuk penyelesaian Kredit yang memiliki kualitas macet dan pengambilalihan tersebut bersifat sementara dan harus disertai dengan surat pernyataan penyerahan agunan atau surat kuasa menjual dari Debitur, dan surat keterangan lunas dari BPR kepada Debitur.” Lebih lanjut, Pasal 7 ayat (4)-(5) mengatur kewajiban BPR untuk menilai AYDA dan menetapkan nilai realisasi bersih dengan ketentuannya tegas diatur tata caranya dalam ayat (5) yaitu penilaian internal BPR jika nilai AYDA kurang dari lima ratus juta rupiah jika lebih harus dilakukan penilian oleh tim eksternal yang independent.

Pada Pasal 28 ayat (1) menyatakan bahwa “BPR wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak pengambilalihan agunan.” Pasal 28 ayat (2) menegaskan bahwa “Apabila BPR tidak dapat melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai AYDA untuk jenis agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c, huruf e sampai dengan huruf g yang tercatat pada laporan posisi keuangan BPR wajib diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal inti BPR dalam perhitungan KPMM.” Pasal 28 ayat (3) mengatur “Apabila BPR tidak dapat melakukan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai AYDA untuk jenis agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf h yang tercatat pada laporan posisi keuangan BPR wajib diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal inti BPR dalam perhitungan KPMM sebesar: 50% (lima puluh persen) dari nilai AYDA untuk AYDA yang dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 2 (dua) tahun; dan/atau 100% (seratus persen) dari nilai AYDA untuk AYDA yang dimiliki lebih dari 2 (dua) tahun.” Pasal 28 ayat (4) dan (5) POJK Aset Produktif BPR mengatur bahwa “BPR wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA dan BPR wajib menerapkan perlakuan akuntansi pengambilalihan

AYDA sesuai dengan standar akuntansi keuangan dan pedoman akuntansi bagi BPR sebagaimana diatur.”

  • IV.    Kesimpulan

Prosedur AYDA merupakan bentuk alternatif penyelesaian kredit macet yang sah untuk dilakukan berdasarkan Pasal 12A UU Perbankan terutama bagi BPR karena BPR tidak dapat melakukan atau membeli melalui pelelangan umum sebagaimana yang diatur dalam UUHT mengingat pada Pasal 6 huruf k UU Perbankan diatur hanya Bank Umum yang dapat membeli melalui pelelangan agunan pada lelang umum oleh lembaga lelang. Artinya, langkah hukum yang dapat dilakukan BPR untuk menyelesaian kredit macet, sehingga ketentuan yang mewajibkan perjualan melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang menurut UUHT dapat dikesampingkan karena tidak adanya kedudukan hukum bagi BPR untuk melakukan pelelangan umum. Adapun mekanisme pengurusan AYDA sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 dan Pasal 28 POJK Aset Produktif BPR pada intinya mengatur bahwa AYDA bersifat sementara dan harus disertai dengan surat pernyataan penyerahan agunan atau surat kuasa menjual dari Debitur, dan surat keterangan lunas dari BPR kepada Debitur dengan mewajibkan BPR untuk menilai AYDA dan menetapkan nilai realisasi bersih dengan pengurusan AYDA dengan jangka waktu tidak lebih dari satu tahun sejak pengambilalihan agunan dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. (Sinar Grafika, Jakarta, 2021).

Jurnal

Baneftar, Frengky. "Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Perbankan Dengan Jaminan Sertifikat Tanah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996: Studi Pada Bank Papua Cabang Biak." Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren 5, No. 1 (2020). DIO: https://doi.org/10.46924/jihk.v5i1.25

Dalimunthe, Dermina. "Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bw)." Jurnal AL-MAQASID: Jurnal Ilmu Kesyariahan dan Keperdataan 3, No. 1 (2017). DOI: https://doi.org/10.24952/almaqasid.v3i1.1444

Dilapanga, Nur Muhammad. "Agunan Yang Diambil Alih: Sebuah Mekanisme Dalam Penyelesaian Kredit Macet." JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) 5, No. 2 (2021). DOI: http://dx.doi.org/10.36312/jisip.v5i2.1943

Ennandrianita, Fine, and I. Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani. "POLITIK HUKUM PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA SAAT BERLAKU UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH." Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 6, No. 2 (2014). DOI: https://doi.org/10.20961/hpe.v6i2.17694

Hasibuan, M. Abdilah Surindo. "Pembuatan Kuasa Menjual Dalam Penyelesaian Kredit Macet oleh Bank Dengan Proses Aset yang Diambil Alih (AYDA)." Recital Review 2, No. 1      (2020). Retrieved from https://online-

journal.unja.ac.id/RR/article/view/8665

Lestari, Chadijah Rizki. "Penyelesaian Kredit Macet Bank Melalui Parate Eksekusi." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 19, No. 1  (2017). Retrieved from

http://202.4.186.66/kanun/article/view/6600

Mulyana, Tomi. "Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah Di PT Permodalan Nasional Madani PNM (Persero) Cabang Garut." PRISMAKOM 12, No. 1 (2018). Retrieved from http://jurnal.stieyasaanggana.ac.id/index.php/yasaanggana/article/view/3

Purwardhani, Prisilia, and Jamal Wiwoho. "Efektifitas Penyelesaian KPR Macet Melalui Parate Eksekusi Lelang (Studi Kasus PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk Kantor Cabang Solo)." Jurnal Repertorium 6, No. 1 (2019). Retrieved from https://jurnal.uns.ac.id/repertorium/article/view/27828

Rostarum, Triamy. "Prosedur Pengambilalihan Obyek Jaminan Hak Tanggungan dalam Masalah Kredit Macet." Wajah Hukum 2, No. 2  (2018). DOI:

http://dx.doi.org/10.33087/wjh.v2i2.39

Saryana, S. H. "EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN DALAM PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT BANK." Jurnal Ilmiah Hukum Dan Dinamika Masyarakat 11, No. 2 (2016). DOI: http://dx.doi.org/10.36356/hdm.v11i2.350

Suartama, I. Wayan, Ni Luh Gede Erni Sulindawati, Nyoman Trisna Herawati, and SE AK. "Analisis Penerapan Restrukturisasi Kredit Dalam Upaya Penyelamatan Non-Performing Loan (NPL) Pada PT BPR Nusamba Tegallalang." JIMAT (Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi) Undiksha 8, No. 2   (2017). DOI:

http://dx.doi.org/10.23887/jimat.v8i2.10531

Sucipta, Pery Rehendra, Irwandi Syahputra, and Roni Sahindra. "Lex Specialis Derogat Legi Generali Sebagai Asas Preferensi Dalam Kecelakaan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat." Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 8, No. 1 (2020). DOI: http://dx.doi.org/10.29303/ius.v8i1.752

Sukmaya, Mohammad Algifarri, Lastuti Abubakar, and Tri Handayani. "Perlindungan Hukum Bagi Pemenang Lelang Objek Hak Tanggungan Dalam Hal Eksekusi Terhalang Oleh Gugatan Ditinjau Dari Hukum Jaminan." Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 8, No. 2 (2020). DOI: http://dx.doi.org/10.25157/justisi.v8i2.3605

Suyatno, RM Anton. "Perlawanan Dalam Eksekusi Obyek Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Titel Eksekutorial." Jurnal Hukum dan Peradilan 3, No. 1 (2018). DOI: http://dx.doi.org/10.25216/jhp.3.1.2014.1-10

Syam, Saindra Arafa. "KAJIAN HUKUM PENERAPAN FIKTIF NEGATIF DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA." Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum) 1, No. 1 (2020). Retrieved from http://ejurnal.untag-smd.ac.id/index.php/DD/article/view/4654

Warsito, Bayu Rangga, and Albertus Sentot Sudarwanto. "PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH (AYDA) SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN KREDITUR DI PERSEROAN DAERAH BPR BANK KLATEN." Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 7, No. 2 (2019). DOI: https://doi.org/10.20961/hpe.v7i2.43003

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.03/2018 Tahun 2018 tentang Kualitas Aset Produktif Dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Bank Perkreditan Rakyat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6284.

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 10 Tahun 2020, hlm. 70-81

81