Volume 14 No. 6: 705-713

Desember 2022

DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i06.p13

Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet

Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Faktor yang Mempengaruhi Perilaku dan Persepsi Dokter Hewan Bali Terhadap Penggunaan Antimikroba dan Resistensi Antimikroba

(FACTORS AFFECTING THE BEHAVIOR AND PERCEPTIONS OF BALI VETERINARY DOCTORS ON THE USE OF ANTIMICROBIAL AND ANTIMICROBIAL RESISTANCE)

Vera Paulina Sitanggang1*, I Nengah Kerta Besung2, Hapsari Mahatmi2

1Balai Besar Veteriner Denpasar, Jl. Raya Sesetan No.266, Sesetan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali 80223;

2Laboratorium Bakteriologi dan Mikologi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia 80223;

*Email: [email protected]

Abstrak

Resistensi antimikroba (AMR) adalah kemampuan bakteri untuk menahan efek obat, sehingga bakteri tidak mati setelah pemberian antimikroba dan fungsi obat tersebut tidak berkerja sama sekali. Kejadian ini diakibatkan oleh penggunaan antimikroba yang tidak terkontrol yang mampu menimbulkan krisis global pada kesehatan manusia dan hewan di masa depan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku dan persepsi dokter hewan di Provinsi Bali terhadap penggunaan antimikroba dan resistensi antimikroba. Sebanyak 204 dokter hewan digunakan sebagai sampel penelitian dengan cara survei memakai sistem Likert dan kemudian hasil perbedaan tanggapan dokter hewan terhadap frekuensi peresepan dianalisis dengan Kruskal-Wallis. Hasil penelitian menunjukkan antimikroba diberikan ke separuh pasien yang ditangani tiap minggunya, dan faktor yang mempengaruhi pemberian antimikroba adalah riwayat penggunaan antimikroba, tingkat keamanannya, pengalaman, potensi, efek samping, dan resiko meningkatnya resistensi antimikroba. Biaya uji kultur dan harga antimikroba menjadi hambatan terbesar bagi dokter hewan praktisi hewan kecil tetapi tidak bagi dokter hewan praktisi hewan ternak. Seluruh responden mengakui bahwa sebagian besar sumber informasi mengenai AMR mudah didapatkan serta berguna bagi mereka. Kelompok dokter hewan praktisi hewan kecil dan praktisi hewan ternak sepakat bahwa AMR merupakan ancaman bersama yang serius di masa mendatang. Studi ini memberikan wawasan penting mengenai penerapan tindakan medis veteriner yang di Provinsi Bali dan kelak menjadi acuan dalam meningkatkan regulasi pengawasan terhadap penggunaan antimikroba.

Kata kunci: dokter hewan; perilaku dan persepsi; antimikroba; resistensi antimikroba

Abstract

Antimicrobial resistance (AMR) is the ability of bacteria to withstand the effects of drugs so that bacteria do not die after the administration of antimicrobials and the function of the drug does not work at all. This incident is caused by the uncontrolled use of antimicrobials which can cause a global crisis on human and animal health in the future. This study aims to determine the factors that influence the behavior and perceptions of veterinarians in the province of Bali on the use of antimicrobials and antimicrobial resistance. A total of 204 veterinarians were used as research samples through a survey using a Likert system and then the results of differences in veterinary responses to the frequency of prescribing were analyzed by Kruskal-Wallis. The results showed that antimicrobials were given to half of the patients treated weekly, and the factors that influenced the administration of antimicrobials were the history of antimicrobial use, level of safety, experience, potency, side effects, and the risk of increasing antimicrobial resistance. The cost of culture testing and the price of antimicrobials are the biggest barriers for small animal veterinarians but not for livestock veterinarians. All respondents acknowledged that most sources of information on AMR were easy to obtain and useful for them. The group of veterinarians who practice small animals and livestock practitioners agree that AMR is a

serious common threat in the future. This study provides important insights into the application of veterinary medical procedures in the province of Bali and will later become a reference in increasing regulation control over the use of antimicrobials.

Keywords: veterinarian; behavior and perception; antimicrobial; antimicrobial resistance

PENDAHULUAN

Resistensi antimikroba (AMR) merupakan suatu fenomena yang terjadi ketika bakteri mampu beradaptasi dan berkembang pada lingkungan yang sudah terpapar antimikroba (Founou et al., 2017). AMR merupakan ancaman yang signifikan bagi sistem kesehatan masyarakat tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di seluruh dunia (Founou et al., 2017). Fenomena kejadian AMR berdampak pada peningkatan fatalitas penyakit, proses perawatan pasien di rumah sakit yang berkepanjangan, peningkatan biaya perawatan serta pengobatan pasien, biaya yang lebih tinggi pada obat antimikroba lini kedua, dan kegagalan pengobatan pasien (Shrestha et al., 2018).

Salah satu faktor penting timbulnya fenomena AMR adalah penggunaan antimikroba pada hewan ternak dan pada manusia secara tidak bertanggung jawab. Idealnya, intervensi terapeutik dirancang mengikuti identifikasi patogen yang akurat dan uji kerentanan antimikroba (Aarestrup, 2005). Tujuan utama pengobatan antimikroba ialah untuk membatasi penyebaran patogen pada hewan yang sakit akan tetapi sering dilakukan pengobatan secara berlebihan pada hewan yang tidak terinfeksi (Economou dan Gousia, 2015). Kejadian ini akan makin meningkat seiring pemberian antimikroba sebagai Antimicrobial Growth Promoters (AGP) yang penggunaannya sangat masif dalam dua dekade ke belakang (Butaye et al., 2003).

Pelepasan / spill over bakteri resisten antimikroba oleh hewan dapat dilakukan secara langsung (melalui kontak) maupun secara tidak langsung sehingga mampu menyebar bersama bakteri komensal. Bakteri ini membawa gen resistensi yang dapat berpindah lintas spesies melalui

berbagai jalur seperti melalui makanan, air, cairan tubuh, lumpur dan pupuk kandang ke tanah tanaman bahan pangan (Marshall dan Levy, 2011). Infeksi yang resistan terhadap banyak obat (multi drug resistant) memberikan beban besar pada terapi medis veteriner (Kuzi et al., 2016) dan menimbulkan risiko kesehatan masyarakat yang sangat besar (Walther et al., 2017).

Studi kasus melalui wawancara dengan dokter hewan praktisi babi di Inggris menemukan bahwa peresepan dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis dan kontekstual, termasuk tekanan dari peternak dan masalah ekonomi (Coyne et al., 2016). Studi pada dokter hewan peternakan di Belanda mengungkapkan kepentingan yang bertentangan dalam keputusan resep mereka, termasuk penghindaran risiko, dan ketergantungan finansial pada klien (Speksnijder et al., 2015). Kejadian resistensi terhadap antimikroba telah dilaporkan di Provinsi Bali pada ayam broiler (Suharsa et al, 2015), sapi bali (Mustika et al., 2015), babi (Bhaskara et al., 2012), tukik (Prasetya et al., 2017) dan manusia (Masyeni et al., 2018). Penelitian tentang bagaimana tingkat pemahaman dan perilaku dokter hewan terhadap penggunaan antimikroba masih belum banyak dilaporkan, khususnya di Indonesia, oleh karenanya sangat penting untuk melakukan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan persepsi dokter hewan terhadap penggunaan antimikroba dan resistensi antimikroba di Provinsi Bali.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan studi crosssectional berupa survei yang sebelumnya

sudah dideskripsikan oleh Norris et al., (2019).

Responden

Responden penelitian adalah praktisi dokter hewan yang terdata secara resmi sebagai anggota dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) cabang Provinsi Bali sebanyak 204, yang dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu kelompok dokter hewan praktisi hewan kecil dan kelompok dokter hewan praktisi ternak.

Metode Pengumpulan Data

Responden diberi kuesioner yang terdiri dari 28 pertanyaan yang dibuat dengan skala tipe Likert berskala empat atau lima poin. Survei dibagi menjadi empat bagian yakni informasi tentang responden dan praktik mereka (enam pertanyaan); perilaku dan pengaruh pemberian resep antimikroba (12 pertanyaan); sumber informasi (empat pertanyaan); serta persepsi tentang antimikroba dan resistensi antimikroba (enam pertanyaan). Data demografis dikumpulkan pada dua tingkat yakni yang pertama karakteristik tingkat dokter hewan termasuk jenis kelamin dan pengalaman praktik serta yang kedua yakni karakteristik tingkat praktik termasuk jenis praktik kedokteran hewan (spesies hewan yang paling sering ditangani), dan lokasi praktik. Untuk menentukan perilaku peresepan antimikroba, responden diminta untuk menyebutkan spesies hewan yang paling sering mereka obati dan untuk memperkirakan frekuensi pemberian atau pemberian berbagai antimikroba. Untuk analisis pertanyaan lain (selain pertanyaan tentang frekuensi relatif peresepan / pemberian berbagai antimikroba yang berbeda),   responden diklasifikasikan

menurut jenis praktiknya yakni hewan kecil dan hewan ternak.

Analisis Data

Analisis data secara kuantitatif dianalisis dengan IBM SPSS versi 27. Responden yang     menyelesaikan     pertanyaan

demografis dan setidaknya satu pertanyaan lain disertakan dalam analisis. Jika tidak ada jawaban untuk suatu pertanyaan,

pertanyaan tersebut dikeluarkan dari analisis. Median dan rentang interkuartil (IQR) dihitung dan dilaporkan untuk pertanyaan dengan skala ordinal. Uji statistik Kruskal-Wallis H dilakukan untuk menentukan perbedaan yang signifikan dalam median tanggapan dan rerata peringkat antara kelompok dokter hewan yang berbeda. Uji statistik Kruskal-Wallis H juga digunakan untuk membandingkan sub-kelompok demografis dalam kelompok dokter hewan serta frekuensi relatif resep kelompok antimikroba yang berbeda untuk pasien mereka. Semua tanggapan "T / A" dan "Tidak yakin" dikeluarkan dari semua analisis statistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Secara keseluruhan, kuesioner ditanggapi sebanyak 204 dokter hewan, yang mewakili 48,34% dari dokter hewan praktisi yang resmi terdaftar sebagai anggota resmi PDHI cabang Bali. Sebesar 69,11% responden (141 orang) dikelompokan sebagai praktisi hewan kecil dan sisanya sebanyak 63 responden (30,88%) dikelompokan menjadi praktisi hewan ternak. Jumlah responden didominasi oleh laki-laki yakni sebesar 58,82% (120 orang) dibandingkan dengan perempuan.

Dokter hewan yang menanggapi survei mewakili berbagai usia dan pengalaman bertahun-tahun sebagai dokter hewan yang berpraktik yang didominasi oleh dokter hewan pengalaman dibawah 10 tahun yang sebanyak 121 orang dan jumlahnya menurun seiring penambahan pengalaman bekerja. Lebih dari sepertiga dokter hewan (39,7%) berpraktik di daerah perkotaan, lebih banyak jika dibandingkan dengan di pedesaan (25%) maupun pada kedua daerah tersebut (35,29%). Tempat kerja mereka didominasi oleh praktisi mandiri (72,05%), disusul oleh pegawai pemerintah (36,76%), pegawai swasta sebanyak 10,29%, kemudian di universitas sebanyak 2,94% dan terakhir sebagai pengusaha sebanyak 1,47%.

Responden melaporkan menangani pasien rata-rata sebanyak 14 pasien tiap minggu (IQR: 11 pasien). Rata-rata pasien yang diberikan antimikroba tiap minggunya adalah tujuh pasien (IQR: sembilan pasien) tanpa perbedaan signifikan yang ditemukan antara satu kelompok dokter hewan dengan kelompok lainnya. Anjing merupakan spesies hewan yang paling banyak ditangani (n =  120) oleh responden

dibandingkan dengan sapi (n = 27), kucing (n = 21), babi (n = 21) dan ayam (n = 15).

Untuk pengobatan pada anjing, tidak ada antimikroba digolongkan 'sering' (median = sering) digunakan oleh responden, sedangkan pada kucing digolongkan 'sering' (median = sering) diberikan antimikroba jenis amoksisillin-klapulanat dan doksisiklin/tetrasikin. Pada babi antimikroba digolongkan “sering” (median = sering) dipakai adalah enrofloksasin dan digolongkan “terkadang” (median = terkadang) dipakai ialah trimethoprim-sulfamethoksazol. Pada sapi antimikroba yang diresepkan mayoritas termasuk dalam golongan tidak pernah (median = tidak pernah) diberikan. Antimikroba yang digunakan di ayam juga sama seperti di babi, didominasi oleh golongan tidak pernah (median = tidak pernah) diberikan (Tabel 1).

Berdasarkan hasil analisis jawaban responden, hampir semua dokter hewan baik kelompok praktisi hewan kecil dan praktisi hewan ternak mengatakan bahwa penentuan pemberian antimikroba adalah tanda klinis pasien, riwayat kesehatan pasien, riwayat penggunaan antimikroba pada pasien, pasien sedang sakit kritis dan / atau imunosupresif, keamanan bagi pasien, pedoman rekomendasi penggunaan obat, bedasarkan hasil uji laboratorium, pengalaman, keadaan kegawatdaruratan, potensi efek samping antimikroba, resiko meningkatnya resistensi antimikroba pada pasien dan resiko resistensi antimikroba di seluruh spesies yang sejenis.

Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan memilih antimikroba yang akan

diresepkan secara 'sangat mempengaruhi' atau ' berpengaruh sedang' terhadap peresepan antimikroba yang tepat untuk semua jenis praktik adalah tanda klinis pasien, riwayat penggunaan antimikroba pada pasien, harga antimikroba, berdasarkan rekomendasi penggunaan, bedasarkan hasil uji laboratorium, pengalaman dokter, persediaan antimikroba, spektrum antimikroba, rute pemberian antimikroba, frekuensi pemberian antimikroba, ukuran atau jumlah pemberian antimikroba, durasi pengobatan, kemudahan melakukan pemberian antimikroba, kepatuhan klien terhadap pemberian obat, potensi efek samping dan berpotensi meningkatkan resistensi antimikroba.

Faktor yang dinilai sebagai penghalang 'cukup' atau 'terkadang' di antara jenis praktik yakni harga antimikroba, kurangnya pedoman yang jelas untuk beberapa kondisi pasien, tekanan waktu, kurangnya tes diagnostik cepat dan kesulitan membuat diagnosis akurat. Hanya dokter hewan praktisi hewan kecil saja yang dilaporkan bahwa biaya uji kultur dan kerentanan menjadi penghambat pemberian antimikroba sedangkan pada dokter hewan ternak dianggap faktor ini tidak berlaku untuk mereka. Faktor lainnya tidak menjadi hambatan dokter hewan dalam meresepkan antimikroba.

Persepsi terhadap penggunaan antimikroba pada semua dokter hewan praktisi hewan kecil merasa lebih bermanfaat mencari sumber informasi dari jurnal ilmiah, refrensi obat, buku pegangan obat, aplikasi pada smart phone, pedoman penggunaan / resep antimikroba nasional, mesin pencari daring, kebijakan / pedoman praktek / sop dan saran dari apoteker jika dibandingkan dengan dokter hewan ternak. Sedangkan dokter hewan kecil dan hewan ternak memiliki kesepahaman terhadap bermanfaatnya faktor pengalaman klinis, pengalaman kuliah, pengalaman saat pendidikan profesi (koas), materi seminar dan workshop, label kemasan antimikroba,

rekan / kolega / supervisor, saran ahli mikrobiologi, saran dari ahli penyakit menular, nasihat spesialis pengendalian infeksi, tim pengawasan antimikroba, perwakilan perusahaan farmasi, informasi dari PDHI, laporan pemerintah dan laporan media massa sebagai sumber informasi mereka. Sedangkan sumber informasi dari matakuliah saat S2 dan materi saat menjalani program spesialisasi dianggap kurang relevan untuk kedua kelompok dokter hewan ini.

Kedua kelompok dokter hewan dalam penelitian ini menyatakan setuju dengan pernyataan antimikroba baru akan terus dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir. Responden lebih sadar akan resistensi antimikroba dan resistensi antimikroba akan menjadi masalah klinis yang lebih besar di masa depan serta responden berpendapat netral terhadap pernyataan antimikroba yang diresepkan berkontribusi pada masalah resistensi antimikroba dan bakteri yang resisten terhadap antimikroba dapat bertahan selama satu tahun pada pasien pasca pengobatan antimikroba. Dokter hewan praktisi hewan kecil menyatakan setuju terhadap pernyataan penggunaan antimikroba pada satu pasien dapat melemahkan keefektifannya pada individu yang sama di masa depan dan penggunaan antimikroba pada satu pasien dapat melemahkan keefektifannya untuk pasien lain di masa mendatang sedangkan dokter hewan ternak berpendapat netral dimana hasil ini berkebalikan dengan pernyataan pemakaian hanya satu jenis antimikroba dapat menyebabkan resistensi antimikroba.

Faktor yang sangat berkontribusi menurut responden dokter hewan kecil dan hewan ternak terhadap AMR adalah pasien / klien tidak menghabiskan antimikroba yang diresepkan. Sedangkan faktor yang berkontribusi untuk kedua jenis praktek ini adalah terlalu banyak meresepkan antimikroba, durasi pengobatan antimikroba yang terlalu lama, dosis antimikroba terlalu rendah, penggunaan antimikroba pada penyakit ringan atau bisa

sembuh sendiri, tidak menghilangkan sumber infeksi, meresepkan antimikroba ketika manfaatnya bagi pasien tidak pasti, meresepkan antimikroba spektrum luas ketika tersedia antimikroba spektrum sempit yang sama efektifnya, kontaminasi lingkungan dengan limbah antimikroba dan perpindahan bakteri resisten antara manusia, hewan dan lingkungan. Pada faktor melanjutkan terapi antimikroba tanpa pemeriksaan laboratorium, dokter hewan ternak berpendapat bahwa faktor tersebut sangat berkontribusi terhadap AMR dibandingkan dengan dokter hewan hewan kecil yang menganggap faktor tersebut cukup berkontribusi tetapi dokter hewan ternak menganggap faktor kebersihan tangan yang buruk dan kebersihan lingkungan yang buruk dianggap sedikit berkontribusi dibandingkan dengan dokter hewan kecil yang menganggap cukup berkontribusi.

Masalah AMR terhadap rumah sakit medis manusia, masyarakat umum, hewan ternak dan industri peternakan dan makanan hewan menurut kedua kelompok responden dikategorikan cukup bermasalah. Sedangkan faktor diri sendiri, pasien saya, penghuni di panti jompo dan kesehatan anjing serta kucing dianggap sedikit bermasalah. Dokter hewan ternak menyatakan faktor kesehatan pasien di rumah sakit gigi manusia dan dan pasien di klinik hewan dalam masalah AMR dikategorikan cukup bermasalah dimana berbeda dengan kelompok lainnya yang menyatakan sedikit bermasalah.

Pembahasan

Pedoman peresepan antimikroba saat ini dalam praktik veteriner berfokus pada indikasi klinis, mikrobiologis dan farmakologis (Beco et al., 2013). Studi antimikroba di hewan saat ini mayoritas pada pasien sentris (focus on patient) seperti tanda dan riwayat klinis pasien, sifat penyakit, keselamatan pasien, riwayat penggunaan antimikroba, potensi efek samping dan mikroba-sentris (focus on germ) seperti hasil kultur dan uji kerentanan, serta faktor-faktor yang

berpusat pada dokter hewan. Beberapa faktor ini seperti tes sensitivitas, pengalaman praktik, risiko meningkatnya resistensi antimikroba dan kemudahan pemberian. telah diidentifikasi sebagai pendorong utama untuk memutuskan memakai antimikroba (De Briyne et al., 2013).

Responden melaporkan bahwa tekanan dari klien atau kolega mereka memiliki pengaruh yang sangat kecil. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian dari Hardefeldt et al., (2018), yang menemukan bahwa dokter hewan merasa ditekan oleh klien untuk menawarkan beberapa bentuk pengobatan dan sebagian klien meminta terapi antimikroba tanpa konsultasi formal. Smith et al., (2018), menemukan bahwa pemilik hewan di Inggris mendorong pemilihan antimikroba tertentu dan pemilik hewan merasa diberi resep berlebihan.

Biaya kultur dan uji kepekaan antimikroba telah diidentifikasi secara global sebagai penghalang/ kendala yang konsisten untuk peresepan antimikroba yang tepat oleh dokter hewan (Hardefeldt et al., 2018). Sementara dokter hewan di semua jenis praktik tetap khawatir tentang risiko meningkatkan AMR pada pasien mereka atau di dalam masyarakat, biaya tetap menjadi penghalang/ kendala untuk mendapatkan kultur mikroba dan uji kepekaan antimikroba (Hardefeldt et al., 2018). Studi proses pengambilan keputusan dokter hewan di Eropa ketika memilih antimikroba untuk meresepkan dimana De Briyne et al., (2013), menemukan uji kepekaan antimikroba biasanya dilakukan setelah terjadi kegagalan pengobatan. Hasil penelitian ini memperkuat argumen bahwa pedoman peresepan antimikroba yang mencakup penyakit dan prosedur sangat diperlukan (Weese et al., 2019).

Penggunaan antimikroba pada hewan ternak telah menjadi fokus dari peningkatan jumlah penelitian resistensi antimikroba (Tang et al., 2017). Kolaborasi antara profesi dokter hewan dan sektor perternakan telah berhasil di negara-negara

seperti Belanda, di mana kemitraan yang diawasi oleh pemerintah berfokus pada pemantauan penggunaan, penerapan target pengurangan dan peningkatan fokus pada kesehatan ternak dan rencana kesehatan wajib. Hal ini telah menghasilkan penurunan hingga 58% total konsumsi antimikroba pada hewan ternak (Postma et al., 2016).

Dalam penelitian ini, antimikroba dilaporkan diberikan lebih dari 50% pasien yang ditangani dokter hewan. Hasil ini jauh melebihi dari laporan di Inggris, di mana antimikroba diresepkan pada 21% pasien kucing dan 25% pasien anjing (Buckland et al., 2016) dan dari 1 juta catatan medis hewan di Inggris, 17,5% kucing dan 18,8% anjing diberikan resep antimikroba (Singleton et al., 2017).

Dalam studi ini, ditemukan bahwa antimikroba spektrum luas lebih disukai kedua kelompok dokter hewan daripada antimikrona yang memiliki spektrum sempit. Penggunaan amoksisilin-klavulanat dengan frekuensi ‘terkadang’ pada hewan kecil yang dilaporkan dalam penelitian ini merupakan masalah secara global (Singleton et al., 2017). Antimikroba ini telah menjadi andalan terapi empiris untuk berbagai penyakit klinis dalam praktek hewan kecil (Hardefeldt et al., 2017).

Dokter hewan praktisi hewan kecil menganggap kontribusi mereka terhadap AMR sebagai 'cukup' sebanding dengan penggunaan antimikroba dalam industri peternakan dan akuakultur. Perbedaan antara pengetahuan dan penggunaan ini didorong oleh faktor-faktor pada pasien seperti tanda-tanda klinis pasien dan sifat kritis penyakit. Sementara penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperbaiki dan lebih memahami hubungan antara pengetahuan dan penggunaan ini, ketersediaan formulasi antimikroba spektrum sempit yang tepat untuk pasien sangat penting untuk keberhasilan program penatagunaan antimikroba (Hardefeldt, 2018).

Indonesia saat ini tidak memiliki program pengawasan penggunaan antimikroba dan AMR yang holistik dan kompeten secara nasional yang berfokus pada hewan. Sejumlah survei di negara lain telah mengkonfirmasi risiko kesehatan masyarakat yang rendah di sektor pangan hewani yang terkait dengan resistensi, termasuk terhadap obat-obatan yang sangat penting seperti fluoroquinolon (Van Breda et al., 2018). Studi surveilans resistensi antimikroba hewan di Australia pada Staphylococcus spp. dan Escherichia coli, menemukan frekuensi resistensi antimikroba yang lebih tinggi pada hewan kecil daripada hewan ternak (Saputra et al., 2017). Dalam penanganan resistensi di Indonesia diperlukan jaringan surveilans AMR nasional yang mencakup isolat bakteri resisten dan non resisten, frekuensi pengobatan antimikroba, perkembangan masalah AMR serta memperkirakan dampak lingkungan dari penggunaan antimikroba tertentu.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemberian antimikroba oleh dokter hewan kepada pasien yakni riwayat penggunaan antimikroba, tingkat keamanannya, pengalaman, potensi efek samping, resiko meningkatnya resistensi antimikroba. Biaya uji kultur dan harga antimikroba menjadi hambatan terbesar bagi dokter hewan praktisi hewan kecil tetapi tidak bagi dokter hewan praktisi hewan ternak. Seluruh responden mengakui bahwa sebagian besar sumber informasi mengenai AMR mudah didapatkan dan AMR merupakan ancaman bersama yang serius di masa mendatang.

Saran

Perlu dilakukan penelitian terhadap faktor yang mempengaruhi perilaku dan persepsi pemberian antimikroba oleh masyarakat yang bukan berprofesi sebagai dokter. Diperlukan pula regulasi dan pengawasan yang ketat terhadap distribusi

dan peredaran obat hewan yang mengandung antimikroba.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada ketua dan pengurus PDHI cabang Bali yang sudah membantu penelitian ini dengan memberikan data dokter hewan praktisi di Provinsi Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Aarestrup FM. 2005. Veterinary drug usage and antimicrobial resistance in bacteria of animal origin. Basic Clin. Pharmacol. Toxicol. 96: 271–281.

Beco L, Guaguere E, Mendez CL, Noli C, Nuttall T, Vroom M. 2013. Suggested guidelines for using systemic antimicrobials in bacterial skin infections (2): antimicrobial choice, treatment regimens and compliance. Vet. Rec. 172: 156–160.

Bhaskara IBM, Budiasa K, Gelgel KTP. 2012. Uji kepekaan escherichia coli sebagai penyebab kolibasilosis pada babi muda terhadap antibiotika oksitetrasiklin, streptomisin, kanamisin dan gentamisin. Indon. Med. Vet. 1(2): 186-201.

Buckland EL, O’Neill D, Summers J, Mateus A, Church D, Redmond L, Brodbelt D. 2016. Characterisation of antimicrobial usage in cats and dogs attending UK primary care companion animal veterinary practices. Vet. Rec. 179: 489.

Butaye P, Devriese LA, Haesebrouck F. 2003. Antimicrobial growth promoters used in animal feed: effects of less well-known antibiotics on gram-positive bacteria. Clin. Microbiol. Rev.  16(2):

175–188.

Coyne LA, Latham SM, Williams NJ, Dawson S, Donald IJ, Pearson RB. 2016. Understanding the culture of antimicrobial prescribing in agriculture: a qualitative study of UK pig veterinary surgeons. J. Antimicrob. Chemother. 71: 3300–3312.

De Briyne N, Atkinson J, Pokludova L, Borriello SP, Price S. 2013. Factors influencing antibiotic prescribing habits and use of sensitivity testing amongst veterinarians in Europe. Vet. Rec. 173: 475.

Economou V, Gousia P. 2015. Agriculture and food animals as a source of antimicrobial-resistant bacteria. Infect. Drug Resist. 8: 49–61.

Founou RC, Founou LL, Essack SY. 2017. Clinical and economic  impact of

antibiotic resistance in  developing

countries: a systematic review and metaanalysis. PLoS One. 12: e0189621.

Hardefeldt LY, Browning GF, Thursky K, Gilkerson JR, Billman-Jacobe H, Stevenson MA, Bailey KE. 2017. Antimicrobials used for surgical prophylaxis by companion animal veterinarians in Australia. Vet. Microbiol. 203: 301–307.

Hardefeldt LY, Gilkerson JR, Billman-Jacobe H, Stevenson MA, Thursky K. 2018. Barriers to and enablers of implementing antimicrobial stewardship programs in veterinary practices. J. Vet. Internal Med. 32: 1092–1099.

Kuzi S, Blum S, Kahane N, Adler A, Hussein O, Segev G. 2016. Multidrug resistant Acinetobacter calcoaceticus – Acinetobacter baumannii complex infection outbreak in dogs and cats in a veterinary hospital. J. Small Anim. Pract. 57(11): 617-625.

Marshall BM, Levy SB. 2011. Food animals and antimicrobials: Impacts on human health. Clin. Microbiol. Rev. 24(4): 718-733.

Masyeni S, Sukmawati H, Siskayani AS, Dharmayanti S, Sari K. 2018. Antimicrobial susceptibility pattern of pathogens isolated from various specimens in denpasar-bali: a two years retrospective study. Biomed. Pharmacol. J. 11(1): 493-502.

Mustika OC, Pinatih KJP, Suardana IW. 2015. Antibiotic resistance profiles of escherichia coli o157:h7 in cattle at

South-Kuta, Badung Regency, Bali, Indonesia. Glob. Vet. 15(5): 480-484.

Norris JM, Zhuo A, Govendir M, Rowbotham SJ, Labbate M, Degeling C, Gilbert GL, Dominey-Howes D, Wardet MP 2019. Correction:   Factors

influencing the behaviour and perceptions of Australian veterinarians towards antibiotic use and antimicrobial resistance. PLOS ONE. 14(10): e0224844.

Postma M, Speksnijder DC, Jaarsma AD, Verheij TJ, Wagenaar JA, Dewulf J. 2016. Opinions of veterinarians on antimicrobial use in farm animals in Flanders and the Netherlands. Vet. Rec. 179: 68.

Prasetya RR, Poetranto ED, Handijatno D. 2017. Identifikasi gen aerolysin dan sensitivitas antibiotik aeromonas hydrophila penyebab kematian tukik (lepidochelys olivacea) di Pulau Serangan, Bali. J. Vet. 18(2): 201-206.

Saputra S, Jordan D, Mitchell T, Wong HS, Abraham RJ, Kidsley A, Turnidge J, Trott DJ, Abraham S. 2017. Antimicrobial resistance in clinical Escherichia coli isolated from companion animals in Australia. Vet. Microbiol. 211: 43–50.

Shrestha P, Cooper BS, Coast J. 2018. Enumerating the economic cost of antimicrobial resistance per antibiotic consumed to inform the evaluation of interventions affecting their use. Antimicrob. Res. Infect. Control. 17(1): 98.

Singleton DA, Sanchez-Vizcaino F, Dawson S, Jones PH, Noble PJM, Pinchbeck GL, Williams NJ, Radford AD. 2017. Patterns of antimicrobial agent prescription in a sentinel population of canine and feline veterinary practices in the United Kingdom. Vet. J. 224: 18–24.

Smith M, King C, Davis M, Dickson A, Park J. 2018. Pet owner and vet interactions: exploring the drivers of

AMR. Antimicrob. Resist. Infect. Control. 7(46): 1-9.

Speksnijder DC, Jaarsma DAC, Verheij TJM, Wagenaar JA. 2015. Attitudes and perceptions of Dutch veterinarians on their role in the reduction of antimicrobial use in farm animals. Prev. Vet. Med. 121: 365–373.

Suharsa IWA, Suarjana, IGK, Gelgel KTP. 2015. Pola kepekaan e coli yang diisolasi dari feses broiler penderita diare terhadap sulfametoksazol, ampisilin dan oksitetrasiklin. Bul. Vet. Udayana. 7(2): 101-106.

Tang KL, Caffrey NP, Nóbrega DB, Cork SC, Ronksley PE, Barkema HW, Polachek AJ, Ganshorn H, Sharma N, Kellner JD, Ghali WA 2017. Restricting the use of antibiotics in food-producing animals and its associations with antibiotikaresistance in food-producing animals and human beings: a systematic

review and meta-analysis. The Lancet Planet. Health. 1: e316–e327.

Van Breda LK, Dhungyel OP, Ward MP. 2018. Antibiotic resistant E. coli in southeastern Australian pig herds and implications for surveillance. Zoon. Pub. Health. 65: e1–e7.

Walther B, Tedin K, Lübke-Becker A. 2017. Multidrug-resistant       opportunistic

pathogens challenging veterinary infection control. Vet. Microbiol. 200: 71-78.

Weese JS, Blondeau J, Boothe D, Guardabassi LG, Gumley N, Papich M, Jessen LR, Lappin M, Rankin S, Westropp, Skyes J. 2019. International Society for Companion Animal Infectious     Diseases     (ISCAID)

guidelines for the diagnosis and management of bacterial urinary tract infections in dogs and cats. The Vet. J. 247: 8–25.

Tabel 1. Frekuensi pemberian antimikroba ke pasien oleh Dokter Hewan bedasarkan spesies hewan yang paling sering ditanganai

Antimikroba

Anjing

Kucing

Babi

Sapi

Ayam

Penisilin G

J

TP

TP

TP

TP

Amoksisillin-Klapulanat

T

TP

TP

TP

T

Ampisillin

J

TP

TP

TP

J

Sefalosporin

J

TP

TP

TP

TP

Penisilin – Streptomisisn

J

J

J

J

J

Cefotaxime

J

TP

J

TP

TP

Cephaleksin

J

TP

TP

TP

TP

Ceftiofur

TP

TP

TP

TP

TP

Azithromisin

TP

TP

TP

TP

TP

Erithromisin

TP

J

J

TP

TP

Khloramphenikol

J

TP

TP

TP

TP

Ciprofloksasin

J

J

J

J

T

Enrofloksasin

J

TP

S

T

T

Marbofloksasin

TP

TP

J

TP

TP

Clindamisin

TP

TP

TP

TP

TP

Doksisiklin

T

J

J

J

TP

Gentamisin

J

TP

TP

TP

TP

Metronidazol

T

J

J

J

TP

Rifampisin

TP

TP

TP

TP

TP

Trimethoprim-sulfamethoksazol

J

T

T

TP

T

Polymiksin B

TP

TP

TP

TP

T

NB. Rentang skala yang dipergunakan yakni: Tidak Pernah (TP), Jarang (J), Terkadang (T) dan Sering (S)

713