ANALISA TINDAKAN PENGGELEDAHAN KAPAL

KARGO TURKI OLEH JERMAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Putu Jeremy Rhesa Purwita, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Made Maharta Yasa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan artikel ini memiliki tujuan untuk mengkaji kronologi, permasalahan dan legalitas pada kasus penggeledahan kapal kargo Turki oleh Jerman dan Yunani saat membawa bantuan kemanusiaan ke Libya. Penelitian dilakukan dikarenakan Jerman dan Yunani menggeledah kapal kargo berbendera Turki dengan paksa tanpa seizin Turki. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif didukung jenis pendekatan analisa konsep hukum dan perundang-undangan serta menggunakan teknik analisa data deskriptif kualitatif. Hasil kajian ini menunjukkan penggeledahan Kapal Vessel Turki Rosaline A dilakukan oleh awak Kapal Fregat Hamburg milik Jerman di Laut Mediterania Timur dilakukan dengan alasan kapal tersebut dicurigai melakukan penyelundupan senjata ke Libya. Tindakan penggeledahan tanpa izin negara bendera kapal telah bertentangan dengan prinsip non-intervension karena negara memiliki kedaulatan dan kesamaan kedudukan dengan negara-negara lainnya berdasarkan Pasal 2 ayat 4 dan 7 Piagam PBB. Dalam kasus ini, terungkap bahwa Jerman tidak memiliki izin untuk memeriksa kapal Turki baik dari negara bendera yaitu Turki maupun Libya. Merujuk pada Pasal 110 ayat (3) UNCLOS 1982, Turki berhak menuntut ganti rugi kepada Jerman atas kerugian yang dialami Turki akibat tindakan penggeledahan Jerman.

Kata Kunci: Legalitas, Penggeledahan, Kapal Kargo, Hukum Laut Internasional

ABSTRACT

The purpose of this article is to examine the chronology, problems and legality of the case of the search for a Turkish cargo ship by Germany and Greece while providing humanitarian aid to Libya. The research was conducted because Germany and Greece searched Turkish-flagged cargo ships by force without Turkey's permission. This study uses a juridical-normative type of research, supported by an analytical approach to the concept of law and legislation and uses qualitative descriptive data analysis techniques. The results of this study show that the search of the Turkish Vessel Rosaline A by the German frigate Hamburg in the East Mediterranean Sea was carried out on the grounds of suspicion of arms smuggling to Libya. The act of raiding without a flag permit is contrary to the principle of non-intervention because the state has ownership and equal status with Article 2 paragraphs 4 and 7 of the United Nations Charter. In this case, it was revealed that Germany did not have permission to inspect Turkish ships from either the flag states, namely Turkey or Libya. Referring to Article 110 paragraph (3) of UNCLOS 1982, Turkey has the right to claim compensation for losses suffered by Germany as a result of the German search.

Keywords: Legality, Search, Cargo Ship, International Law of the Sea

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Hampir satu dekade berlalu konflik bersenjata di Libya masih berlangsung hingga detik ini. Konflik yang bermula pada 15 Februari 2011 dipicu oleh demonstrasi warga sipil menuntut dilakukannya revolusi di negaranya sebagai siklus domino revolusi di Kawasan Afrika – Timur Tengah untuk merobohkan pemerintahan diktator yang berkuasa. Demonstrasi itupun terjadi hampir di seluruh bagian negara Libya yang kemudian menjadi konflik bersenjata dalam negeri. Pertikaian terjadi antara pasukan militer pemerintah dan demonstran anti-pemerintah yang hendak menganti pemerintahan yang saat itu dikuasai oleh presiden Muammar Kaddafi lebih kurang selama 4 dekade.1 Hingga akhirnya presiden Muamamar Kaddafi berhasil dilengserkan dan puncuk pimpinan silih berganti dalam waktu yang cepat dikarenakan masih terdapat dualisme kepemimpinan di Libya. Hal ini semakin memperparah konflik bersenjata di negara tersebut hingga berlanjut sampai saat ini. Tentunya konflik tersebut telah banyak memakan korban jiwa baik tentara maupun warga sipil.2

Terjadinya krisis di Libya hingga menjadi konflik bersenjata dan mengancam keamanan warga sipil, mendapatkan perhatian dunia sejak tahun 2011 sampai pada akhirnya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (“DK PBB”) melalui melakukan pertemuan dengan para anggotanya untuk menyikapi konflik yang terjadi di Libya. Sampai pada akhirnya pada pertemuan/sidang DK PBB menghasilkan dua resolusi sebagai bentuk komitmen DK PBB menjaga keamanan dan ketertiban dunia termasuk melindungi hak asasi manusia warga sipil yang terancam di seluruh dunia. Hasil pada sidang pertama DK PBB yaitu United Nations Security Council Resolution Number S/RES/1970 (2011) (“Resolusi 1970”) dan pada sidang kedua menghasilkan United Nations Security Council Resolution Number S/RES/1973 (2011) (“Resolusi 1973”).3 Bahwa Resolusi 1970 nyatanya tidak pernah ditaati oleh militer pro pemerintahan Khaddafi terlihat dari semakin masifnya terjadi penyerangan terhadap warga sipil oleh militer bersenjata yang dilakukan melalui serangan darat maupun udara.4 Mempertimbangkan keadaan tersebut, DK PBB pun mengambil langkah cepat melalui penerbitan Resolusi 1973 guna merendam konflik bersenjata yang mengancam nyawa warga sipil dan meminimalisasi pelanggaran HAM di Libya.5

Kedua resolusi tersebut pada prinsipnya mengatur hal yang sama salah satunya mengenai penerapan embargo senjata.6 Terkhusus mengenai aturan embargo senjata (arm embargo) di Libya dilakukan untuk menghambat dan menghentikan

adanya pasokan persenjataan bagi pasukan yang menyerang warga sipil agar konflik bersenjata cepat berakhir. Kenyataannya sampai saat ini, 2021, konflik bersenjata tersebut masih terjadi. Diduga terdapat beberapa pihak baik negara ataupun organisasi tertentu telah melanggar Resolusi 1970 dan 1973 mengenai embargo senjata dengan tetap memberikan dukungan persenjataan kepada kelompok yang bertikai. Meskipun DK PBB telah menyerukan dan meminta kepada negara anggota untuk mencegah terjadinya penyelundupan senjata ke Libya tampaknya tidak berjalan efektif karena masih seiring terjadi pengiriman senjata baik secara langsung maupun tidak langsung.7

Modus yang sering diungkapkan oleh negara anggota yang berjaga disekitar arus pelayaran bahwa pengiriman senjata dilakukan dengan menyelundupkan pada saat dilakukan pengiriman senjata untuk tujuan kemanusiaan ke pasukan dibawah naungan PBB ataupun organisasi internasional yang diperbolehkan oleh Resolusi 1970 dan konvensi internasional lainnya dalam misi yang dikenal sebagai Operation Odyysey Dawn yang dipimpin oleh Amerika Serikat.8 Selanjutnya operasi itu berubah kepemimpinan dan Namanya tepat pada 23 Maret 2011 yang kepemimpinan Amerika Serikat digantikan oleh North Atlantic Treaty Organization (“NATO”) Joint Forces Command Naples dibawah operasi Operation Unified Protector. Operasi tersebut kemudian dipimpin oleh Wakil Italia di NATO, Laksamana Rinaldo Veri dengan jabatan sebagai Komando Maritim Naples.9 Hampir sebagian markas udara dan pelabuhan NATO berada di Italia karena posisi geopolitik, Italia yang berhadapan langsung dengan garis pantai Libya. Untuk itulah pimpinan Operasi dibawah perwakilan Italia.10

Dalam perkembangannya, negara ataupun organisasi regional negara mulai ikut dalam Operasi pengamanan wilayah sekitar Libya untuk melaksanakan kentetuan embargo senjata dan mencegah adanya penyelundupan senjata ke wilayah Libya. Salah satunya misi Angkatan Laut Uni Eropa dibawah komando negara Yunani. Misinya telah banyak menghalau atau menggagalkan penyelundupan senjata ke Libya melalui tindakan prentifnya yaitu memeriksa setiap kapal yang ke dan dari Libya. Tidak semua tindakan tersebut mendapatkan respons positif dari negara lain yang berlayar di sekitar wilayah perairan Libya. Misalnya kasus yang terjadi dan cukup menarik perhatian dunia pada November 2020 lalu, yaitu penggeledahan Kapal Vessel Turki Rosaline A berbendera Turki yang berada 200 km dari pesisir Libya.

Penggeledahan Kapal Vessel Turki Rosaline A berbenderaTurki dilakukan oleh awak Kapal Fregat Hamburg milik Jerman terjadi pada 23 November 2020. Penggeledahan oleh pihak Jerman yang dilakukan dalam waktu yang cukup lama didasarkan atas pelaksanaan tugasnya dibawah komando Yunani di Laut Mediteranian Timur adalah illegal sebagaimana pernyataan resmi pemerintah Turki. Menurut keterangan yang disampaikan pemerintah Turki, kapalnya tidak melakukan tindakan yang melanggar aturan hukum internasional termasuk Resolusi DK PBB. Jelas dinyatakan bahwa kapal Turki membawa bantuan kemanusiaa untuk warga sipil

Libya yang menjadi korban konflik bersenjata dan berada dalam pengusian. Akan tetapi, pihak Jerman menyatakan bahwa Kapal Kargo berbendera Turki tersebut dicurigai membawa suplai senjata untuk tentara pro pemerintah yang berkuasa saat ini, berdasarkan Resolusi 1970 dan Resolusi 1973 otoritas Jerman yang sedang berpatroli berwenang untuk memeriksa kapal tersebut. Hal ini merujuk pada pengalaman operasi sebelumnya yang mana pasukan patroli Uni Eropa dapat membendung atau mencegah terjadi penyelundupan senjata oleh kelompok tertentu ke Libya melalu jalur tersebut. Pernyataan ini kemudian disangkal oleh Juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki, Hami Aksoy, yang mengatakan bahwa “Kapten Roseline telah berbagi informasi dengan Hamburg tentang perjalanan kapal dan jalurnya.”11 Tegas dinyatakan oleh pihak Turki penggeledahan tersebut telah melanggar hukum laut internasional karena pemeriksaan tidak memiliki izin negara bendera dan memperlakukan awak kapal dengan tidak manusiawi.12 Pihak Turki juga menegaskan bahwa Resolusi 1970 dan Resolusi 1973 mengenai embargo senjata tetap menghormati kedaulatan negara bendera kapal dan dilakukan berdasarkan ketentuan United Nations Convention on the Law of the Sea.13 Untuk itu perlu ditelaah kembali dengan melakukan penelitian guna menjawab tindakan penggeledahan paksa merupakan tindakan melawan hukum atau tidak, dengan penelitian yang berjudul “Analisa Tindakan Penggeledahan Kapal Kargo Turki Oleh Jerman Menurut Hukum Laut Internasional.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Merujuk pada uraian tersebut, rumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana kronologis kasus penggeledahan kapal kargo Turki oleh Jerman dan Yunani saat membawa bantuan kemanusiaan ke Libya dianalisis dari sudut pandang hukum internasional? Dan apakah tindakan penggeledahan kapal kargo tanpa seizin negara benderanya sah menurut hukum laut internasional?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa kronologis kasus penggeledahan kapal kargo Turki oleh Jerman saat membawa bantuan kemanusiaan ke Libya serta untuk menganalisa legalitas penggeledahan kapal kargo berbendera resmi oleh negara lain yang dilakukan tanpa persetujuan menurut hukum laut internasional.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum untuk meneliti suatu norma, asas dan/atau doktrin hukum.14 Adapun jenis pendekatan yang digunakan untuk menunjang penelitian ini yaitu pertama pendekatan perundang-undangan diterapkan untuk mengkaji semua produk hukum mulai dari undang-undang hingga peraturan yang relevan dengan ruang lingkup permasalahan yang diteliti.15 Penelitian ini menitikberatkan pada argumentasi hukum yang dibangun dalam kajian peraturan hukum yang ada yakni Charter Of The United Nations, United Nations Convention on the Law of the Sea, United Nations Security Council Resolution Number S/RES/1973 (2011), dan United Nations Security Council Resolution Number S/RES/1970 (2011), sedangkan pendekatan kedua yaitu pendekatan analisis konsep hukum digunakan untuk mengkaji legalitas penggeledahan kapal kargo berbendera resmi oleh negara lain yang dilakukan tanpa izin menurut hukum laut internasional. Teknik studi dokumen diaplikasikan dalam jurnal ini sebagai teknik penelusuran bahan hukum dengan analisis kualitatif sebagai analisis kajian.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Kronologis Tindakan Penggeledahan Kapal Kargo Turki oleh Jerman Saat Berlayar di Laut Mediterania Dianalisis Dari Sudut Pandang Hukum Internasional

Salah satu poin penting dari Resolusi 1970 dan Resolusi 1973 adalah adanya embargo senjata ke Libya dengan tujuan menghentikan pasokan senjata kepada tentara pro-pemerintahan militer yang telah terjadi selama hampir satu dekade terakhir. Dikeluarkannya Resolusi 1970 dan Resolusi 1973 menandai dimulainya operasi di wilayah Laut Tengah oleh beberapa negara termasuk negara-negara Uni Eropa untuk mengamankan jalur laut agar tidak terjadi penyelundupan senjata ke Libya. Setiap tahunnya, dalam sidang anggota DK PBB telah disetujui untuk memperpanjang satu tahun untuk embargo aliran senjata ke Libya. Untuk sidang terakhir yaitu 5 Mei 2020 ditegas dengan suara bulat menyetujui perpanjangan embargo senjata di Libya dalam pertemuan DK PBB secara virtual. Operasi oleh berbagai negara maupun organisasi regional dalam pengamanan jalur laut diberikan kewenangan untuk memeriksa kapal-kapal yang melintas di laut lepas di lepas pantai Libya yang disinyalir melanggar embargo senjata berdasarkan ketentuan yang dibenarkan menurut aturan yang berlaku.16 Dasar inilah yang kemudian menjadi legitimasi kapal Angkatan laut negara yang berpatroli di Laut Mediteranian memeriksa kapal-kapal yang melintas guna memastikan agar tidak terjadi penyelundupan senjata ke Libya.

Sebagaimana diberitakan beberapa media internasional, Kapal Vessel Turki Rosaline A yang sedang berlayar dalam radius 124,274 mil dari pesisir Libya dalam wilayah perairan Mediteranian dihentikan oleh Kapal Fregat Hamburg milik Jerman dalam misi pencegahan penyelundupan senjata ke Libya yang sedang berpatroli yang terjadi hari Minggu 22 November 2020.17 Penggeledahan dilakukan oleh Jerman karena menyurigai adanya tindakan penyelundupan senjata ke Libya oleh kapal Turki. Hal ini

dikarenakan adanya keberpihakan pemerintah Turki terhadap pemerintahan GNA yang sedang berkuasa saat ini di Libya dan berjuang melawan kudeta pasukan militer pro Khalifa Haftar.18 Hal mana diketahui bahwa Turki mendukung pemerintahan GNA yang berkedudukan di ibukota Tripoli, Libya. Selain itu, kecurigaan Jerman juga didasarkan pada kejadian sebelumnya sekitar bulan Juni, Angkatan laut Prancis yang sedang berpatroli juga mendeteksi pergerakan kapal berbendera Turki mendekati perairan Libya yang diduga menyelundupkan senjata untuk pasukan GNA di Tripoli, Libya. Tuduhan tersebut disanggah Turki yang menyatakan bahwa Turki membawa bantuan kemanusian untuk warga sipil. Atas kejadian itu, hubungan diplomatic kedua negara sempat memanas.19 Terlebih lagi Aksoy mengatakan bahwa “netralitas Operasi Irini diragukan karena dimulai tanpa negosiasi baik dengan pemerintah Libya yang sah atau Turki atau NATO, menyebut standar ganda dan pendekatan yang melanggar hukum terhadap kapal yang berlayar dari Turki ke Libya tidak dapat diterima.”20

Turki mengklaim bahwa tindakan penggeledahan Jerman atas kapal kargo berbendera negaranya yang membawa bantuan kemanusian, makanan, dan cat untuk Libya yang tengah dilanda perang saudara adalah tindakan illegal. Tindakan penggeledahan tersebut dilakukan tanpa persetujuan pihak negara bendera kapal. Meskipun nahkoda kapal berbendara Turki tersebut telah memberikan peringatan kepada Jerman telah diperingatkan, namun tentara Jerman tetap menaiki kapal dan memerikasa awak dan bawaan kapal dengan ancaman kekerasan sebagaimana rekaman yang dilaporkan pihak Tukri kepada media.21

Turki juga menayangkan rekaman saat kejadian yang terekam CCTV yang menunjukkan adanya kekerasan terhadap awak kapalnya oleh pasukan Jerman yang bersenjata dan menggenakan seragam militernya dengan mengumpulkan awak kapal dengan posisi tangan di atas kepala mereka.22 Jikapun ingin melakukan pemeriksaan untuk melaksanakan misi pengawasan pelaksanaan embargo senjata di Libya sebagaimana termuat dalam Resolusi 1970 dan Resolusi 1073, menurut pihak Turki tetap saja tentara Jerman harus tetap menunggu izin dari otoritas Turki untuk naik ke kapal yang berbendera negaranya. Jerman membatah bahwa tindakan tersebut tidak menyalahi prosedur pemeriksaan kapal yang melitas di wilayah itu. Jerman memutuskan menaiki kapal Turki dikarenakan izin yang mereka ajukan 4 jam sebelumnya tidak ditanggapi oleh kapten kapal ataupun ototitas Turki yang berwenang, sehingga Jerman memutuskan naik sebagaimana praktik standar sebagai izin implisit yang dibenarkan dalam situasi tertentu dalam rangka penegakan pelaksanaan embargo senjata untuk segera mengakhiri konflik bersenjata di Libya.23

Atas tindakan Jerman tersebut, Turki telah menyiapkan langkah-langkah yang akan ditempuh untuk meminta pertanggungjawaban Jerman atas tindakan penggeledahan illegalnya tersebut. Pentingnya persetujuan negara bendera kapal adalah izin yang wajib dipenuhi oleh kapal bendera lain untuk dapat dilakukan pemeriksaan, termasuk dalam situasi menjelankan tugas patroli. Telah tegas pula diatur dalam Resolusi 1979 dan 1973 bahwa embargo senjata yang berlangsung do

Libya bukan berarti dapat menghentikan kapa lasing yang membawa bantuan kemanusiaan. Pihak Turki juga menekankan bahwa tindakan penggeledahan itu bukan hal yang berdasarkan dan untuk tujuan keamanan wilayah perairan tersebut, melainkan terdapat motif politik sebagai hasil kerja sama Jerman dengan Yunani, yang memiliki agenda politik yang tersembunyi pada tindakan tersebut. Pihak Turki juga menjelaskan bahwa penggeladahan kapal berbendera yang sedang berlayar di laut lepas hanya dengan izin dari negara bendera kapal. Dalam hal kapal berlayar diwilayah territorial suatu negara, penting pula mendapatkan izin negeri yang bersangkutan, dalam hal ini persetujuan dari pemerintah Libya. Nyatanya, militer Jerman tidak mengajukan izin tersebut, padahal mereka menyatakan bahwa kapal Turki berada dekat di pesisir Libya.

  • 3.2.    Legalitas Tindakan Penggeledahan Kapal Kargo Turki oleh Jerman dan Yunani Menurut Hukum Laut Internasional

Hukum internasional mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan dan kesamaan kedudukan dengan negara lainnya. Tidak hanya itu, hukum internasional pun mengakui bahwa setiap negara memiliki yurisdiksi atas setiap benda, orang dan segala peristiwa yang terjadi di wilayah teritorialnya berdasarkan prinsip NonIntervention yang diatur dalam Pasal 2 ayat 4 dan 7 Piagam PBB, sebagai berikut:24

Article 2 (4):

“All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.”

(Seluruh anggota dalam hubungan internasional mereka menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa Bangsa).25 Article 2 (7):

“Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VII.”

(Tidak ada satu ketentuanpun dalam Piagam ini yang memberi kuasa kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri suatu negara atau mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan Piagam ini; akan tetapi prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan seperti tercantum dalam Bab VII).26

Berdasarkan ketentuan tersebut, penting untuk dipahami bahwa negara memiliki kedaulatan dan kesamaan kedudukan dengan negara-negara lainnya dan menurut Piagam PBB mengakui bahwa setiap negara memiliki yurisdiksi teritorialnya, termasuk di dalamnya wilayah ektrateritorial yaitu kapal berbendera negara tersebut. Kaitannya dalam kasus penggeledahan Kapal Kargo berbendera Turki oleh Kapam Fregerat Jerman dapat terkualifikasi sebagai tindakan intervasi atas kedualatan Turki atas kapal berbendera negaranya. Hal ini dikarenakan Jerman dalam melakukan tindakan penggeledahan tidak mendapatkan izin dan persetujuan negara bendera kapal untuk melakukan pemeriksaan, namun pihak Jerman tetap melakukan hal tersebut sebagaimana klaim pihak Turki. Apabila merujuk pada prinsip non-intervansion, Jerman dapat dikatakan telah melanggar ketentuan tersebut. Dalam hal Jerman terbukti melakukan tindakan penggeledahan dengan motif politik sebagaimana tuduhan Turki melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negerinya.

Berlaku sebaliknya, bilamana Jerman dapat membuktikan bahwa tindakan penggeledahan tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pengawasan pemberlakuan embargo senjata di Libya dengan dasar Resolusi 1970 dan Resolusi 1973 yang selengkapnya berbunyi:

Resolution 1970 (2011) tentang embargo senjata

  • Article 9:

Decides that all Member States shall immediately take the necessary measures to prevent the direct or indirect supply, sale or transfer to the Libyan Arab Jamahiriya, from or through their territories or by their nationals, or using their flag vessels or aircraft, of arms and related materiel of all types, including weapons and ammunition, military vehicles and equipment, paramilitary equipment, and spare parts for the aforementioned, and technical assistance, training, financial or other assistance, related to military activities or the provision, maintenance or use of any arms and related materiel, including the provision of armed mercenary personnel whether or not originating in their territories, … “

(Memutuskan bahwa semua Negara Anggota harus segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah pasokan langsung atau tidak langsung, penjualan atau transfer ke Jamahiriya Arab Libya, dari atau melalui wilayah mereka atau oleh warga negara mereka, atau menggunakan kapal atau pesawat berbendera mereka, senjata dan senjata terkait, semua jenis bahan, termasuk senjata dan amunisi, kendaraan dan perlengkapan militer, perlengkapan paramiliter, dan suku cadang untuk yang disebutkan di atas, dan bantuan teknis, pelatihan, keuangan atau bantuan lainnya, yang berkaitan dengan kegiatan militer atau penyediaan, pemeliharaan atau penggunaan senjata apa pun dan materi terkait, termasuk penyediaan personel tentara bayaran bersenjata baik yang berasal dari wilayah mereka maupun tidak, …)27 Merujuk pada Resolusi tersebut, jelas dinyatakan bahwa semua negara anggota (DK PBB) harus segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah pasokan langsung atau tidak langsung, penjualan atau transfer senjata dan senjata terkait ke Libya. Dalam hal ini, Jerman merupakan anggota tidak tetap DK PBB dan sekaligus tergabung dalam operasi militer Angkatan laut Uni Eropa, sehingga dasar Jerman melakukan penggeledahan kapal Turki semata-mata langkah pencegahan agar tidak terjadi penyelundupan senjata ke Libya yang mana hal tersebut dilakukan guna

mencegah semakin lamanya konflik bersenjata terjadi di Libya. Ketentuan lebih lanjut yang juga menjadi klaim Jerman melakukan penggeledahan yaitu ketentuan Resolusi 1973 (2011) tentang pemberlakuan embargo senjata Pasal 13 yang berbunyi:

  • Article 13.

“Decides that paragraph 11 of resolution 1970 (2011) shall be replaced by the following paragraph: “Calls upon all Member States, in particular States of the region, acting nationally or through regional organisations or arrangements, in order to ensure strict implementation of the arms embargo established by paragraphs 9 and 10 of resolution 1970 (2011), to inspect in their territory, including seaports and airports, and on the high seas, vessels and aircraft bound to or from the Libyan Arab Jamahiriya, if the State concerned has information that provides reasonable grounds to believe that the cargo contains items the supply, sale, transfer or export of which is prohibited by paragraphs 9 or 10 of resolution 1970 (2011) as modified by this resolution, including the provision of armed mercenary personnel, calls upon all flag States of such vessels and aircraft to cooperate with such inspections and authorises Member States to use all measures commensurate to the specific circumstances to carry out such inspections

(Resolusi 1973 (2011) tentang pemberlakuan embargo senjata pasal 13. Memutuskan bahwa paragraf 11 dari resolusi 1970 (2011) akan diganti dengan paragraf berikut: “Meminta semua Negara Anggota, khususnya Negara-negara di kawasan, bertindak secara nasional atau melalui organisasi atau pengaturan regional, untuk memastikan penerapan yang ketat dari embargo senjata yang ditetapkan oleh paragraf 9 dan 10 dari resolusi 1970 (2011), untuk memeriksa di wilayah mereka, termasuk pelabuhan laut dan bandar udara, dan di laut lepas, kapal dan pesawat terbang. ke atau dari Jamahiriya Arab Libya, jika Negara yang bersangkutan memiliki informasi yang memberikan alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa kargo tersebut berisi barang-barang yang pasokan, penjualan, transfer atau ekspornya dilarang oleh paragraf 9 atau 10 dari resolusi 1970 (2011) sebagaimana dimodifikasi dengan resolusi ini, termasuk penyediaan personel tentara bayaran bersenjata, menyerukan kepada semua negara bendera kapal dan pesawat udara tersebut untuk bekerja sama dengan inspeksi dan wewenang tersebut. Negara-negara Anggota untuk menggunakan semua tindakan yang sepadan dengan keadaan khusus untuk melaksanakan inspeksi tersebut).

Bila dicermati, ketentuan di atas menegaskan bahwa semua Negara Anggota, khususnya Negara-negara di Kawasan (wilayah sekitar negara Libya) bertindak secara nasional atau melalui organisasi atau pengaturan regional, untuk memastikan penerapan yang ketat dari embargo senjata untuk menggunakan semua tindakan yang sepadan dengan keadaan khusus untuk melaksanakan inspeksi tersebut. Artinya, Jerman sebagai anggota operasi Uni Eropa memiliki legitimasi untuk melakukn pemeriksaan terhadap kapal-kapal berbendera yang dicurigai hendak menyelundupkan pasokan senjata ke wilayah Libya, sehingga dilakukanlah pemeriksaan/inspeksi atas kapan Turki atas keadaan khusus sebagaimana dimaksud ketentuan di atas. Hal mana pemeriksaan/inspeksi tersebut oleh Turki diklaim sebagai bentuk penggeledahan illegal karena tidak meminta persetujuan negeri bendera kapal untuk melakukan inspeksi.Dalam hal ini untuk menentukan apakah pemeriksaan dengan prosedur yang dilakukan Jerman telah tepat atau belum perlu memperhatikan ketentuan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (“UNCLOS 1982”) sebagai ketentuan hukum internasional mengenai laut termasuk di dalamnya hal-hal yang diperbolehkan dan yang tidak.

Pertama, perlu diingat kembali di dalam Pasal 96 UNCLOS 1982 berbunyi:

Article 96 Immunity of ships used only on government non-commercial service: “Ships owned or operated by a State and used only on government non-commercial service shall, on the high seas, have complete immunity from the jurisdiction of any State other than the flag State.”

(Terjemahan bebas: Kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh suatu Negara dan digunakan hanya untuk dinas pemerintah non-komersial di laut lepas, memiliki kekebalan penuh terhadap yurisdiksi Negara lain manapun kecuali Negara bendera.)

Maknanya, bahwa setiap kapal yang dioperasikan oleh negara bendera sebagai pemilik kapal memilik kekebalan penuh jika berlayar untuk tujuan dinas pemerintahan non-komersial. Kaitannya dengan kasus penggeledahan Kapal Turki oleh Jerman sebagaimana klaim Turki bahwa kapal tersebut berlayar membawa misi kemanusian untuk menyalurkan bantuan kemanusian kepada warga sipil di Libya (misi non-komersial atas perintah pemerintah Turki), sehingga kapal tersebut menurut ketentuan ini seharusnya memiliki kekebalan penuh atas yurisdiksinya. Untuk itu perlu kiranya bagi negara lain sebelum melakukan pemeriksaan meminta persetujuan dan izin negera bendera kapal.

Kedua, mengenai hak pemeriksaan oleh pihak lain di dalam UNCLOS 1982 telah diatur dalam Pasal 110 tentang hak melakukan pemeriksaan yang berbunyi:

  • Article 110

  • 1.    “Except where acts of interference derive from powers conferred by treaty, a warship which encounters on the high seas a foreign ship, other than a ship entitled to complete immunity in accordance with articles 95 and 96, is not justified in boarding it unless there is reasonable ground for suspecting that:

  • (a)    the ship is engaged in piracy;

  • (b)    the ship is engaged in the slave trade;

  • (c)    the ship is engaged in unauthorized broadcasting and the flag State of the warship has jurisdiction under article 109;

  • (d)    the ship is without nationality; or

  • (e)    though flying a foreign flag or refusing to show its flag, the ship is, in reality, of the same nationality as the warship.”

(Terjemahan bebas: Pasal 110

  • 1.    Kecuali apabila perbuatan mengganggu berasal dari wewenang yang berdasarkan perjanjian, suatu kapal perang yang menjumpai suatu kapal asing di laut lepas, selain kapal yang memiliki kekebalan penuh sesuai pasal-pasal 95 dan 96, tidak dibenarkan untuk menaikinya kecuali kalau ada alasan yang cukup untuk menduga bahwa:

  • (a)    kapal tersebut terlibat dalam perompakan;

  • (b)    kapal tersebut terlibat dalam perdagangan budak;

  • (c)    kapal tersebut terlibat dalam penyiaran gelap dan Negara bendera kapal perang tersebut mempunyai yurisdiksi berdasarkan pasal 109;

  • (d)    kapal tersebut tanpa kebangsaan; atau

  • (e)    walaupun mengibarkan suatu bendera asing atau menolak untuk memperlihatkan benderanya, kapal tersebut, dalam kenyataannya, memiliki kebangsaan yang sama dengan kapal perang tersebut.)

  • 2.    “In the cases provided for in paragraph 1, the warship may proceed to verify the ship's right to fly its flag. To this end, it may send a boat under the command of an

officer to the suspected ship. If suspicion remains after the documents have been checked, it may proceed to a further examination on board the ship, which must be carried out with all possible consideration.”

(Terjemahan bebas: Dalam hal-hal yang ditentukan dalam ayat 1, kapal perang tersebut dapat melaksanakan pemeriksaan atas hak kapal tersebut untuk mengibarkan benderanya. Untuk keperluan ini, kapal perang boleh mengirimkan sekoci, di bawah perintah seorang perwira ke kapal yang dicurigai. Apabila kecurigaan tetap ada setelah dokumen-dokumen di periksa, dapat diteruskan dengan pemeriksaan berikutnya di atas kapal, yang harus dilakukan dengan memperhatikan segala pertimbangan yang mungkin.)

  • 3.    “If the suspicions prove to be unfounded, and provided that the ship boarded has not committed any act justifying them, it shall be compensated for any loss or damage that may have been sustained.”

(Terjemahan bebas: Apabila ternyata kecurigaan itu tidak beralasan dan apabila kapal yang diperiksa tidak melakukan suatu perbuatan yang membenarkan pemeriksaan itu, kapal tersebut akan menerima ganti kerugian untuk setiap kerugian atau kerusakan yang mungkin diderita.)

Merujuk pada ketentuan di atas, jelas diatur bahwa tindakan Kapal Turki tidak memenuhi ketentuan Pasal 110 ayat (1) UNCLOS 1982 untuk dapat diperiksa, pun jika terdapat kecurigaan diluar dari ketentuan tersebut, misalnya kecurigaan berdasar pada Resolusi 1970 dan Resolusi 1973 memang dimungkin untuk dilakukan pemeriksaan, namun, harus dilakukan dengan memperhatikan segala pertimbangan yang mungkin sebagaimana ditegaskan Pasal 110 ayat (2) UNCLOS 1982. Adapun yang dimaksud dengan segala pertimbangan yang mungkin adalah izin dan persetujuan negara bendera dalam hal kapal diperiksa di wilayah laut bebas atau perlu persetujuan negara yang memiliki territorial laut ketika kapal berlayar di atas laut territorial suatu negara tertentu.28 Artinya, pemeriksaan pun tidak dapat dilakukan tanpa adanya izin dan persetujuan tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap kedaulatan suatu negara dan melaksanakan prinsip dasar Piagam PBB yaitu non-intervension. Dalam kasus ini, terungkap bahwa Jerman tidak memiliki izin untuk memeriksa kapal Turki baik dari negara bendera yaitu Turki maupun Libya yang mana diketahui kapal tersebut berlayar di wilayah territorial Libya.

Alasan Jerman tetap melakukan penggeledahan meskipun tidak mendapatkan konfirmasi izin dikarenakan keadaan khusus untuk mencegah adanya penyelundupan senjata ke Libya melalui kapal tersebut tetap tidak dapat dibenarkan menurut hukum laut internasional. Terlebih lagi penggeledahan tersebut dilakukan dengan ancaman senjata kepada awak kapal oleh tentara Jerman. Pun setelah diperiksa, kecurigaan tersebut tidak benar, berdasarkan Pasal 110 ayat (3) UNCLOS 1982, negara bendera kapal berhak menerima ganti kerugian untuk setiap kerugian atau kerusakan yang diderita awak kapal dan angkuatannya. Untuk itu, beralasan menurut hukum Turki menuntut ganti rugi kepada Jerman atas tindakan penggeledahan tersebut karean Turki mengklaim terjadi kerugian immateriil berupa tekanan psikologis yang dialami oleh awak kapalnya.

  • IV. Kesimpulan

Tindakan penggeledahan kapal kargo tanpa seizin negara benderanya sah menurut hukum laut internasional telah bertentangan dengan prinsip non-intervension karena negara memiliki kedaulatan dan kesamaan kedudukan dengan negara-negara lainnya berdasarkan Pasal 2 ayat 4 dan 7 Piagam PBB. Meskipun Resolusi 1970 dan 1973 memberikan wewenang kepada semua negara anggota untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah pasokan senjata ke Libya. Akan tetapi, tindakan penggeledahan Jerman tidak disertai persetujuan bertentangan dengan Pasal 96 UNCLOS 1982 tentang kekebalan kapal yang hanya digunakan untuk dinas pemerintah non-komersial serta ketentuan Pasal 110 ayat (1) dan ayat (2) UNCLOS 1982 untuk dilakukan pemeriksaan harus memperhatikan segala pertimbangan salah satunya izin dan persetujuan negara bendera dalam hal kapal diperiksa di wilayah laut bebas atau perlu persetujuan negara yang memiliki territorial laut ketika kapal berlayar di atas laut territorial suatu negara tertentu. Dalam kasus ini, terungkap bahwa Jerman tidak memiliki izin untuk memeriksa kapal Turki baik dari negara bendera yaitu Turki maupun Libya sebagai wilayah territorial kapal berlayar. Untuk itu, merujuk pada Pasal 110 ayat (3) UNCLOS 1982, Turki berhak menuntut ganti rugi kepada Jerman atas tindakan penggeledahan tersebut karean Turki mengklaim terjadi kerugian immateriil berupa tekanan psikologis yang dialami oleh awak kapalnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. (Sinar Grafika, Jakarta, 2021).

Jurnal

Bagaskara, Bagaskara. "Draft Resolusi Konflik Penyelesaian Konflik Perang Sipil di Libya Tahun 2011." IQRA Jurnal Ilmu Kependidikan dan Keislaman 14, No. 2 (2019).

Della Faragil, Ignesia, and Levina Yustitianingtyas. "Peranan Dewan Keamanan PBB Dalam Penyelesaian Konflik Bersenjata Non-Internasional Di Libya." Wijayakusuma Law Review 3, No. 01 (2021).

Hanifa, Ashofi Nur Fikri, Nuswantoro Dwiwarno, and Joko Setiyono. "LEGALITAS INTERVENSI MILITER NATO DALAM PENYELESAIAN KONFLIK INTERNAL DI LIBYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL." Diponegoro Law Journal 8, No. 2 (2019).

Indrawan, Jerry. "Legalitas dan Motivasi NATO (North Atlantic Treaty Organization) dalam Melakukan Intervensi Kemanusiaan di Libya." Jurnal Kajian Wilayah 4, No. 2 (2016): 127-149.

Iqbal, Firdaus Muhamad. "KUDETA MILITER MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL." Jurnal Dialektika Hukum 3, No. 1 (2021).

Kapahese, Injil Vigili Milinia. "TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA BATAS WILAYAH ANTAR NEGARA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL." LEX ADMINISTRATUM 9, No. 3 (2021).

Oktaviani, Luthfina Dyah, Christy Damayanti, and Halifa Haqqi. "PRINSIP HUMAN SECURITY DALAM HUMANITARIAN INTERVENTION NATO DI LIBYA." Solidaritas 2, No. 1 (2018).

Prajaya, Mahda Pradewa Anta. "Keterlibatan North Atlantic Treaty Organization (NATO) Dalam Penyelesaian Konflik Non-Internasional Di Libya Ketika Penggulingan Presiden Muammar Kaddafi." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1, No. 11 (2014).

Sigit, Rahmawati Novia. "Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hukum Di Perairan Natuna Yang Dilakukan Oleh Kapal Asing Vietnam Dalam Perspektif Hukum Laut Internasional." Jurnal Selat 7, No. 1 (2019).

Umam, M. Chairil, and Indra Pahlawan. "Efektivitas Responsibility to Protect yang Diimplementasikan Oleh Dewan Keamanan PBB Pada Perang Sipil Libya 2011." Transnasional 5, No. 01 (2013).

Instrumen Hukum Internasional

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S/RES/1970 (2011)

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S/RES/1973 (2011)

The United Nations Convention on the Law of the Sea

Sumber Internet

Brahm. 2020. "Turki Kecam Kapal Jerman yang Inspeksi Kapal Turki di Pesisir Libya." IDN Times. URL: https://www.idntimes.com/news/world/brahm-1/turki-kecam-kapal-jerman-yang-inspeksi-kapal-turki-di-pesisir-libya-c1c2/3, diakses pada 23 Juli 2021.

Dwina Agustin and Teguh Firmansyah. 2020. "Turki Marah, Kapal Kargonya Mau Digeledah        Tentara        Jerman."        Republika.co.id,        URL:

https://republika.co.id/berita/qka21b377/turki-marah-kapal-kargonya-mau-digeledah-tentara-jerman, diakses pada 23 Juli 2021.

Fergi Nadira and Dwi Murdaningsi. 2020. "PBB Perpanjang Embargo Senjata Bagi Libya." Republika.co.id. URL: hhttps://republika.co.id/berita/qbhxyd368/pbb-perpanjang-embargo-senjata-bagi-libya, diakses pada 23 Juli 2021.

Gama Prabowo dan Serafica Gischa. 2020. "Konflik Libya: Runtuhnya Rezim Muammar Khadafi."                        Kompas.com.                        URL:

https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/04/145845869/konflik-libya-runtuhnya-rezim-muammar-khadafi, diakses pada 16 Agustus 2021.

Maria Elisa Hospita. 2020. "Turki mulai investigasi penggeledahan kapalnya oleh tentara         Jerman."         Anadolu         Agency.         URL:

https://www.aa.com.tr/id/turki/turki-mulai-investigasi-penggeledahan-kapalnya-oleh-tentara-jerman/2057978, diakses pada 23 Juli 2021.

Muhammad Abdullah Azzam. 2020. "Yunani dan Jerman langgar hukum internasional terkait penggeledahan kapal    Turki."    Anadolu Agency. URL:

https://www.aa.com.tr/id/dunia/yunani-dan-jerman-langgar-hukum-internasional-terkait-penggeledahan-kapal-turki/2054934, diakses pada 23 Juli 2021.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 10 Tahun 2021, hlm.856-868

868