KAJIAN POLITIK HUKUM TERHADAP UPAYA LEGALISASI ARAK BALI

Jessica, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk memahami kearifan lokal yang telah menjadi landasan utama terbentuknya legalisasi dengan menggunakan pendekatan yang digunakan oleh Tania Li (2007). Peraturan Gubernur No 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan Destilasi Khas Bali menyatakan legalnya Arak Bali sebagai industri prospektif untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, dengan mempromosikannya sebagai produk berbasis warisan. Secara turun-temurun minuman tradisional beralkohol ini diproduksi untuk kepentingan ritual upacara keagamaan, dari upacara kelahiran hingga kematian, dan juga tujuan untuk pengobatan. Tidak hanya itu, masyarakat meyakini bahwa minuman tersebut memberikan manfaat sosial sebagai tanda kehormatan. Hal ini mendukung pernyataan bahwa arak merupakan salah satu aspek kuat dalam kearifan lokal masyarakat setempat. Studi kualitatif yang bersumber dari kajian pustaka dilakukan untuk menghasilkan data deskriptif yang mampu menjelaskan bahwa perlunya ditinjau kembali suatu kebijakan agar berjalan sesuai tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat setempat, bukan untuk memberi peluang kepada para pemilik modal untuk mengontrol produksi hasil warisan budaya penduduk setempat.

Kata Kunci: Hukum, Legalisasi, Arak Bali.

ABSTRACT

This paper aims to understand local wisdom which has become the main basis for the formation of legalization using the approach used by Tania Li (2007). Governor Regulation No.1 of 2020 concerning Management of Balinese Fermented and Distilled Beverages states that Arak Bali is a prospective industry to improve the economic welfare of the community, by promoting it as a heritage-based product. From generation to generation, this traditional alcoholic drink is produced for the benefit of religious ceremonies, from birth to death ceremonies, and also for medicinal purposes. Not only that, people believe that these drinks provide social benefits as a sign of honor. This supports the statement that arak is a strong aspect of local wisdom in the local community. Qualitative studies that are sourced from literature reviews are carried out to produce descriptive data that is able to explain that a policy needs to be reviewed so that it runs according to its purpose for the welfare of the local community, not to provide opportunities for capital owners to control the production of cultural heritage products of the local population.

Key Words: Law, Legalization, Arak Bali.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.   Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, mudah untuk menemukan berbagai macam jenis minuman tradisional beralkohol, seperti tuak, arak, sopi, dan badeng. Minuman tersebut sering dikonsumsi dan hal itu telah menjadi bagian dari tradisi suatu kebudayaan. Tidak jarang mereka menganggap bahwa minuman tradisional beralkohol tersebut merupakan cara

mereka untuk mengekspresikan identitas mereka dengan berbagai macam latar belakang dan adat istiadat yang dimiliki. Ini sejalan dengan hasil dari penelitian yang dilakukan di komunitas Maluku Tengah bahwa sopi adalah minuman paling penting yang harus disajikan di setiap pesta, termasuk untuk kematian, ucapan syukur, dan kelahiran anak-anak.1 Dayak Ngaju, suku yang tinggal di daerah aliran sungai Katingan, Kalimantan Tengah, memiliki minuman beralkohol tradisional yang disebut baram. Baram (terbuat dari beras, ragi, berbagai jenis rempah dan gula) memainkan peran penting dalam budaya Dayak Ngaju. Secara sakral, baram digunakan sebagai pelengkap ritual agama Kaharingan seperti basarah, napesan, dan tiwah. Baram dalam konteks sakral dibuat oleh gotong royong (handep) oleh masyarakat dan akan didoakan oleh tokoh agama Kaharingan yang disebut pisur.2 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa makna tuak dalam perayaan pesta adat Toraja dianggap sebagai minuman kehormatan, untuk para undangan atau tokoh masyarakat yang datang ke suatu acara adat.3

Tidak hanya di Indonesia, sebuah penelitian di Nepal menemukan bahwa di sana, alkohol melayani tujuan sosial dan keagamaan dalam ritual, dan di daerah berpenghasilan rendah, alkohol digunakan sebagai obat, untuk energi, dan bahkan untuk kepentingan dapur rumah tangga. Kacang kola di Afrika Barat digunakan dalam ritual keagamaan dan memiliki tujuan pengobatan. Ini memiliki beberapa sosio-fungsi budaya di seluruh Afrika Barat, terutama di sebagian besar zona hutan.4

Salah satu sumber daya budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bali adalah minuman khas yang sering digunakan sebagai sarana untuk kegiatan upacara keagamaan, yaitu Arak. Arak sendiri diproduksi dari Tuak yang digunakan sebagai bahan pembuatan gula di Bali. Masyarakat Bali mengenal arak sebagai sarana tetabuh yang dipersembahkan kepada para dewa selama ritual keagamaan, ritual yang diadakan di rumah atau di tempat ibadah seperti pura. Dalam upacara keagamaan Arak dimanfaatkan untuk penyembahan, yang tidak hanya dipersembahkan di hadapan Tuhan Yang Maha kuasa tetapi metafora utama yang juga digunakan sebagai persembahan dalam upacara Mecaru (Pengorbanan Suci untuk Bhuta Kala). Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan keharmonisan di alam semesta, yaitu antara Bhuana Alit (Tubuh manusia) dengan Bhuana Agung (alam semesta).5 Dalam rangkaian upacara kematian di Bali yang disebut ngaben, terlihat juga kegunaannya sebagai sesajian yang diletakkan pada bagian timur laut sanggah yang dimaksudkan untuk persembahan pada Dewa Surya. Tidak hanya sampai disitu, sesajian tersebut juga diletakkan dibagian

atas dengan berbagai macam bunga pada lingga, buah-buahan, kue-kuean yang diatur sedemikian rupa agar terlihat cantik dan di bawah sanggah diletakkan bersamaan dengan berbagai makanan serta lauk-pauknya dan juga beragam minuman tradisional beralkohol seperti tuak, arak, dan juga brem.6 Pada daerah timur, Karangasem, Bali. Yang merupakan tempat para petani arak Bali bermukim sejak 1700-an hingga sekarang ini. Masyarakat setempat percaya dengan adanya Dewa Ida Ratu Betara Arak Api yang bernaung di Pura Dalam Dusun Merita. Para petani arak percaya apabila mereka berhenti memproduksi, Dewa Arak Api akan murka dan akan terjadi bencana. Profesi yang berkaitan erat dengan tradisi ritual upacara, pengobatan, dan kepercayaan setempat yang telah berusia ratusan tahun ini berada di bawah perlindungan Ida Bhatara Arak Api.

Minuman tradisional beralkohol Arak Bali merupakan minuman beralkohol tipe C pada hukum sehingga distribusi dalam skala penuh diatur secara ketat oleh hukum. Lebih jauh, Peraturan Presiden yang menambahkan minuman beralkohol sebagai daftar investasi negatif, menjadi halangan besar untuk dilalui.7 Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, pengertian minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol atau etil alkohol (C2 H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi.8 Berdasarkan ketentuan Standar Industri Indonesia (SII) dari Kementerian Perindustrian RI, minuman berkadar alkohol di bawah 20% tidak tergolong minuman keras tetapi juga bukan minuman ringan. Sedangkan dalam Peraturan Kementerian Kesehatan No. 86/ Men.Kes/Per/IV/1977 tanggal 29 April 1977 yang mengatur produksi dan peredaran minuman keras, yang dimaksud dengan minuman keras adalah semua jenis minuman beralkohol tetapi bukan obat dan meliputi tiga golongan, yaitu:

– Golongan A, dengan kadar etanol 1 sampai dengan 5%.

– Golongan B, dengan kadar etanol dari 5 sampai dengan 20%.

– Golongan C, dengan kadar etanol lebih dari 20 sampai dengan 55%.

Hal tersebut didukung dengan adanya penelitian dari The Global Information System on Alcohol and Health (GISAH), yang merupakan alat penting untuk menilai dan memantau situasi kesehatan dan tren yang berkaitan dengan konsumsi alkohol, bahaya terkait alkohol, dan respons kebijakan di negara-negara.9 Penggunaan alkohol yang berbahaya menyebabkan kematian 3 juta orang setiap tahun. Ada 230 jenis penyakit di mana alkohol memiliki peran penting. Ini juga menyebabkan kerusakan pada kesejahteraan dan kesehatan orang-orang di sekitar peminumnya. Pada 2016, total konsumsi di seluruh dunia sama dengan 6,4 liter alkohol murni per orang, dengan usia 15 tahun ke atas. Jumlah konsumsi yang tidak tercatat berjumlah 26% dari total konsumsi dunia. Sedangkan menurut hasil Riskesdas 2018, jenis minuman beralkohol

yang terbanyak dikonsumsi penduduk tahun 2018 adalah minuman tradisional sebesar 38,7%. Provinsi Bali menempati proporsi konsumsi minuman beralkohol pada penduduk berusia >10 tahun ke-tiga terbanyak setelah Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur.10

Sehingga upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengontrol peredarannya dibentuk melalui pengendalian produksi minuman beralkohol yang telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Kebijakan Pengendalian dan Pengawasan Produk Minuman Beralkohol. Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Bali, telah mewajibkan penjualan minuman beralkohol oleh para distributor minuman beralkohol di kabupaten-kabupaten yang ada di Bali untuk menggunakan label. Namun peraturan di salah satu kabupaten yang ada di Bali, yaitu kabupaten Badung, selain menggunakan label pada kemasan, para penjual wajib melengkapi usaha mereka dengan memiliki izin usaha, hal tersebut sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 1 Tahun 2013 dan Peraturan Bupati Badung Nomor 67 Tahun 2013. Hal tersebut membawa tekanan bagi masyarakat setempat yang terikat secara budaya dan sejarahnya untuk memproduksi dan menjadikan arak sebagai sumber mata pencaharian utamanya. Petani arak merasa direpotkan dengan peraturan dan anggapan negatif yang ada. Menurut hasil wawancara oleh Widiatmika dengan Bapak Drs. I Wayan Pagon Arianto pada tahun 2017, sebagai Kabid Ekonomi di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung menyebutkan pelaksanaan kebijakan mengenai pengendalian peredaran Arak Api di Kabupaten Badung mengalami kendala mengenai kepatuhan dalam masalah administrasi, pertama kurangnya kesadaran oleh para pelaku penjual minuman tradisional beralkohol untuk mengurus Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Perdagangan Minuman Beralkohol SIUP-MB (Surat Ijin Usaha Penjualan Minuman Beralkohol) sebagai izin legalitas. Menurut para penjual minuman tradisional beralkohol, biaya atau tarif yang tidak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan, serta lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perizinan, banyaknya persyaratan serta birokrasi yang tidak singkat dan pelayanan pemerintahan yang belum maksimal, merupakan alasan mengapa banyaknya pelaku usaha yang memilih untuk tidak mengurus surat perizinan perdagangan.11

Bersembunyi dari aparat keamanan merupakan aktivitas biasa yang berlangsung lama oleh para penjual minuman tradisional beralkohol. Sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Scott, perlawanan tidak selalu bersifat terbuka maupun terlihat di permukaan.12 Tindakan perlawanan yang dilakukan oleh petani-petani setempat bersifat terselubung dan tidak langsung. Salah satu faktor adanya kesadaran yang timbul secara kolektif adalah memiliki kesamaan proses secara sejarah dan

perjuangan yang berlandaskan kekerabatan dan secara keagamaan.13 14 Seakan seperti rahasia umum bahwa Karangasem merupakan pusat transaksi perjual-belian minuman tradisional beralkohol yang terkenal di Bali yang tidak memiliki label produk dan dijual secara diam-diam. Kabar berita tersebut beredar cukup lama, sehingga terjadilah sosialisasi untuk membentuk kebijakan legalisasi.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Gubernur No 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan Destilasi Khas Bali, yang menyatakan legalnya Arak Bali sebagai industri prospektif untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, dengan mempromosikannya sebagai produk berbasis warisan. Kebijakan merupakan produk dari kebudayaan yang dihasilkan oleh proses internalisasi tindakan manusia. Kebudayaan membentuk hukum yang dikarenakan oleh hukum yang diciptakan memiliki ciri-ciri maupun karakter yang berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lain sesuai dengan kebudayaan setempat. Proses bottom-up ini merupakan proses panjang yang berawal dari penyerapan aspirasi masyarakat setempat hingga dibentuknya kebijakan pemerintahan, seperti apa yang dijelaskan oleh Paul Bohannan terkait double institutionalized yang mana hukum nasional itu berasal dari peraturan adat.15

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Dalam melakukan eksplorasi pustaka terhadap tulisan-tulisan terkait minuman tradisional beralkohol, banyak saya jumpai perannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal, baik secara ekonomi maupun sosial. Namun yang mengkaji mengenai bentuk perlawanan hingga terciptanya legalisasi berdasarkan peraturan adat belum ada. Maka dari itu, hal ini menarik untuk dikaji lebih jauh lagi. Yang akan menjadi fokus saya bukan sekedar mengenai apa yang mendasari Pergub Bali itu dilegalisasikan namun juga bagaimana realisasinya. Dengan mengatasnamakan pelestarian budaya, bagaimana implementasi politik hukum dari tindakan legalisasi minuman arak di wilayah provinsi Bali.

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui bagaimana implementasi politik hukum dari tindakan legalisasi minuman arak di wilayah provinsi Bali.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian tulisan ini menggunakan metode sosio-legal dalam upaya menguraikan permasalahan empiris yang terkait dengan Peraturan Gubernur No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan Destilasi Khas Bali, beserta bagaimana realisasi hukum tersebut. Bahan hukum yang digunakan nantinya akan menghasilkan data deskriptif yang akan menjembatani antara konsep/teori dengan kasus empirik.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

Provinsi Bali memiliki beberapa desa yang masih menganut paham tradisional dalam segala lingkup kehidupannya yang berlandaskan dari pengalaman hidup yang dialami oleh dirinya, kerabat, hingga leluhurnya yang telah memposisikan alam sebagai sesuatu yang menentukan realitas sehingga manusia merupakan objek di alam ini, desa seperti ini disebut Bali aga. Maka dari itu masyarakat tradisional akan selalu berusaha untuk melakukan penyesuaian diri dengan cara kerjanya alam. Apabila diamati dengan pemikiran Auguste Comte mengenai tahapan-tahapan perkembangan yang dialami masyarakat, pada tahap inilah yang disebut dengan tahapan metafisik. Bila dicermati dengan paham teologis segala sesuatu yang terjadi diyakini karena adanya kekuatan supranatural yang dimiliki oleh kekuatan diluar manusia seperti dewa, roh, ataupun Tuhan, maka pada tahapan metafisik manusia mulai percaya adanya kekuatan-kekuatan di luar kendali Tuhan yaitu alam. Berbeda dengan pandangan modern yang lebih melihat secara positivistik. Masyarakat modern memiliki keyakinan bahwa manusia dalam dirinya memiliki kekuatan yang dapat menguasai apapun secara realitas, bukan berdasarkan kekuatan dari alam. Dengan kata lain, masyarakat modern meyakini bahwa apapun yang terjadi pada alam semesta semuanya dapat dijelaskan dengan pengetahuan ilmiah secara pembuktian empiris dan tidak bergantung pada hal metafisik.16 Apa yang dianut oleh masyarakat Bali kebanyakan hingga hari ini kental dengan kepercayaan metafisik, sehingga mereka terus menerus memproduksi arak dalam pemenuhan kebutuhan keagamaan, upacara adat dan juga perekonomian. Hal ini juga bisa disebut kearifan lokal yang dianggap sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.17

Hingga sekarang ini dalam memproduksi arak yang terkenal oleh seluruh masyarakat Bali, memiliki bahan baku nira dari pohon kelapa yang dijadikan modal utama pembuatan arak. Pohon kelapa menghasilkan cairan getah yang keluar melalui bunga pohon kelapa yang disadap secara tradisional. Nira ini memiliki rasa yang manis yang biasanya digunakan untuk memproduksi gula juga. Nira yang sudah disadap dari tandan bunga pohon kelapa ini merupakan cairan yang steril dan memiliki aroma yang harum. Apabila nira ini didiamkan akan terjadi proses yang disebut fermentasi, yang mana sakarosa pada cairan nira mengalami perubahan yang disebabkan oleh mikroorganisme sehingga terbentuklah zat alkohol yang terus menerus akan meningkat berdasarkan waktu penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan nira digunakan, semakin tinggi pula kadar alkoholnya sehingga kadar gula yang dimiliki menurun. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, arak merupakan jenis cairan yang dihasilkan oleh proses fermentasi yang dilakukan dan dikenal oleh masyarakat Bali sejak zaman dahulu yang memiliki kandungan kadar alkohol dari 30-60 persen yang termasuk minuman keras golongan C. Pada umumnya arak diproses dari tuak kelapa melalui penyulingan atau yang biasa disebut destilasi. Selain itu arak juga dapat diperoleh dari beras ketan maupun beras lainnya yang digunakan seperti pembuatan tape, yang selanjutnya diperas hingga mengeluarkan cairan. Cairan hasil perasan dari beras

tersebut didiamkan atau difermentasi dan kemudian dilakukan proses penyulingan. Masyarakat Bali melakukan proses pembuatan arak secara tradisional hingga sekarang ini. Proses produksi ini biasanya memerlukan beberapa alat masak yang kebanyakan dibuat secara tradisional juga, seperti gentong yang terbuat dari tanah liat atau bisa juga menggunakan drum, bambu yang digunakan untuk proses penyulingan yang memiliki panjang 3-8 meter, pipa yang berfungsi untuk pendinginan yang memiliki panjang sekitar 5 hingga 15 meter, wadah yang digunakan untuk menampung hasil penyulingan, corong, dan juga tungku. Kayu bakar juga diperlukan sebagai bahan bakar. Proses awal pembuatan arak yang berasal dari tuak yang sudah matang, lalu ditampung dan didiamkan di dalam wadah penampungan seperti gentong selama tiga sampai dengan empat hari, sehingga cairan tersebut terasa kecut. Proses fermentasi biasanya dilakukan dengan menaruh serabut kelapa secara bersamaan dengan tuak di dalam wadah yang tertutup. Kemudian setelah dirasa cukup tuak masuk dalam rangkaian proses pengarakan. Dari hasil penyulingan yang dilakukan secara tradisional yang dikenal dari leluhur masyarakat Bali, arak mampu mengandung kadar alkohol hingga 60 persen.

Dengan berlakunya peraturan resmi pemerintah dalam Peraturan Gubernur No 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan Destilasi Khas Bali, yang menyatakan legalnya Arak Bali sebagai industri prospektif untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, dengan mempromosikannya sebagai produk berbasis warisan. Secara tidak sengaja dapat mengundang pemilik modal untuk terjun kedalam legalisasi minuman tradisional beralkohol ini. Sejalan dengan pemahaman Foucault, yang menekankan pentingnya untuk memahami bagaimana suatu proses itu terjadi bukan untuk mencari solusi dari suatu permasalahan.18 Menurutnya discourse yang terbentuk itu turut menciptakan implikasi-implikasi tertentu juga, seperti limitasi dan opportunity terhadap suatu nilai-nilai dan imajinasi. Itulah yang dilihat oleh ekologi politik yaitu untuk mengkritisi suatu discourse. Foucault juga menyatakan bahwa suatu wacana bisa berdampak pada imajinasi kita dan membentuk suatu frame. Karena wacana memberikan kita frame akan sesuatu. Foucault memiliki fokus bukan mengenai baik atau buruk, benar atau salah, akan tapi bagaimana relasi itu berjalan. Poin utamanya adalah dengan adanya diskursus dapat membahayakan dan akan diikuti oleh kekuasaan. Menurutnya terdapat beberapa segmentasi yang berbahaya apabila terbentuk diskursus yaitu seperti pada politik yang akan menimbulkan kekuasaan dan juga seksualitas yang dapat menimbulkan hasrat. Dalam pembahasan yang lebih jauh lagi mengenai lingkungan dan modernitas juga dapat dijelaskan oleh pemahaman Giddens yang membicarakan Modernitas yang dibangun atas rasionalitas, serta optimisme, dan juga sifat yang positivis dalam diri manusia sehingga kemudian timbullah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih maju.19

Dalam kondisi yang terus berkembang dan terus menjadi kondisi yang kompleks, lalu diikuti oleh banyak konsekuensi modernitas yang bersifat diskontinu yang pada akhirnya mampu menggeser tatanan sosial secara tradisional melalui cara yang baru atau belum pernah ada sebelumnya. Tidak heran apabila sekarang-sekarang ini banyaknya terbentuk kebijakan maupun peraturan-peraturan yang yang mencoba beradaptasi dengan kondisi yang baru melalui pengetahuan yang terus menerus

bertambah di kalangan masyarakat modern. Berbicara mengenai makna kata modernitas dalam konteks lingkungan, diawali dengan bagaimana manusia melihat dan menyikapi segala sesuatu yang berada di luar dari dirinya, yang mana proses ini akan melibatkan pergeseran atau perubahan cara pandang masyarakat tradisional menjadi modern. Yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat serta kebudayaan modern adalah sifat positivistik yang timbul dalam pengetahuan masyarakat yang kemudian mengalami pemaknaan sebagai ilmu pengetahuan yang pasti, nyata, berguna atau bermanfaat, dan spesifik yang mana semua hal ini dapat mempengaruhi secara signifikan dalam berkembangnya ilmu dan juga teknologi dalam masyarakat yang modern. Pesatnya ilmu pengetahuan yang berkembang diikuti dengan majunya teknologi diiringi dengan berkembangnya pula kemampuan manusia untuk mengubah tatanan sosial dan lingkungan alam. Berbagai macam kekhawatiran sebagai akibat adanya sifat positivistik pada tahapan perkembangan yang lebih lanjut mulai muncul di permukaan. Salah satunya dikarenakan oleh masalah lingkungan yang muncul secara mengglobal sebagai resiko dari eksploitasi lingkungan secara besar-besaran terutama pada sumberdaya alam. Semenjak munculnya masalah lingkungan diikuti dengan munculnya kesadaran kolektif terhadap pentingnya kelestarian lingkungan yang mana manusia mulai mempertanyakan kembali apa yang dibutuhkannya dan juga apa yang dapat diubah olehnya. Sustainable development goals memiliki agenda hingga tahun 2030 yang diadopsi oleh negara-negara yang menjadi anggota PBB agar mempersiapkan blueprint yang isinya mengenai tercapainya kondisi kedamaian dan kesejahteraan bagi planet bumi beserta isinya, baik kondisi sekarang maupun kondisi yang akan datang.20 Sejalan dengan Pergub Bali No. 1 Tahun 2020 bahwa adanya upaya untuk mensejahterakan dan menciptakan kemakmuran, serta mengurangi angka kemiskinan. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa sesungguhnya pemangku kebijakan terikat dengan gagasan modernitas yang menginginkan kemajuan serta kesejahteraan, walaupun dalam melakukan hal tersebut terdapat upaya untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan sumber daya alam sebagai ekosistemnya.

Berdasarkan portal berita nusabali sejak dibentuknya legalisasi banyak pengusaha ekspor yang bekerja sama dengan pengepul arak, untuk dikemas lebih baik agar dapat didistribusikan. Jumlah perajin arak di Bali, menurut Mardiana cukup banyak. Sebagai contoh di Desa Adat Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen Kabupaten Karangasem yang melakukan pengolahan nira terbanyak. Di desa ini tercatat 472 orang perajin arak. Bahan baku arak petani di Desa Tri Eka Buana adalah tuak kelapa. Para perajin arak ini tergabung dalam wadah Koperasi Perajin Arak Desa Adat Tri Eka Buana disingkat Padat. Kemudian di Desa Bondalem, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, 300 warga sebagai perajin arak. Para perajin arak ini terhimpun dalam Koperasi Bali Sejahtera. Bahan baku arak di Desa Bondalem adalah tuak atau nira rontal, sesuai dengan potensi desa dan kawasan sekitar. Koperasi-lah kata Mardiana bekerjasama dengan perusahan (swasta) untuk menjual produk arak, sebagaimana ketentuan Pergub I/2020. Kedua perusahaan tersebut adalah PT Lovina dan PT Niki Sake. PT Lovina bekerjasama dengan beberapa para perajin arak melalui koperasi Bali Sejahtera di Bondalem dan PT Niki Sake bekerjasama dengan koperasi Tri Eka Buana, koperasi Padat (Perajin Arak Desa Adat Tri Eka Buana), Sidemen. Pasca berlakunya Pergub Bali No.1/2020 ini, para petani arak di Desa Tri Eka Buana bisa diakomodir dalam bentuk koperasi, dan secara penghasilan rata-rata perhari para petani

mendapatkan untung Rp 420.000,- (Per liter harga Arak Bali Rp 35.000,- dan setiap hari menghasilkan 12 liter) dalam sebulan para petani bisa meraup keuntungan hingga sekitar 12 juta rupiah.21

Mengingat tujuan awal legalisasi minuman tradisional beralkohol merupakan bentuk upaya untuk menciptakan kesejahteraan, seringkali kebijakan-kebijakan serupa diikuti dengan kepentingan-kepentingan para aktor di sekitarnya, yang mana dapat terjadi penyimpangan yang bukan sejalan pada tujuan awal dan juga dapat menimbulkan bahaya pada jangka waktu yang lama. Umumnya pada praktik seperti ini dapat memantik perdebatan yang dikarenakan oleh tipisnya jalur antara pertimbangan mengenai ekonomi atau lingkungan, kedua sisi tersebut sulit untuk saling berkompromi, lantas sisi apa yang akan lebih diutamakan. Tidak dapat dipungkiri seringkali kita melihat kebijakan yang tidak sesuai dengan tujuan diawal yang cenderung malah merusak. Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Tania Li mengenai tindakan yang didasari oleh semangat untuk mensejahterakan masyarakat yang diikuti melalui terbentuknya kebijakan dalam upaya memposisikan masyarakat setempat ke dalam sistem produksi.22 Upaya tersebut dilakukan dalam skema teknis yang mempermudah kompleksitas kehidupan sosial agar dilaksanakan sesuai apa yang diinginkan oleh pembentuk program, bukan keinginan masyarakat setempat. Serupa dengan Li, masyarakat lokal menjadi target program yang seringkali dilakukan intervensi menjadi subjek politik pemenuhan kebutuhan yang saling bersaing. Pentingnya antropolog mempelajari tidak hanya kelompok yang menjadi target namun juga aktor serta kelompok yang terlibat didalamnya.23 Masalah seperti ini mengantarkan kembali pertanyaan mengenai apa yang menjadi nilai prioritas sebenarnya yang mendasar pada terbentuknya kebijakan maupun tindakan manusia. Apa yang dianggap berharga dan siapa yang menjadi subjek penilai tersebut? Dengan pertanyaan seperti ini akan mengantarkan kita terhadap perdebatan mengenai antroposentrisme dan ekosentrisme dengan berbagai konteks yang terdapat di dalamnya. Menurut Kuntowijoyo antroposentrisme merupakan aliran yang berdasarkan keyakinan manusia sebagai penentu realitas dan penguasa terhadap segala sesuatu yang terjadi pada dirinya di masa mendatang.24 Manusia berpendapat bahwa semua yang berada di luar dirinya merupakan objek yang dapat berfungsi dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ekosentrisme memiliki posisi yang berbeda dari antroposentrisme. Ekosentrisme memposisikan seluruh isi alam semesta sebagai subjek sebagai suatu ekosistem yang saling terikat satu dengan yang lain.25 Ekosentrisme berpandangan bahwa seluruh penghuni ekologis memiliki nilai terlepas dari hal tersebut memiliki manfaat bagi kehidupan manusia. Hal yang pasti adalah akan selalu ada keterkaitan antara satu dengan yang lainnya dalam kehidupan maupun ekosistem. Maka dari itu ekosentrisme tidak membahas siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, melainkan lebih ke bagaimana dapat menciptakan keseimbangan dalam seluruh komponen yang ada pada alam semesta. Pada sisi lainnya, dalam pembangunan akan menyebabkan semangat meningkatkan kekuatan produksi terutama pada para pemilik

modal. Tidak dapat dipungkiri, proses pembangunan yang terjadi tidak jarang telah didominasi dan menguntungkan pihak-pihak pemilik kuasa. Dengan terjadinya hal tersebut akan sulit sekali mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi warga masyarakat setempat yang terlibat dalam skema program pemerintah, dalam hal ini masyarakat Bali yang bekerja sebagai petani arak. Hal ini dikarenakan oleh pendistribusian banyak yang dipegang para kapitalis maupun para pemilik modal. Tanpa adanya sentuhan langsung dari pemerintah seperti sosialisasi, pengelolaan lahan pohon penghasil bahan baku utama, serta pelatihan bagaimana untuk memproduksi minuman beralkohol yang dikemas dengan baik dan berkualitas, petani arak cenderung tidak akan mengalami perubahan dari sebelum dan sesudah terbentuknya legalisasi tata kelola. Petani arak masih mendapatkan upah yang sama dan ilmu yang sama seperti sebelumnya sesuai dengan pengalaman dari leluhur dan budayanya, hal ini disebabkan oleh dominasi para kapitalis dan distributor yang menggemakan semangat untuk mensejahterakan ekonomi penduduk lokal dari produk berbasis warisan budaya.

  • IV.    Kesimpulan

Suatu kebijakan yang mencanangkan pertumbuhan kesejahteraan ekonomi khususnya bagi penduduk setempat harus ditinjau ulang. Tidak hanya dari permukaan, akan tetapi perlu dilakukan tata kelola agar terjadinya pergeseran pola pikir, perilaku serta tatanan sosial yang melibatkan gaya hidup warga setempat. Suatu kebijakan yang sejak awal ingin memberikan kesejahteraan perlu pertanyakan kembali dimana orientasi ditonjolkan. Apabila keberlanjutan ekonomi yang diprioritaskan maka perlu diperhatikan pula keberlanjutan lingkungan. Seringkali kepentingan akan ekonomi lebih maju yang dikarenakan oleh kuatnya peran aktor-aktor yang memiliki peluang untuk menguasai, mengontrol skema praktik. Kondisi ini akan mengantarkan kita pada harapan kosong pemerataan serta keseimbangan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abidin, Zainal. Memahami manusia melalui filsafat (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002).

Foucault, Michel. The Foucault effect: Studies in governmentality (University of Chicago Press, 1991).

Foster, George McClelland. Applied anthropology (Little, Brown, 1969).

Giddens, Anthony. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas (Yogyakarta, Kreasi Wacana,

2009).

Gigliotti, Massimo, Guido Schmidt-Traub, and Simone Bastianoni. The sustainable development goals, Encyclopedia of Ecology (Oxford, Elsevier, 2019).

Koentjaraningrat. Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan (Gramedia Pustaka Utama,

2004).

Koentjaraningrat, P. A. I. Ritus Peralihan di Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 1993).

Keraf, A. S. Etika Lingkungan (Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2005).

Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi (Bandung, Mizan, 1998).

Scott, James C. Weapons of the weak: Everyday forms of peasant resistance (Yale university Press, 1985).

Li, Tania Murray. The will to improve: Governmentality, development, and the practice of politics (Duke university Press, 2007).

Jurnal :

Aprianto, Tri Chandra. "Perampasan Tanah dan Konflik: Kisah Perlawanan Sedulur Sikep." BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan 37 (2013): 157-168.

Astri, Herlina. "Penyelesaian konflik sosial melalui penguatan kearifan lokal." Jurnal Aspirasi 2, no. 2 (2011): 151-162.

Astuti, Ni Wayan Wahyu, Ayu Dwi Yulianthi, Gede Ginaya, and Ni Putu Wiwiek Ary Susyarini. "Selling arak is a business opportunity in sidemen village." International journal of linguistics, literature and culture 6, no. 1 (2020): 32-41.

Jannah, Miftahul, Shanti Riskiyani, Arsyad Rahman, and Dewi Susanna. "Description of the Acculturation Process of Tuak Consumption in North Toraja." KnE Life Sciences (2018): 181-188.

Kwame, Abukari. "An Ethnographic Sketch of Social Interactions in Dagbon Society: The Case of Greeting, Sharing Drinks and Kola Nut." Journal of Multidisciplinary Research at Trent 2, no. 1 (2019): 1-20.

Pratiknjo, Maria Heny, and R. Mambo. "The Cultural Value of the Minahasa People about Liquor'' Cap Tikus." Journal of Drug and Alcohol Research (2019): 1-4.

Priantara, Putu Herry Hermawan. "Hidden Potential of Arak Bali to be The World’s Seventh Spirit; from religious purpose to negative investment list." Bali Tourism Journal 3, no. 1 (2019): 43-46.

Riskiyani, Shanti, Miftahul Jannah, and Arsyad Rahman. "Aspek Sosial Budaya Pada Konsumsi Minuman Beralkohol (Tuak) Di Kabupaten Toraja Utara." Media Kesehatan Masyarakat Indonesia 11, no. 2 (2016): 76-85.

Sahlan, Sartono. "The Other Laws di Era Otonomi Daerah (Studi Antropologi Hukum)." Pandecta: Jurnal Penelitian Ilmu Hukum (Research Law Journal) 5, no. 2 (2010).

Syawaludin, Mohammad. "PERUBAHAN STRUKTUR GERAKAN PERLAWANAN PETANI RENGAS." Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam 16, no. 1 (2016): 46-60.

Widiatmika, Rai, I. Ketut Sudiarta, and Cokorda Dalem Dahana. "Pengendalian Peredaran Minuman Keras Arak Api Tanpa Izin di Kabupaten Badung." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 1 (2017): 1-9.

Peraturan Perundang-undangan :

Peraturan Gubernur No 1 Tahun 2020 Tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan Destilasi Khas Bali.

Peraturan Kementerian Kesehatan No. 86/ Men.Kes/Per/IV/1977 Tentang produksi dan peredaran minuman keras.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 Tentang Kebijakan Pengendalian dan Pengawasan Produk Minuman Beralkohol.

Sumber Internet :

https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-

riskesdas-2018_1274.pdf Diakses Pada Tanggal 12 Desember 2020

https://www.nusabali.com/berita/79028/kualitas-arak-bali-diarahkan-kualitas-ekspor

Diakses Pada Tanggal 12 Desember 2020

https://www.who.int/data/gho/data/themes/global-information-system-on-alcohol-and-health Diakses Pada Tanggal 12 Desember 2020

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 11 Tahun 2021, hlm.904-915

915